Bab 20 Kesepakatan dan Permohonan

by Ally Jane 17:16,Jan 22,2021
Biru terbangun karena suara bel apartemennya. Ia mengerutkan kening melihat jam yang menunjukkan pukul lima pagi. Siapa yang datang sepagi ini?
Jangan-jangan … para bodyguard Jenna sudah melacak keberadaan gadis itu!
Biru seketika melompat bangun dan berlari keluar kamar. Ruang tamunya masih gelap ketika ia keluar. Biru menyalakan lampu ruang tamu, tapi ketika melihat sofa ruang tamunya kosong, tak ada lagi Jenna di sana, Biru merasakan jantungnya seolah terperosot dari tempatnya.
Suara bel pintu apartemennya menyadarkan Biru. Bergegas ia pergi ke pintu dan membuka pintunya. Namun, betapa terkejutnya Biru ketika melihat siapa yang berdiri di depan pintunya. Dira.
“Kau … bagaimana kau …?”
“Jenna,” jawab Dira cepat. “Dia meneleponku, mengabari jika dia ada di sini.”
Biru mengumpat kesal.
“Kau … mengumpat?” Dira tampak terkejut. “Padaku?”
Biru segera menggeleng. “Maaf, aku hanya … tidak menyangka dia akan menusukku dari belakang seperti ini.”
Dira mengangkat alis. “Jadi, apa kau akan menjelaskan padaku, apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa dia ada di sini?” tuntut Dira.
Biru menghela napas. “Masuklah dulu,” ucapnya sembari bergeser dari pintu.
Dira masuk dan duduk di sofa ruang tamu, tepat di sofa tempat Jenna tidur semalam. Bahkan gadis itu tak melipat selimutnya.
“Kau tidur di sini?” tanya Dira sembari mengangkat selimut yang tergeletak di sofa.
“Jenna,” jawab Biru sembari pergi ke dapur, hendak membuatkan minuman hangat, tapi Dira mencegahnya dengan,
“Minuman yang ada saja. Kopi kemasan juga tak masalah. Kau punya, kan?”
Biru akhirnya berbelok ke kulkas dan mengeluarkan dua kaleng kopi dari sana. Biru kembali ke ruang tamu dan menyodorkan sekaleng kopi pada Dira setelah membukakannya, lalu duduk di sofa di hadapan Dira.
“Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana bisa Jenna …?”
“Bagaimana keadaan Jeremy?” tanya Biru.
“Ah, Jenna memberitahumu?”
Biru mengangguk.
“Sekarang katakan padaku, bagaimana dia bisa berakhir di sini bersamamu?” tuntut Dira.
“Hari ketika dia masuk rumah sakit. Malam itu, aku belum pulang dan masih di lobi rumah sakit. Dia kabur dari kamar rawatnya. Ketika aku mengejarnya, dia pingsan,” cerita Biru.
“Tapi, kenapa kau tak membawanya kembali ke kamarnya?”
Biru mendecak pelan seraya memalingkan wajah. “Entahlah. Dia mengancamku saat itu. Aku juga tak tahu kenapa aku malah menurutinya dan membawanya pergi dari sana.”
Dira tak menanggapi.
“Dia sempat berada di sini sampai entah jam berapa tadi. Semalam ketika aku pergi membeli makan malam, dia tiba-tiba menghilang. Aku tak tahu jika dia pergi ke pesta pertunanganmu dan mengacaukannya.” Biru menatap Dira penuh sesal. “Maaf.”
Dira menggeleng. “Tapi, kenapa kau tak menghubungiku?”
“Aku semalam mencoba menghubungimu, tapi gadis itu mengancam akan memecahkan kepalaku …”
“Kita tahu kau tidak takut pada ancaman seperti itu,” potong Dira. “Kau takut dia akan kabur lagi, kan?”
Biru berdehem. “Itu tidak penting. Toh, sekarang dia kabur lagi.”
Dira menghela napas. “Apa dia mengatakan sesuatu padamu semalam? Mungkin petnunjuk ke mana dia pergi …”
Biru menggeleng.
Dira menatap kaleng kopi di tangannya dengan ekspresi serius, tampaknya sedang berpikir.
“Biru, jika dia kembali kemari, biarkan dia tinggal di sini,” ucap Dira kemudian.
Biru mengerutkan kening. “Apa maksudmu?”
“Katakan padanya, aku akan membujuk kakeknya untuk membiarkannya bebas dan bekerja di kantor. Jadi, dia tidak perlu kabur lagi,” lanjut Dira.
Biru mengerjap. “Kau … apa yang akan kau lakukan?”
“Menjaganya dalam jangkauanku,” jawab Dira. “Itu akan lebih menguntungkan juga bagi kakeknya. Meski …” Dira menatap Biru penuh sesal, “kau mungkin akan sedikit kesulitan karenanya.”
“Dira, aku bukannya tidak mau membantu, tapi membiarkan anak itu tinggal di sini …”
“Dia hanya mau tinggal di sini,” tukas Dira. “Untuk saat ini, yang terpenting dia mau pulang dulu. Entah itu ke rumahnya, atau ke rumah ini. Sebagai gantinya, aku akan memintanya untuk tidak terlalu sering mengganggumu di kantor. Bagaimana?”
Biru tak langsung menjawab. Itu bukan keputusan yang mudah. Membiarkan gadis itu tinggal di sini … rasanya seperti Biru menyatakan dirinya siap menghadapi segala macam kekacauan dari gadis itu. Selama dua puluh empat jam.
“Apa kau akan membiarkannya tidur di jalanan di luar sana?” sembur Dira.
Biru berdehem. “Bukan begitu, hanya …”
“Kalau begitu, kau akan membantuku, kan?” Dira tersenyum padanya.
Biru menatap wajah wanita itu dan menghela napas, lalu mengangguk. Baiklah, ia akan mengalah lagi kali ini. Hanya kali ini.
***
Jenna mendengus ketika melihat panggilan masuk ke ponselnya. Dari Biru. Hanya butuh satu jam sejak Jenna pergi. Jenna sengaja tak mengangkat panggilan telepon pria itu. Hingga dering berakhir. Lalu, pria itu kembali menelepon. Sepertinya dia sudah terdesak. Pasti karena Dira. Memang, Dira adalah kelemahan Biru.
“Ada apa?” ucap Jenna yang mengangkat telepon.
“Kau di mana?” tanya pria itu.
“Kenapa aku harus memberitahumu?” sahut Jenna cuek.
“Pulanglah,” ucap pria itu.
“Ke mana?”
“Ke rumahku.”
Jenna tersenyum mendengarnya. “Kenapa aku mau pulang ke rumahmu?”
“Aku dan Dira sudah sepakat. Dia akan membantumu berbicara dengan kakekmu. Jadi, pulanglah dan bicarakan itu dengannya,” ucap pria itu dengan nada tenang.
“Jika aku tidak mau?” Jenna sengaja memancing pria itu.
“Kau akan menyesal jika melewatkan kesempatan ini. Hanya Dira yang bisa membantumu dan …”
“Kau terdengar putus asa,” sela Jenna geli. “Kau setakut itu jika aku benar-benar kabur? Kenapa? Kau takut Dira akan kecewa padamu?”
Biru berdehem. “Dengar, aku …”
“Memohonlah,” perintah Jenna.
“Apa?” Biru terdengar nyaris mengumpat.
“Memohonlah agar aku pulang padamu sekarang,” ulang Jenna.
Biru tak menjawab.
“Dalam tiga detik, aku akan menutup teleponnya dan tidak akan mengangkat teleponmu lagi. Satu … dua … ti …”
“Kumohon, pulanglah padaku sekarang.”
Jenna seketika tergelak puas mendengar permohonan pria itu. “Ya, ya, jika kau sudah memohon-mohon seperti itu, aku bisa apa?”
Jenna tersenyum geli mendengar helaan berat napas Biru. Pria itu pasti sangat tertekan.
“Kau di mana sekarang?” tanya pria itu kemudian.
“Di atap apartemenmu,” jawab Jenna santai.
“Apa?!” pekik Biru. “Apa yang kau lakukan di sana? Jangan berbuat aneh-aneh!”
Jenna mendengus geli. “Apa yang ada di kepalamu? Aku di sini untuk melihat matahari terbit.”
“Jangan ke mana-mana. Aku akan menyusulmu ke sana,” ucap pria itu.
“Jangan berani-berani kau datang kemari tanpa membawa apa pun. Segelas jus jeruk atau kue krim …”
“Kau mau mati?!” bentak pria itu.
Jenna lagi-lagi tergelak. “Kau mudah sekali meledak jika bersamaku,” ucapnya. “Ingat, jika kau datang tanpa membawa jus jeruk, aku akan melemparmu ke bawah sana dari sini.”
Setelah mengatakan itu, Jenna menutup telepon. Ia menatap ke satu titik di mana tampak semburat fajar melukis langit pagi itu. Jenna tersenyum puas. Semua berjalan seperti yang ia rencanakan. Dengan sangat sempurna.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65