Bab 17 Gadis yang Menantang Maut

by Ally Jane 17:14,Jan 22,2021
Biru seketika jatuh dengan lemas karena lega setelah mendengar kabar dari dokter yang merawat Jenna bahwa Jenna sudah baik-baik saja. Biru tak tahu berapa lama ia duduk di lantai koridor di depan kamar rawat Jenna itu, hingga kemudian ia melihat kedatangan Jeremy dan Dira.
“Biru, apa yang terjadi?” tanya Dira yang sudah berdiri di hadapannya.
Biru berpegangan di dinding koridor dan perlahan berdiri. “Dia … alergi telur.”
“Apa yang dia makan?” tuntut Jeremy.
“Kue … dengan krim.”
Jeremy mendesis kesal. “Anak bodoh itu!” geramnya.
“KALIAN SEMUA DIPECAT!” Teriakan marah itu membuat Biru menoleh ke sisi lain koridor.
Thomas Lewis berdiri di depan deretan para bodyguard yang tadi mengawal Jenna. Lalu, dengan wajah merah padam karena emosi, Thomas Lewis menghampiri kamar rawat VIP tempat Jenna berada.
“Apa gunanya Kakek memasang begitu banyak pengawal jika mereka tak bisa menjaga Jenna?” sengit Jeremy ketika Thomas melewatinya.
Thomas hanya menanggapi itu dengan geraman kesal dan masuk ke kamar rawat Jenna.
“Bagaimana keadaan Jenna?” tanya Dira.
“Dia sudah baik-baik saja sekarang,” jawab Biru.
Jeremy mendecak kesal. “Merepotkan saja anak itu!”
Biru mengernyit mendengarnya. Beginikah hidup gadis itu selama ini?
“Lebih baik kau masuk dan melihat keadaan Jenna dulu,” Dira berkata pada Jeremy.
Jeremy mengangguk dan masuk ke kamar rawat Jenna. Sementara, didengarnya Dira menghela napas dan berkata,
“Itu bukan salahmu, Biru. Kau juga pasti tidak tahu jika dia alergi telur.”
Biru tak mengatakan apa pun.
“Pulang dan istirahatlah. Kau juga pasti terkejut,” ucap Dira.
Biru hanya mengangguk, lalu berjalan pergi. Namun, ia tidak pulang dan berhenti di ruang tunggu lobi rumah sakit. Biru duduk di kursi ruang tunggu dan menunduk menatap tangannya yang masih gemetar.
***
“Jeremy!” Panggilan itu datang dari Aga yang baru masuk ke kamar rawat Jenna. Dira agak terkejut juga melihat kecemasan Aga. Tampaknya pria itu juga dekat dengan Jenna.
“Bagaimana keadaan Jenna?” tanya Aga yang sudah berdiri di samping ranjang tempat Jenna berbaring tak sadarkan diri.
Jeremy menghela napas. “Dia sudah baik-baik saja,” jawab Jeremy.
Aga mengembuskan napas lega. “Inilah kenapa aku terus mendesakmu untuk membawa Jenna pulang.”
“Akan lebih cepat jika kalian menikah dan kau yang membawanya pulang,” sahut Jeremy.
Dira mengerutkan kening, lalu teringat percakapan Jeremy dan Aga tentang wanita yang dijodohkan dengan Aga. Jadi, wanita yang mereka bicarakan itu … Jenna?
“Jika dia tidak mau pulang, bagaimana aku bisa menikahinya?” geram Aga.
“Apa dia menginginkan pernikahan itu?” tanya Dira.
Kedua pria itu menoleh padanya.
Jeremy mendengus geli. “Kenapa kau senaif itu? Kita sendiri juga pernah nyaris terjebak perjodohan, kan?”
Dira mengernyit. Ya, meski pada akhirnya, perjodohan mereka gagal karena kesepakatan. Perhatian Dira dari Jeremy teralih ketika pintu kamar itu kembali terbuka dan kakek Jeremy bersama kakek Dira yang baru datang, masuk ke ruangan itu. Setelah mengecek keadaan Jenna tadi, kakek Jeremy pergi untuk marah-marah pada sekretarisnya.
“Jenna belum siuman?” tanya kakek Jeremy.
Dira menggeleng.
“Bagaimana dengan pengawalnya? Kau benar-benar memecat mereka semua?” tanya kakek Dira pada kakek Jeremy.
Kakek Jeremy mengangguk. “Aku nyaris kehilangan cucuku hari ini,” geramnya.
“Apa Kakek akan mengurungnya di rumah setelah ini?” tanya Jeremy.
“Kenapa kau masih bertanya?” balas kakek Jeremy. “Dia melakukan ini untuk meledekku. Sebagai balasan karena aku mengancam akan mengurungnya di rumah.”
Dira mengernyit. Ada apa dengan keluarga Jeremy sebenarnya?
“Jangan gegabah,” tegur kakek Dira. “Jika memang dia melakukan ini karena kau mengancam akan mengurungnya, itu akan berbahaya. Jika kau benar-benar mengurungnya, dia bisa lebih nekat lagi.”
Kakek Jeremy tampak geram.
“Dan lagi, kenapa kau memecat semua pengawalnya? Mereka sudah menjaga Jenna selama ini. Mereka yang paling tahu dan hafal bagaimana Jenna. Apa kau lupa, apa yang terjadi lima tahun lalu karena kau mengganti pengawalnya?” cemas kakek Dira.
Lima tahun lalu?
Kakek Jeremy mengambil napas dalam. “Aku akan berjaga di sini malam ini sampai pengawalnya tiba,” putus kakek Jeremy.
“Kurasa, lebih baik aku dan Jeremy saja yang berjaga,” usul Aga.
“Jika dia mencoba kabur, buat saja dia pingsan,” pesan kakek Jeremy.
Lalu, terdengar komentar kakek Dira, “Dengan kemampuan Jenna, kurasa kau harus lebih khawatir pada Aga dan Remy.”
Dira tanpa sadar sudah mendengus geli. Namun, ia berdehem dan segera memasang wajah datar ketika Jeremy menatapnya kesal. “Karena saat ini Jenna masih belum sadarkan diri, kurasa akan aman jika kalian menunggunya.” Dira lalu menatap kakek Jeremy dan kakeknya. “Kalau begitu, lebih baik sekarang kita pulang saja,” ajaknya.
“Dira benar. Sebaiknya sekarang kita pulang saja. Kau harus istirahat,” ucap kakek Dira pada kakek Jeremy.
Kakek Jeremy menghela napas, lalu mengangguk dan pergi bersama kakek Dira. Dira juga sudah akan pergi, tapi Jeremy memanggilnya,
“Hei.”
Dira menoleh pada pria itu. “Apa?”
“Orang yang pertama kali mengajari Jenna boxing adalah aku,” ungkap pria itu.
Dira mendengus pelan. “Aku tidak bertanya.” Lalu, Dira melangkah pergi meninggalkan ruangan itu.
***
Jenna menunggu sampai Dira keluar dari kamar itu, lalu mendengarkan percakapan Aga dan Jeremy sembari menunggu kesempatan.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Jenna seperti ini ketika ada para pengawal di sekitarnya?” tanya Aga.
“Dia pergi bersama salah satu karyawan kantor,” jawab Jeremy.
“Ck. Kau harus mengingatkan adikmu itu untuk tidak sembarangan berteman.”
Jeremy mendengus kasar. “Seolah dia akan mendengarkanku.”
“Kenapa kau tak pernah bersikap tegas padanya?” tuntut Aga.
“Aku tak punya hak untuk itu,” jawab Jeremy.
“Kau kakaknya!”
“Dan aku tak pernah melakukan apa pun sebagai seorang kakak,” balas Jeremy enteng.
Jenna seketika teringat kalung kupu-kupu yang diberikan Dira padanya. Lalu, hadiah-hadiah yang diberikan Jeremy padanya sebelumnya. Hadiah terakhir yang pernah dibuka Jenna adalah kupu-kupu yang diawetkan. Sepuluh tahun lalu. Jeremy bilang, itu hadiah dari teman kuliah yang menyukainya. Namun, Jenna berakhir memecahkan bingkai kaca yang mengurung kupu-kupu itu dan menguburkan kupu-kupu itu di halaman rumahnya. Sejak saat itu, Jenna tak pernah membuka hadiah apa pun lagi yang diminta Jeremy untuk dibuangnya. Hingga saat Dira memberikan kalung kupu-kupu itu.
Yang Jenna tak mengerti, kenapa harus kupu-kupu?
“Aku akan membeli kopi dulu,” ucap Jeremy. “Kau espresso?”
“Double,” tambah Aga.
Euh! Jenna nyaris mengernyit membayangkan rasanya.
Ia mendengar suara pintu dibuka dan ditutup. Jeremy sudah pergi. Jenna menunggu setidaknya sampai lima menit. Setelah menghitung hingga lima ratus detik, memastikan Jeremy benar-benar sudah pergi cukup jauh untuk tiba-tiba kembali, Jenna membuka mata. Ia menoleh ke kanan dan melihat Aga duduk di sofa dan sedang mengetik sesuatu di ponselnya.
Jenna perlahan duduk, membuat Aga seketika mendongak menatapnya.
“Kau sudah siuman?” tanya Aga sembari berdiri dan bergegas menghampiri Jenna.
Keputusan yang salah.
Begitu Aga berada di samping tempat tidurnya, Jenna menggunakan tangannya sebagai tumpuan dan melayangkan tendangan ke arah leher Aga. Seketika, Aga jatuh tersungkur dengan keras sembari mengerang kesakitan.
“Maaf,” ucap Jenna sembari melepas infus di tangannya. Sembari memegangi bekas tusukan jarum infus di tangannya, Jenna turun dari tempat tidur.
“Jenna, kau mau ke mana?” tanya Aga yang sudah berdiri.
Jenna tak menjawab dan akan pergi, tapi Aga menahan bahunya. Refleks Jenna menangkap tangan pria itu dan membantingnya. Lagi-lagi Aga mengerang kesakitan.
“Maaf,” ucap Jenna di atas pria itu, sebelum berjalan ke pintu kamar rawatnya.
“Jenna!” panggil Aga.
Jenna berhenti di pintu, tapi ia hanya meringis menyesal sebelum keluar dari kamar itu.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65