Bab 23 Pernikahan yang Dingin

by Ally Jane 21:55,Jan 23,2021

Waktu dua minggu berlalu tanpa terasa bagi Dira. Hari ini adalah hari pernikahannya dengan Jeremy. Selama dua minggu ini, ia tak mendengar Jenna membuat masalah. Meski, ya, gadis itu memang tak bisa bekerja dengan baik, tapi dia tidak membuat masalah.
Jenna datang setiap pagi ke kantor dan pulang tepat waktu di sore hari. Selama di kantor, dia mengerjakan tugas yang diberikan oleh Biru, meski entah bagaimana tugas itu berakhir. Namun, Dira tahu, Biru pasti tidak memberikan tugas yang penting untuk Jenna. Tugas yang meski berakhir kacau pun, tak akan berimbas pada perusahaan.
Dira sudah selesai bersiap di kamar suite room hotel itu. Ketika ia keluar dari kamar, Jeremy sedang berdiri di sisi ruangan, menatap keluar lewat dinding kaca. Pria itu sudah memakai stelan putih sewarna gaun pernikahan yang dikenakan Dira.
“Ayo turun,” ajak Dira sembari mengambil buket bunga di meja ruang tamu suite room itu.
Jeremy berbalik dan menghampiri Dira. “Kakekmu menunggu di bawah,” beritahu pria itu.
Dira mengangguk.
Jeremy menghampirinya dan berkata, “Basa-basi kita akan berhenti hari ini. Kesepakatan kita akan berlaku begitu kita resmi menjadi suami-istri.”
“Aku tahu,” sahut Dira.
“Ingat. Jangan merepotkanku,” sebut Jeremy.
Dira mendengus. “Harusnya aku yang mengatakan itu padamu.”
Jeremy balas mendengus. Mereka berjalan bersisian menuju pintu suite room itu, tapi di depan pintu kamar, Jeremy berhenti.
“Kurasa, kita tidak seharusnya muncul seperti ini,” ucap Jeremy seraya mengulurkan lengannya.
Ah, benar juga. Hampir saja Dira lupa. Ia mengaitkan tangan di lengan pria itu. Lalu, Jeremy membuka pintu untuk mereka dan mereka keluar dari kamar. Jeremy mengantarkan Dira pada kakek Dira, tersenyum kecil pada Dira, sebelum keluar lebih dulu ke taman.
Dira menoleh pada kakeknya yang menepuk punggung tangannya lembut.
“Kakek hanya ingin melihatmu bahagia, Dira,” ucap kakeknya.
Dira tersenyum. “Aku bahagia, Kek. Aku dan Jeremy menikah karena kami sama-sama menginginkan ini.”
Kakeknya tersenyum, lalu mengaitkan tangan Dira di lengannya. Kakeknya menggenggam tangan Dira selama beberapa saat, sebelum membawanya memasuki taman.
***
Jeremy dan Dira sudah diresmikan menjadi suami-istri. Detik itu juga, kesepakatan mereka berlaku. Jeremy menandai kesepakatan itu dengan kecupan lembut di kening Dira. Ketika ia mundur, Dira tersenyum padanya. Senyum yang hanya berupa lengkungan di bibir. Jeremy membalas wanita itu dengan senyum yang sama.
Hingga kemudian, setelah riuh tepuk tangan tamu undangan berakhir, terdengar suara tepuk tangan keras, dari satu orang yang baru memasuki taman. Perhatian semua orang seketika teralih pada orang itu.
Jeremy tak terkejut ketika melihat Jenna berjalan melintasi taman, diikuti tatapan para tamu undangan. Gadis itu mengenakan gaun yang sama mewahnya dengan gaun pengantin yang dikenakan Dira. Bahkan, lebih heboh lagi.
Jenna melambaikan tangan santai menyapa Dira. “Boleh aku mendapatkan buket bunganya, Kakak Ipar?” seru Jenna.
Dira mendengus geli, lalu dengan santai melempar buket bunga di tangannya ke arah Jenna. Jenna menangkap bunga itu dan mengerdip pada Dira.
“Terima kasih. Tapi, kau tampak cantik. Terlalu cantik untuk kakakku,” ucap Jenna keras-keras.
Jeremy mendengus tak percaya.
Jenna lalu menoleh pada Jeremy. “Selamat atas pernikahanmu,” ucap Jenna. “Setelah ini, aku yang akan menikah. Jika ada pria gila yang jatuh cinta padaku.” Jenna tersenyum geli.
Gadis itu lalu berbicara pada salah satu tamu yang berdiri di sebelahnya, “Mereka menikah karena jatuh cinta. Lucu, kan?” ucap Jenna, lalu tergelak dan berjalan-jalan di taman, mencomot segelas jus jeruk dan mengangkatnya. “Cheers.”
Setelahnya, Jenna bersenang-senang di pesta itu. Dia berjalan berkeliling taman, ke sana-kemari mencomot makanan. Ketika dia mengangkat sepotong kue, para bodyguard-nya yang berjaga di sekitar taman, langsung bergerak. Jenna tersenyum puas dan menyodorkan kue itu pada salah satu bodyguard yang pertama menghampirinya.
Jenna pasti bersenang-senang, karena bisa membuat kekacauan tepat di depan kakek mereka. Tak ada yang bisa menghalanginya. Namun, ada satu orang yang ketidakhadirannya mengusik Jeremy.
“Apa kau tidak mengundang orang bernama Biru itu?” tanya Jeremy.
“Tentu saja aku mengundangnya,” sahut Dira. “Tapi, sepertinya dia tidak datang.”
Jeremy mengerutkan kening. Kenapa dia tidak datang? Jika seperti yang dikatakan Jenna padanya kemarin, dia memang menyukai Dira, apa dia … cemburu? Huh. Seolah dia punya hak untuk cemburu.
***
Biru menunduk menatap ke arah taman tempat pesta pernikahan Dira dan Jeremy berlangsung dari kamar hotel ini. Sejak tadi, ia menonton Jenna berjalan-jalan mengelilingi taman, berpesta sendiri. Tak ada yang bisa menghentikannya. Beberapa bodyguard siaga di sekitarnya. Perhatian seluruh tamu undangan tertuju pada Jenna alih-alih pada Dira dan Jeremy yang menikah.
Biru hanya bisa menghela napas melihat tingkah Jenna. Ketika gadis itu mengajak Biru kemari tadi pagi, Biru sama sekali tak menduga rencana gadis itu adalah ini. Dia sudah menyiapkan gaun pesta yang sama hebohnya dengan gaun pengantin di acara itu. Seolah dialah yang akan menikah hari ini.
Tatapan Biru kemudian mengikuti seorang pria yang mendekati Jenna. Biru mengernyit melihat Jenna tersenyum pada orang itu. Mereka tampak mengobrol selama beberapa saat. Apa yang mereka bicarakan?
Biru mendecak pelan tatkala melihat pria itu menyelipkan helaian rambut Jenna ke balik telinganya. Namun, ketika Jenna menepis tangan pria itu dengan kasar, Biru mendengus geli. Tentu saja. Itu Jenna. Beruntung gadis itu tidak melayangkan tinju ke wajahnya. Meski, sebenarnya gadis itu berhak melakukannya.
Ketika Jenna kembali melanjutkan perjalanannya berkeliling taman, tatapan Biru otomatis bergerak mengikuti gadis itu. Bagian belakang gaunnya menjulur panjang di belakangnya. Jika ada yang menginjak itu, pasti situasinya akan semakin kacau.
Jenna kemudian berhenti di depan kakeknya, tersenyum miring, seolah memamerkan kemenangan. Di hari pernikahan Dira dan Jeremy, orang yang paling bersenang-senang adalah Jenna. Sepanjang hari, Biru menghabiskannya dengan hanya menonton Jenna bersenang-senang dari jendela kaca kamar hotel ini.
Hingga siang itu, setelah puas bersenang-senang, Jenna kembali ke kamar tempat Biru berada. Gadis itu bersenandung riang sembari melepas gaun mewah yang dikenakannya di ruang tamu, tanpa peringatan. Biru mengumpat pelan sembari memutar tubuh.
“Tak bisakah kau tidak melakukan hal seperti itu?!” bentak Biru.
“Tidak. Terlebih ketika ini bisa membuat bommu meledak,” sahut Jenna santai. “Aku akan tidur siang dulu.” Suara Jenna terdengar begitu dekat di belakangnya, tapi Biru tak berani berbalik.
Hingga dirasakannya sesuatu mendarat di kepalanya. Biru mengangkat tangan ke kepalanya dan menangkap buket bunga di sana. Biru menarik turun buket bunga itu dan mendengus pelan. Ini buket bunga yang didapat Jenna dari Dira.
“Itu hadiahmu,” Jenna berkata. “Untuk menghibur patah hatimu.”
Biru merasakan tepukan pelan Jenna di bahunya. Tepukan penghiburan yang menyebalkan. Kali ini, Biru berhasil menahan umpatan kesalnya. Ia sudah terlalu banyak mengumpat karena gadis itu.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65