Bab 16 Dua Bersaudara

by Ally Jane 17:14,Jan 22,2021
Jenna mengunyah permen karet dan memakai tudung hoodie-nya ketika keluar dari lift. Ia menghela napas melihat jejeran bodyguard yang sudah menunggunya di depan pintu gedung itu. Jenna menyampirkan tali ransel di bahunya dan berhenti di tengah lobi kantor itu, sementara para karyawan melewatinya dan keluar dari gedung kantor. Entah berapa lama Jenna berdiri di sana.
“Apa yang kau lakukan?” Suara itu membuat Jenna memutar tubuh.
Ia terkejut mendapati kakaknya ada di sana. Di sebelahnya, ada Dira juga. Jenna berdehem, berusaha bersikap sesantai mungkin.
“Aku hanya … ingin berdiri saja di sini,” jawab Jenna.
Jeremy mendengus tak percaya. “Tapi, kudengar kau pindah apartemen lagi.”
Jenna memutar mata. “Kau dan Kakek selalu bisa menemukanku ke mana pun aku pindah,” dengusnya.
“Apa kau bodoh? Bodyguard yang mengikutimu itu adalah orang-orang yang dibayar mahal Kakek untuk itu,” sebut Jeremy.
“Aku pindah apartemen untuk berusaha kabur, sebenarnya. Aku cukup terkesan ketika bangun di pagi hari dan mendapati para robot bayaran Kakek itu sudah ada di depan apartemen baruku,” sahut Jenna.
“Karena itu, tak ada gunanya kau berusaha kabur. Kami akan selalu menemukanmu,” jawab Jeremy dingin.
“Aku curiga Kakek memasang alat pelacak di tubuhku,” tuduh Jenna.
“Mungkin,” balas kakaknya enteng. “Karena itu, jangan lagi membuang waktumu untuk melakukan hal bodoh seperti itu. Kau seharusnya bersyukur karena masih diberi kebebasan untuk tinggal sendiri dan melakukan apa pun yang kau inginkan.”
Jenna mendengus kesal. “Tapi … “Jenna menatap Jeremy dan Dira bergantian, “kalian benar-benar hebat, bisa membuat orang-orang berpikir kalian menikah bukan karena perjodohan.”
“Memang bukan,” tukas Jeremy dingin.
Jenna tertawa meledek. “Aku mengenalmu seumur hidupku. Mana ada wanita yang bisa jatuh cinta padamu? Kau bahkan tak tahu bagaimana cara memperlakukan wanita dengan baik. Kau hanya peduli pada dirimu sendiri.” Jenna menatap Dira. “Kau juga pasti sudah tahu itu tentang Remy, kan?”
Dira mengangguk santai. “Kami mirip satu sama lain, karena itu kami cocok.”
“Ah, benar juga,” dengus Jenna pelan. “Kalian memang mirip satu sama lain. Benar, kalian memang pasangan serasi. Aku bisa membayangkan kehidupan rumah tangga kalian. Aku yakin, rumah kalian akan setenang area pemakaman.” Jenna tersenyum meledek, lalu berbalik dan pergi.
Jenna menghela napas ketika para bodyguard kakeknya melihatnya. Jeremy bilang, Jenna harus bersyukur karena diberi kekebasan tinggal sendiri dan melakukan apa pun yang ia inginkan. Namun, bahkan sejak Jenna meninggalkan rumah kakeknya, ia tak pernah merasakan kebebasan yang disebutkan kakaknya itu. Jenna bahkan belum pernah sekali pun melakukan apa yang ia inginkan.
***
Dira masih belum beranjak dari tempatnya, sementara tatapannya mengikuti Jenna yang melangkah keluar dari gedung kantornya. Gadis itu berjalan dikelilingi para bodyguard menuju mobil hitam yang sudah terparkir di depan lobi.
“Apa itu kau sebut kebebasan?” singgung Dira.
“Untuk kami, itu kebebasan,” jawab Jeremy. “Seharusnya kau tahu, untuk orang-orang seperti kita, tidak pernah ada kebebasan. Ada saham yang dipertaruhkan, ada nama yang harus dijaga. Seolah kita yang meminta nama ini.”
Dira menoleh pada Jeremy dan melihat sorot sedih di matanya yang juga menatap ke depan, ke arah Jenna. Namun, sorot itu segera berganti ketika pria itu menoleh menatap Dira.
“Apa Jenna sudah membuang kalung tadi?” tanya Jeremy.
“Apa kau tahu, Jenna benar-benar membuang semua barang-barang yang kau berikan padanya?” sebut Dira.
Jeremy mengangguk. “Aku memang memintanya untuk membuangnya.”
Dira mendengus tak percaya. “Apa kau tak pernah memberi adikmu hadiah?”
Jeremy mendengus. “Untuk apa?”
“Kau ingin memberinya hadiah, kan? Tapi, kenapa kau malah memintanya membuangnya?” singgung Dira.
“Jangan salah paham,” sengit Jeremy. “Aku memang memintanya membuangnya.”
“Kenapa tidak kau berikan saja pada Jenna, daripada membuangnya seperti itu?” tanya Dira.
“Jika dia suka, dia tidak akan membuangnya, kan?” sahut Jeremy datar. “Dia membuangnya karena dia tidak suka.”
Dira tertegun. Astaga, dua bersaudara ini. Tahukah Jeremy, Jenna bahkan tak pernah membuka barang-barang itu?
***
Biru yang sudah keluar dari gedung kantor berhenti dan menoleh ketika mendengar kasak-kusuk di belakangnya.
“Ternyata dia adalah adik dari Jeremy Lewis, calon suami Bu Dira.”
“Lihat itu! Dia sampai dijemput para bodyguard.”
“Kudengar, dia memang suka membuat masalah. Bahkan di kantor pun begitu. Tidak heran jika dia sampai harus diikuti bodyguard itu.”
“Mungkin bodyguard itu dibayar bukan untuk melindunginya, tapi melindungi orang-orang di sekitarnya.”
Obrolan tentang Jenna itu terus berlanjut. Namun, tatapan Biru bergerak ketika mobil sedan hitam yang ditumpangi Jenna melewatinya. Di kursi belakang, tampak Jenna menatap keluar dengan ekspresi dingin. Namun, matanya … tampak sedih.
Biru mengernyit. Lalu, tanpa disadarinya, kakinya melangkah cepat mengejar mobil itu. Mobil itu sempat berhenti sebelum keluar dari area kantor ke jalan raya. Biru mengetuk keras bagian belakang mobil itu. Dari kaca spion, Biru melihat salah satu bodyguard juga melihatnya, lalu turun dari mobil.
“Ada apa?” tanya bodyguard itu.
Biru melangkah hingga tiba di samping pintu mobil di sisi Jenna duduk. “Aku kepala timnya, ada yang harus kubicarakan dengannya.”
Biru terdorong ketika pintu di sebelahnya terbuka dengan cukup keras. Jenna keluar dari mobil itu dan menatap Biru dengan sorot geli.
“Apa kau baru menyadari jika aku membawa laptopmu pulang?” tanya gadis itu.
Biru mengerutkan kening. “Laptop apa?”
“Laptop pribadimu,” sahut Jenna sembari menunjuk ke dalam mobil.
Biru melihat ransel yang tergeletak di jok belakang mobil itu. Ia ingat ransel itu. Tadi Jenna ingin meminjam tas padanya, tapi Biru hanya punya ransel laptop, jadi ia meminjamkan itu pada Jenna. Ia tak tahu jika gadis itu akan benar-benar menggunakan ransel laptop itu untuk mencuri laptopnya.
“Untuk apa kau membawa laptopku?” tanya Biru heran.
“Untuk membuatmu kesal. Lihat, kan? Sekarang kau bahkan mengejar mobilku karena itu.” Jenna tersenyum geli.
“Apa kau lupa, aku punya wewenang untuk memecatmu?” Biru mengingatkan gadis itu.
“Ey … kau tidak akan memecatku hanya karena candaan seperti ini, kan?” Jenna meninju lengan Biru dengan santai.
“Ikut aku!” perintah Biru kemudian.
Jenna mendengus pelan, tapi gadis itu kemudian mengambil ransel laptop yang tadi dipinjamnya dari Biru dan mengikuti Biru berjalan keluar dari area kantor. Biru berbelok ke kafe yang berada tepat di samping gedung kantor.
“Kafe ini pasti sepi setelah kakakku membuka kafenya di gedung kantormu,” celetuk Jenna ketika mereka masuk ke kafe itu.
Biru tak menanggapi itu dan pergi memesan di counter pemesanan. Ia memesan iced cappuccino sementara Jenna memesan blueberry juice. Biru menoleh kaget mendengar pesanan gadis itu.
“Kopi itu pahit,” Jenna membela diri.
Biru berdehem, lalu mengeluarkan kartu untuk membayar.
“Aku boleh pesan kue juga?” tanya Jenna tiba-tiba.
Biru mengerutkan kening.
“Strawberry cream cake,” sebut Jenna pada karyawan kafenya meski Biru belum menjawabnya.
Namun, Biru membayar untuk itu juga. Mereka kemudian duduk untuk menunggu pesanan mereka diantarkan. Jenna tampak lebih ceria dibandingkan saat Biru melihatnya di dalam mobil tadi.
“Kau tidak suka pulang dengan orang-orang itu?” tanya Biru tanpa tedeng aling-aling.
Jenna mengangkat alis. “Apa?”
“Orang-orang yang menjemputmu tadi. Kau tidak suka pulang bersama mereka?” tanya Biru lagi.
Jenna mendengus geli. “Tidak ada seorang pun yang suka dijemput bodyguard sebanyak itu. Aku bahkan bukan tawanan penjara.”
Biru diam-diam menghela napas. Ia tak tahu apa yang ia lakukan ini. Ia tahu siapa Jenna Lewis. Ia tahu bagaimana gadis itu hidup selama ini. Namun, kenapa … ia bereaksi seperti ini?
“Aku benar-benar hanya bercanda membawa laptopmu pulang,” ucap Jenna kemudian sembari meletakkan ransel yang dibawanya ke meja. “Kau tidak akan memecatku karena ini, kan?”
“Tak bisakah kau berhenti membuat masalah di kantor?” desis Biru kesal.
“Jika kau bisa membuatku jatuh cinta, aku akan berhenti membuat kekacauan. Baik itu kekacauan dengan sengaja, maupun tidak disengaja,” tantang Jenna.
Biru mendengus tak percaya. “Apa itu artinya, kau tidak akan berhenti membuat kekacauan, baik secara sengaja maupun tak disengaja?”
Jenna tergelak. “Kau cepat sekali tanggap dalam hal seperti itu. Pria yang keren dan tampan saja tidak membuatku tertarik. Apalagi yang cupu sepertimu.”
Biru menarik napas dalam.
“Tapi, kau mau tahu rahasiaku?” Jenna mendekatkan kepala ke arah Biru.
Biru menyipitkan mata curiga. Gadis ini pasti berniat melakukan sesuatu padanya. Namun, Jenna kemudian hanya berbisik,
“Aku tidak tertarik pada pria. Justru, orang seperti bosmu itu yang menarik bagiku.”
Biru melotot mendengar itu. “Kau …”
“Ah, pesananku sampai!” Seruan Jenna itu menahan kalimat Biru karena kedatangan karyawan kafe.
Jenna langsung menyendok kue yang baru saja diletakkan di meja di depannya. Gadis itu makan dengan cepat.
“Apa kau tidak pernah makan kue?” tegur Biru.
“Ya,” jawab Jenna sembari menatap Biru. “Ini pertama kalinya aku makan kue lagi setelah lima tahun lebih.” Gadis itu tersenyum.
Biru mengernyit. Sepertinya, ada yang Biru lewatkan tentang gadis ini.
“Omong-omong, terima kasih,” ucap Jenna kemudian.
Biru mengerutkan kening. “Karena aku membelikanmu kue?”
Jenna tersenyum dan menggeleng. “Karena memberiku kesempatan untuk membalas kakekku.”
Biru tak tahu apa maksudnya itu hingga tiba-tiba, sendok di tangan Jenna terlepas dari tangannya dan jatuh ke lantai. Menyusul itu, Jenna juga kemudian jatuh dari kursinya.
Biru yang panik bergegas menghampiri Jenna. Namun, kemudian rombongan bodyguard yang menunggu Jenna di luar kafe, berhamburan masuk dan langsung mengecek nadi Jenna.
“Nona memakan kue krim!” seru bodyguard yang masih berdiri. “Siapkan mobil! Kita harus segera membawa Nona ke rumah sakit!”
Mendengar itu, Biru berdiri dan bertanya pada bodyguard itu. “Apa maksudmu? Kenapa ke rumah sakit?”
“Nona Jenna alergi telur,” jawab bodyguard itu sebelum berlari keluar dan membukakan pintu kafe.
Sementara para bodyguard itu menggendong Jenna keluar, Biru mematung di tempatnya. Ia menunduk dan melihat tangannya sendiri gemetar.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65