Bab 5 Perdebatan Awal

by Ally Jane 17:08,Jan 22,2021
Setelah menentukan tanggal pesta pertunangan, yaitu minggu depan, dan pesta pernikahan dua minggu lagi, Dira dan Jeremy tidak langsung pulang dan memutuskan untuk melanjutkan pembicaraan setelah kakek-kakek mereka pulang.
“Aku tidak ingin membuang lebih banyak waktu untuk mengurus hal seperti ini, jadi kita selesaikan saja malam ini sekalian,” Dira membuka percakapan.
Jeremy mengangguk setuju. “Aku juga begitu.”
“Karena baik pesta pertunangan maupun pernikahan sudah diurus tim profesional, tamu undangan pun pasti sudah disiapkan oleh kakek-kakek kita, kita hanya perlu menentukan konsep dan venue-nya,” ucap Dira.
“Untuk tamu undangan, aku menolak lebih dari seratus orang tamu undangan,” ucap Jeremy.
“Apa?” Dira memelotot pada pria itu. “Apa kau tahu pernikahan macam apa ini? Ini bukan hanya tentang kita, tapi juga tentang perusahaan.”
“Aku tidak terlibat dengan perusahaan,” tukas pria itu.
Dira mendengus tak percaya. “Kau pikir, kakekmu akan menerima penolakanmu? Kau cucu satu-satunya …”
“Bukan satu-satunya,” potong pria itu.
Dira mengerutkan kening. “Kau … punya saudara?”
“Ada adikku,” kata pria itu dingin.
“Oh.” Dira manggut-manggut. “Tapi, aku cucu satu-satunya kakekku sekarang, jadi aku tidak bisa melawan kakekku untuk masalah tamu undangan.”
Jeremy mendecak kesal. “Pernikahan benar-benar merepotkan.”
“Ya, tapi setidaknya, setelah ini kita bisa hidup tenang. Jadi, meski kau membencinya, tahan saja selama satu hari,” sengit Dira. “Toh, kita tidak perlu sibuk mengurus semuanya. Kita hanya perlu datang ke pernikahan kita sendiri, menikah, tersenyum pada beberapa orang asing, dan semuanya selesai.”
Jeremy masih tampak kesal. “Setelah pernikahan kita, aku tidak ingin ada pesta-pesta seperti itu lagi.”
“Aku juga tidak suka membuang waktuku untuk pesta, jadi aku jarang pergi ke pesta perusahaan jika tidak begitu penting,” sahut Dira.
“Dan dengar, aku menikah denganmu karena tak mau direpotkan dengan segala hal tentang perjodohan, jadi jangan sampai pernikahan ini merepotkanku,” pria itu memberi peringatan.
“Aku tahu. Aku bisa memastikan aku tak akan pernah merepotkanmu seumur hidupku,” ketus Dira. “Aku menikah denganmu juga bukan karena aku membutuhkan dirimu. Pernikahan ini hanya solusi bagi kita berdua untuk kembali ke kehidupan normal kita tanpa gangguan kakek-kakek kita, jadi sampai hari itu, bertahanlah. Aku juga muak dengan semua ini, tapi hanya ini satu-satunya jalan.”
Jeremy mengambil napas dalam. “Jika kau ingin melakukan pesta pernikahan yang meriah dengan banyak tamu, pastikan pesta itu sempurna. Termasuk, peranmu sebagai mempelai wanita,” ucap pria itu dingin.
Dira mendengus tak percaya. “Aku justru mengkhawatirkan dirimu yang nanti pasti akan merengut sepanjang pesta seperti anak kecil yang tak dibelikan balon.”
Mata Jeremy menyipit tak suka mendengar ledekan Dira.
“Tentang konsep pernikahannya, pesta pertunangan akan dilakukan di ball room hotel dan pesta pernikahan akan dilakukan di taman hotel,” urai Dira. “Apa kau ada usulan lain?”
“Tidak. Dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin ini cepat selesai,” ketus pria itu.
Dira mendesis kesal dalam hati. Pria itu pikir, Dira melakukan ini karena suka? Jika wanita lain mungkin mengimpikan pesta pernikahan yang indah dan sempurna, tidak dengan Dira.
“Baiklah, urusan pesta pertunangan dan pesta pernikahan sudah selesai. Selanjutnya, tentang tempat tinggal kita setelah menikah …”
“Di rumahku,” sela pria itu. “Ada dua lantai. Aku menggunakan lantai satu. Lantai dua hanya berisi kamar-kamar kosong. Aku akan meminta Egi, asistenku, menghubungimu. Kau bisa mengatur jadwal untuk pergi ke rumahku dan menata lantai dua sesuai yang kau inginkan. Egi akan membantumu menyiapkan semuanya.”
Dira manggut-manggut. “Tapi, rumahmu aman, kan? Tidak ada yang boleh sembarangan masuk ke rumah itu selain pengurus rumah atau rahasia kesepakatan kita akan terbongkar.”
“Tanggal berapa tanggal lahirmu?” tanya pria itu tiba-tiba.
Dira mengerutkan kening bingung, tapi dia menjawab, “Tanggal sepuluh, bulan satu.”
“Password pintu rumahku akan kuganti dengan itu. Aku juga akan membuat kunci dengan sistem sidik jari, jadi hanya kita berdua yang bisa keluar-masuk rumah itu. Mungkin ditambah Egi. Atau sekretarismu, jika kau membutuhkannya di keadaan darurat,” urai pria itu.
Dira mengangguk setuju. “Tapi, bagaimana jika kakekmu atau kakekku datang ke rumahmu?”
“Kita bisa menyiapkan satu kamar cadangan untuk berjaga-jaga. Kita isi kamar itu dengan beberapa barang kita berdua. Itu akan menjadi kamar utama jika kakekku atau kakekmu datang ke rumah. Kurasa kita bisa menyiapkannya di lantai dua. Ada lebih banyak kamar di atas,” urai Jeremy.
Dira manggut-manggut. “Baiklah. Aku akan menyiapkan kamar itu sekalian aku mendekor ulang lantai dua rumahmu. Aku boleh melakukan apa pun di kawasanku, kan?”
Jeremy mengangguk enteng. “Untuk dapur, jika kau tidak mau berbagi, kau bisa menyiapkan dapur sendiri di lantai dua, itu terserah padamu.”
Dira memikirkan itu. “Aku akan melihat rumahmu lebih dulu. Selain kamar tidur, aku butuh ruang kerja, ruang fitness, dan ruang bersantai. Ditambah kamar tidur utama kita, itu akan membutuhkan banyak ruang. Jika tidak ada cukup ruang, maka terpaksa kita harus berbagi dapur.”
Jeremy mengangguk. “Tidak masalah. Aku tidak pernah memasak, ada pengurus rumah yang datang setiap hari untuk memasak dan bersih-bersih untukku.”
“Aku terkadang memasak jika aku ingin,” Dira menyahut. “Kurasa berbagi dapur tidak masalah.”
Jeremy mengangguk dan mengecek jam tangannya. “Ada lagi yang perlu kita bahas?”
“Tentang adikmu …” singgung Dira. “Aku belum pernah bertemu dengannya. Itu tidak akan menjadi masalah, kan?”
Jeremy menggeleng. “Tidak banyak yang mengenalnya karena dia tidak pernah ada di rumah. Dia selalu ada di luar sana, entah di mana, bermain-main dan membuat masalah. Seingatku ada beberapa bodyguard bayaran kakekku yang mengikutinya.”
Dira mengerutkan kening. Bodyguard? “Apa saja yang dilakukan adikmu di luar sana hingga dia harus dikawal bodyguard?”
Jeremy mengedikkan bahu. “Membuat masalah. Apa lagi?”
“Apa kau … bahkan tak khawatir?”
“Dia sudah dewasa. Seharusnya dia sudah bisa bertanggung jawab atas dirinya sendiri,” jawab pria itu dengan entengnya. “Jika dia tidak belajar bertanggung jawab mulai sekarang, bagaimana dia akan bertahan jika suatu hari nanti aku dan kakekku tidak ada?”
Orang-orang di sekitar Dira selalu mengatakan jika Dira punya hati yang dingin. Namun, saat ini, di depan Dira, ada pria yang berhati es. Mungkin jika ada orang yang tertembak di depan matanya, pria itu tidak akan berkedip. Bahkan meski ada lautan darah di bawah kakinya, pria itu akan dengan santai berjalan di atasnya.
Namun, semakin dingin pria itu, justru semakin baik bagi Dira. Itu berarti, Dira tak perlu sering berinteraksi dengan pria itu. Seperti yang ia bayangkan, ia hanya akan berbagi rumah dengan orang asing setelah mereka menikah.
Bagi Dira, Jeremy adalah pasangan hidup yang sempurna. Karena Dira tahu, pria itu tidak akan pernah peduli dan tak akan pernah ikut campur akan urusan hidupnya.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65