Bab 14 Mengasuh Pengacau Kecil
by Ally Jane
17:13,Jan 22,2021
Jenna tak tahu acara makan siang ini akan menjadi hukumannya. Ya, ia diberi makanan. Namun, sepanjang acara makannya, ia beberapa kali nyaris tersedak karena setiap kali mengangkat tatapan dari piring makan siangnya, ia langsung bertemu tatap dengan Dira yang sedari tadi terus menatapnya seperti itu.
Meski lapar, tapi Jenna berhenti makan ketika nasi di piringnya masih separuh. Daripada ia benar-benar tersedak dan mati karenanya, lebih baik ia berhenti makan. Ia masuk ke kantor ini untuk bertahan hidup, bukan untuk mati tersedak.
“Apa ada yang ingin kau katakan padaku?” tanya Jenna sembari mendorong piringnya menepi.
Dira akhirnya menatap piring makan siang Jenna. “Kenapa kau tidak menghabiskan makan siangmu?”
Jenna mendecak pelan. “Aku sudah kenyang.”
“Kau makan sedikit sekali. Pantas saja kau kurus sekali,” komentar wanita itu.
Jenna menatap Dira kesal. Sekarang dia bahkan meledek bentuk tubuh Jenna. Padahal Jenna paling benci jika tubuhnya disebut-sebut seperti itu. Tak peduli sebesar atau setebal apa pun pakaian yang dipakainya, tubuhnya masih saja tampak kecil. Menyebalkan.
Ah, tapi sebelum ini, tak ada orang yang berani menyebutkan langsung hal itu di depan wajah Jenna selain kakek dan kakaknya. Bertambah satu lagi orang bermulut sadis di hidup Jenna. Namun, lebih dari itu, yang sedari tadi mengusik Jenna adalah mata Dira yang seolah tak pernah lepas dari Jenna.
Apa Jenna tampak sekurus itu?
***
Ketika Jenna pamit ke toilet, Dira langsung berbicara pada Biru, “Maaf.”
Biru mendongak dari piring makan siangnya dan menatap Dira. “Tumben sekali kau meminta maaf.”
Dira meringis. “Aku sudah menebak akan sulit menghadapinya, tapi aku tak tahu akan separah ini.” Dira mencondongkan wajah di depan wajah Biru. “Kudengar tadi dia meninjumu juga.”
Biru seketika memalingkan wajah dan menutup satu pipinya, sepertinya yang tadi ditinju Jenna. Sementara, lensa kacamatanya tampak retak.
“Tidak perlu malu!” Dira menepuk pundak Biru dan mundur. “Dia punya banyak keahlian beladiri. Mulai dari boxing, karate, taekwondo, jiujitsu atau entah apa itu.” Dira mendengus geli. “Kau beruntung dia hanya meninjumu.”
“Kau sedang menghiburku atau meledekku, sebenarnya?” protes Biru kesal.
Dira mendengus geli. “Ah, sayang sekali aku tak bisa melihatnya langsung. Kau bahkan mengumpat tadi. Kapan lagi aku mendengarmu mengumpat?”
Biru mendecak kesal, tapi tak mengatakan apa pun.
Ya, Biru selalu seperti itu. Tak seperti Dira, sekesal apa pun dia, tak pernah Biru sampai mengumpat atau berteriak marah.
“Kau tidak membawa kacamata ganti?” tanya Dira.
“Ini kacamata gantiku,” jawab Biru. “Kacamataku yang sebelumnya baru kemarin pecah.”
“Wah … sepertinya kemarin memang awal kesialanmu,” komentar Dira.
Biru lagi-lagi hanya mendecak kesal, dan hanya begitu dia menunjukkan kekesalannya. Dia selalu seperti itu.
***
Seperti yang dikatakan Dira, kemarin adalah awal kesialannya, dan itu berlanjut dengan kedatangan Jenna di hidupnya. Jay adalah Jenna. Jenna Lewis. Adik dari Jeremy Lewis. Biru mengernyit kecil.
“Bantulah dia,” pinta Dira kemudian.
Biru sungguh, ingin menolak itu setelah apa yang harus dialaminya karena Jenna, tapi ia tak sanggup. Terlebih, ketika dia mendengar alasan Dira,
“Jika adikku masih hidup, dia pasti seumuran dengan Jenna sekarang. Aku hanya … ingin mendapatkan kesempatan yang tak sempat kudapatkan untuk menjaga adikku. Anak itu … dia juga kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan.”
Biru mengernyit. Tangannya yang ada di bawah meja mengepal.
“Bantu aku untuk membantunya,” pinta Dira.
Biru menunduk.
“Jika kau kesal karenanya, kau bisa melampiaskan padaku. Aku tidak akan marah untuk ini, sungguh,” Dira berkata.
Semudah itu dia mengalah? Untuk Jenna?
“Apa kau yang menyebabkan kecelakaan itu?” tanya Biru.
Dira mengangkat alis. “Kecelakaan?”
“Kecelakaan yang merenggut orang tuanya,” sebut Biru.
“Bukan,” jawab Dira.
“Kalau begitu, kau tak perlu merasa bersalah hingga melakukan hal seperti ini untuknya,” tukas Biru. Ada orang lain yang harus bertanggung jawab dan merasa seperti itu. Bukan Dira.
Dira mendengus geli. “Lihat ini. Lagi-lagi kau seperti ini. Sepertinya Jenna memang pemicu bom di dalam dirimu,” ledeknya.
“Bukan begitu, aku …”
“Wah, aku suka dengan perumpamaan itu.” Suara itu membuat Biru seketika waspada.
Jenna yang baru kembali dari toilet duduk di depan Biru.
“Jadi, kau bereaksi seperti itu karenaku?” tanya gadis itu dengan nada bersemangat. “Menarik sekali.”
Biru tak menanggapi.
“Jenna, Biru punya wewenang untuk menghentikan magangmu jika kau tidak belajar dengan benar,” tegur Dira.
Jenna berdehem. “Aku akan berusaha.”
Bukan janji yang bagus. Biru bahkan tak bisa percaya pada gadis itu.
“Tapi, apa ada hal yang kau suka, Jenna?” tanya Dira. “Seperti hobi atau kegiatan favoritmu?”
Jenna mencondongkan wajah ke arah Biru. “Membuat bom seseorang meledak.”
Menanggapi itu, Dira malah mendengus geli, tampak santai. “Jangan terlalu bersenang-senang,” Dira mengingatkan Jenna.
Biru mendengus tak percaya. Dira benar-benar mengkhianatinya tepat di depan matanya. Namun, ketika Biru menatap Jenna, ia lagi-lagi mengernyit.
***
Jenna melirik Biru ketika mereka kembali ke ruangan mereka. Pria itu lebih diam dari sebelumnya. Dia bahkan tak mengatakan apa yang harus Jenna lakukan, jadi Jenna hanya mengikuti pria itu. Pun begitu pria itu duduk di kursinya, Jenna berdiri di sebelahnya, menunggu.
“Pergi ke tempat dudukmu,” perintah Biru pelan.
“Kau belum memberitahuku mejaku yang mana,” jawab Jenna santai.
“Kau bisa duduk di mana saja yang kau inginkan,” jawab Biru tanpa menatap Jenna.
“Baiklah,” jawab Jenna. Ia kemudian menoleh ke meja paling dekat dengan meja Biru, lalu pergi ke sana meski sudah ada penghuninya.
Jenna berdiri di samping kursi yang sudah dihuni seorang wanita berambut sebahu dan berkacamata, lalu mengetuk mejanya. Ketika wanita itu menoleh padanya, Jenna memberi isyarat dengan tangannya agar wanita itu pergi. Wanita itu menoleh pada Biru, Jenna ikut menoleh pada Biru. Jenna tersenyum menang ketika Biru mengangguk pada karyawan itu.
Begitu karyawan itu pergi membawa laptopnya, Jenna duduk di sana. Ia sudah akan meminta laptop pada Biru, tapi pria itu mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya, sebuah laptop, dan meletakkannya ke meja Jenna tanpa memberikan penjelasan apa pun.
“Apa aku boleh membanting ini?” tanya Jenna iseng.
Biru tampak menahan napas, tapi tak menjawab.
“Oke, kuanggap itu boleh.” Jenna membuka flip laptop dan menyalakannya. “Tolong siapkan banyak laptop cadangan,” pesannya.
Biru menghela napas kecil, lalu kembali ke kursinya.
“Ini laptop kantor atau laptop pribadi?” Jenna memastikan.
“Pribadi,” jawab Biru.
Jenna seketika antusias. “Aku harus mengecek semua isinya. Siapa tahu kau menyembunyikan video-video rahasia yang …”
“Tidak ada hal seperti itu,” potong Biru. “Kau bisa membuka aplikasi chat di situ untuk berkomunikasi denganku. Aku akan mengirim tugasmu lewat chat itu.”
Jenna menatap layar laptop dan begitu sudah memasuki desktop, muncul sebuah aplikasi chat.
“Aku sudah membuat akun dengan namamu,” beritahu Biru. “Password-nya 2001.”
“Apa nama akunnya? Jenna Lewis?” sinis Jenna sembari mengetikkan namanya itu. Namun, tidak ada akun terdaftar dengan nama itu.
“Jay.”
Jenna menoleh kaget pada Biru mendengar itu. Di antara semua orang yang dikenal Jenna, pria itu adalah satu-satunya yang mau memanggil Jenna seperti itu. Orang yang menerima ketika Jenna menolak nama Jenna Lewis.
***
Meski lapar, tapi Jenna berhenti makan ketika nasi di piringnya masih separuh. Daripada ia benar-benar tersedak dan mati karenanya, lebih baik ia berhenti makan. Ia masuk ke kantor ini untuk bertahan hidup, bukan untuk mati tersedak.
“Apa ada yang ingin kau katakan padaku?” tanya Jenna sembari mendorong piringnya menepi.
Dira akhirnya menatap piring makan siang Jenna. “Kenapa kau tidak menghabiskan makan siangmu?”
Jenna mendecak pelan. “Aku sudah kenyang.”
“Kau makan sedikit sekali. Pantas saja kau kurus sekali,” komentar wanita itu.
Jenna menatap Dira kesal. Sekarang dia bahkan meledek bentuk tubuh Jenna. Padahal Jenna paling benci jika tubuhnya disebut-sebut seperti itu. Tak peduli sebesar atau setebal apa pun pakaian yang dipakainya, tubuhnya masih saja tampak kecil. Menyebalkan.
Ah, tapi sebelum ini, tak ada orang yang berani menyebutkan langsung hal itu di depan wajah Jenna selain kakek dan kakaknya. Bertambah satu lagi orang bermulut sadis di hidup Jenna. Namun, lebih dari itu, yang sedari tadi mengusik Jenna adalah mata Dira yang seolah tak pernah lepas dari Jenna.
Apa Jenna tampak sekurus itu?
***
Ketika Jenna pamit ke toilet, Dira langsung berbicara pada Biru, “Maaf.”
Biru mendongak dari piring makan siangnya dan menatap Dira. “Tumben sekali kau meminta maaf.”
Dira meringis. “Aku sudah menebak akan sulit menghadapinya, tapi aku tak tahu akan separah ini.” Dira mencondongkan wajah di depan wajah Biru. “Kudengar tadi dia meninjumu juga.”
Biru seketika memalingkan wajah dan menutup satu pipinya, sepertinya yang tadi ditinju Jenna. Sementara, lensa kacamatanya tampak retak.
“Tidak perlu malu!” Dira menepuk pundak Biru dan mundur. “Dia punya banyak keahlian beladiri. Mulai dari boxing, karate, taekwondo, jiujitsu atau entah apa itu.” Dira mendengus geli. “Kau beruntung dia hanya meninjumu.”
“Kau sedang menghiburku atau meledekku, sebenarnya?” protes Biru kesal.
Dira mendengus geli. “Ah, sayang sekali aku tak bisa melihatnya langsung. Kau bahkan mengumpat tadi. Kapan lagi aku mendengarmu mengumpat?”
Biru mendecak kesal, tapi tak mengatakan apa pun.
Ya, Biru selalu seperti itu. Tak seperti Dira, sekesal apa pun dia, tak pernah Biru sampai mengumpat atau berteriak marah.
“Kau tidak membawa kacamata ganti?” tanya Dira.
“Ini kacamata gantiku,” jawab Biru. “Kacamataku yang sebelumnya baru kemarin pecah.”
“Wah … sepertinya kemarin memang awal kesialanmu,” komentar Dira.
Biru lagi-lagi hanya mendecak kesal, dan hanya begitu dia menunjukkan kekesalannya. Dia selalu seperti itu.
***
Seperti yang dikatakan Dira, kemarin adalah awal kesialannya, dan itu berlanjut dengan kedatangan Jenna di hidupnya. Jay adalah Jenna. Jenna Lewis. Adik dari Jeremy Lewis. Biru mengernyit kecil.
“Bantulah dia,” pinta Dira kemudian.
Biru sungguh, ingin menolak itu setelah apa yang harus dialaminya karena Jenna, tapi ia tak sanggup. Terlebih, ketika dia mendengar alasan Dira,
“Jika adikku masih hidup, dia pasti seumuran dengan Jenna sekarang. Aku hanya … ingin mendapatkan kesempatan yang tak sempat kudapatkan untuk menjaga adikku. Anak itu … dia juga kehilangan kedua orang tuanya dalam kecelakaan.”
Biru mengernyit. Tangannya yang ada di bawah meja mengepal.
“Bantu aku untuk membantunya,” pinta Dira.
Biru menunduk.
“Jika kau kesal karenanya, kau bisa melampiaskan padaku. Aku tidak akan marah untuk ini, sungguh,” Dira berkata.
Semudah itu dia mengalah? Untuk Jenna?
“Apa kau yang menyebabkan kecelakaan itu?” tanya Biru.
Dira mengangkat alis. “Kecelakaan?”
“Kecelakaan yang merenggut orang tuanya,” sebut Biru.
“Bukan,” jawab Dira.
“Kalau begitu, kau tak perlu merasa bersalah hingga melakukan hal seperti ini untuknya,” tukas Biru. Ada orang lain yang harus bertanggung jawab dan merasa seperti itu. Bukan Dira.
Dira mendengus geli. “Lihat ini. Lagi-lagi kau seperti ini. Sepertinya Jenna memang pemicu bom di dalam dirimu,” ledeknya.
“Bukan begitu, aku …”
“Wah, aku suka dengan perumpamaan itu.” Suara itu membuat Biru seketika waspada.
Jenna yang baru kembali dari toilet duduk di depan Biru.
“Jadi, kau bereaksi seperti itu karenaku?” tanya gadis itu dengan nada bersemangat. “Menarik sekali.”
Biru tak menanggapi.
“Jenna, Biru punya wewenang untuk menghentikan magangmu jika kau tidak belajar dengan benar,” tegur Dira.
Jenna berdehem. “Aku akan berusaha.”
Bukan janji yang bagus. Biru bahkan tak bisa percaya pada gadis itu.
“Tapi, apa ada hal yang kau suka, Jenna?” tanya Dira. “Seperti hobi atau kegiatan favoritmu?”
Jenna mencondongkan wajah ke arah Biru. “Membuat bom seseorang meledak.”
Menanggapi itu, Dira malah mendengus geli, tampak santai. “Jangan terlalu bersenang-senang,” Dira mengingatkan Jenna.
Biru mendengus tak percaya. Dira benar-benar mengkhianatinya tepat di depan matanya. Namun, ketika Biru menatap Jenna, ia lagi-lagi mengernyit.
***
Jenna melirik Biru ketika mereka kembali ke ruangan mereka. Pria itu lebih diam dari sebelumnya. Dia bahkan tak mengatakan apa yang harus Jenna lakukan, jadi Jenna hanya mengikuti pria itu. Pun begitu pria itu duduk di kursinya, Jenna berdiri di sebelahnya, menunggu.
“Pergi ke tempat dudukmu,” perintah Biru pelan.
“Kau belum memberitahuku mejaku yang mana,” jawab Jenna santai.
“Kau bisa duduk di mana saja yang kau inginkan,” jawab Biru tanpa menatap Jenna.
“Baiklah,” jawab Jenna. Ia kemudian menoleh ke meja paling dekat dengan meja Biru, lalu pergi ke sana meski sudah ada penghuninya.
Jenna berdiri di samping kursi yang sudah dihuni seorang wanita berambut sebahu dan berkacamata, lalu mengetuk mejanya. Ketika wanita itu menoleh padanya, Jenna memberi isyarat dengan tangannya agar wanita itu pergi. Wanita itu menoleh pada Biru, Jenna ikut menoleh pada Biru. Jenna tersenyum menang ketika Biru mengangguk pada karyawan itu.
Begitu karyawan itu pergi membawa laptopnya, Jenna duduk di sana. Ia sudah akan meminta laptop pada Biru, tapi pria itu mengeluarkan sesuatu dari laci mejanya, sebuah laptop, dan meletakkannya ke meja Jenna tanpa memberikan penjelasan apa pun.
“Apa aku boleh membanting ini?” tanya Jenna iseng.
Biru tampak menahan napas, tapi tak menjawab.
“Oke, kuanggap itu boleh.” Jenna membuka flip laptop dan menyalakannya. “Tolong siapkan banyak laptop cadangan,” pesannya.
Biru menghela napas kecil, lalu kembali ke kursinya.
“Ini laptop kantor atau laptop pribadi?” Jenna memastikan.
“Pribadi,” jawab Biru.
Jenna seketika antusias. “Aku harus mengecek semua isinya. Siapa tahu kau menyembunyikan video-video rahasia yang …”
“Tidak ada hal seperti itu,” potong Biru. “Kau bisa membuka aplikasi chat di situ untuk berkomunikasi denganku. Aku akan mengirim tugasmu lewat chat itu.”
Jenna menatap layar laptop dan begitu sudah memasuki desktop, muncul sebuah aplikasi chat.
“Aku sudah membuat akun dengan namamu,” beritahu Biru. “Password-nya 2001.”
“Apa nama akunnya? Jenna Lewis?” sinis Jenna sembari mengetikkan namanya itu. Namun, tidak ada akun terdaftar dengan nama itu.
“Jay.”
Jenna menoleh kaget pada Biru mendengar itu. Di antara semua orang yang dikenal Jenna, pria itu adalah satu-satunya yang mau memanggil Jenna seperti itu. Orang yang menerima ketika Jenna menolak nama Jenna Lewis.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved