Bab 9 Pilihan yang Salah?
by Ally Jane
17:11,Jan 22,2021
Dira menghabiskan sorenya di ruang kerjanya dengan membaca catatan dari Indi tentang menjadi pasangan yang sempurna.
Poin pertama, panggilan sayang. Dira sudah berlatih berkali-kali tadi dan bergidik jijik sendiri setelahnya. Maka, ia berlanjut ke poin kedua.
Selalu tersenyum saat menatap mata pasangan. Dira mengambil ponsel dan menyalakan kamera depannya, lalu tersenyum pada bayangan dirinya sendiri dari lensa kamera. Dira mengernyit tak suka. Senyumnya tampak palsu. Dira menghabiskan lima menit untuk berlatih tersenyum sebelum memutuskan untuk berlanjut ke poin berikutnya.
Banyak melakukan sentuhan, seperti menggenggam tangan, merapikan rambut, mengusap wajah, mengecup pipi atau kening … euh! Dira menyambar bolpoin di meja kerjanya dan mencoret bagian itu. Indi benar-benar sudah gila. Dira ingat bagaimana tadi Indi bahkan tersenyum-senyum saat mengucapkan itu.
Lanjut ke poin berikutnya saja. Sering bertemu, makan bersama, kencan, dan lain sebagainya. Itu menunjukkan hubungan yang harmonis menurut Indi. Itu lebih mudah, menurut Dira. Mungkin ia akan sering-sering menggunakan trik itu.
Suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuat Dira mendongak ke pintu yang sudah terbuka. Tampak kakeknya muncul dari balik pintu.
“Kau bekerja?” tanya kakeknya.
“Ah, hanya mengecek beberapa hal untuk persiapan pesta pernikahanku dan Jeremy,” jawab Dira.
Kakeknya manggut-manggut. “Kau tidak jalan-jalan dengan Remy? Bukankah seharusnya kalian menghabiskan akhir pekan bersama?”
“Oh, kemarin kami sudah bertemu,” jawab Dira. Syukurlah, kemarin keputusan bagus ia pergi ke rumah Jeremy dan ikut ke acara di kafenya itu.
Kakeknya kembali manggut-manggut. “Kau tidak merindukannya?” tanya kakeknya tiba-tiba.
Dira tak tahu harus menjawab apa selama beberapa saat.
“Kau tidak ingin mengundangnya makan malam di rumah? Dia pasti belum pernah mencoba masakanmu, kan?” tanya kakeknya antusias.
Dira berpikir cepat. “Aku tidak tahu apa dia ada waktu malam ini. Karena dia mengurus kafe, kadang di akhir pekan ada acara di kafenya dan dia harus mengurusnya sendiri,” Dira beralasan.
“Baiklah, kau coba hubungi dia sekarang,” pinta kakeknya.
“Se-sekarang, Kek?” kaget Dira.
Kakeknya mengangguk. “Ajak dia makan malam ke sini dengan kakeknya.” Kakeknya bahkan menunggu di pintu ruang kerja Dira, membuat Dira tak bisa berkutik.
Dira masih berpikir keras untuk menolak, tapi tangannya tetap bergerak mengambil ponsel. Setelah tak menemukan alasan untuk menolak, Dira berharap ponsel pria itu mati ketika Dira menghubunginya.
Namun, memang sialnya Dira, panggilannya terhubung dan Jeremy mengangkat teleponnya.
“Ada apa?” Suara itu terdengar dingin.
“Aku … itu …” Dira melirik kakeknya yang tersenyum antusias, menunggu di pintu ruang kerjanya. “Kakek ingin mengundang kau dan kakekmu ke rumah untuk makan malam. Apa kau ada waktu?” tanya Dira.
Jeremy tak langsung menjawab. “Ya.” Hanya itu jawaban Jeremy setelah diam beberapa saat, sebelum dia menutup telepon.
Dira berpikir cepat dan terus berbicara pada ponselnya meski sambungan telepon telah terputus, “Oh, baiklah. Sampai jumpa nanti.” Dira kemudian menurunkan ponsel dari telinga dan tersenyum pada kakeknya. “Ya, dia bisa datang, Kek.”
Kakeknya mengangguk puas. “Baiklah, kau lanjutkan saja dulu pekerjaanmu, Kakek akan meminta chef membantu menyiapkan bahan masakan untukmu. Kau mau masak apa malam ini?”
“Beef spaghetti kesukaan Kakek,” jawab Dira. “Tolong minta merka menyiapkan beef-nya saja dulu, Kek.”
Kakeknya tersenyum dan mengangguk. “Baiklah,” ucap kakeknya sebelum kembali menutup pintu dan pergi.
Dira mengembuskan napas lega dan menunduk menatap ponselnya. Ugh, calon suaminya itu benar-benar … manusia es dari kutub selatan!
***
“Apa kau tak bisa berinisiatif mengundang mereka makan malam dulu? Kenapa selalu mereka yang lebih dulu mengundang kita makan malam?” Suara kesal kakeknya itu menyambut Jeremy yang baru tiba di ruang tamu rumah kakeknya.
Jeremy berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, “Aku kemarin sudah keluar seharian bersama Dira. Kupikir, hari ini dia ingin istirahat, jadi aku tak ingin mengganggunya.”
“Mengganggu? Pasangan itu memang harus sering bertemu! Apa yang mengganggu dari pertemuan?” sembur kakeknya.
Jeremy berdehem. “Dira sibuk dengan perusahaannya, dan aku …”
Kakeknya mendengus meremehkan. “Tentu saja. Dia sibuk, karena itu, kaulah yang seharusnya lebih sering datang lebih dulu padanya! Kau mungkin hanya bermain-main di kafe kecilmu itu, tapi Dira itu memegang perusahaan yang dia bangun sendiri dari nol! Perusahaannya itu bahkan sangat membantu saham perusahaan kakeknya. Bahtiar beruntung punya cucu yang mewarisi kemampuan bisnisnya!”
Jeremy mendengus tak percaya. Hanya karena wanita itu bekerja di perusahaan, sementara Jeremy bekerja di luar perusahaan, nilai mereka menjadi begitu berbeda.
“Kau bahkan tidak bisa mengatur adikmu!” sengit kakeknya sembari berdiri dan berjalan melewati Jeremy.
Jeremy mengepalkan tangannya marah, tapi berusaha mengendalikan emosinya dengan menarik napas dalam. Jeremy mendengar suara mobil kakeknya meninggalkan halaman rumah kakeknya, maka ia pun segera keluar dari rumah itu dan membawa mobilnya pergi menuju rumah Dira.
Jeremy berusaha untuk menenangkan diri sepanjang perjalanan, meski tak sepenuhnya berhasil. Untuk seseorang yang telah menghancurkan keluarga Jeremy, kakek tua itu tidak berhak berbicara seperti itu tentang adik Jeremy. Emosi yang mengoyak dadanya saat ini terasa menyakitkan, tapi Jeremy berhasil meredamnya hingga mobilnya tiba di depan rumah mewah Bahtiar.
Ketika Jeremy dan kakeknya masuk ke rumah itu, Bahtiar menyambut Jeremy dan kakeknya dengan gembira. Kakek Dira itu memamerkan tentang Dira yang memasak makanan kesukaannya. Mereka duduk di ruang tamu selama setidaknya sepuluh menit sembari mengobrol basa-basi, hingga Dira muncul di pintu ruang tamu dan memberitahu jika makan malam sudah siap.
Kakek Dira dan kakek Jeremy sudah pergi, tapi Jeremy masih tak beranjak dari duduknya. Ia menatap Dira tajam.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Jeremy.
Dira mengangguk. “Ke ruang kerjaku saja,” ajak wanita itu.
Jeremy akhirnya berdiri dan mengikuti Dira ke ruang kerja wanita itu. Dira membuka pintu, lalu menepi, membiarkan Jeremy masuk lebih dulu. Begitu Dira juga masuk dan terdengar suara pintu ruang kerja itu ditutup, Jeremy berbalik dan menatap wanita itu.
“Apa yang kau lakukan ini?” tuntut Jeremy. “Kupikir, kita menikah karena tidak ingin ada pertemuan-pertemuan yang membuang waktu seperti ini.”
“Kakekku yang …”
“Untuk apa aku membuang waktu dan tenagaku dengan datang kemari, hah?!” bentak Jeremy.
Dira mengernyit. “Kau pikir aku melakukan ini karena aku menginginkannya?” Wanita itu tampak tersinggung. “Aku sudah berkata, kita hanya harus menahan diri sampai kita menikah. Kau pikir, aku punya banyak waktu untuk dihabiskan dengan memasak untuk orang asing? Aku juga tidak menginginkan ini, aku juga tak menginginkan kau di sini, tapi kakekku yang menginginkannya. Seharusnya kau tahu itu! Jadi, kenapa kau semarah ini padaku untuk hal yang kita berdua sudah tahu?”
Jeremy seolah tertampar oleh kata-kata Dira itu. Benar. Wanita itu juga tak menginginkan ini. Wanita itu juga mungkin tak tahu apa yang membuat Jeremy semarah ini saat ini. Jeremy hanya melampiaskannya pada Dira saat ini, bahkan ketika wanita itu tak tahu apa pun.
“Apa ini adalah pilihan yang salah?” tanya wanita itu kemudian. “Jika menurutmu pilihan yang kita ambil ini salah, kita selesaikan saja di sini.”
Jeremy mengernyit. Mendengar itu, perlahan otaknya kembali berpikir, menyingkirkan kabut emosinya. Jeremy menarik napas dalam.
“Tidak. Tidak ada yang salah dengan solusi yang kita pilih. Ini hanya karena kita bertemu dan saling berbicara. Kau benar, kita hanya harus menahannya sampai kita menikah. Begitu kita menikah, kita tak perlu saling bicara, tak perlu sering bertemu, dan tak akan ada masalah,” ucap Jeremy. “Aku terbawa emosi tadi.”
Dira mendengus sinis. “Aku tak peduli apa masalahmu. Selama itu tak ada sangkut-pautnya denganku, jangan pernah melampiaskannya padaku. Lain kali kau melakukan ini, aku benar-benar akan membatalkan kesepakatan kita!”
Setelah mengatakan itu, Dira berbalik dan hendak membuka pintu, tapi Jeremy bergegas menghampiri dan menahan tangan wanita itu. Dira tampak terkejut ketika menatapnya.
“Kita membicarakan tentang konsep pernikahan dan tamu undangan,” ucap Jeremy sembari menggandeng tangan Dira dan membuka pintu ruangan itu, lalu keluar dengan tangan Dira dalam genggamannya.
Jeremy mendengar dengusan jijik Dira di belakangnya. “Manusia licik bermuka dua,” desis wanita itu.
Jeremy bahkan tak punya hak untuk protes atau membantah. Pertama, karena apa yang dikatakan wanita itu benar. Kedua, karena wanita itu berhak memaki Jeremy saat ini, setelah apa yang dilakukan Jeremy padanya tadi.
***
Poin pertama, panggilan sayang. Dira sudah berlatih berkali-kali tadi dan bergidik jijik sendiri setelahnya. Maka, ia berlanjut ke poin kedua.
Selalu tersenyum saat menatap mata pasangan. Dira mengambil ponsel dan menyalakan kamera depannya, lalu tersenyum pada bayangan dirinya sendiri dari lensa kamera. Dira mengernyit tak suka. Senyumnya tampak palsu. Dira menghabiskan lima menit untuk berlatih tersenyum sebelum memutuskan untuk berlanjut ke poin berikutnya.
Banyak melakukan sentuhan, seperti menggenggam tangan, merapikan rambut, mengusap wajah, mengecup pipi atau kening … euh! Dira menyambar bolpoin di meja kerjanya dan mencoret bagian itu. Indi benar-benar sudah gila. Dira ingat bagaimana tadi Indi bahkan tersenyum-senyum saat mengucapkan itu.
Lanjut ke poin berikutnya saja. Sering bertemu, makan bersama, kencan, dan lain sebagainya. Itu menunjukkan hubungan yang harmonis menurut Indi. Itu lebih mudah, menurut Dira. Mungkin ia akan sering-sering menggunakan trik itu.
Suara ketukan di pintu ruang kerjanya membuat Dira mendongak ke pintu yang sudah terbuka. Tampak kakeknya muncul dari balik pintu.
“Kau bekerja?” tanya kakeknya.
“Ah, hanya mengecek beberapa hal untuk persiapan pesta pernikahanku dan Jeremy,” jawab Dira.
Kakeknya manggut-manggut. “Kau tidak jalan-jalan dengan Remy? Bukankah seharusnya kalian menghabiskan akhir pekan bersama?”
“Oh, kemarin kami sudah bertemu,” jawab Dira. Syukurlah, kemarin keputusan bagus ia pergi ke rumah Jeremy dan ikut ke acara di kafenya itu.
Kakeknya kembali manggut-manggut. “Kau tidak merindukannya?” tanya kakeknya tiba-tiba.
Dira tak tahu harus menjawab apa selama beberapa saat.
“Kau tidak ingin mengundangnya makan malam di rumah? Dia pasti belum pernah mencoba masakanmu, kan?” tanya kakeknya antusias.
Dira berpikir cepat. “Aku tidak tahu apa dia ada waktu malam ini. Karena dia mengurus kafe, kadang di akhir pekan ada acara di kafenya dan dia harus mengurusnya sendiri,” Dira beralasan.
“Baiklah, kau coba hubungi dia sekarang,” pinta kakeknya.
“Se-sekarang, Kek?” kaget Dira.
Kakeknya mengangguk. “Ajak dia makan malam ke sini dengan kakeknya.” Kakeknya bahkan menunggu di pintu ruang kerja Dira, membuat Dira tak bisa berkutik.
Dira masih berpikir keras untuk menolak, tapi tangannya tetap bergerak mengambil ponsel. Setelah tak menemukan alasan untuk menolak, Dira berharap ponsel pria itu mati ketika Dira menghubunginya.
Namun, memang sialnya Dira, panggilannya terhubung dan Jeremy mengangkat teleponnya.
“Ada apa?” Suara itu terdengar dingin.
“Aku … itu …” Dira melirik kakeknya yang tersenyum antusias, menunggu di pintu ruang kerjanya. “Kakek ingin mengundang kau dan kakekmu ke rumah untuk makan malam. Apa kau ada waktu?” tanya Dira.
Jeremy tak langsung menjawab. “Ya.” Hanya itu jawaban Jeremy setelah diam beberapa saat, sebelum dia menutup telepon.
Dira berpikir cepat dan terus berbicara pada ponselnya meski sambungan telepon telah terputus, “Oh, baiklah. Sampai jumpa nanti.” Dira kemudian menurunkan ponsel dari telinga dan tersenyum pada kakeknya. “Ya, dia bisa datang, Kek.”
Kakeknya mengangguk puas. “Baiklah, kau lanjutkan saja dulu pekerjaanmu, Kakek akan meminta chef membantu menyiapkan bahan masakan untukmu. Kau mau masak apa malam ini?”
“Beef spaghetti kesukaan Kakek,” jawab Dira. “Tolong minta merka menyiapkan beef-nya saja dulu, Kek.”
Kakeknya tersenyum dan mengangguk. “Baiklah,” ucap kakeknya sebelum kembali menutup pintu dan pergi.
Dira mengembuskan napas lega dan menunduk menatap ponselnya. Ugh, calon suaminya itu benar-benar … manusia es dari kutub selatan!
***
“Apa kau tak bisa berinisiatif mengundang mereka makan malam dulu? Kenapa selalu mereka yang lebih dulu mengundang kita makan malam?” Suara kesal kakeknya itu menyambut Jeremy yang baru tiba di ruang tamu rumah kakeknya.
Jeremy berusaha untuk tetap tenang dan menjawab, “Aku kemarin sudah keluar seharian bersama Dira. Kupikir, hari ini dia ingin istirahat, jadi aku tak ingin mengganggunya.”
“Mengganggu? Pasangan itu memang harus sering bertemu! Apa yang mengganggu dari pertemuan?” sembur kakeknya.
Jeremy berdehem. “Dira sibuk dengan perusahaannya, dan aku …”
Kakeknya mendengus meremehkan. “Tentu saja. Dia sibuk, karena itu, kaulah yang seharusnya lebih sering datang lebih dulu padanya! Kau mungkin hanya bermain-main di kafe kecilmu itu, tapi Dira itu memegang perusahaan yang dia bangun sendiri dari nol! Perusahaannya itu bahkan sangat membantu saham perusahaan kakeknya. Bahtiar beruntung punya cucu yang mewarisi kemampuan bisnisnya!”
Jeremy mendengus tak percaya. Hanya karena wanita itu bekerja di perusahaan, sementara Jeremy bekerja di luar perusahaan, nilai mereka menjadi begitu berbeda.
“Kau bahkan tidak bisa mengatur adikmu!” sengit kakeknya sembari berdiri dan berjalan melewati Jeremy.
Jeremy mengepalkan tangannya marah, tapi berusaha mengendalikan emosinya dengan menarik napas dalam. Jeremy mendengar suara mobil kakeknya meninggalkan halaman rumah kakeknya, maka ia pun segera keluar dari rumah itu dan membawa mobilnya pergi menuju rumah Dira.
Jeremy berusaha untuk menenangkan diri sepanjang perjalanan, meski tak sepenuhnya berhasil. Untuk seseorang yang telah menghancurkan keluarga Jeremy, kakek tua itu tidak berhak berbicara seperti itu tentang adik Jeremy. Emosi yang mengoyak dadanya saat ini terasa menyakitkan, tapi Jeremy berhasil meredamnya hingga mobilnya tiba di depan rumah mewah Bahtiar.
Ketika Jeremy dan kakeknya masuk ke rumah itu, Bahtiar menyambut Jeremy dan kakeknya dengan gembira. Kakek Dira itu memamerkan tentang Dira yang memasak makanan kesukaannya. Mereka duduk di ruang tamu selama setidaknya sepuluh menit sembari mengobrol basa-basi, hingga Dira muncul di pintu ruang tamu dan memberitahu jika makan malam sudah siap.
Kakek Dira dan kakek Jeremy sudah pergi, tapi Jeremy masih tak beranjak dari duduknya. Ia menatap Dira tajam.
“Bisa kita bicara sebentar?” tanya Jeremy.
Dira mengangguk. “Ke ruang kerjaku saja,” ajak wanita itu.
Jeremy akhirnya berdiri dan mengikuti Dira ke ruang kerja wanita itu. Dira membuka pintu, lalu menepi, membiarkan Jeremy masuk lebih dulu. Begitu Dira juga masuk dan terdengar suara pintu ruang kerja itu ditutup, Jeremy berbalik dan menatap wanita itu.
“Apa yang kau lakukan ini?” tuntut Jeremy. “Kupikir, kita menikah karena tidak ingin ada pertemuan-pertemuan yang membuang waktu seperti ini.”
“Kakekku yang …”
“Untuk apa aku membuang waktu dan tenagaku dengan datang kemari, hah?!” bentak Jeremy.
Dira mengernyit. “Kau pikir aku melakukan ini karena aku menginginkannya?” Wanita itu tampak tersinggung. “Aku sudah berkata, kita hanya harus menahan diri sampai kita menikah. Kau pikir, aku punya banyak waktu untuk dihabiskan dengan memasak untuk orang asing? Aku juga tidak menginginkan ini, aku juga tak menginginkan kau di sini, tapi kakekku yang menginginkannya. Seharusnya kau tahu itu! Jadi, kenapa kau semarah ini padaku untuk hal yang kita berdua sudah tahu?”
Jeremy seolah tertampar oleh kata-kata Dira itu. Benar. Wanita itu juga tak menginginkan ini. Wanita itu juga mungkin tak tahu apa yang membuat Jeremy semarah ini saat ini. Jeremy hanya melampiaskannya pada Dira saat ini, bahkan ketika wanita itu tak tahu apa pun.
“Apa ini adalah pilihan yang salah?” tanya wanita itu kemudian. “Jika menurutmu pilihan yang kita ambil ini salah, kita selesaikan saja di sini.”
Jeremy mengernyit. Mendengar itu, perlahan otaknya kembali berpikir, menyingkirkan kabut emosinya. Jeremy menarik napas dalam.
“Tidak. Tidak ada yang salah dengan solusi yang kita pilih. Ini hanya karena kita bertemu dan saling berbicara. Kau benar, kita hanya harus menahannya sampai kita menikah. Begitu kita menikah, kita tak perlu saling bicara, tak perlu sering bertemu, dan tak akan ada masalah,” ucap Jeremy. “Aku terbawa emosi tadi.”
Dira mendengus sinis. “Aku tak peduli apa masalahmu. Selama itu tak ada sangkut-pautnya denganku, jangan pernah melampiaskannya padaku. Lain kali kau melakukan ini, aku benar-benar akan membatalkan kesepakatan kita!”
Setelah mengatakan itu, Dira berbalik dan hendak membuka pintu, tapi Jeremy bergegas menghampiri dan menahan tangan wanita itu. Dira tampak terkejut ketika menatapnya.
“Kita membicarakan tentang konsep pernikahan dan tamu undangan,” ucap Jeremy sembari menggandeng tangan Dira dan membuka pintu ruangan itu, lalu keluar dengan tangan Dira dalam genggamannya.
Jeremy mendengar dengusan jijik Dira di belakangnya. “Manusia licik bermuka dua,” desis wanita itu.
Jeremy bahkan tak punya hak untuk protes atau membantah. Pertama, karena apa yang dikatakan wanita itu benar. Kedua, karena wanita itu berhak memaki Jeremy saat ini, setelah apa yang dilakukan Jeremy padanya tadi.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved