Bab 1 Pertemuan yang Dingin
by Ally Jane
17:06,Jan 22,2021
Dira membaca kontrak yang telah ia evaluasi selama seminggu terakhir di depannya itu untuk terakhir kalinya. Ia mengecek revisi terakhir yang ia minta, sebelum akhirnya menandatangani kontrak itu. Lalu, ia menukarnya dengan kontrak yang ditandatangani pemilik franchise Jazz Café, Jeremy Lewis dan membubuhkan tanda tangan untuk kedua kalinya di salinan kontrak itu.
“Pak Jeremy pasti tahu ini adalah kerja sama yang diinginkan kakek saya dan saya sebenarnya tidak tertarik dengan ini,” ucap Dira lugas. “Karena itu, saya harap kita tidak akan sering bertemu atau menghubungi untuk urusan ini.”
“Saya mengerti. Saya pun setuju menandatangani kontrak ini karena kakek saya,” balas pria itu dingin.
Dira diam-diam mendengus. Ini bahkan bukan perjodohan, tapi mereka berdua harus terpaksa bertemu seperti ini.
“Apa kakekmu membicarakan hal lain tentang kita?” tanya pria itu tiba-tiba. “Seperti … perjodohan?”
Dira mengernyitkan kening waspada. “Apa kakekmu menyebutkan tentang itu?”
Pria itu menggeleng. “Baguslah kalau tidak ada yang menyebutkan itu. Aku tidak membutuhkan tambahan pekerjaan yang merepotkan seperti itu.” Pria itu meninggalkan formalitas.
Dira tak menahan dengusannya. “Mari kita tetap bertahan di situ, kalau begitu. Aku juga tidak sudi membuang waktuku untuk hal sebodoh perjodohan.”
Pria itu mengangguk setuju. “Kalau ada yang ingin kau sampaikan, atau ada yang ingin aku sampaikan, kita bisa menyampaikannya ke manajer kafe yang akan kukirim untuk mengurus cabang kafe di kantormu,” ucap pria itu.
Dira mengangguk setuju. “Kalau begitu, urusan kita sudah selesai?”
Pria itu mengangguk dan berdiri. Seorang pria berjas kuning terang yang sedari tadi berdiri di belakangnya membereskan berkas kontrak yang ditinggalkan pria itu, lalu membungkuk sopan pada Dira sebelum menyusul bosnya. Entah dia sekretaris atau bodyguard pria itu.
Begitu dua orang itu keluar dari ruang rapat kantornya, Dira berdiri dan membiarkan sekretarisnya membereskan berkas kontraknya. Namun, saat Dira akan keluar dari ruang rapat, ponselnya berbunyi. Telepon masuk dari kakeknya.
“Halo, Kek,” Dira berbicara di telepon.
“Kau sudah bertemu dengan Remy?” tanya kakeknya.
“Remy siapa?” tanya Dira bingung.
“Jeremy,” ulang kakeknya dengan nama yang tadi dibaca Dira di kontrak.
“Oh, sudah. Kami baru selesai tanda tangan kontrak dan dia baru pergi,” beritahu Dira.
“Baiklah, sampaikan salam Kakek padanya.”
“Dia sudah pergi, Kek,” tolak Dira.
“Dia pasti masih di gedung kantormu, kan?”
“Kakek, ayolah!” erang Dira.
“Katakan padanya, Kakek ingin makan malam dengan kakeknya malam ini.”
“Kakek bisa meneleponnya sendiri seperti Kakek meneleponku sekarang,” debat Dira.
“Kau akan menyampaikannya pada Remy,” putus kakeknya sebelum memutus sambungan telepon.
Oh, no! Dira menggeram kesal, tapi kemudian berlari keluar dari ruang rapat untuk mengejar Jeremy.
Di dunia ini, tak ada yang ditakuti Dira. Dira bisa menentang siapa pun jika ia tak suka. Dan untuk apa pun, Dira tidak akan pernah menyerah. Namun, itu tidak berlaku jika lawannya adalah kakeknya. Karena kebebasan Dira ada di tangan kakeknya.
Untungnya, Dira sempat mengejar Jeremy di pintu lobi. Setelah berhasil menahan tangan Jeremy, menghentikan langkah pria itu, Dira berusaha mengatur napas.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jeremy dingin.
Dira segera menarik tangannya dan menegakkan tubuh. “Kakekku,” ia berkata dengan napas masih terengah.
“Apa?” Pria itu mengerutkan kening.
“Kakekku titip salam padamu,” lanjut Dira.
“Kau mengejarku hanya untuk menyampaikan itu?” Pria itu menatap Dira seolah Dira sudah gila.
“Dan sampaikan pada kakekmu kalau nanti malam kakekku ingin makan malam bersama kakekmu,” Dira menyampaikan pesan kakeknya.
“Kenapa tidak langsung menghubungi kakekku saja?” protes pria itu.
“Aku tahu itu lebih praktis, tapi sayangnya kakekku bukan orang yang praktis,” aku Dira. “Menurutmu, kenapa aku setuju bekerja sama denganmu ketika aku bahkan tak sedikit pun tertarik dengan bisnis kafe?”
Pria itu tak berkomentar.
“Sampaikan saja pada kakekmu apa yang kusebutkan tadi,” Dira memastikan, sebelum dia berbalik dan kembali masuk ke gedung kantornya.
Ugh, kakeknya benar-benar keterlaluan! Haruskah dia membuat Dira malu di kantornya sendiri?
***
“Apa?” Jeremy pasti salah dengar.
“Aku sibuk. Kau saja yang pergi, gantikan aku,” ucap kakeknya di telepon. “Lagipula, kenapa kau mengabariku tiba-tiba?”
“Bukan tiba-tiba, tapi memang baru tadi kan, aku mendapat undangan itu.” Jeremy berusaha menahan kesalnya.
“Aku tidak mau mendengar alasanmu! Yang jelas, aku tidak bisa pergi karena pemberitahuanmu terlalu mendadak. Jadi, kau nanti pergi dan temui dia.” Lalu, telepon ditutup sepihak.
Jeremy berteriak kesal dan membanting ponselnya ke meja kantor. Pria tua itu selalu saja membuat Jeremy kesal. Dia bilang, dia tidak akan mengatur hidup Jeremy. Namun, jika Jeremy menolak perintahnya, dia selalu mengancam akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan Jazz Café milik Jeremy.
Fakta bahwa kakeknya mengizinkan Jeremy membangun kafe dan tidak bergabung dengan perusahaan ternyata adalah senjata kakeknya untuk mengatur hidup Jeremy. Dia bahkan tidak pernah peduli ketika Jeremy jatuh-bangun membangun kafenya. Kini, setelah Jeremy bisa berdiri dengan mantap dengan hasil perjuangan sepuluh tahunnya, kakeknya itu seenaknya saja mengancam akan menghancurkannya.
Dan Jeremy tahu, jika itu Thomas Lewis, dia bisa melakukan apa pun jika sudah meniatkannya.
***
“Kakek pasti bercanda.” Dira sedang tidak dalam mood bercanda.
“Kakek tidak bercanda. Kakek tidak enak badan. Jadi, kau saja yang pergi menemui Thomas, kakek Remy.”
“Kek, aku tidak bisa. Kenapa aku harus bertemu dengan teman Kakek? Dan apa yang akan kubicarakan dengannya?” tolak Dira.
“Lalu, kau akan membiarkan Kakek pergi meski Kakek sakit? Jika nanti Kakek pingsan, lalu meninggal, apa yang akan kau lakukan?”
Dira memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Itu lagi, itu lagi!
“Kau harus pergi! Tidak baik tiba-tiba membatalkan undangan makan malam seperti itu.”
“Bukan aku yang membatalkannya, tapi Kakek!” Dira hampir menjerit.
“Baiklah. Lupakan saja. Kakek akan pergi meski Kakek sangat tidak enak badan. Kau akan menyesal kalau nanti Kakek meninggal.”
Dira menggeram kesal. “Iya, aku pergi!” Dira menutup telepon tanpa menunggu balasan kakeknya.
Dengan kasar, dibantingnya ponselnya ke meja. Indi, sekretarisnya yang sedang merapikan berkas di mejanya, sampai terlonjak kaget.
“Apa ada masalah, Bu?”
“Tentu saja ada. Jika itu berhubungan dengan Yang Mulia Bahtiar, selalu ada masalah,” gusar Dira.
Indi tersenyum geli. “Bu Dira dekat sekali dengan Pak Bahtiar.”
“Apa kau tidak dengar, barusan aku marah-marah pada kakekku?”
“Justru karena Bu Dira dekat dengan Pak Bahtiar, makanya Bu Dira bisa marah-marah seperti itu, kan?” singgung Indi.
“Kalau begitu, kuharap kami agak menjauh. Ini mulai menggangguku. Kau lihat sendiri bagaimana Kakek selalu merecokiku,” desis Dira kesal.
“Itu karena Pak Bahtiar peduli dan sayang pada Bu Dira.”
“Aku juga sayang pada kakekku, tapi aku tidak pernah mengganggunya seperti ini,” sanggah Dira.
Indi tersenyum geli. “Saya benar-benar iri dengan hubungan Bu Dira dan Pak Bahtiar.”
“Kalau kau mau, ambil saja kakekku. Yang Mulia Bahtiar tidak akan membiarkanmu bernapas barang sekejap pun saking pedulinya dia padamu,” gerutu Dira. “Bahkan terakhir kali, Kakek mengundang teman-temannya untuk merayakan ulang tahun ketiga puluhku!”
Indi tampak menahan tawa. “Jika saya boleh jujur, itu pesta yang menyenangkan, Bu.”
Dira menatap Indi tajam. “Jika kau berani berkomentar seperti itu lima tahun lalu, aku pasti sudah memecatmu.”
Indi tersenyum geli. “Selain saya, tidak akan ada sekretaris yang betah bekerja dengan Bu Dira. Mana bisa Bu Dira memecat saya?”
Dira mendecak kesal, tak bisa mendebat karena memang itu kebenarannya. Sebelum Indi datang, Dira selalu berganti sekretaris hampir sebulan sekali. Saat itu, kakeknya berkomentar,
“Memangnya siapa yang tahan bekerja dengan wanita dingin, galak, keras kepala, dan tidak mau disalahkan sepertimu?”
Meski itu terdengar mengesalkan, tapi mau bagaimana lagi? Toh itu kebenarannya.
***
“Pak Jeremy pasti tahu ini adalah kerja sama yang diinginkan kakek saya dan saya sebenarnya tidak tertarik dengan ini,” ucap Dira lugas. “Karena itu, saya harap kita tidak akan sering bertemu atau menghubungi untuk urusan ini.”
“Saya mengerti. Saya pun setuju menandatangani kontrak ini karena kakek saya,” balas pria itu dingin.
Dira diam-diam mendengus. Ini bahkan bukan perjodohan, tapi mereka berdua harus terpaksa bertemu seperti ini.
“Apa kakekmu membicarakan hal lain tentang kita?” tanya pria itu tiba-tiba. “Seperti … perjodohan?”
Dira mengernyitkan kening waspada. “Apa kakekmu menyebutkan tentang itu?”
Pria itu menggeleng. “Baguslah kalau tidak ada yang menyebutkan itu. Aku tidak membutuhkan tambahan pekerjaan yang merepotkan seperti itu.” Pria itu meninggalkan formalitas.
Dira tak menahan dengusannya. “Mari kita tetap bertahan di situ, kalau begitu. Aku juga tidak sudi membuang waktuku untuk hal sebodoh perjodohan.”
Pria itu mengangguk setuju. “Kalau ada yang ingin kau sampaikan, atau ada yang ingin aku sampaikan, kita bisa menyampaikannya ke manajer kafe yang akan kukirim untuk mengurus cabang kafe di kantormu,” ucap pria itu.
Dira mengangguk setuju. “Kalau begitu, urusan kita sudah selesai?”
Pria itu mengangguk dan berdiri. Seorang pria berjas kuning terang yang sedari tadi berdiri di belakangnya membereskan berkas kontrak yang ditinggalkan pria itu, lalu membungkuk sopan pada Dira sebelum menyusul bosnya. Entah dia sekretaris atau bodyguard pria itu.
Begitu dua orang itu keluar dari ruang rapat kantornya, Dira berdiri dan membiarkan sekretarisnya membereskan berkas kontraknya. Namun, saat Dira akan keluar dari ruang rapat, ponselnya berbunyi. Telepon masuk dari kakeknya.
“Halo, Kek,” Dira berbicara di telepon.
“Kau sudah bertemu dengan Remy?” tanya kakeknya.
“Remy siapa?” tanya Dira bingung.
“Jeremy,” ulang kakeknya dengan nama yang tadi dibaca Dira di kontrak.
“Oh, sudah. Kami baru selesai tanda tangan kontrak dan dia baru pergi,” beritahu Dira.
“Baiklah, sampaikan salam Kakek padanya.”
“Dia sudah pergi, Kek,” tolak Dira.
“Dia pasti masih di gedung kantormu, kan?”
“Kakek, ayolah!” erang Dira.
“Katakan padanya, Kakek ingin makan malam dengan kakeknya malam ini.”
“Kakek bisa meneleponnya sendiri seperti Kakek meneleponku sekarang,” debat Dira.
“Kau akan menyampaikannya pada Remy,” putus kakeknya sebelum memutus sambungan telepon.
Oh, no! Dira menggeram kesal, tapi kemudian berlari keluar dari ruang rapat untuk mengejar Jeremy.
Di dunia ini, tak ada yang ditakuti Dira. Dira bisa menentang siapa pun jika ia tak suka. Dan untuk apa pun, Dira tidak akan pernah menyerah. Namun, itu tidak berlaku jika lawannya adalah kakeknya. Karena kebebasan Dira ada di tangan kakeknya.
Untungnya, Dira sempat mengejar Jeremy di pintu lobi. Setelah berhasil menahan tangan Jeremy, menghentikan langkah pria itu, Dira berusaha mengatur napas.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jeremy dingin.
Dira segera menarik tangannya dan menegakkan tubuh. “Kakekku,” ia berkata dengan napas masih terengah.
“Apa?” Pria itu mengerutkan kening.
“Kakekku titip salam padamu,” lanjut Dira.
“Kau mengejarku hanya untuk menyampaikan itu?” Pria itu menatap Dira seolah Dira sudah gila.
“Dan sampaikan pada kakekmu kalau nanti malam kakekku ingin makan malam bersama kakekmu,” Dira menyampaikan pesan kakeknya.
“Kenapa tidak langsung menghubungi kakekku saja?” protes pria itu.
“Aku tahu itu lebih praktis, tapi sayangnya kakekku bukan orang yang praktis,” aku Dira. “Menurutmu, kenapa aku setuju bekerja sama denganmu ketika aku bahkan tak sedikit pun tertarik dengan bisnis kafe?”
Pria itu tak berkomentar.
“Sampaikan saja pada kakekmu apa yang kusebutkan tadi,” Dira memastikan, sebelum dia berbalik dan kembali masuk ke gedung kantornya.
Ugh, kakeknya benar-benar keterlaluan! Haruskah dia membuat Dira malu di kantornya sendiri?
***
“Apa?” Jeremy pasti salah dengar.
“Aku sibuk. Kau saja yang pergi, gantikan aku,” ucap kakeknya di telepon. “Lagipula, kenapa kau mengabariku tiba-tiba?”
“Bukan tiba-tiba, tapi memang baru tadi kan, aku mendapat undangan itu.” Jeremy berusaha menahan kesalnya.
“Aku tidak mau mendengar alasanmu! Yang jelas, aku tidak bisa pergi karena pemberitahuanmu terlalu mendadak. Jadi, kau nanti pergi dan temui dia.” Lalu, telepon ditutup sepihak.
Jeremy berteriak kesal dan membanting ponselnya ke meja kantor. Pria tua itu selalu saja membuat Jeremy kesal. Dia bilang, dia tidak akan mengatur hidup Jeremy. Namun, jika Jeremy menolak perintahnya, dia selalu mengancam akan menggunakan segala cara untuk menghancurkan Jazz Café milik Jeremy.
Fakta bahwa kakeknya mengizinkan Jeremy membangun kafe dan tidak bergabung dengan perusahaan ternyata adalah senjata kakeknya untuk mengatur hidup Jeremy. Dia bahkan tidak pernah peduli ketika Jeremy jatuh-bangun membangun kafenya. Kini, setelah Jeremy bisa berdiri dengan mantap dengan hasil perjuangan sepuluh tahunnya, kakeknya itu seenaknya saja mengancam akan menghancurkannya.
Dan Jeremy tahu, jika itu Thomas Lewis, dia bisa melakukan apa pun jika sudah meniatkannya.
***
“Kakek pasti bercanda.” Dira sedang tidak dalam mood bercanda.
“Kakek tidak bercanda. Kakek tidak enak badan. Jadi, kau saja yang pergi menemui Thomas, kakek Remy.”
“Kek, aku tidak bisa. Kenapa aku harus bertemu dengan teman Kakek? Dan apa yang akan kubicarakan dengannya?” tolak Dira.
“Lalu, kau akan membiarkan Kakek pergi meski Kakek sakit? Jika nanti Kakek pingsan, lalu meninggal, apa yang akan kau lakukan?”
Dira memejamkan mata dan memijat pangkal hidungnya dengan ibu jari dan jari telunjuk. Itu lagi, itu lagi!
“Kau harus pergi! Tidak baik tiba-tiba membatalkan undangan makan malam seperti itu.”
“Bukan aku yang membatalkannya, tapi Kakek!” Dira hampir menjerit.
“Baiklah. Lupakan saja. Kakek akan pergi meski Kakek sangat tidak enak badan. Kau akan menyesal kalau nanti Kakek meninggal.”
Dira menggeram kesal. “Iya, aku pergi!” Dira menutup telepon tanpa menunggu balasan kakeknya.
Dengan kasar, dibantingnya ponselnya ke meja. Indi, sekretarisnya yang sedang merapikan berkas di mejanya, sampai terlonjak kaget.
“Apa ada masalah, Bu?”
“Tentu saja ada. Jika itu berhubungan dengan Yang Mulia Bahtiar, selalu ada masalah,” gusar Dira.
Indi tersenyum geli. “Bu Dira dekat sekali dengan Pak Bahtiar.”
“Apa kau tidak dengar, barusan aku marah-marah pada kakekku?”
“Justru karena Bu Dira dekat dengan Pak Bahtiar, makanya Bu Dira bisa marah-marah seperti itu, kan?” singgung Indi.
“Kalau begitu, kuharap kami agak menjauh. Ini mulai menggangguku. Kau lihat sendiri bagaimana Kakek selalu merecokiku,” desis Dira kesal.
“Itu karena Pak Bahtiar peduli dan sayang pada Bu Dira.”
“Aku juga sayang pada kakekku, tapi aku tidak pernah mengganggunya seperti ini,” sanggah Dira.
Indi tersenyum geli. “Saya benar-benar iri dengan hubungan Bu Dira dan Pak Bahtiar.”
“Kalau kau mau, ambil saja kakekku. Yang Mulia Bahtiar tidak akan membiarkanmu bernapas barang sekejap pun saking pedulinya dia padamu,” gerutu Dira. “Bahkan terakhir kali, Kakek mengundang teman-temannya untuk merayakan ulang tahun ketiga puluhku!”
Indi tampak menahan tawa. “Jika saya boleh jujur, itu pesta yang menyenangkan, Bu.”
Dira menatap Indi tajam. “Jika kau berani berkomentar seperti itu lima tahun lalu, aku pasti sudah memecatmu.”
Indi tersenyum geli. “Selain saya, tidak akan ada sekretaris yang betah bekerja dengan Bu Dira. Mana bisa Bu Dira memecat saya?”
Dira mendecak kesal, tak bisa mendebat karena memang itu kebenarannya. Sebelum Indi datang, Dira selalu berganti sekretaris hampir sebulan sekali. Saat itu, kakeknya berkomentar,
“Memangnya siapa yang tahan bekerja dengan wanita dingin, galak, keras kepala, dan tidak mau disalahkan sepertimu?”
Meski itu terdengar mengesalkan, tapi mau bagaimana lagi? Toh itu kebenarannya.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved