Bab 19 Engagement Party

by Ally Jane 17:15,Jan 22,2021
Meski keberadaan Jenna masih belum diketahui, tapi malam itu pesta pertunangan Jeremy dan Dira tetap berlangsung. Namun, di tengah pesta, Dira sempat melihat sosok Jenna di tengah tamu undangan. Gadis itu memakai pakaian waiter, memakai wig pria, dan kacamata.
Dira sudah akan meninggalkan sisi Jeremy, tapi ditahan pria itu.
“Kau mau ke mana?” tuntut Jeremy.
“Jenna,” jawab Dira.
Jeremy seketika waspada dan menatap sekitar. “Di mana dia?”
Dira kembali menatap ke titik tempat terakhir kali melihat Jenna, tapi gadis itu tak ada di sana. Dira menoleh ke sekeliling ruangan, tapi tak menemukan Jenna di mana pun.
Lalu, dirasakannya Jeremy menggandeng tangannya dan menariknya pergi dari lantai dua, tempat mereka berada, untuk turun ke lantai satu.
“Di mana kau melihatnya?” tanya Jeremy sembari menatap sekitar.
Kali ini, ganti Dira yang menggandeng tangan Jeremy ke tempat di mana tadi dia melihat Jenna.
“Dia memakai seragam waiter, wig, dan kacamata,” beritahu Dira.
Jeremy mendecak kesal. Pria itu menatap ke lantai dua dan langsung mendesis. Dira mengikuti arah pandang pria itu dan terkejut melihat Jenna ada di lantai dua. Itu pun, hanya beberapa meter dari tempat kakek Jeremy dan kakek Dira berada. Jenna tersenyum miring dan mengangkat gelas sampanye di tangannya.
Jeremy menggandeng Dira untuk naik ke tangga, tapi ketika mereka tiba di bawah tangga, dari tempatnya, Jenna melepaskan gelasnya di udara, tertuju ke kepala Jeremy dan Dira.
Dira mendengar umpatan kesal Jeremy sebelum pria itu menarik Dira dalam pelukannya, lalu pria itu membungkuk di atas Dira. Terdengar suara pekikan panik orang-orang, lalu suara gelas pecah.
Ketika Jeremy melepas pelukannya dan hendak menaiki tangga, Dira menahan tangan pria itu tatkala melihat cairan merah mengalir dari sela rambutnya.
“Kau … kepalamu …”
Jeremy menyentuh keningnya, sepertinya merasakan darahnya yang mengalir di sana.
“Ugh … Jenna …” geram Jeremy.
Begitulah, pesta pertunangan Jeremy dan Dira berakhir dengan mengerikan.
***
“Kau dari mana hingga baru pulang selarut ini?” tuntut Biru ketika Jenna kembali ke apartemennya malam itu. Biru mengernyit terganggu melihat pakaian Jenna. Pakaian waiter. Ah, Jenna tak sempat berganti pakaian karena harus kabur.
Jenna tersenyum pada pria itu. “Bersenang-senang.”
“Seharusnya kau pulang ke rumahmu setelah bersenang-senang,” sengit Biru.
Jenna menggeleng. “Aku pasti akan dipaksa menikah begitu aku pulang.”
“Apa?”
“Kau sudah dengar tadi,” sahut Jenna cuek sembari duduk di sofa ruang tamu, di sebelah pria itu.
“Dan aku tidak peduli,” tukas Biru. “Jadi, pergilah dari rumahku sekarang.”
“Kau mau kutuntut sebagai penculikku?” balas Jenna.
“Aku tidak peduli,” jawab Biru seraya berdiri. “Pergi dari sini,” usir pria itu sembari menatap Jenna tajam.
“Kau mulai kesal lagi karenaku, kan?” Jenna tersenyum senang.
“Pergilah sebelum aku benar-benar marah,” jawab Biru.
Jenna menggeleng. “Aku di sini untuk melihatmu marah. Kenapa aku harus pergi?”
“Tidakkah kau memikirkan keluarga yang mengkhawatirkanmu?” sembur Biru.
Jenna kontan tertawa mendengar itu. “Keluarga yang mengkhawatirkanku? Mereka hanya mengkhawatirkan diri mereka sendiri.”
“Dira mengkhawatirkanmu!” bentak Biru.
Jenna mengangkat alis. “Jadi, kau melakukan semua ini untuk dia?”
Biru tak mengatakan apa pun.
Jenna mendengus geli. “Aku tahu, kau menyukai Dira,” ungkap Jenna.
Biru tampak terkejut.
“Tidak apa-apa. Aku mengerti perasaanmu. Dia memang wanita yang keren. Iya, kan?” Jenna menaikkan kaki ke sofa dan berbaring di sana.
“Kau …”
“Kita bisa merebutnya dari Remy,” sela Jenna.
Biru melotot kaget. “Apa katamu?”
Jenna menatap Biru dengan ekspresi tenang. “Aku baru saja menghadiri pesta pertunangan mereka dan membuat kekacauan kecil.”
“Apa kau sudah gila?!” bentak Biru.
Jenna tergelak menanggapi emosi Biru. “Aku berencana mengacaukan pesta pernikahan mereka juga. Kau mau bergabung?”
Biru tak menjawab, tapi pria itu membungkuk dan mengambil ponselnya di meja ruang tamu. Ck, pria itu benar-benar harus belajar menghadapi Jenna dengan baik.
Jenna menendang tangan pria itu hingga ponselnya terlempar, lalu menangkap ponsel pria itu. Tampak pria itu menghubungi nomor Dira dan Jenna mematikannya.
“Jangan mengganggunya sekarang. Dia pasti sedang sibuk mengurus kepala kakakku yang bocor karena kulempar gelas,” ucap Jenna sembari tersenyum.
“APA?” Biru tampak shock. Reaksi yang wajar.
“Karena itu, jangan memancingku. Tidak sulit bagiku untuk membuatmu pingsan saat ini juga.” Jenna membuka aplikasi chat di ponsel Biru yang dipegangnya, tapi keningnya berkerut melihat nomor-nomor yang tak disimpan di semua chat itu.
Jenna yang penasaran pergi mengecek kontak di ponsel itu dan hanya menemukan nama Dira. Jenna menghindar dengan mudah ketika Biru hendak menyambar ponselnya. Kali ini ia berbaring telungkup di atas sofa, lalu memasukkan nomornya ke ponsel Biru.
“Ini nomor terbaruku. Nomorku yang satunya sudah kubuang agar tak ada yang bisa melacak keberadaanku,” urai Jenna. Ia kembali berbaring telentang sembari melempar ponsel di tangannya kembali pada pemiliknya.
Biru berhasil menangkap ponsel itu meski Jenna melemparnya asal. Refleksnya bagus juga.
“Dan jangan repot-repot menghubungi Dira. Besok aku akan menghubunginya sendiri. Sekarang, biarkan aku tidur. Sudah malam dan aku mengantuk.” Jenna menempatkan dirinya dalam posisi berbaring yang nyaman di sofa itu, lalu melipat lengan di dada dan memejamkan mata. “Matikan lampunya sebelum kau pergi ke kamarmu,” pesannya.
Jenna mendengar dengusan kesal, lalu langkah meninggalkan ruang tamu. Jenna mendecak kesal karena pria itu tak mematikan lampunya. Namun, ketika ia akan membuka mata, ia merasakan sesuatu jatuh di wajahnya. Kain. Selimut. Jenna menarik selimut itu dari wajahnya dan mendapati kegelapan di ruangan itu. Lampu sudah dimatikan. Lalu, didengarnya suara pintu kamar tidur yang ditutup keras.
Jenna mendengus pelan. Seperti yang dikatakan Dira, Jenna adalah pemicu bom dalam diri Biru. Pria itu selalu saja emosi jika Jenna ada di dekatnya. Meski, seringnya Jenna melakukan itu dengan sengaja.
***
Biru melepas kacamata dan melemparnya asal ke meja samping tempat tidur, sebelum mengempaskan tubuh di atas tempat tidur dan memejamkan mata. Namun, sedetik kemudian, ia kembali membuka mata. Ia menoleh ke sisi dinding yang membatasi kamarnya dengan ruang tamu.
Apa yang harus ia lakukan dengan gadis itu?
Biru menghela napas dan kembali menatap langit-langit kamar. Besok. Besok pagi ia akan menghubungi Dira. Sekarang, sepertinya ia harus membiarkan Jenna tidur dulu. Toh, ini sudah larut.
Meski begitu, hingga satu jam kemudian, Biru masih tidak bisa tidur. Isi kepalanya begitu berisik seolah ada Jenna yang berlarian di sana. Bahkan ketika gadis itu tidur, dia begitu berisik di kepala Biru.
Kesal dan frustrasi, Biru beranjak dari tempat tidurnya dan keluar ke ruang tamu. Ruangan yang gelap itu begitu hening. Hanya terdengar suara dengkur keras dari Jenna. Setelah membuat hidup Biru begitu berisik, gadis itu masih bisa tidur senyenyak itu.
Besok. Hanya sampai besok, Biru akan membiarkan gadis itu tetap di rumahnya. Besok pagi, begitu Jenna bangun, Biru akan mengusirnya. Bagaimanapun caranya.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65