Bab 2 Menikah? Ok
by Ally Jane
17:06,Jan 22,2021
Ketika Jeremy harus makan malam bersama Dira alih-alih dengan Bahtiar, kakek Dira, Jeremy tak dapat menahan komentar,
“Kau yakin kakekmu tidak pernah menyebut tentang perjodohan?”
Dira yang tampaknya juga kesal ketika menyadari apa yang terjadi, membalas, “Tidak. Dia hanya terus berbicara tentang dia akan meninggal jika nekat datang untuk makan malam ketika sedang tak enak badan.”
Jeremy menahan umpatan kesal di ujung bibirnya. Dia dijebak.
“Apa sebaiknya kita menikah saja?” tiba-tiba wanita yang duduk di seberang mejanya itu berucap.
Jeremy terbelalak. “Apa?”
Wanita itu mengangkat tangan. “Jangan salah paham. Aku tidak melakukannya karena aku menyukaimu atau semacamnya. Aku hanya berpikir jika itu bisa menjadi solusi untuk kita berdua. Jika memang perjodohan adalah tujuan kakekku, ke depannya mungkin akan banyak kejadian seperti ini. Karena kakekku seperti anak kecil. Dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Jeremy mengernyit. Kakeknya juga seperti itu. Sial sekali.
“Jika kita menikah, kita sudah menyelesaikan satu masalah. Anggap saja kita berbagi rumah. Rumah dua lantai. Aku di lantai satu, kau di lantai dua.”
“Aku di lantai satu, kau di lantai dua. Aku malas naik tangga,” desis Jeremy.
“Apa itu berarti, ya?”
“Ya,” jawab Jeremy.
“Jadi, kita akan menikah, berbagi rumah, tapi urusi urusan masing-masing. Kau setuju?”
“Ya. Jika itu bisa mengakhiri pertemuan-pertemuan tidak berguna seperti ini, maka ayo menikah.”
Semudah itu, Jeremy mendapat mempelai wanita untuk pernikahan. Wanita yang bahkan tak dikenalnya. Wanita yang baru ditemuinya tadi pagi. Bisakah ini lebih gila lagi?
***
Dira tak percaya, pertemuan tak direncanakannya dengan pria dingin di depannya ini akan membawanya pada pernikahan. Pertemuan yang seharusnya adalah pertemuan antara para kakek, kini dihadiri oleh mereka berdua. Meski jika para kakek yang bertemu pun, mungkin mereka akan mengobrol dengan topik yang sama.
“Ada kekasih?” tanya Dira memulai percakapan mereka setelah pria itu setuju untuk menikah dengannya demi mengakhiri pertemuan konyol nan bodoh seperti ini.
“Tidak,” jawab pria itu dingin. “Kau?”
“Tidak.”
“Ada musuh yang harus diwaspadai?” tanya pria itu.
“Tidak.”
“Kakekku.”
Dira mengerutkan kening. “Kakekmu?”
Jeremy mengangguk. “Jangan sampai Kakek tahu kita melakukan kesepakatan tentang pernikahan kita. Dia akan menghancurkan bisnisku jika tahu.”
Dira mengerjap. “Itu …”
“Jika kau ingin melakukan kesepakatan ini, lakukan dengan benar. Aku tidak menolerir kesalahan.”
Dira berdehem. “Tidak masalah. Aku juga hanya menginginkan kesempurnaan.”
“Kita akan menikah dan menjadi pasangan sempurna di depan orang lain.”
Dira mengangguk. “Tentu saja.”
“Kita tidak akan bercerai dan kita akan punya anak dalam tiga sampai lima tahun ke depan.”
Dira berpikir sejenak. “Aku perlu memikirkan itu.”
“Lupakan jika kau tidak bisa menuruti syaratku itu. Aku tidak ingin ada kesalahan di sini.”
“Apa pernikahan yang berakhir dengan perceraian adalah kesalahan? Apa pernikahan tanpa anak adalah kesalahan?”
“Ya,” jawab pria itu dingin. “Kau seharusnya tahu, pernikahan yang sempurna itu seperti apa.”
Dira agak terganggu dengan itu. Sebagai wanita modern, Dira selalu berpikir jika pernikahan bukanlah tujuan akhir seseorang. Pun seseorang menikah tidak harus berakhir selamanya. Terlebih jika itu pernikahan penuh dengan toxic. Ditambah lagi, pernikahan dengan anak. Apa gunanya mempunyai anak jika tak bisa menjadi orang tua yang baik?
“Apa salah anak itu?” tuntut Dira. “Kita menikah karena kesepakatan demi kenyamanan kita, tapi apa salah anak itu? Untuk apa dia ada jika kita tidak menginginkannya?”
“Siapa bilang tidak diinginkan? Anak itu akan menjadi penyempurna pernikahan kita,” tukas pria itu dengan yakinnya.
“Apa kau percaya diri kau bisa menjadi ayah yang baik untuknya?” tuntut Dira.
“Tentu,” sahut pria itu tanpa ragu. “Aku akan memberinya kebebasan dan memberinya fasilitas terbaik untuk seumur hidupnya.”
“Kau pikir, hanya itu yang dibutuhkan anak-anak?” protes Dira. “Mereka butuh kasih sayang.”
Jeremy mendengus. “Baiklah, begini saja. Aku akan memberi anak itu fasilitas terbaik seumur hidupnya, kau yang memberinya kasih sayang.”
Mendengar itu, Dira jadi berpikir. Benar juga. Toh, anaknya nanti tidak akan butuh ayah yang dingin seperti Jeremy. Meski Dira juga bukan sosok yang baik dan hangat pada semua orang, tapi ia tidak akan melakukan itu pada anaknya nanti. Ia tidak akan membuat anaknya tumbuh menjadi sosok seperti dirinya. Ia ingin … anaknya hidup bahagia.
“Oke,” Dira menjawab. “Tapi, kau tidak berhak mengatur hidupnya.”
Jeremy mengedik cuek. “Tidak masalah. Aku juga tidak peduli.”
Baguslah, kalau begitu. Itu justru lebih baik.
“Jadi, kita sepakat?” Jeremy memastikan.
Dira mengangguk. “Kita akan menikah, tanpa perceraian. Anak dalam tiga sampai lima tahun lagi. Kita tidak akan saling ikut campur urusan satu sama lain. Kita hanya akan berbagi tempat tinggal,” Dira menyebutkan poin dalam kesepakatan mereka.
Jeremy mengangguk. “Ingat, itu adalah pernikahan sempurna. Jangan sampai ada kesalahan.”
“Tentu saja. Itu juga yang kuinginkan. Selama kita tidak ikut campur urusan satu sama lain, itu akan menjadi pernikahan yang sempurna,” sahut Dira.
Jeremy kembali mengangguk dan mengecek jam tangannya. “Untuk syarat lainnya kita kirim via email saja. Sekarang, lebih baik kita segera makan malam dan pulang. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan,” ucap pria itu.
Dira mengangguk setuju. “Aku pun begitu,” balasnya, lalu mengangkat tangan, memanggil pelayan restoran untuk mulai memesan.
Hebat! Dira kemari untuk makan malam, tapi ia malah mendapat calon suami. Hebat sekali!
***
Jeremy menyipitkan mata ketika melihat Dira mengeluarkan kartu dari dompetnya dan meletakkannya ke atas bill yang dibawa pelayan restoran.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jeremy tajam.
“Membayar makan malamku,” jawab wanita itu santai.
“Apa kau tidak tahu, aturan makan bersama itu, pihak pria yang seharusnya membayar?”
Dira mendengus meledek. “Peraturan dari mana itu?” sinisnya. “Jangan kolot. Aku tidak sudi berutang satu rupiah pun pada orang lain. Terutama, jika itu orang asing sepertimu.”
“Kupikir, kita sudah sepakat untuk menikah.”
“Itu tak mengubah apa pun. Kau dan urusanmu, aku dan urusanku, ingat?” balas wanita itu dingin.
Jeremy mendengus tak percaya. Ia menatap pelayan restoran yang menunggu di samping meja karena perdebatan itu dan berkata, “Split bill. Aku akan membayar makananku sendiri.”
“Harga diri pria, huh?” dengus Dira meledek, tapi Jeremy tak menanggapinya dan meletakkan beberapa lembar seratus ribu di atas meja.
Jeremy dan Dira saling menatap selama beberapa saat. Wanita dingin yang keras kepala dan tidak mau kalah. Akan merepotkan jika Jeremy terus berurusan dengannya. Memang, pernikahan adalah solusinya. Saat di mana mereka hanya perlu berbagi rumah sebagai orang asing. Wanita itu dengan urusannya, dan Jeremy dengan urusannya sendiri.
Sempurna.
***
“Kau yakin kakekmu tidak pernah menyebut tentang perjodohan?”
Dira yang tampaknya juga kesal ketika menyadari apa yang terjadi, membalas, “Tidak. Dia hanya terus berbicara tentang dia akan meninggal jika nekat datang untuk makan malam ketika sedang tak enak badan.”
Jeremy menahan umpatan kesal di ujung bibirnya. Dia dijebak.
“Apa sebaiknya kita menikah saja?” tiba-tiba wanita yang duduk di seberang mejanya itu berucap.
Jeremy terbelalak. “Apa?”
Wanita itu mengangkat tangan. “Jangan salah paham. Aku tidak melakukannya karena aku menyukaimu atau semacamnya. Aku hanya berpikir jika itu bisa menjadi solusi untuk kita berdua. Jika memang perjodohan adalah tujuan kakekku, ke depannya mungkin akan banyak kejadian seperti ini. Karena kakekku seperti anak kecil. Dia tidak akan berhenti sampai dia mendapatkan apa yang diinginkannya.”
Jeremy mengernyit. Kakeknya juga seperti itu. Sial sekali.
“Jika kita menikah, kita sudah menyelesaikan satu masalah. Anggap saja kita berbagi rumah. Rumah dua lantai. Aku di lantai satu, kau di lantai dua.”
“Aku di lantai satu, kau di lantai dua. Aku malas naik tangga,” desis Jeremy.
“Apa itu berarti, ya?”
“Ya,” jawab Jeremy.
“Jadi, kita akan menikah, berbagi rumah, tapi urusi urusan masing-masing. Kau setuju?”
“Ya. Jika itu bisa mengakhiri pertemuan-pertemuan tidak berguna seperti ini, maka ayo menikah.”
Semudah itu, Jeremy mendapat mempelai wanita untuk pernikahan. Wanita yang bahkan tak dikenalnya. Wanita yang baru ditemuinya tadi pagi. Bisakah ini lebih gila lagi?
***
Dira tak percaya, pertemuan tak direncanakannya dengan pria dingin di depannya ini akan membawanya pada pernikahan. Pertemuan yang seharusnya adalah pertemuan antara para kakek, kini dihadiri oleh mereka berdua. Meski jika para kakek yang bertemu pun, mungkin mereka akan mengobrol dengan topik yang sama.
“Ada kekasih?” tanya Dira memulai percakapan mereka setelah pria itu setuju untuk menikah dengannya demi mengakhiri pertemuan konyol nan bodoh seperti ini.
“Tidak,” jawab pria itu dingin. “Kau?”
“Tidak.”
“Ada musuh yang harus diwaspadai?” tanya pria itu.
“Tidak.”
“Kakekku.”
Dira mengerutkan kening. “Kakekmu?”
Jeremy mengangguk. “Jangan sampai Kakek tahu kita melakukan kesepakatan tentang pernikahan kita. Dia akan menghancurkan bisnisku jika tahu.”
Dira mengerjap. “Itu …”
“Jika kau ingin melakukan kesepakatan ini, lakukan dengan benar. Aku tidak menolerir kesalahan.”
Dira berdehem. “Tidak masalah. Aku juga hanya menginginkan kesempurnaan.”
“Kita akan menikah dan menjadi pasangan sempurna di depan orang lain.”
Dira mengangguk. “Tentu saja.”
“Kita tidak akan bercerai dan kita akan punya anak dalam tiga sampai lima tahun ke depan.”
Dira berpikir sejenak. “Aku perlu memikirkan itu.”
“Lupakan jika kau tidak bisa menuruti syaratku itu. Aku tidak ingin ada kesalahan di sini.”
“Apa pernikahan yang berakhir dengan perceraian adalah kesalahan? Apa pernikahan tanpa anak adalah kesalahan?”
“Ya,” jawab pria itu dingin. “Kau seharusnya tahu, pernikahan yang sempurna itu seperti apa.”
Dira agak terganggu dengan itu. Sebagai wanita modern, Dira selalu berpikir jika pernikahan bukanlah tujuan akhir seseorang. Pun seseorang menikah tidak harus berakhir selamanya. Terlebih jika itu pernikahan penuh dengan toxic. Ditambah lagi, pernikahan dengan anak. Apa gunanya mempunyai anak jika tak bisa menjadi orang tua yang baik?
“Apa salah anak itu?” tuntut Dira. “Kita menikah karena kesepakatan demi kenyamanan kita, tapi apa salah anak itu? Untuk apa dia ada jika kita tidak menginginkannya?”
“Siapa bilang tidak diinginkan? Anak itu akan menjadi penyempurna pernikahan kita,” tukas pria itu dengan yakinnya.
“Apa kau percaya diri kau bisa menjadi ayah yang baik untuknya?” tuntut Dira.
“Tentu,” sahut pria itu tanpa ragu. “Aku akan memberinya kebebasan dan memberinya fasilitas terbaik untuk seumur hidupnya.”
“Kau pikir, hanya itu yang dibutuhkan anak-anak?” protes Dira. “Mereka butuh kasih sayang.”
Jeremy mendengus. “Baiklah, begini saja. Aku akan memberi anak itu fasilitas terbaik seumur hidupnya, kau yang memberinya kasih sayang.”
Mendengar itu, Dira jadi berpikir. Benar juga. Toh, anaknya nanti tidak akan butuh ayah yang dingin seperti Jeremy. Meski Dira juga bukan sosok yang baik dan hangat pada semua orang, tapi ia tidak akan melakukan itu pada anaknya nanti. Ia tidak akan membuat anaknya tumbuh menjadi sosok seperti dirinya. Ia ingin … anaknya hidup bahagia.
“Oke,” Dira menjawab. “Tapi, kau tidak berhak mengatur hidupnya.”
Jeremy mengedik cuek. “Tidak masalah. Aku juga tidak peduli.”
Baguslah, kalau begitu. Itu justru lebih baik.
“Jadi, kita sepakat?” Jeremy memastikan.
Dira mengangguk. “Kita akan menikah, tanpa perceraian. Anak dalam tiga sampai lima tahun lagi. Kita tidak akan saling ikut campur urusan satu sama lain. Kita hanya akan berbagi tempat tinggal,” Dira menyebutkan poin dalam kesepakatan mereka.
Jeremy mengangguk. “Ingat, itu adalah pernikahan sempurna. Jangan sampai ada kesalahan.”
“Tentu saja. Itu juga yang kuinginkan. Selama kita tidak ikut campur urusan satu sama lain, itu akan menjadi pernikahan yang sempurna,” sahut Dira.
Jeremy kembali mengangguk dan mengecek jam tangannya. “Untuk syarat lainnya kita kirim via email saja. Sekarang, lebih baik kita segera makan malam dan pulang. Masih banyak pekerjaan yang harus kulakukan,” ucap pria itu.
Dira mengangguk setuju. “Aku pun begitu,” balasnya, lalu mengangkat tangan, memanggil pelayan restoran untuk mulai memesan.
Hebat! Dira kemari untuk makan malam, tapi ia malah mendapat calon suami. Hebat sekali!
***
Jeremy menyipitkan mata ketika melihat Dira mengeluarkan kartu dari dompetnya dan meletakkannya ke atas bill yang dibawa pelayan restoran.
“Apa yang kau lakukan?” tanya Jeremy tajam.
“Membayar makan malamku,” jawab wanita itu santai.
“Apa kau tidak tahu, aturan makan bersama itu, pihak pria yang seharusnya membayar?”
Dira mendengus meledek. “Peraturan dari mana itu?” sinisnya. “Jangan kolot. Aku tidak sudi berutang satu rupiah pun pada orang lain. Terutama, jika itu orang asing sepertimu.”
“Kupikir, kita sudah sepakat untuk menikah.”
“Itu tak mengubah apa pun. Kau dan urusanmu, aku dan urusanku, ingat?” balas wanita itu dingin.
Jeremy mendengus tak percaya. Ia menatap pelayan restoran yang menunggu di samping meja karena perdebatan itu dan berkata, “Split bill. Aku akan membayar makananku sendiri.”
“Harga diri pria, huh?” dengus Dira meledek, tapi Jeremy tak menanggapinya dan meletakkan beberapa lembar seratus ribu di atas meja.
Jeremy dan Dira saling menatap selama beberapa saat. Wanita dingin yang keras kepala dan tidak mau kalah. Akan merepotkan jika Jeremy terus berurusan dengannya. Memang, pernikahan adalah solusinya. Saat di mana mereka hanya perlu berbagi rumah sebagai orang asing. Wanita itu dengan urusannya, dan Jeremy dengan urusannya sendiri.
Sempurna.
***
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved