Bab 12 Pengacau Kecil

by Ally Jane 17:12,Jan 22,2021
Setelah meninggalkan ruangan Dira, Biru membawa Jay ke lantai ruangannya. Memasuki ruangan tim kreatif, semua tatapan tertuju pada mereka. Biru membawa Jay ke tengah ruangan dan mengumumkan,
“Mulai hari ini, Jay akan bergabung dengan kita di tim ini.”
Terdengar tepuk tangan sambutan di ruangan itu. Biasanya, setelah itu, karyawan yang disebutkan akan memperkenalkan diri, tapi tidak dengan Jay. Bocah itu menatap sekeliling, lalu menghampiri kursi kosong di meja terdekat dan duduk di sana, lalu mengangkat kaki ke meja dan menoleh pada Biru.
“Aku akan tidur sebentar. Ini waktunya tidur pagiku,” ucap Jay dengan entengnya. Anak itu menarik tudung yang terpasang di kepalanya semakin turun ke wajah hingga menutupi matanya, lalu dia melipat lengan di dada dan bersandar nyaman di kursi itu.
Biru mengepalkan tangan marah dan menghampiri anak itu. Ia menendang kursi Jay.
“Kau ke sini untuk bekerja!” bentak Biru.
Jay menghela napas, lalu berdiri. Anak itu sudah hendak berjalan melewati Biru, tapi Biru menahan dadanya. Namun kemudian, Biru menyadari sesuatu yang tak terlihat dari Jay.
“Kau …” Biru melotot kaget pada Jay, tapi detik berikutnya, Biru mendapati sebuah tinju mendarat keras di pipinya, membuatnya terdorong ke samping dan jatuh tersungkur. Kacamatanya bahkan sampai jatuh dan lensanya retak. Namun, Biru bahkan tak bisa marah atau protes untuk pukulan itu. Jangankan marah atau protes, untuk menatap wajah Jay saja Biru tak sanggup saat ini.
***
Dira kembali membaca berkas tentang adik Jeremy yang dikirimkan kakeknya langsung tadi pagi. Foto close up wajah adik Jeremy itu bahkan tampak dingin. Matanya berwarna madu. Apa warna Jeremy juga sewarna mata adiknya? Dira belum pernah memperhatikan mata pria itu.
Ketika adik Jeremy datang tadi, kepalanya tertutup tudung hoodie, jadi Dira tak bisa melihat rambut lurus sepunggungnya yang berwarna cokelat terang. Secantik ini, kenapa dia menyembunyikannya?
Jenna Lewis. Jenna. Namun, anak itu berkeras ingin dipanggil Jay. Tomboy. Suka membuat masalah. Suka membuat ribut dengan orang. Dira kembali teringat Biru.
Dia … akan baik-baik saja, kan?
***
Jenna menarik turun tudung hoodie-nya dengan kasar, membuat ikatan longgar rambut sepunggungnya lepas, mengurai rambutnya. Ia kemudian berjongkok di depan Biru yang masih terduduk di lantai dengan pandangan tertunduk.
“Jangan menggangguku atau aku akan melaporkanmu atas tuduhan pelecehan. Kebetulan sekali, ada banyak saksi yang melihat apa yang kau lakukan tadi,” ucap Jenna.
Mendengar itu, Biru seketika menoleh pada Jenna. “Kau pikir, aku melakukannya dengan sengaja?!” protes pria itu.
Jenna menelengkan kepala. “Tapi, siapa menurutmu yang akan percaya itu?”
Biru mengernyit. “Kau …”
Jenna menghentikan kalimat Biru dengan membuka hoodie oversize-nya di sana. Jenna mendengar kasak-kusuk ribut karyawan karena Jenna hanya mengenakan tank top, sementara Biru terbelalak panik dan langsung merebut hoodie di tangan Jenna dan menyampirkannya di bahu Jenna.
“Apa yang kau lakukan? Apa kau sudah gila?” bentak Biru.
“Hanya untuk memastikan jika apa yang kau lakukan tadi adalah pelecehan,” sahut Jenna santai.
Biru tampak menggertakkan gigi dengan geram.
“Jika aku ingin tidur, biarkan aku tidur. Kau mengerti?” tuntut Jenna.
Lalu, ia berdiri dan kembali memakai hoodie-nya. Ia kembali ke kursinya tadi, memakai tudung hoodie-nya, menaikkan kaki ke meja, dan mencari posisi duduk yang nyaman di kursi itu, lalu menyilangkan lengan di dada dan memejamkan mata.
Ia bangun terlalu pagi karena harus pergi ke kantor ini. Biasanya, Jenna belum bangun jika belum jam dua belas siang. Karena itu, sekarang Jenna harus membayar waktu tidurnya. Biru harus belajar tentang jadwal Jenna jika ingin hidup tenang.
***
Di lantai tempat ruangan Biru berada, adalah lantai untuk tim kreatif. Dan dari semua orang di lantai itu … tidak, di perusahaan ini, tak ada yang tak mengenal Biru. Biru memegang semua proyek besar perusahaan dan hanya hasil kreatif Biru yang tak perlu melewati pemeriksaan kepala departemennya. Bahkan, Biru punya wewenang meloloskan hasil kreatif tim lain. Karena itulah, para karyawan begitu menghormati Biru.
Alasan Dira tak mengangkat Biru sebagai kepala departemen adalah karena Biru ingin bisa tetap fokus mengerjakan proyek yang diberikan padanya. Biru sendiri lebih suka menjalani proses kreatif daripada hanya melihat hasil kreatif karyawan lain. Itu membutuhkan lebih banyak revisi. Lebih mudah jika Biru sendiri yang mengerjakannya.
Namun, di depan karyawan yang mengenal dan menghormati Biru itu, Biru dipermalukan sedemikian rupa oleh bocah pengacau ini. Jay. Apakah namanya benar-benar Jay? Mana ada perempuan bernama Jay?
Biru menoleh ke arah kursi tempat Jay tidur dalam posisi duduk. Bisa-bisanya dia tidur dalam posisi seperti itu, di tengah banyak orang di ruangan ini. Namun, sejak kehadiran Jay tadi, ruangan yang biasanya ramai dengan suara para karyawan berdiskusi tentang proyek mereka, kini begitu hening. Hanya terdengar obrolan pelan dalam bisik-bisik dan suara ketikan keyboard. Pastinya percakapan mereka berpindah di group chat saat ini. Entah percakapan tentang apa.
Biru sendiri, sejak tadi belum melakukan apa pun. Ia belum menyentuh pekerjaannya sama sekali. Ia harus memanfaatkan momen ketika Jay sedang jinak seperti ini untuk memikirkan strategi.
Informasi yang didapatkan Biru tentang Jay sejauh ini adalah, pertama, Jay adalah seorang perempuan. Kedua, dia adalah kenalan Dira dan Jeremy Lewis, entah apa hubungan mereka. Ketiga, ini poin pentingnya, dia adalah pembuat masalah. Entah apa Dira tahu tentang itu. Dan entah apa pun alasan si Pengacau itu kemari, Biru yakin itu bukan alasan yang bagus.
Biru menyipitkan mata menatap Jay yang tampak bergerak pelan dan menarik lengan hoodie-nya hingga tangan sampai ujung jarinya tertutup, lalu kembali menyilangkan lengan di dada. Biru melihat arah AC ruangan yang memang tertuju tepat ke tempat Jay duduk.
Biru menghela napas dan pergi ke lemari di belakang mejanya, lemari yang berisi persediaan bantal, kasur lipat, hingga selimut yang biasa digunakan karyawan yang lembur di kantor. Biru menarik keluar selimut dari sana dan menghampiri Jay. Diiringi decakan kesal, Biru membuka selimut dan menutupkannya ke tubuh Jay.
Biru sudah akan pergi ketika didengarnya suara Jay, “Jangan bilang, kau sudah mengaku kalah?”
Biru menatap gadis itu dan menyipitkan mata.
Jay mendengus mengejek, matanya masih terpejam. “Tidak seru bermain jika kau sudah menyerah. Aku bahkan belum mulai.”
“Apa tujuanmu datang kemari, sebenarnya?” tuntut Biru.
Jay membuka mata. Mata madunya menatap tepat ke mata Biru. “Untuk bertahan hidup.”
Biru mengerutkan kening.
“Pilihanku adalah dikurung di rumah, di kampus, atau di sini. Jadi, aku memilih tempat ini untuk bertahan hidup. Tapi, aku menolak hidup tanpa bersenang-senang.” Jay tersenyum miring. “Dan aku sudah menemukan cara untuk bersenang-senang di sini. Terima kasih padamu.”
Biru tak mengatakan apa pun dan benar-benar berjalan pergi. Namun, pikirannya kembali memutar jawaban Jay tadi. Pilihannya adalah dikurung di rumah, di kampus, atau di sini. Hingga kemudian, didengarnya seruan Jay,
“Terima kasih juga untuk selimutnya, Tuan Cupu!”
Biru refleks mengumpat mendengar itu. Mengumpat keras. Di depan semua orang itu. Hal yang tak pernah ia lakukan sebelumnya. Tidak, sampai Jay datang dan mengusiknya.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65