Bab 3 Restu

by Ally Jane 17:07,Jan 22,2021
Ketika mobil Dira tiba di halaman rumah kakeknya, Dira bisa melihat kakeknya berjalan mondar-mandir di teras rumah megah bercat putih itu. Cepat sekali Jeremy mengabari kakeknya.
“Kakek, jangan lari-lari di tangga!” seru Dira cemas ketika kakeknya berlari menuruni undakan teras untuk menghampiri Dira di halaman dengan wajah sumringah.
“Kau akan menikah dengan Remy?” tanya kakeknya dengan ekspresi gembira.
Dira tersenyum kecil. “Kami ternyata sangat cocok satu sama lain dan akhirnya memutuskan untuk menikah.”
Kakeknya manggut-manggut. “Kakek tahu. Kakek sudah tahu itu kalau kalian akan cocok. Kalian sangat mirip.”
Dira mendengus. “Karena itu, Kakek mau menjodohkanku dengannya?”
Kakeknya berdehem canggung. “Ayo masuk,” ajak kakeknya. “Kau sudah makan malam?”
“Kek, aku baru pulang makan malam,” jawab Dira.
“Ah, benar juga.” Kakeknya terkekeh.
“Kakek belum makan?” tanya Dira.
Kakeknya menggeleng. “Kakek khawatir kau pulang tanpa makan malam, jadi Kakek menunggumu pulang untuk mengajakmu makan malam.”
Dira mendengus tak percaya. “Kakek bilang, Kakek sudah tahu kalau aku dan Jeremy akan cocok.”
“Kakek kan, hanya bersiap untuk kemungkinan terburuk. Melihat temperamenmu, Kakek pikir kau akan langsung pergi begitu melihat Remy,” ungkap kakeknya.
Tadinya begitu, sampai ketika Jeremy menyebutkan tentang perjodohan. Satu kata itu seketika memberikan gambaran masa depan Dira. Setiap hari, di tengah kesibukan kerjanya, Dira pasti akan dipaksa menemui Jeremy entah dengan alasan makan pagi, siang, malam, atau sekadar minum kopi.
Tidak. Dira tidak akan sudi membuang waktunya untuk hal-hal seperti itu. Menuruti permintaan kakeknya dengan lebih cepat adalah solusinya. Segera menikah dengan pria yang dijodohkan dengannya. Memangnya, apa yang spesial dari menikah? Mereka hanya akan berbagi rumah dan berganti status.
“Kami awalnya hanya mengobrol basa-basi, tapi ternyata kami cocok satu sama lain. Jadi, kenapa tidak menikah saja? Toh, aku sudah tiga puluh tahun. Aku harus menikah sebelum terlalu terlambat, kan?” ucap Dira.
Kakeknya manggut-manggut. “Kakek sebenarnya sudah khawatir karena kau belum menikah di usiamu sekarang. Kakek pikir, kau bahkan tak tertarik dengan pernikahan.”
Dira meringis dalam hati. Memang benar. “Aku hanya belum menemukan pria yang sepemikiran denganku. Karena itu, begitu aku bertemu dengan Jeremy dan merasa kami cocok, aku merasa tidak perlu berpikir lagi.”
Kakeknya tersenyum senang. “Kalau begitu, besok kita akan malam bersama dan menentukan tanggal pesta pertunangan dan pernikahan kalian.”
Dira hanya mengangguk. Ini persis seperti yang tadi dibicarakan Jeremy dan Dira di restoran, tentang kemungkinan besok mereka akan bertemu lagi untuk menentukan tanggal dan lain-lain.
Tidak apa. Jadwalnya mungkin akan sangat padat sampai hari pernikahannya. Hanya sampai hari pernikahannya. Semakin cepat mereka menikah, semakin baik. Dira berencana menyelesaikan semua keributan ini dalam dua minggu. Paling lama sebulan.
Ia ingin semua keributan ini segera selesai agar bisa kembali ke kehidupan normalnya. Kehidupannya yang sibuk karena pekerjaan, bukan karena pertemuan dengan pria asing yang dingin seperti Jeremy.
***
“Apa yang kau rencanakan pada Dira?” tanya kakeknya curiga ketika Jeremy baru memasuki ruang tamu rumahnya.
Jeremy menoleh pada kakeknya dengan gusar. Jeremy tadi langsung menghubungi kakeknya dan memberitahu tentang rencana pernikahannya dengan Dira bukan untuk disambut seperti ini di rumahnya sendiri.
“Bagaimana Kakek bisa masuk ke rumahku?” tanya Jeremy terganggu.
“Asistenmu yang selalu memakai pakaian berwarna terang itu memberitahu kode pintu rumahmu,” jawab kakeknya santai.
Egi, asistennya yang tidak tahu diri. Dia pikir, Jeremy membayarnya untuk mengkhianati Jeremy?
“Jadi, apa rencanamu dengan Dira? Kenapa kau tiba-tiba mau menikah dengannya?” kakeknya menuntut tajam.
“Menurut Kakek apa lagi? Karena kami menginginkan pernikahan ini,” jawab Jeremy dingin.
“Kenapa?”
“Karena kami merasa cocok satu sama lain,” sahut Jeremy.
Kakeknya menyipitkan mata curiga. “Kau tidak merencanakan hal lain yang akan menyakiti Dira, kan?” selidiknya.
Jeremy mendengus tak percaya. “Apa aku tampak seperti penjahat? Bagaimana menurut Kakek aku akan menyakitinya?”
“Bukankah itu yang selalu kau lakukan pada orang-orang di sekitarmu?” sebut kakeknya. “Menyakiti mereka.”
Jeremy mengernyit tak suka. “Kalau Kakek tahu, seharusnya Kakek tidak pernah merencanakan perjodohan atau apa pun itu untuk mendekatkan wanita itu padaku.”
Kakeknya memelotot marah. “Jika sampai kau menyakiti Dira …”
“Hal itu tidak akan pernah terjadi,” sela Jeremy dingin. Karena tidak akan ada perasaan yang terlibat di sini. “Tidak ada yang akan tersakiti. Kami menikah karena merasa cocok dengan satu sama lain dan kami memang sudah di usia di mana seharusnya kami menikah. Jadi, Kakek tidak perlu khawatir. Jika Kakek tidak percaya, Kakek bisa bertanya langsung pada wanita itu.”
Jeremy berjalan menuju kamarnya, tapi kemudian berhenti di pintu untuk memberitahu kakeknya, “Tapi, kurasa Kakek tidak perlu khawatir tentang wanita itu. Dia bukan wanita yang lemah. Dia cerdas, dia tahu apa yang dia lakukan. Dia tahu apa yang dia inginkan. Pernikahan ini pun, dia yang lebih dulu meminta.” Jeremy mendengus pelan.
“Kalau ada yang harus Kakek khawatirkan, adalah ambisinya. Calon istriku itu sepertinya begitu berambisi tentang perusahaannya. Kakek harus berhati-hati. Siapa tahu dia menginginkan perusahaan Kakek juga.” Jeremy tak dapat menahan senyum geli memikirkan itu. “Ah, aku seharusnya mengingatkan Aga tentang itu. Akan lucu kalau sampai dia dikalahkan seorang wanita.” Aga, sahabatnya, pasti akan senang dengan kabar dia akan punya saingan di perusahaan kakeknya.
Setelah mengatakan itu, Jeremy masuk ke kamarnya dan mengeluarkan ponsel. Orang pertama yang diteleponnya adalah Egi.
“Aku akan memotong bonusmu bulan ini karena kau mengizinkan kakekku masuk ke rumahku,” beritahu Jeremy begitu Egi mengangkat telepon.
“Pak!” seru Egi dengan nada dramatis. Selalu dramatis, asisten tak bergunanya itu.
“Bukankah sudah kuperingatkan berkali-kali, rumah adalah kawasan pribadiku?” sebut Jeremy.
“Tapi, itu kakek Pak Jeremy. Dia mengancam akan menghancurkan kafe jika saya tidak memberitahu kode kunci pintu rumah Pak Jeremy,” Egi beralasan dengan nada memelas.
“Kau seharusnya bilang, kau tidak tahu. Gunakan otakmu di saat seperti itu,”desis Jeremy.
“Maaf, Pak. Saya yang salah …”
“Memang kau yang salah!” bentak Jeremy. “Tapi, ada yang lebih penting dari itu.”
“Ada masalah apa, Pak?” Egi terdengar was-was.
“Aku akan menikah dengan Dira dari Dirandra Advertising,” Jeremy mengumumkan.
“APAAA?”
Jeremy menjauhkan ponsel dari telinganya. Tentu saja, asisten gilanya itu tidak akan pernah bisa tidak bersikap dramatis. Seharusnya Jeremy tidak pernah menerima asisten gila itu bekerja padanya.
Setiap awal tahun, hal pertama yang diucapkan Jeremy pada Egi adalah pemecatan, tapi Egi selalu punya alasan untuk mengancam Jeremy agar tidak memecatnya. Mulai dari menyebarkan rumor jika Jeremy tidak suka wanita, hingga rumor tentang Jeremy yang sebenarnya punya masalah dengan manajemen emosinya. Terutama ketika dia marah. Egi punya seribu senjata untuk melawan Jeremy.
Namun, ancamannya yang paling menakutkan adalah ketika dia mengancam akan bekerja di bawah kakek Jeremy. Jeremy tahu persis betapa gilanya Egi dan dia tidak akan mau berurusan dengan musuh segila itu. Jeremy hanya bisa berharap asisten pribadinya yang selicik ular itu akan tiba-tiba bosan dan pergi begitu saja dari kantornya.
Itu adalah salah satu impian Jeremy.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65