Bab 11 Orang Baru

by Ally Jane 17:12,Jan 22,2021
Jika bukan karena ancaman kakeknya yang akan mengurungnya di rumah, ia tidak akan mau datang ke sini. Sebenarnya, ada dua pilihan yang bisa ia ambil. Pertama, masuk kuliah. Kedua, magang di kantor ini. Kuliah jelas bukan pilihan baginya. Sejak semester pertamanya kuliah, ia sudah membolos karena bosan di kampus.
Ia menatap gedung kantor advertising di depannya sambil menguap bosan, lalu berjalan masuk bersama karyawan-karyawan kantor yang baru tiba. Ia mengunyah permen karet dan memakai tudung hoodie hitamnya sembari berjalan ke meja resepsionis di lobi.
“Ada yang bisa saya bantu, Mas?” tanya resepsionis yang berjaga.
Ia tak menjawab, tapi hanya mengeluarkan sebuah kartu nama milik kakeknya dan menunjukkan kartu identitasnya. Staf resepsionis itu kemudian menelepon seseorang lewat interkom.
“Bu Indi, sepertinya tamu Bu Dira sudah datang,” si Staf berbicara. “Baik, saya akan mengantarnya ke atas.”
Telepon ditutup, lalu staf resepsionis itu tersnyum padanya. “Saya akan mengantar …”
“Tidak perlu,” tukasnya tajam. “Katakan saja, lantai berapa? Aku akan pergi sendiri.”
Resepsionis itu tampak terkejut, tapi dia kemudian menyebutkan lantai tempat kantor CEO kantor itu berada, termasuk arah ke ruangannya. Setelahnya, ia pergi ke lift dan menunggu bersama karyawan lain.
Lift yang baru turun terbuka dan para karyawan mulai masuk. Ia pun ikut masuk dan berdiri di pojok kiri. Pintu lift sudah akan tertutup ketika tiba-tiba seseorang menahan tombol lift dari luar. Lalu, masuklah seorang pria berkacamata dengan rambut klimis dengan proporsi belahan 8-2. Cupu sekali.
Ketika lift mulai bergerak naik, didengarnya percakapan beberapa karyawan.
“Bu Dira akan menikah dengan pemilik Jazz Café, kau sudah dengar?”
“Ah, benar. Kupikir mereka dijodohkan, tapi dengar-dengar, mereka saling jatuh cinta ketika bertemu untuk tanda tangan kerja sama.”
“Wah, romantis sekali. Tapi, mereka memang tampak serasi.”
“Benar. Mereka memang pasangan yang serasi.”
Obrolan tentang keserasian pasangan itu terus berlanjut. Hingga satu-persatu karyawan turun di lantai demi lantai. Meninggalkannya dengan si Cupu. Lalu, didengarnya si Cupu menghela napas keras.
“Pasangan serasi apanya?” dengus si Cupu.
Uh oh, sepertinya ada yang patah hati di sini. Dan si Cupu yang patah hati itu, kebetulan sekali, turun di lantai yang sama dengannya. Kebetulan?
***
Biru mengerutkan kening mendapati sosok yang memakai hoodie hitam dengan tudung terpasang menutupi kepalanya itu juga turun di lantai yang sama dengannya. Orang itu menatap ke koridor depan dan samping sembari mengunyah permen karet dan meniupnya dengan santai. Biru menatap penampilannya dari atas ke bawah. Orang itu memakai celana jeans yang robek-robek dan sepatu sneaker yang tampak lusuh. Tampaknya masih bocah.
“Mas, mau ke mana?” tanya Biru sopan.
Orang itu tak menjawab dan malah berjalan ke koridor lurus di depan mereka. Koridor menuju ruang kantor CEO Dirandra Advertising, Dirandra Bahtiar.
“Permisi,” panggil Biru sembari menyusul pemuda itu. Namun, panggilannya tak digubris.
Bahkan, tiba di pintu ruangan Dira, pemuda itu langsung membuka pintunya tanpa mengetuk dan masuk begitu saja. Biru yang terkejut bergegas menyusul dan menahannya di pintu. Biru mencengkeram bahu pemuda itu kuat.
“Apa yang kau lakukan?” tuntut Biru waspada. “Siapa kau?”
Pemuda itu akhirnya menatap Biru, membuat Biru bisa melihat wajahnya dengan jelas. Wajahnya tampak kecil, matanya berwarna … madu. Sekilas, wajah itu mengingatkan Biru pada wajah boneka-boneka cantik kesukaan anak-anak perempuan. Bagaimana bisa … seorang pemuda memilik wajah secantik ini?
“Oh, kau sudah datang?” Sambutan itu datang dari Dira yang beranjak dari meja kerjanya dan menghampiri mereka sembari tersenyum.
Biru menatap Dira keheranan. “Bu Dira kenal anak ini?” tanyanya.
Dira mengangguk. “Aku kenal dia, jadi kau tak perlu bersikap resmi di depanku,” balas Dira geli.
Biru kembali menatap pemuda yang mengempas tangan Biru di bahunya dengan kasar itu.
“Jadi, kau yang akan menikah dengan Remy?” tanya pemuda itu. Suaranya terdengar malas-malasan, seperti diseret. Meski suaranya terdengar bernada cukup tinggi untuk ukuran seorang pemuda.
Remy? Jeremy? Apa hubungan pemuda ini dengan Jeremy?
Dira mengangguk dan mengulurkan tangan. “Aku Dira. Senang akhirnya bisa bertemu denganmu.”
Pemuda itu menyalami tangan Dira. “Jay,” ucapnya.
Dira tersenyum padanya. “Mulai hari ini, kau akan bekerja di bawah arahan Biru. Kenalkan. Dia adalah Kepala Tim Kreatif perusahaanku. Dia yang berperan penting dalam hasil kreasi produk perusahaan kami,” terang Dira.
Biru memperhatikan ekspesi Dira dan heran melihat betapa hangatnya sambutan Dira pada bocah ini. Tidak. Biru tak pernah melihat Dira seperti ini sebelumnya. Terlebih, untuk orang yang baru pertama kali ditemuinya.
Biru menatap Jay, memperhatikannya dari atas ke bawah. Siapa anak ini sebenarnya?
***
Dira sempat menahan napas ketika pertama kali melihat adik Jeremy itu. Ia sudah diberi peringatan tentang pembuat masalah di keluarga Lewis itu, jadi ia tak terkejut dengan penampilannya. Namun, ketika melihat anak itu muncul di depannya, Dira otomatis tersenyum melihatnya. Adiknya … jika dia masih hidup, pastilah dia akan tumbuh seperti anak ini.
Dira kemudian menatap Biru yang tampak memperhatikan adik Jeremy itu dengan seksama. Dira mendengus geli. Dibandingkan dengan penampilan Biru yang begitu rapi, kemeja yang terkancing sampai atas, rambut rapi, kacamata, penampilan adik Jeremy ini sangat bertolak belakang dengannya.
“Biru,” panggil Dira.
Biru akhirnya menatap Dira. “Ya?”
“Aku titip dia, ya?” pinta Dira. “Bantu dia beradaptasi di perusahaan ini.”
Biru hanya mengangguk, tak menyadari masalah apa yang diberikan Dira padanya. Meski Dira merasa bersalah juga, tapi ia tahu, Biru pasti bisa mengatasinya. Biru datang ke perusahaannya setahun setelah perusahaannya berdiri. Bisa dibilang, Biru adalah orang yang berperan besar dalam membangun perusahaan ini. Ide-ide kreatifnya membuat perusahaan mereka dikenal cepat meski masih perusahaan baru. Padahal, saat itu Biru juga masih karyawan magang karena dia masih kuliah.
Setelah Biru lulus kuliah, Dira yang merekrutnya langsung untuk menjadi Kepala Tim Kreatif perusahaannya. Selain Indi, Biru adalah orang kepercayaan Dira di perusahaan ini. Salah satu orang yang bertahan di sampingnya meski harus menghadapi sikap dingin Dira.
Biru menghela napas dan mengangguk kecil. “Baik, Bu.”
Dira mendengus tak percaya. “Apa ini protesmu?”
Biru kembali menghela napas. “Kupikir, kau tidak ingin membangun perusahaan dengan nepotisme di dalamnya.”
“Ini bukan nepotisme,” sahut Dira. “Aku menerima karyawan magang tanpa melihat kemampuan mereka. Aku melatih karyawan magang di perusahaanku. Posisinya saat ini sama seperti posisimu tujuh tahun lalu ketika kau pertama kali datang ke perusahaanku.”
Biru tak bisa mendebat. Akhirnya, dia mengulurkan tangan pada adik Jeremy dan menyebutkan namanya, “Aku Biru.”
Adik Jeremy menatap tangan Biru yang terulur, lalu menatap wajah Biru. “Aku tahu,” jawabnya dingin.
Dira seketika teringat Jeremy. Memang dasar adik-kakak. Jika adik Dira selamat dalam kecelakaan itu, apakah dia akan seperti adik Jeremy ini? Tidak. Dira tak bisa membayangkannya juga. Ia tak bisa membayangkan adiknya tumbuh tanpa orang tua seperti Dira. Seperti adik Jeremy.
Ketika adik Jeremy itu sudah akan pergi, Dira menahan tangannya. Lalu, tanpa mengatakan apa pun, Dira memeluk anak itu. Tebersit dalam benak Dira, apakah anak ini juga merasa bersalah dan kesepian, sama seperti Dira?
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65