Bab 18 Save Me
by Ally Jane
17:15,Jan 22,2021
Biru masih duduk di ruang tunggu lobi ketika mendengar suara pekikan di tengah lobi. Biru langsung berdiri ketika melihat salah satu dari orang yang jatuh setelah tabrakan itu memakai pakaian pasien, dan orang itu tak lain adalah Jenna. Biru bergegas menghampiri gadis itu dan membantunya berdiri.
“Kau baik-baik saja?” tanya Biru pada gadis itu.
Jenna mengangguk, tapi kemudian gadis itu hendak berlari pergi, tapi Biru menahan tangannya.
“Kau mau ke mana?”
“Jika kau tak berniat membantuku, jangan menghalangiku.” Jenna menepis tangan Biru dengan kasar dan berlari ke pintu gedung. Namun, di depan pintu, tiba-tiba gadis itu berbalik dan pergi ke arah pintu menuju tangga darurat.
Ketika melihat Jeremy yang tak lama kemudian masuk ke gedung rumah sakit, Biru baru sadar, gadis itu berusaha kabur. Bergegas Biru mengejar Jenna ke arah tangga darurat.
Tepat ketika Biru melewati pintu tangga darurat, dilihatnya Jenna yang sudah menaiki tangga menoleh kaget padanya. Gadis itu terpeleset di tangga dan jatuh ke belakang. Biru lantas melompat menaiki tangga dan menangkap tubuh Jenna, memeluknya, meski kemudian tubuhnya yang berakhir mendarat lebih dulu di anak tangga terbawah.
Biru mengerang merasakan nyeri di pinggangnya yang membentur undakan tangga. Namun, Biru kemudian menyadari kepalanya tidak membentur lantai.
“Bodoh!” maki Jenna sembari menarik tangannya dari belakang kepala Biru.
Jenna mendesiskan umpatan sembari mengibaskan tangannya.
“Kau … baik-baik saja?” tanya Biru.
Jenna mendecakkan lidah kesal sembari berdiri dengan bepergangan di susuran tangga. Biru perlahan ikut berdiri, tapi kemudian ia melihat tetesan darah di lantai di bawahnya. Biru menatap tangan Jenna dan terbelalak melihat darah mengalir di sepanjang lengannya.
“Tanganmu!” seru Biru sembari mengangkat tangan Jenna.
Jenna menunduk dan mengumpat kesal, lalu mengangkat lengan panjang pakaian pasiennya. Saat itulah, Biru melihat bekas jarum infus di lengan Jenna. Biru refleks melepas kemejanya dan membalutkannya di lengan Jenna.
“Bawa aku pergi dari sini,” ucap Jenna. “Jika aku mati kehabisan darah … itu salahmu. Kau tahu, kan?”
Biru mengernyit menatap gadis itu.
“Karena itu … selamatkan aku.” Tepat setelah kalimat itu berakhir, Jenna oleng ke arah Biru, jatuh ke pelukannya dalam kondisi tak sadarkan diri.
***
Jenna tak dapat menahan senyum puasnya ketika tersadar dan mendapati dirinya tidak berada di kamar rumah sakit, kamar apartemennya, atau kamar rumah kakeknya. Biru bisa berguna juga di saat darurat.
Ck, pria cupu yang lemah. Sepertinya tidak akan sulit bagi Jenna untuk memanfaatkannya.
Jenna beranjak duduk dan menarik napas dalam, lalu berteriak sekencang mungkin. Dalam dua detik, pintu kamar itu terbuka dan Biru masuk sambil berlari.
“Kau baik-baik saja?” tanya pria itu cemas sembari menghampiri Jenna.
Jenna menjawab santai, “Tentu saja.”
“Lalu, suara teriakan tadi …”
“Hanya mengecek kecepatanmu,” balas Jenna.
Biru menatap Jenna kesal, tapi pria itu menarik tangan Jenna dan mengecek bekas tusukan jarum infus di tangannya yang sudah tertutup plester.
“Kenapa kau membawaku kemari?” tanya Jenna sembari menatap sekeliling kamar itu. “Ini rumahmu?”
“Kau yang menyuruhku membawamu pergi dari sana,” jawab Biru dengan nada kesal.
Jenna manggut-manggut. “Jadi, ini benar rumahmu?” Jenna mengulangi pertanyaannya.
“Ya,” jawab Biru pendek. “Jika kau sudah bangun, kau bisa pergi sekarang.”
Jenna mendengus geli mendengar itu. “Coba saja usir aku jika kau bisa,” sahutnya santai.
“Apa?” Biru menatap Jenna terkejut.
Jenna tersenyum miring. “Kau yang sudah membawaku kemari. Mungkin di kantor aku harus menurut padamu karena tak ingin dipecat, tapi saat ini, di sini, kurasa aku tak perlu melakukan itu.”
“Aku bisa menelepon kakakmu untuk menjemputmu,” ancam pria itu.
“Aku juga bisa menelepon polisi dan mengatakan jika kau menculikku. Pasti ada saksi atau rekaman CCTV yang melihat kau membawaku pergi dari rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri.” Jenna tersenyum licik. “Kau bisa pilih sendiri, siapa yang akan menelepon. Kau menelepon kakakku, atau aku menelepon polisi?”
Biru mengernyit, tapi pria itu tak mengatakan apa pun dan keluar dari kamar itu. Jenna tersenyum puas dan kembali berbaring. Ia menatap langit-langit kamar itu sembari bersiul gembira, merayakan kebebasannya setelah sekian lama.
***
Mobl Dira baru tiba di depan rumah kakek Jeremy ketika kakek Jeremy yang duduk di jok belakang mobilnya bersama kakeknya, mendapat telepon dari Jeremy yang mengabarkan bahwa Jenna kabur. Dira mengebut kembali ke rumah sakit sembari bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Jenna melawan Jeremy dan Aga? Dira tanpa sadar mendengus geli membayangkan Jenna mengalahkan mereka.
Ketika Dira bersama kakeknya dan kakek Jeremy kembali ke kamar rawat Jenna, hanya ada Jeremy dan Aga di sana. Sayangnya, tidak ada wajah yang babak belur. Hanya Aga yang tampak memijat bahunya sambil meringis.
“Apa yang terjadi?” tuntut kakek Jeremy.
“Jenna sepertinya sudah siuman sejak tadi dan mungkin mendengarkan percakapan kita,” terang Jeremy. “Mungkin, ini yang dia incar sejak awal. Dia tahu, Kakek akan marah dan memecat semua bodyguard-nya. Sama seperti lima tahun lalu.” Jeremy mendengus tak percaya. “Aku tak percaya, Jenna akan menggunakan pola yang sama untuk kabur.”
Kakek Jeremy menggeram kesal. “Aku sudah meminta para pengawal mulai mencarinya.”
“Terlambat,” tukas Jeremy. “Lima tahun lalu, mereka bisa menemukan Jenna dengan mudah karena ada orangku yang terus mengikuti Jenna dan melihat ke mana dia pergi. Tapi, orangku yang mengikutinya dan berjaga di depan pintu utama rumah sakit, tak melihat Jenna keluar dari rumah sakit ini.”
Dira mengerutkan kening. “Maksudmu … Jenna mungkin masih ada di dalam rumah sakit ini?”
Jeremy menggeleng. “Aku sudah melihat rekaman kamera CCTV lobi. Dia pergi ke tangga darurat. Aku juga sudah mengecek ke sana dan ada bercak darah di sana, tapi tidak ada Jenna. Dari tangga darurat itu, jika Jenna turun satu lantai lagi, dia bisa keluar dari pintu darurat. Dan tidak ada kamera CCTV di sana.”
“Anak itu benar-benar …” Kakek Jeremy tampak sangat gusar. “Padahal, besok di pesta pertunangan kalian, aku akan mengumumkan tentang dia dan Aga.”
Dira mengernyit. Apa Jenna tahu itu? Karena itukah … Jenna berusaha kabur?
“Begitu Jenna ditemukan, dia harus dikurung di rumah,” putus kakek Jeremy yang kemudian menatap Aga. “Segera setelah itu, kalian akan menikah.”
Dira terkejut mendengar itu. “Tidakkah itu terlalu terburu-buru?” komentar Jenna. “Bisa jadi, Jenna kemungkinan kabur karena masalah perjodohan itu.”
Kakek Jeremy menghela napas. “Jenna itu tidak sepertimu, Dira. Kau lihat sendiri. Dia mungkin hanya membuat kekacauan di kantormu. Pada akhirnya, dia memanfaatkan kelonggaran pengawalan untuk membuat masalah seperti ini. Satu-satunya jalan untuk menghentikan Jenna adalah dengan mengurungnya. Setelah dia menikah nanti, dia juga tidak akan punya alasan untuk keluar rumah. Itu akan lebih aman untuknya.”
Lebih aman untuk Jenna? Lebih tepatnya, lebih aman untuk kakek Jeremy pastinya.
***
“Kau baik-baik saja?” tanya Biru pada gadis itu.
Jenna mengangguk, tapi kemudian gadis itu hendak berlari pergi, tapi Biru menahan tangannya.
“Kau mau ke mana?”
“Jika kau tak berniat membantuku, jangan menghalangiku.” Jenna menepis tangan Biru dengan kasar dan berlari ke pintu gedung. Namun, di depan pintu, tiba-tiba gadis itu berbalik dan pergi ke arah pintu menuju tangga darurat.
Ketika melihat Jeremy yang tak lama kemudian masuk ke gedung rumah sakit, Biru baru sadar, gadis itu berusaha kabur. Bergegas Biru mengejar Jenna ke arah tangga darurat.
Tepat ketika Biru melewati pintu tangga darurat, dilihatnya Jenna yang sudah menaiki tangga menoleh kaget padanya. Gadis itu terpeleset di tangga dan jatuh ke belakang. Biru lantas melompat menaiki tangga dan menangkap tubuh Jenna, memeluknya, meski kemudian tubuhnya yang berakhir mendarat lebih dulu di anak tangga terbawah.
Biru mengerang merasakan nyeri di pinggangnya yang membentur undakan tangga. Namun, Biru kemudian menyadari kepalanya tidak membentur lantai.
“Bodoh!” maki Jenna sembari menarik tangannya dari belakang kepala Biru.
Jenna mendesiskan umpatan sembari mengibaskan tangannya.
“Kau … baik-baik saja?” tanya Biru.
Jenna mendecakkan lidah kesal sembari berdiri dengan bepergangan di susuran tangga. Biru perlahan ikut berdiri, tapi kemudian ia melihat tetesan darah di lantai di bawahnya. Biru menatap tangan Jenna dan terbelalak melihat darah mengalir di sepanjang lengannya.
“Tanganmu!” seru Biru sembari mengangkat tangan Jenna.
Jenna menunduk dan mengumpat kesal, lalu mengangkat lengan panjang pakaian pasiennya. Saat itulah, Biru melihat bekas jarum infus di lengan Jenna. Biru refleks melepas kemejanya dan membalutkannya di lengan Jenna.
“Bawa aku pergi dari sini,” ucap Jenna. “Jika aku mati kehabisan darah … itu salahmu. Kau tahu, kan?”
Biru mengernyit menatap gadis itu.
“Karena itu … selamatkan aku.” Tepat setelah kalimat itu berakhir, Jenna oleng ke arah Biru, jatuh ke pelukannya dalam kondisi tak sadarkan diri.
***
Jenna tak dapat menahan senyum puasnya ketika tersadar dan mendapati dirinya tidak berada di kamar rumah sakit, kamar apartemennya, atau kamar rumah kakeknya. Biru bisa berguna juga di saat darurat.
Ck, pria cupu yang lemah. Sepertinya tidak akan sulit bagi Jenna untuk memanfaatkannya.
Jenna beranjak duduk dan menarik napas dalam, lalu berteriak sekencang mungkin. Dalam dua detik, pintu kamar itu terbuka dan Biru masuk sambil berlari.
“Kau baik-baik saja?” tanya pria itu cemas sembari menghampiri Jenna.
Jenna menjawab santai, “Tentu saja.”
“Lalu, suara teriakan tadi …”
“Hanya mengecek kecepatanmu,” balas Jenna.
Biru menatap Jenna kesal, tapi pria itu menarik tangan Jenna dan mengecek bekas tusukan jarum infus di tangannya yang sudah tertutup plester.
“Kenapa kau membawaku kemari?” tanya Jenna sembari menatap sekeliling kamar itu. “Ini rumahmu?”
“Kau yang menyuruhku membawamu pergi dari sana,” jawab Biru dengan nada kesal.
Jenna manggut-manggut. “Jadi, ini benar rumahmu?” Jenna mengulangi pertanyaannya.
“Ya,” jawab Biru pendek. “Jika kau sudah bangun, kau bisa pergi sekarang.”
Jenna mendengus geli mendengar itu. “Coba saja usir aku jika kau bisa,” sahutnya santai.
“Apa?” Biru menatap Jenna terkejut.
Jenna tersenyum miring. “Kau yang sudah membawaku kemari. Mungkin di kantor aku harus menurut padamu karena tak ingin dipecat, tapi saat ini, di sini, kurasa aku tak perlu melakukan itu.”
“Aku bisa menelepon kakakmu untuk menjemputmu,” ancam pria itu.
“Aku juga bisa menelepon polisi dan mengatakan jika kau menculikku. Pasti ada saksi atau rekaman CCTV yang melihat kau membawaku pergi dari rumah sakit dalam keadaan tak sadarkan diri.” Jenna tersenyum licik. “Kau bisa pilih sendiri, siapa yang akan menelepon. Kau menelepon kakakku, atau aku menelepon polisi?”
Biru mengernyit, tapi pria itu tak mengatakan apa pun dan keluar dari kamar itu. Jenna tersenyum puas dan kembali berbaring. Ia menatap langit-langit kamar itu sembari bersiul gembira, merayakan kebebasannya setelah sekian lama.
***
Mobl Dira baru tiba di depan rumah kakek Jeremy ketika kakek Jeremy yang duduk di jok belakang mobilnya bersama kakeknya, mendapat telepon dari Jeremy yang mengabarkan bahwa Jenna kabur. Dira mengebut kembali ke rumah sakit sembari bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Jenna melawan Jeremy dan Aga? Dira tanpa sadar mendengus geli membayangkan Jenna mengalahkan mereka.
Ketika Dira bersama kakeknya dan kakek Jeremy kembali ke kamar rawat Jenna, hanya ada Jeremy dan Aga di sana. Sayangnya, tidak ada wajah yang babak belur. Hanya Aga yang tampak memijat bahunya sambil meringis.
“Apa yang terjadi?” tuntut kakek Jeremy.
“Jenna sepertinya sudah siuman sejak tadi dan mungkin mendengarkan percakapan kita,” terang Jeremy. “Mungkin, ini yang dia incar sejak awal. Dia tahu, Kakek akan marah dan memecat semua bodyguard-nya. Sama seperti lima tahun lalu.” Jeremy mendengus tak percaya. “Aku tak percaya, Jenna akan menggunakan pola yang sama untuk kabur.”
Kakek Jeremy menggeram kesal. “Aku sudah meminta para pengawal mulai mencarinya.”
“Terlambat,” tukas Jeremy. “Lima tahun lalu, mereka bisa menemukan Jenna dengan mudah karena ada orangku yang terus mengikuti Jenna dan melihat ke mana dia pergi. Tapi, orangku yang mengikutinya dan berjaga di depan pintu utama rumah sakit, tak melihat Jenna keluar dari rumah sakit ini.”
Dira mengerutkan kening. “Maksudmu … Jenna mungkin masih ada di dalam rumah sakit ini?”
Jeremy menggeleng. “Aku sudah melihat rekaman kamera CCTV lobi. Dia pergi ke tangga darurat. Aku juga sudah mengecek ke sana dan ada bercak darah di sana, tapi tidak ada Jenna. Dari tangga darurat itu, jika Jenna turun satu lantai lagi, dia bisa keluar dari pintu darurat. Dan tidak ada kamera CCTV di sana.”
“Anak itu benar-benar …” Kakek Jeremy tampak sangat gusar. “Padahal, besok di pesta pertunangan kalian, aku akan mengumumkan tentang dia dan Aga.”
Dira mengernyit. Apa Jenna tahu itu? Karena itukah … Jenna berusaha kabur?
“Begitu Jenna ditemukan, dia harus dikurung di rumah,” putus kakek Jeremy yang kemudian menatap Aga. “Segera setelah itu, kalian akan menikah.”
Dira terkejut mendengar itu. “Tidakkah itu terlalu terburu-buru?” komentar Jenna. “Bisa jadi, Jenna kemungkinan kabur karena masalah perjodohan itu.”
Kakek Jeremy menghela napas. “Jenna itu tidak sepertimu, Dira. Kau lihat sendiri. Dia mungkin hanya membuat kekacauan di kantormu. Pada akhirnya, dia memanfaatkan kelonggaran pengawalan untuk membuat masalah seperti ini. Satu-satunya jalan untuk menghentikan Jenna adalah dengan mengurungnya. Setelah dia menikah nanti, dia juga tidak akan punya alasan untuk keluar rumah. Itu akan lebih aman untuknya.”
Lebih aman untuk Jenna? Lebih tepatnya, lebih aman untuk kakek Jeremy pastinya.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved