Bab 10 Sesal Tak Terucap

by Ally Jane 17:11,Jan 22,2021
Kakek Jeremy dan kakek Dira menatap Jeremy dan Dira keheranan ketika mereka baru masuk ke ruang makan.
“Apa ada masalah?” tanya kakek Jeremy dengan mata menyipit curiga pada Jeremy.
“Tidak ada, Kek,” Dira menjawab sembari tersenyum. “Kami hanya berbicara sebentar membahas persiapan pernikahan kami. Tentang konsep pesta dan tamu undangannya.” Dira menyebutkan alasan seperti yang diucapkan Jeremy tadi.
“Oh iya, besok sepulang kerja, apa kau ada waktu sebentar?” tanya Jeremy dengan nada lembut, sangat berbeda dengan saat mereka di ruang kerja Dira tadi.
“Ada apa?” tanya Dira sembari menatap Jeremy.
“Kurasa besok kita bisa pergi memesan cincin tunangan dan cincin pernikahan kita,” jawab pria itu.
“Boleh. Kita sekalian makan malam di luar saja,” sahut Dira, mengikuti permainan pria itu. Dira kemudian menoleh pada kakek-kakek mereka. “Apa besok Kakek mau ikut?”
Baik kakek Dira maupun kakek Jeremy menggeleng. “Kalian bisa menghabiskan waktu berdua saja. Kami tidak ingin mengganggu kencan kalian,” jawab kakek Dira.
“Kakek peka sekali,” ucap Dira sembari mengerdip pada kakeknya.
Kakek Dira tergelak. “Sekarang karena sudah ada Remy, apa kau akan menomorduakan Kakek?”
Dira mengedik kecil. “Sejujurnya, aku merasa lebih cocok dengan Jeremy. Kami benar-benar cocok satu sama lain. Lebih mudah bagiku berdiskusi dengannya daripada berdiskusi dengan Kakek,” jawab Dira, sengaja menggoda kakeknya.
Namun, kakeknya malah tersenyum geli. “Baguslah, kalau begitu. Thomas sering berkata jika Remy sangat keras kepala, sama sepertimu. Kakek sudah khawatir jika kau akan terus bertengkar dengan Remy.”
Ya, memang itu kenyataannya, tapi Dira membantah kakeknya dengan, “Justru karena itu, kami punya cara berpikir yang sama dan itu membuat kami lebih mudah untuk mengerti satu sama lain.” Dalam hati, Dira merasa jijik dengan kata-katanya sendiri.
Apa kata Dira tadi? Mengerti satu sama lain? Gila. Beberapa saat lalu mereka bahkan berteriak satu sama lain.
***
Tadinya, ketika kakek Dira memamerkan tentang Dira yang memasak makanan kesukaannya, Jeremy tak percaya. Namun, setelah wanita itu menyebutkan tentang dia yang sudah membuang waktunya untuk memasak, dan Jeremy bahkan mencicipi masakan wanita itu, Jeremy merasa sedikit tak nyaman. Wanita itu benar-benar membuang waktunya untuk memasak makan malam.
Bahkan, di kafe pun, Jeremy punya chef sendiri karena menurutnya, memasak itu adalah hal yang sangat merepotkan. Ia lebih suka mengurus interior kafe, manajemennya, dan tentu saja, pundi-pundi uang yang ia dapatkan dari kafenya. Itu menjadi nilai kesuksesan bagi kafe yang menjadi impiannya. Meski, harus Jeremy akui, wanita itu memang bisa memasak.
Ketika akhirnya Jeremy dan kakeknya pamit pulang, Jeremy menghampiri Dira. Wanita itu menatapnya dengan kening berkerut heran, matanya menyorot penuh tanya. Namun, begitu Jeremy berdiri di depan Dira, ia tak tahu apa yang akan ia katakan. Ia hanya merasa … sedikit tidak nyaman karena tadi sempat melampiaskan amarahnya pada wanita itu.
“Kalian butuh waktu untuk berdua?” tanya kakek Dira.
Jeremy menoleh dan mendapati kakeknya dan kakek Dira memperhatikan mereka. Jeremy mengusap tengkuk dengan canggung.
“Tidak, aku hanya …”
“Tidak apa-apa, Kakek mengerti,” sela kakek Dira, lalu diajaknya kakek Jeremy keluar lebih dulu.
“Ada apa?” tanya Dira sepeninggal kakek-kakek mereka.
Jeremy berdehem. Sekarang apa? Apa yang sebenarnya ingin ia katakan pada wanita ini?
“Tentang besok …”
“Ah, benar,” Dira menyela. “Lain kali, tolong diskusikan dulu denganku sebelum membuat jadwal dadakan seperti itu. Terutama di hari kerja. Kau mungkin lebih bebas dalam jam kerja karena kau hanya mengelola kafe, tapi aku tidak bisa seperti itu.”
“Kantorku juga bekerja sesuai jam kerja,” sengit Jeremy. “Hanya kafe yang jam kerjanya selama seminggu penuh tanpa libur.”
Dira mengedik cuek. “Apa pun itu, tapi aku punya jadwal padat di hari kerja. Jadi, jangan membuat jadwal mendadak tanpa diskusi lebih dulu.”
Jeremy mendengus tak percaya. “Kau pikir hanya kau yang sibuk?” sengit Jeremy sebelum berbalik dan pergi ke pintu depan.
Namun, ketika Jeremy keluar melewati pintu depan rumah Bahtiar itu, Jeremy seketika kesal sendiri. Yang diniatkannya apa, yang keluar dari mulutnya apa. Argh! Itu salah Dira! Wanita itu yang tiba-tiba menyinggung kafe Jeremy, meremehkannya.
Jeremy segera mengatur ekspresinya ketika kakek Dira menoleh padanya. Jeremy tersenyum pada kakek Dira dan berpamitan. Ia menunggu kakeknya masuk ke mobil yang pintu belakangnya sudah dibukakan sopirnya, sebelum dia sendiri masuk ke mobilnya.
Jeremy sempat menoleh ke arah pintu depan, tempat Dira berada, sebelum mengangguk kecil pada kakek Dira dan melajukan mobilnya pergi setelah mobil kakeknya juga pergi.
Namun, sepanjang perjalanan pulang pun, Jeremy entah kenapa masih saja merasa tak nyaman. Ia mengacak rambutnya dan menatap jalanan dengan lesu. Kenapa … Jeremy tak pernah bisa mengatakan apa yang diinginkan hatinya?
***
“Dira.” Panggilan kakeknya itu menahan Dira di kaki tangga ketika ia akan pergi ke kamarnya di lantai atas.
“Ya, Kek?” Dira menoleh pada kakeknya.
Kakeknya tersenyum. “Kakek ingin bicara padamu sebentar.”
“Oh, baiklah.” Dira menghampiri kakeknya. Mereka pergi ke ruang tengah dan duduk di sofa berhadapan. “Ada apa, Kek?” tanya Dira. Dalam hati was-was juga. Apa kakeknya menyadari kepura-puraan Dira dan Jeremy tadi?
“Kakek Remy sangat mengkhawatirkan adik Remy, jadi Kakek menawari agar adiknya bekerja di kantormu. Kau bisa membantunya, kan?” tanya kakeknya.
“Tentu saja,” jawab Dira. “Tapi, kenapa di perusahaanku, bukan di perusahaan kakek Jeremy sendiri?”
“Apa Remy … sudah memberitahumu tentang orang tuanya?” tanya kakeknya.
Dira mengerjap. “Itu … aku belum pernah bertanya padanya tentang itu.”
Kakeknya mengangguk. “Mungkin, bagi Remy masih sulit juga untuk berbagi cerita itu. Karena … dia juga kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan. Sama sepertimu.”
Dira mengernyit.
“Sama sepertimu, dia juga hanya punya kakek dan adiknya setelah kehilangan orang tuanya,” lanjut kakeknya. “Adiknya juga seusia adikmu saat kecelakaan itu.”
Dira mengerjap ketika matanya terasa panas. Masa lalu yang sekuat tenaga ingin ditenggelamkannya, seketika kembali ke permukaan. Setiap kali Dira mengingat kecelakaan itu, hanya ada satu hal dalam kepalanya; seharusnya ia juga mati dalam kecelakaan itu.
“Setelah lulus SMA, adiknya tidak mau masuk kuliah dan hanya bermain ke sana-kemari. Seringkali membuat masalah …”
Dira mengangguk. “Jeremy sempat menceritakan tentang adiknya padaku,” ucapnya.
Kakek Dira tersenyum lembut. “Karena itu, kau mau kan, membantu adik Remy?”
Dira berdehem. “Aku punya karyawan yang bekerja dengan sangat baik di kantorku. Aku akan menitipkan adik Jeremy padanya dan terus mengawasinya,” ucap Dira. “Tapi … apa dia mau bekerja di kantorku, Kek?” tanya Dira ragu.
“Dia tidak punya pilihan lain. Jadi, mungkin dia akan sedikit membuat masalah. Tapi, kau pasti bisa mengatasinya, kan?” Kakeknya menatap Dira penuh harap.
Dira tersenyum. “Kakek tidak perlu khawatir. Aku akan membantunya.”
Ketika kakeknya menyebutkan bahwa adik Jeremy seusia dengan adiknya yang telah tiada, Dira tak bisa berhenti berpikir tentang bagaimana bayangan adiknya jika dia masih hidup saat ini.
***

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

65