Bab 6 Calon Penghuni Baru
by Ally Jane
17:09,Jan 22,2021
Sabtu pagi itu, Jeremy dikejutkan dengan kedatangan Egi pagi-pagi sekali di rumahnya. Jeremy mengecek jam dinding yang menunjukkan angka tujuh.
“Apa ada masalah di kafe?” tanya Jeremy ketika Egi duduk di sofa di hadapannya.
Egi menggeleng. “Saya ada janji dengan Bu Dira hari ini di rumah ini.”
Jeremy mengerutkan kening. “Dengan Dira? Pagi ini? Di sini? Sekarang?”
Egi mengangguk santai menanggapi berondongan pertanyaan Jeremy. “Bukankah Pak Jeremy sendiri yang bilang kalau saya harus mendampingi Bu Dira melihat dan mendekorasi lantai dua rumah Pak Jeremy, seperti keinginan Bu Dira, karena Bu Dira akan tinggal di sini setelah menikah dengan Pak Jeremy nanti?”
Jeremy melotot kesal. “Kenapa kau tidak bilang lebih dulu?!” bentak Jeremy.
Egi mengerjap kaget. “Pak Jeremy kan, tidak pernah bilang pada saya untuk memberitahu Pak Jeremy jika akan menemani Bu Dira ke sini.”
Masalahnya, saat ini, Jeremy hanya memakai kaus tipis putih yang biasa ia pakai di rumah karena nyaman dan celana training Adidas.
Tepat saat itulah, terdengar bel di pintu. Jeremy melotot galak pada Egi sebelum buru-buru pergi ke kamarnya. Jeremy mendecak kesal. Akhir pekannya terganggu karena kedatangan Dira tanpa pemberitahuan, tapi ia juga tak bisa menyalahkan wanita itu. Ia yang mempersilakan wanita itu datang kapan pun. Egi masalahnya. Selalu Egi!
Jeremy pergi ke lemari pakaiannya dan mengeluarkan kaus polo yang lebih sopan dan celana kain. Setelah berganti pakaian, Jeremy keluar dari kamarnya, tapi tak ada orang di sana. Samar didengarnya suara Egi di lantai atas.
“Saya akan membantu untuk urusan dekorasi interior-nya jika Bu Dira sudah memutuskan ingin dekorasi seperti apa,” ucap Egi.
Jeremy mendesis kesal dan kembali duduk di sofa, lalu menyadari ia kehilangan ponselnya. Jeremy mengumpat Egi dalam hati ketika menemukan ponselnya tergeletak di bawah meja kaca ruang tamu, di atas karpet, akibat kepanikan mendadak Jeremy tadi.
Jeremy hanya menunjukkan sisi sempurna pada orang-orang di luar rumahnya. Terutama, kakeknya. Begitulah ia mengelola Jazz Café selama ini. Ia menolak kesalahan. Baginya, tak ada kesalahan yang bisa ditolerir jika itu menyangkut kafe. Pertama, karena itu adalah impiannya. Kedua, karena ia tak boleh menunjukkan kelemahan apa pun di depan musuhnya, yang tak lain adalah kakeknya sendiri.
Kakeknya selalu mengancam Jeremy akan menghancurkan kafenya jika Jeremy tak menurut padanya. Pun, sedikit saja kafenya goyah, kakeknya akan menggunakan itu untuk menertawakan Jeremy dan menyeretnya pulang. Sejauh apa pun Jeremy pergi, ia masih saja ada di telapak tangan kakeknya.
Hingga saat ini, Jeremy belum menemukan cara untuk benar-benar terbebas dari kakeknya.
***
Setelah selesai memutuskan desain semua kamar di lantai dua rumah Jeremy, Dira turun bersama Egi. Tampak Jeremy di sofa ruang tamu sedang membaca sesuatu dari ponselnya.
“Hari ini bukannya ada event engagement party di salah satu cabang Jazz Café, Gi?” tanya Jeremy masih dengan pandangan ke layar ponselnya.
“Iya, Pak,” jawab Egi yang berjalan di belakang Dira. “Oh iya, Pak Jeremy dapat undangan. Katanya, pemilik acaranya teman SMA Pak Jeremy. Pak Aga juga kabarnya pagi ini datang, Pak.”
Jeremy menoleh ke tangga, tatapannya bertemu dengan Dira hanya sekilas, lalu berpindah ke belakang Dira, pada asistennya. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” protes pria itu.
“Saya juga baru menerima undangannya sebelum ke sini tadi, Pak, dari karyawan kafe cabang,” jawab Egi santai. “Tapi, karena Bu Dira juga di sini, kenapa tidak sekalian saja Pak Jeremy mengajak Bu Dira datang bersama? Ini akan menjadi acara bersama pertama Pak Jeremy dan Bu Dira sejak pengumuman pernikahan itu, kan?”
Dira menghentikan langkah di anak tangga terbawah dan menoleh pada Egi yang ikut berhenti.
“Apa?” Dira tidak salah dengar, kan?
Egi mengerjap bingung. “Acara bersama Bu Dira dan Pak Jeremy,” ulang Egi. “Ini acara pertama semenjak pengumuman pernikahan Bu Dira dan Pak Jeremy, kan?” tanyanya.
Memang benar, tapi … sejak kapan Dira setuju untuk datang ke acara itu dengan Jeremy?
“Di luar sana ada banyak rumor tentang pernikahan perjodohan,” singgung Egi tiba-tiba. “Sepertinya jika Bu Dira dan Pak Jeremy pergi ke acara tunangan di kafe hari ini dan menunjukkan kedekatan Bu Dira dan Pak Jeremy, itu bisa menepis rumor di luar sana.”
Dira menatap Jeremy. “Apa menurutmu itu perlu?”
“Pak Jeremy dan Bu Dira ingin menunjukkan gambaran pasangan yang sempurna, kan?” sahut Egi, membuat Dira kembali menatap asisten Jeremy itu. “Tentu saja itu perlu.”
Dira kembali menatap Jeremy yang kini juga menatapnya.
“Apa kau ada jadwal hari ini?” tanya Jeremy.
Dira menggeleng. Ini akhir pekan, waktunya ia bersantai sambil mengecek hasil kinerja karyawannya minggu ini.
“Apa kau bisa pergi denganku ke acara itu?” tanya pria itu. “Anggap saja ini latihan.”
Dira berpikir sejenak, memperhitungkan keuntungan yang akan didapatnya dari acara itu. Pertama, publikasi hubungannya dengan Jeremy. Kedua, menunjukkan pada kakek-kakek mereka bahwa mereka tidak main-main dengan hubungan mereka. Ketiga, latihan. Benar. Mereka harus berlatih tampil di depan umum dan mengevaluasi penampilan mereka sebelum mereka resmi menikah. Dengan begitu, setelah menikah, mereka bisa menunjukkan pertunjukan sempurna sebagai pasangan suami-istri.
“Tentu,” jawab Dira akhirnya. “Tapi, aku tidak bisa pergi seperti ini.”
Jeremy mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Ini acara bersama kita di depan publik untuk pertama kalinya. Aku harus menunjukkan penampilan terbaikku,” sahut Dira. “Bukankah kita mengejar kesempurnaan?”
Jeremy mengangguk setuju. “Kau mau pulang dulu atau kita langsung belanja pakaian saja?”
Dira menoleh pada Egi. “Jam berapa acaranya?”
“Jam sepuluh pagi, Bu,” jawab Egi.
Dira mengecek jam tangannya. Dua jam lagi. “Kita pergi ke butik langgananku saja. Kita bisa bersiap di sana. Aku akan membantumu menyiapkan pakaianmu juga,” ucap Dira sembari kembali menatap Jeremy.
“Aku bisa menyiapkan pakaianku sendiri,” sahut pria itu.
Dira menggeleng. “Ini acara bersama kita yang pertama. Aku yang akan menyiapkannya. Kita harus tampil sempurna hari ini.”
“Sebagai informasi, aku tidak suka warna yang terang atau mencolok,” Jeremy berkata, lalu tatapannya tertuju pada Egi.
Dira melirik Egi yang memakai jas warna oranye. Dalam hati Dira sangat bersyukur karena calon suaminya tidak punya selera pakaian seperti asistennya itu.
“Aku akan menyiapkannya sesempurna mungkin,” ucap Dira kemudian.
Lalu, didengarnya Egi berkomentar, “Pak Jeremy memang payah dalam memilih warna pakaian, Bu.”
Dira berdehem. Syukurlah, karena Jeremy payah dalam memilih warna pakaian, tidak seperti Egi. Dira lega mendapati kenyataan itu. Tak bisa ia bayangkan jika sampai Dira akan pergi ke pesta pertunangan seseorang dengan pria yang berpakaian seperti buah jeruk.
***
“Apa ada masalah di kafe?” tanya Jeremy ketika Egi duduk di sofa di hadapannya.
Egi menggeleng. “Saya ada janji dengan Bu Dira hari ini di rumah ini.”
Jeremy mengerutkan kening. “Dengan Dira? Pagi ini? Di sini? Sekarang?”
Egi mengangguk santai menanggapi berondongan pertanyaan Jeremy. “Bukankah Pak Jeremy sendiri yang bilang kalau saya harus mendampingi Bu Dira melihat dan mendekorasi lantai dua rumah Pak Jeremy, seperti keinginan Bu Dira, karena Bu Dira akan tinggal di sini setelah menikah dengan Pak Jeremy nanti?”
Jeremy melotot kesal. “Kenapa kau tidak bilang lebih dulu?!” bentak Jeremy.
Egi mengerjap kaget. “Pak Jeremy kan, tidak pernah bilang pada saya untuk memberitahu Pak Jeremy jika akan menemani Bu Dira ke sini.”
Masalahnya, saat ini, Jeremy hanya memakai kaus tipis putih yang biasa ia pakai di rumah karena nyaman dan celana training Adidas.
Tepat saat itulah, terdengar bel di pintu. Jeremy melotot galak pada Egi sebelum buru-buru pergi ke kamarnya. Jeremy mendecak kesal. Akhir pekannya terganggu karena kedatangan Dira tanpa pemberitahuan, tapi ia juga tak bisa menyalahkan wanita itu. Ia yang mempersilakan wanita itu datang kapan pun. Egi masalahnya. Selalu Egi!
Jeremy pergi ke lemari pakaiannya dan mengeluarkan kaus polo yang lebih sopan dan celana kain. Setelah berganti pakaian, Jeremy keluar dari kamarnya, tapi tak ada orang di sana. Samar didengarnya suara Egi di lantai atas.
“Saya akan membantu untuk urusan dekorasi interior-nya jika Bu Dira sudah memutuskan ingin dekorasi seperti apa,” ucap Egi.
Jeremy mendesis kesal dan kembali duduk di sofa, lalu menyadari ia kehilangan ponselnya. Jeremy mengumpat Egi dalam hati ketika menemukan ponselnya tergeletak di bawah meja kaca ruang tamu, di atas karpet, akibat kepanikan mendadak Jeremy tadi.
Jeremy hanya menunjukkan sisi sempurna pada orang-orang di luar rumahnya. Terutama, kakeknya. Begitulah ia mengelola Jazz Café selama ini. Ia menolak kesalahan. Baginya, tak ada kesalahan yang bisa ditolerir jika itu menyangkut kafe. Pertama, karena itu adalah impiannya. Kedua, karena ia tak boleh menunjukkan kelemahan apa pun di depan musuhnya, yang tak lain adalah kakeknya sendiri.
Kakeknya selalu mengancam Jeremy akan menghancurkan kafenya jika Jeremy tak menurut padanya. Pun, sedikit saja kafenya goyah, kakeknya akan menggunakan itu untuk menertawakan Jeremy dan menyeretnya pulang. Sejauh apa pun Jeremy pergi, ia masih saja ada di telapak tangan kakeknya.
Hingga saat ini, Jeremy belum menemukan cara untuk benar-benar terbebas dari kakeknya.
***
Setelah selesai memutuskan desain semua kamar di lantai dua rumah Jeremy, Dira turun bersama Egi. Tampak Jeremy di sofa ruang tamu sedang membaca sesuatu dari ponselnya.
“Hari ini bukannya ada event engagement party di salah satu cabang Jazz Café, Gi?” tanya Jeremy masih dengan pandangan ke layar ponselnya.
“Iya, Pak,” jawab Egi yang berjalan di belakang Dira. “Oh iya, Pak Jeremy dapat undangan. Katanya, pemilik acaranya teman SMA Pak Jeremy. Pak Aga juga kabarnya pagi ini datang, Pak.”
Jeremy menoleh ke tangga, tatapannya bertemu dengan Dira hanya sekilas, lalu berpindah ke belakang Dira, pada asistennya. “Kenapa kau baru memberitahuku sekarang?” protes pria itu.
“Saya juga baru menerima undangannya sebelum ke sini tadi, Pak, dari karyawan kafe cabang,” jawab Egi santai. “Tapi, karena Bu Dira juga di sini, kenapa tidak sekalian saja Pak Jeremy mengajak Bu Dira datang bersama? Ini akan menjadi acara bersama pertama Pak Jeremy dan Bu Dira sejak pengumuman pernikahan itu, kan?”
Dira menghentikan langkah di anak tangga terbawah dan menoleh pada Egi yang ikut berhenti.
“Apa?” Dira tidak salah dengar, kan?
Egi mengerjap bingung. “Acara bersama Bu Dira dan Pak Jeremy,” ulang Egi. “Ini acara pertama semenjak pengumuman pernikahan Bu Dira dan Pak Jeremy, kan?” tanyanya.
Memang benar, tapi … sejak kapan Dira setuju untuk datang ke acara itu dengan Jeremy?
“Di luar sana ada banyak rumor tentang pernikahan perjodohan,” singgung Egi tiba-tiba. “Sepertinya jika Bu Dira dan Pak Jeremy pergi ke acara tunangan di kafe hari ini dan menunjukkan kedekatan Bu Dira dan Pak Jeremy, itu bisa menepis rumor di luar sana.”
Dira menatap Jeremy. “Apa menurutmu itu perlu?”
“Pak Jeremy dan Bu Dira ingin menunjukkan gambaran pasangan yang sempurna, kan?” sahut Egi, membuat Dira kembali menatap asisten Jeremy itu. “Tentu saja itu perlu.”
Dira kembali menatap Jeremy yang kini juga menatapnya.
“Apa kau ada jadwal hari ini?” tanya Jeremy.
Dira menggeleng. Ini akhir pekan, waktunya ia bersantai sambil mengecek hasil kinerja karyawannya minggu ini.
“Apa kau bisa pergi denganku ke acara itu?” tanya pria itu. “Anggap saja ini latihan.”
Dira berpikir sejenak, memperhitungkan keuntungan yang akan didapatnya dari acara itu. Pertama, publikasi hubungannya dengan Jeremy. Kedua, menunjukkan pada kakek-kakek mereka bahwa mereka tidak main-main dengan hubungan mereka. Ketiga, latihan. Benar. Mereka harus berlatih tampil di depan umum dan mengevaluasi penampilan mereka sebelum mereka resmi menikah. Dengan begitu, setelah menikah, mereka bisa menunjukkan pertunjukan sempurna sebagai pasangan suami-istri.
“Tentu,” jawab Dira akhirnya. “Tapi, aku tidak bisa pergi seperti ini.”
Jeremy mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Ini acara bersama kita di depan publik untuk pertama kalinya. Aku harus menunjukkan penampilan terbaikku,” sahut Dira. “Bukankah kita mengejar kesempurnaan?”
Jeremy mengangguk setuju. “Kau mau pulang dulu atau kita langsung belanja pakaian saja?”
Dira menoleh pada Egi. “Jam berapa acaranya?”
“Jam sepuluh pagi, Bu,” jawab Egi.
Dira mengecek jam tangannya. Dua jam lagi. “Kita pergi ke butik langgananku saja. Kita bisa bersiap di sana. Aku akan membantumu menyiapkan pakaianmu juga,” ucap Dira sembari kembali menatap Jeremy.
“Aku bisa menyiapkan pakaianku sendiri,” sahut pria itu.
Dira menggeleng. “Ini acara bersama kita yang pertama. Aku yang akan menyiapkannya. Kita harus tampil sempurna hari ini.”
“Sebagai informasi, aku tidak suka warna yang terang atau mencolok,” Jeremy berkata, lalu tatapannya tertuju pada Egi.
Dira melirik Egi yang memakai jas warna oranye. Dalam hati Dira sangat bersyukur karena calon suaminya tidak punya selera pakaian seperti asistennya itu.
“Aku akan menyiapkannya sesempurna mungkin,” ucap Dira kemudian.
Lalu, didengarnya Egi berkomentar, “Pak Jeremy memang payah dalam memilih warna pakaian, Bu.”
Dira berdehem. Syukurlah, karena Jeremy payah dalam memilih warna pakaian, tidak seperti Egi. Dira lega mendapati kenyataan itu. Tak bisa ia bayangkan jika sampai Dira akan pergi ke pesta pertunangan seseorang dengan pria yang berpakaian seperti buah jeruk.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved