Bab 15 Hati yang Tak Terlihat
by Ally Jane
17:13,Jan 22,2021
“Kudengar, Jenna sudah mulai bekerja di kantormu,” Jeremy membuka percakapan sembari mereka melihat-lihat model cincin dari katalog di toko perhiasan.
Dira mengangguk.
Jeremy penasaran, bagaimana Jenna di kantor hari ini, tapi ia tak sanggup menanyakan itu. Diam-diam Jeremy menghela napas.
“Seperti katamu, adikmu itu benar-benar pembuat masalah.”
Jeremy berdehem. “Apa kau memecatnya?”
Dira mendengus geli. “Kenapa aku memecatnya?”
“Dia tidak bisa bekerja. Dia pasti tidak mau bekerja,” sahut Jeremy.
“Dia pergi ke kantorku karena tidak mau dikurung oleh kakekmu. Dia tidak akan punya pilihan selain bekerja di kantorku,” jawab Dira. “Dengan kata lain, dia akan mendengarkan kata-kataku.”
“Aku tidak tahu apa pekerjaan yang bisa dia lakukan di kantormu. Dia hanya lulus SMA, sejak semester pertama kuliahnya, dia sudah membolos dan berakhir tidak mau masuk kuliah. Selama sekolah pun, tak ada prestasi yang dia dapatkan,” ungkap Jeremy.
Dira menoleh padanya, menatap tajam. “Apa hanya itu yang kau lihat dari adikmu?”
Jeremy agak terkejut melihat tanggapan Dira itu, tapi ia berusaha menjaga eksprersi datar. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
“Bukan berarti kau bisa menghakiminya,” balas Dira. “Aku tahu kau orang yang berhati dingin, atau bahkan tak punya hati. Tapi, dia adikmu. Jika kau tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya, jangan membuatnya tampak buruk di depan orang lain. Kau tak tahu bagaimana perjuangannya selama ini. Kau bahkan tak peduli.”
Jeremy berdehem. “Memangnya, apa yang kau tahu tentang Jenna?”
“Aku mungkin tidak tahu apa pun tentangnya, tapi jika aku punya adik perempuan, aku tidak akan membiarkannya tidur di jalanan. Aku akan selalu ada di sampingnya dan mendengarkan apa yang dia butuhkan. Sebelum kau menyalahkan Jenna, coba kau pikirkan dulu, apa saja yang sudah kau lakukan untuknya,” sengit Dira.
Jeremy tak membalas itu dan mengalihkan dengan pertanayaan, “Kau sudah selesai memilih cincinnya?”
Dira mendengus kasar. “Sudah.” Dira kemudian memanggil karyawan toko itu dan menunjuk dua model cincin yang diinginkannya dari katalog.
Jeremy mengalihkan tatap ke arah lain dan melihat kalung cantik dengan bandul kupu-kupu yang dipajang di box di etalase. Jeremy menghampiri etalase itu. Seorang karyawan toko menghampirinya. Jeremy menunjuk kalung itu.
“Aku ambil itu,” ucap Jeremy.
Karyawan toko tersenyum ramah sembari mengangguk dan mengatakan akan mengemasnya. Lalu, menanyakan apakah itu untuk hadiah atau jika ada kartu ucapan yang ingin ditambahkan.
Jeremy berpikir sejenak, lalu menggeleng. Memangnya, apa yang akan ia ucapkan? Selamat telah mendapat pekerjaan?
***
Beberapa hari setelah memesan cincinnya, sore itu, cincin pesanan Dira tiba di kantornya. Namun, ketika Dira membuka tas berisi cincin pesanannya, ia melihat ada satu kotak perhiasan yang tak dipesannya. Dira mengeluarkan kotak itu dan membukanya. Dira mengerutkan kening melihat kalung dengan bandul kupu-kupu itu.
Apa ini pesanan Jeremy?
Dira mengambil ponsel dan menelepon Jeremy. Begitu pria itu mengangkat teleponnya, Dira bertanya,
“Apa kau memesan kalung?”
“Aku salah membeli,” jawab Jeremy.
Salah membeli? Bagaimana bisa?
“Kalau begitu, aku akan mengembalikan kalung ini ke tokonya,” sahuat Dira.
“Tunggu!” tahan Jeremy.
Dira mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Kalung itu … aku berniat membuangnya.”
“Apa? Membuangnya?”
Jeremy berdehem. “Ya, kau bisa menyuruh Jenna membuangnya.”
Kerutan di kening Dira semakin dalam mendengar itu. “Kau memintaku … menyuruh Jenna membuangnya?”
“Ya,” jawab Jeremy dingin.
Dira menatap kalung di tangannya dan akhirnya melihat maksud Jeremy.
“Apa Jenna suka kupu-kupu?” tanya Dira.
“Entahlah. Dulu dia suka berlari mengejar kupu-kupu,” jawab Jeremy dengan nada cuek.
Dira tersenyum geli mendengarnya.
“Jika tak ada lagi yang ingin kau katakan, aku akan menutup teleponnya,” ucap Jeremy dingin. Seperti biasanya.
“Jika kau sudah pulang, ambillah cincinnya ke kantorku,” perintah Dira.
“Kau saja yang membawanya sampai hari pernikahan kita,” tolak Jeremy.
“Kau harus mencobanya, siapa tahu cincinnya tidak pas di jarimu,” ucap Dira.
Hening sejenak.
“Baiklah. Aku akan ke sana sekarang.” Lalu, telepon ditutup.
Dira mendengus geli sembari meletakkan ponsel dan menatap kotak berisi kalung kupu-kupu di tangannya. Permintaan tak masuk akal apa itu? Menyuruh Jenna membuang kalung ini? Apa pria itu tak bisa mengatakan langsung jika dia ingin memberikannya pada Jenna?
Dira memutuskan untuk segera membereskan pekerjaannya, lalu mengemasi barang-barangnya, dan turun ke lantai tempat Jenna berada. Ketika Dira tiba di ruangan Jenna, dilihatnya gadis itu memutar kursi kerjanya dengan bosan. Namun, ketika melihat Dira, Jenna langsung duduk tegak.
“Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku,” Jenna berkata begitu Dira berdiri di depannya.
Dira melongok menatap layar laptop Jenna yang gelap. Laptopnya bahkan tidak menyala.. “Apa pekerjaan yang kau lakukan hari ini?”
“Memoto kopi beberapa berkas,” jawab Dira.
“Seribu kali,” sahut Biru dari kursinya.
Jenna berdehem. “Itu karena kau tak memberikan penjelasan yang cukup padaku.”
Biru tak menanggapi dan masih fokus pada layar laptopnya.
“Cih, hanya karena itu, kau marah padaku dan tak memberiku pekerjaan,” cibir Jenna.
Biru tak terpancing dan tetap diam. Dira benar-benar harus memuji Biru untuk kerja kerasnya.
“Kalau pekerjaanmu sudah selesai, kau bisa pulang, Jenna,” ucap Dira.
“Benarkah?” Mata Jenna berbinar penuh semangat.
Dira mengangguk, lalu meletakkan kotak perhiasan di meja Jenna. Gadis itu menatap kotak itu dengan kening berkerut.
“Ini apa?” tanya gadis itu.
“Kakakmu memintaku untuk menyuruhmu membuang itu,” jawab Dira.
Jenna manggut-manggut, lalu menyambar kotak itu dan akan melemparnya ke tempat sampah di bawah meja kerjanya. Dira kontan menahan tangan gadis itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Dira kaget, panik.
“Kau bilang, Remy menyuruhku membuangnya,” sebut Jenna.
“Kau tak melihat isinya lebih dulu?” Dira mengingatkan.
“Untuk apa?” balas Jenna. “Aku sudah biasa disuruh membuang barang-barangnya. Bisa kutebak, ini pasti dari wanita-wanita penggemarnya. Mereka pikir, jika mereka bisa menikah dengan Remy, mereka akan mendapat dukungan perusahaan Kakek. Sejak dulu, Remy tak suka jika mendapat hadiah dari mereka, jadi aku akan membuang barang-barang itu untuknya.”
Dira mengerjap tak percaya. Ada apa dengan dua bersaudara ini?
“Bukalah dulu sebelum membuangnya,” perintah Dira. Tak bisa ia bayangkan, berapa banyak hadiah yang diberikan Jeremy pada Jenna dan berakhir di tempat sampah.
Untungnya, Jenna kemudian menurut dan membuka kotak itu. Keningnya berkerut ketika melihat kalung itu.
“Siapa wanita bodoh yang memberikan kalung seperti ini pada Remy?” dengus Jenna. “Pantas saja Remy selalu membuang hadiah-hadiah dari mereka.”
Dira menahan tangan Jenna untuk kedua kalinya ketika gadis itu akan membuang kotak itu lagi. Jenna menatap Dira bingung.
“Kenapa? Kau suka kalung ini?” tanya Jenna. “Kau mau menyimpannya?”
Dira berpikir sesaat. “Kau tidak suka?”
Jenna mendengus. “Kau lihat sendiri tadi. Untuk apa aku memakai kalung seperti itu?”
“Tapi … itu kupu-kupu,” singgung Dira. “Kau … suka mengejar kupu-kupu ketika masih kecil, kan?”
Jenna tiba-tiba tergelak. “Itu ketika aku masih kecil. Apa aku masih tampak seperti anak TK sekarang?”
Dira memutar otaknya dan dengan cepat memutuskan, “Simpan saja itu.”
“Apa? Kenapa?”
Dira berdehem. “Aku menyukainya, tapi aku tidak punya lagi tempat di lemariku. Dan, jika kakakmu memintamu membuang barang-barangnya lagi, jangan langsung dibuang. Beritahu padaku dulu. Jika aku suka, aku akan mengambilnya. Itu adalah pekerjaan yang kuberikan padamu.”
Jenna manggut-manggut. “Baiklah.” Jenna lalu menoleh pada Biru dan berkata, “Lihat, kan? Aku juga bisa bekerja.”
Biru mengalihkan tatap dari layar laptop dan menatap Jenna sesaat, lalu menatap Dira, kemudian mendengus kecil.
“Pantas saja mereka kakak-beradik,” komentar Biru sinis.
Dira tersenyum geli mendengarnya. Bahkan, Biru saja paham apa maksud hadiah-hadiah Jeremy yang diberikan pada Jenna itu.
Setelah kejadian ini, Dira jadi penasaran, bagaimana dua bersaudara itu hidup selama ini?
***
Dira mengangguk.
Jeremy penasaran, bagaimana Jenna di kantor hari ini, tapi ia tak sanggup menanyakan itu. Diam-diam Jeremy menghela napas.
“Seperti katamu, adikmu itu benar-benar pembuat masalah.”
Jeremy berdehem. “Apa kau memecatnya?”
Dira mendengus geli. “Kenapa aku memecatnya?”
“Dia tidak bisa bekerja. Dia pasti tidak mau bekerja,” sahut Jeremy.
“Dia pergi ke kantorku karena tidak mau dikurung oleh kakekmu. Dia tidak akan punya pilihan selain bekerja di kantorku,” jawab Dira. “Dengan kata lain, dia akan mendengarkan kata-kataku.”
“Aku tidak tahu apa pekerjaan yang bisa dia lakukan di kantormu. Dia hanya lulus SMA, sejak semester pertama kuliahnya, dia sudah membolos dan berakhir tidak mau masuk kuliah. Selama sekolah pun, tak ada prestasi yang dia dapatkan,” ungkap Jeremy.
Dira menoleh padanya, menatap tajam. “Apa hanya itu yang kau lihat dari adikmu?”
Jeremy agak terkejut melihat tanggapan Dira itu, tapi ia berusaha menjaga eksprersi datar. “Aku hanya mengatakan yang sebenarnya.”
“Bukan berarti kau bisa menghakiminya,” balas Dira. “Aku tahu kau orang yang berhati dingin, atau bahkan tak punya hati. Tapi, dia adikmu. Jika kau tak bisa menjadi kakak yang baik untuknya, jangan membuatnya tampak buruk di depan orang lain. Kau tak tahu bagaimana perjuangannya selama ini. Kau bahkan tak peduli.”
Jeremy berdehem. “Memangnya, apa yang kau tahu tentang Jenna?”
“Aku mungkin tidak tahu apa pun tentangnya, tapi jika aku punya adik perempuan, aku tidak akan membiarkannya tidur di jalanan. Aku akan selalu ada di sampingnya dan mendengarkan apa yang dia butuhkan. Sebelum kau menyalahkan Jenna, coba kau pikirkan dulu, apa saja yang sudah kau lakukan untuknya,” sengit Dira.
Jeremy tak membalas itu dan mengalihkan dengan pertanayaan, “Kau sudah selesai memilih cincinnya?”
Dira mendengus kasar. “Sudah.” Dira kemudian memanggil karyawan toko itu dan menunjuk dua model cincin yang diinginkannya dari katalog.
Jeremy mengalihkan tatap ke arah lain dan melihat kalung cantik dengan bandul kupu-kupu yang dipajang di box di etalase. Jeremy menghampiri etalase itu. Seorang karyawan toko menghampirinya. Jeremy menunjuk kalung itu.
“Aku ambil itu,” ucap Jeremy.
Karyawan toko tersenyum ramah sembari mengangguk dan mengatakan akan mengemasnya. Lalu, menanyakan apakah itu untuk hadiah atau jika ada kartu ucapan yang ingin ditambahkan.
Jeremy berpikir sejenak, lalu menggeleng. Memangnya, apa yang akan ia ucapkan? Selamat telah mendapat pekerjaan?
***
Beberapa hari setelah memesan cincinnya, sore itu, cincin pesanan Dira tiba di kantornya. Namun, ketika Dira membuka tas berisi cincin pesanannya, ia melihat ada satu kotak perhiasan yang tak dipesannya. Dira mengeluarkan kotak itu dan membukanya. Dira mengerutkan kening melihat kalung dengan bandul kupu-kupu itu.
Apa ini pesanan Jeremy?
Dira mengambil ponsel dan menelepon Jeremy. Begitu pria itu mengangkat teleponnya, Dira bertanya,
“Apa kau memesan kalung?”
“Aku salah membeli,” jawab Jeremy.
Salah membeli? Bagaimana bisa?
“Kalau begitu, aku akan mengembalikan kalung ini ke tokonya,” sahuat Dira.
“Tunggu!” tahan Jeremy.
Dira mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Kalung itu … aku berniat membuangnya.”
“Apa? Membuangnya?”
Jeremy berdehem. “Ya, kau bisa menyuruh Jenna membuangnya.”
Kerutan di kening Dira semakin dalam mendengar itu. “Kau memintaku … menyuruh Jenna membuangnya?”
“Ya,” jawab Jeremy dingin.
Dira menatap kalung di tangannya dan akhirnya melihat maksud Jeremy.
“Apa Jenna suka kupu-kupu?” tanya Dira.
“Entahlah. Dulu dia suka berlari mengejar kupu-kupu,” jawab Jeremy dengan nada cuek.
Dira tersenyum geli mendengarnya.
“Jika tak ada lagi yang ingin kau katakan, aku akan menutup teleponnya,” ucap Jeremy dingin. Seperti biasanya.
“Jika kau sudah pulang, ambillah cincinnya ke kantorku,” perintah Dira.
“Kau saja yang membawanya sampai hari pernikahan kita,” tolak Jeremy.
“Kau harus mencobanya, siapa tahu cincinnya tidak pas di jarimu,” ucap Dira.
Hening sejenak.
“Baiklah. Aku akan ke sana sekarang.” Lalu, telepon ditutup.
Dira mendengus geli sembari meletakkan ponsel dan menatap kotak berisi kalung kupu-kupu di tangannya. Permintaan tak masuk akal apa itu? Menyuruh Jenna membuang kalung ini? Apa pria itu tak bisa mengatakan langsung jika dia ingin memberikannya pada Jenna?
Dira memutuskan untuk segera membereskan pekerjaannya, lalu mengemasi barang-barangnya, dan turun ke lantai tempat Jenna berada. Ketika Dira tiba di ruangan Jenna, dilihatnya gadis itu memutar kursi kerjanya dengan bosan. Namun, ketika melihat Dira, Jenna langsung duduk tegak.
“Aku sudah menyelesaikan pekerjaanku,” Jenna berkata begitu Dira berdiri di depannya.
Dira melongok menatap layar laptop Jenna yang gelap. Laptopnya bahkan tidak menyala.. “Apa pekerjaan yang kau lakukan hari ini?”
“Memoto kopi beberapa berkas,” jawab Dira.
“Seribu kali,” sahut Biru dari kursinya.
Jenna berdehem. “Itu karena kau tak memberikan penjelasan yang cukup padaku.”
Biru tak menanggapi dan masih fokus pada layar laptopnya.
“Cih, hanya karena itu, kau marah padaku dan tak memberiku pekerjaan,” cibir Jenna.
Biru tak terpancing dan tetap diam. Dira benar-benar harus memuji Biru untuk kerja kerasnya.
“Kalau pekerjaanmu sudah selesai, kau bisa pulang, Jenna,” ucap Dira.
“Benarkah?” Mata Jenna berbinar penuh semangat.
Dira mengangguk, lalu meletakkan kotak perhiasan di meja Jenna. Gadis itu menatap kotak itu dengan kening berkerut.
“Ini apa?” tanya gadis itu.
“Kakakmu memintaku untuk menyuruhmu membuang itu,” jawab Dira.
Jenna manggut-manggut, lalu menyambar kotak itu dan akan melemparnya ke tempat sampah di bawah meja kerjanya. Dira kontan menahan tangan gadis itu.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Dira kaget, panik.
“Kau bilang, Remy menyuruhku membuangnya,” sebut Jenna.
“Kau tak melihat isinya lebih dulu?” Dira mengingatkan.
“Untuk apa?” balas Jenna. “Aku sudah biasa disuruh membuang barang-barangnya. Bisa kutebak, ini pasti dari wanita-wanita penggemarnya. Mereka pikir, jika mereka bisa menikah dengan Remy, mereka akan mendapat dukungan perusahaan Kakek. Sejak dulu, Remy tak suka jika mendapat hadiah dari mereka, jadi aku akan membuang barang-barang itu untuknya.”
Dira mengerjap tak percaya. Ada apa dengan dua bersaudara ini?
“Bukalah dulu sebelum membuangnya,” perintah Dira. Tak bisa ia bayangkan, berapa banyak hadiah yang diberikan Jeremy pada Jenna dan berakhir di tempat sampah.
Untungnya, Jenna kemudian menurut dan membuka kotak itu. Keningnya berkerut ketika melihat kalung itu.
“Siapa wanita bodoh yang memberikan kalung seperti ini pada Remy?” dengus Jenna. “Pantas saja Remy selalu membuang hadiah-hadiah dari mereka.”
Dira menahan tangan Jenna untuk kedua kalinya ketika gadis itu akan membuang kotak itu lagi. Jenna menatap Dira bingung.
“Kenapa? Kau suka kalung ini?” tanya Jenna. “Kau mau menyimpannya?”
Dira berpikir sesaat. “Kau tidak suka?”
Jenna mendengus. “Kau lihat sendiri tadi. Untuk apa aku memakai kalung seperti itu?”
“Tapi … itu kupu-kupu,” singgung Dira. “Kau … suka mengejar kupu-kupu ketika masih kecil, kan?”
Jenna tiba-tiba tergelak. “Itu ketika aku masih kecil. Apa aku masih tampak seperti anak TK sekarang?”
Dira memutar otaknya dan dengan cepat memutuskan, “Simpan saja itu.”
“Apa? Kenapa?”
Dira berdehem. “Aku menyukainya, tapi aku tidak punya lagi tempat di lemariku. Dan, jika kakakmu memintamu membuang barang-barangnya lagi, jangan langsung dibuang. Beritahu padaku dulu. Jika aku suka, aku akan mengambilnya. Itu adalah pekerjaan yang kuberikan padamu.”
Jenna manggut-manggut. “Baiklah.” Jenna lalu menoleh pada Biru dan berkata, “Lihat, kan? Aku juga bisa bekerja.”
Biru mengalihkan tatap dari layar laptop dan menatap Jenna sesaat, lalu menatap Dira, kemudian mendengus kecil.
“Pantas saja mereka kakak-beradik,” komentar Biru sinis.
Dira tersenyum geli mendengarnya. Bahkan, Biru saja paham apa maksud hadiah-hadiah Jeremy yang diberikan pada Jenna itu.
Setelah kejadian ini, Dira jadi penasaran, bagaimana dua bersaudara itu hidup selama ini?
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved