Bab 10 Part 10. Harus Lincah Menggoyang Nikmat

by Dinda Tirani 16:28,Oct 09,2023
Pov. Dina
Hari pertama, rencanaku gagal total, di belain bekerja sampai pingsan, tetap saja, hatinya mas Ali belum juga ku dapatkan. Padahal sebelumnya semangatku sudah begitu membara. Berbagai rencana sudah kutata sedemikian rupa.
Sebenarnya, aku pingsannya hanya sebentar saja. Begitu mendengar suara Ibunya Mas Ali yang berteriak, sebenarnya aku ikut kaget, tapi aku lanjutkan lagi pingsannya.Lebih tepatnya, sekarang pura-pura pingsan.
Apalagi saat Ibunya minta mas Ali untuk menggendongku. Ah, sepertinya aku mau jingkrak-jingkrak saking bahagianya. Seperti ada bunga-bunga yang tiba-tiba mekar dengan indahnya. Aku sudah membayangkan, bagaimana Mas Ali menggendongku dan membawa ke kamarnya.
Aku berharap bisa menggantikan peran Ellinna. Bagaimanapun juga sebenarnya akulah yang berhak atas Mas Ali. Karena memang dia sudah dijodohkan denganku, sejak masih kecil.
Ibunya Mas Ali memang the best, idenya selalu brilian. Dia selalu membelaku. Ellinna bakalan tumbang sebentar lagi. Aku yakin, itu. Karena aku mendapatkan dukungan penuh dari Ibunya Mas Ali.
Meskipun mataku masih terpejam, tapi aku merasakan sepertinya dari mataku keluar emotikon love love yang berwarna merah jambu.
Sungguh aku sudah tidak sabar menunggu mas Ali mendekatiku, kemudian menggendongku membawa ke kamarnya.
Tidak tanggung-tanggung, Ibunya Mas Ali, juga minta supaya mas Ali memberikan nafas buatan dan membalurkan minyak kayu putih ke tubuhku.
Aduh ... Membayangkan itu semua membuat perasaanku merinding merinding gimanaaa, gitu. Bisa-bisa nanti aku langsung hamil kalau seperti ini ceritanya. Ayo, dong Mas Ali, kesayanganku. Cepat lakukan perintah Ibumu.
Aku janji deh, begitu aku mendapatkan kamu, aku akan langsung memutuskan Bagas, pacarku yang sekarang.
Lama menunggu, tapi mas Ali belum juga menyentuhku. Bahkan aku sampai pegal. Berada dalam posisi seperti ini terus dari tadi.
Kenapa Mas Ali tidak juga mendatangiku.
Oh .... Ternyata mas Ali menolak perintah Ibu.
Emotikon love love di mataku, berubah menjadi emotikon menangis banjir air mata.Sungguh menyedihkan.
Mas Ali justru menyuruh Ellinna untuk mengoleskan minyak kayu putih ke bawah hidungku. Pedasnya minta ampun. Aku sudah tidak tahan. Sebaiknya pura-pura pingsan ini ku sudahi saja, daripada aku bertambah menderita.
Aku pun pelan-pelan membuka mataku.
Setelah aku siuman dari pingsanku, Ibunya Mas Ali, masih memperjuangkan aku, agar bisa masuk ke rumah ini. Bahkan Ibunya Mas Ali sampai ngancam-ngancam mas Ali. Aku puas mendengarnya.
Sampai akhirnya Ellinna yang sok kecantikan itu ketakutan, dan akhirnya menyetujui permintaan Ibu mertuanya. Semoga saja besok-besok Ellinna juga tidak tahan lagi dengan serangan mental dari Ibunya Ali, dan segera melepaskan Mas Ali untukku.
Tapi pemaksaan ibunya, justru membuat mas Ali marah. Kami semua takut dengan kemarahannya. Setelah itu, mereka mengurung diri di kamar.
Kami melancarkan strategi selanjutnya. Ibu memanggil mas Ali, dan aku mengganti baju yang lebih seksi.
Kupancing mas Ali masuk ke dapur, tapi ternyata mas Ali tidak merespon sama sekali.
Saat mas Ali mematikan lampu, aku langsung menyusulnya dan memegang tangannya, berharap mas Ali akan menyentuhku. Tapi ternyata justru menepis tanganku dan berlari meninggalkan aku.
Penolakan Mas Ali, membuatku merasa gabut, bukan main. Kemudian aku pun diam-diam menelpon Bagas, pacarku.
"Hallo, Mas? Lagi ngapain? Kangen, nih ...."
"Ini lagi di rumah, mau keluar males banget, nggak ada kamu. Sekarang kamu di mana?"
"Aku masih di rumah saudaraku, kapan-kapan kalau aku sudah pulang, kita ketemuan, yuk?"
"Kamu lama banget, perginya? Memang saudaramu di mana? Aku nyusul, ya?"
"Aduh, jangan nyusul. Kakakku ini galak banget. Kalau kamu nyusul, pasti kakakku bakalan minta supaya kamu segera menikahi aku," kilahku.
Kami pun berbicara lewat telepon hingga larut malam.
Aku masih tetap mempertahankan hubunganku dengan Mas Bagas. Jika nantinya aku gagal mendapatkan Mas Ali, aku akan meminta Mas Bagas untuk menikahiku. Lumayan lah, meskipun wajahnya tidak setampan Mas Ali, tapi dia kaya raya.
Besok, kapan-kapan kalau ada waktu senggang, aku akan berusaha keluar untuk menemuinya.
*****
Pagi hari. Hari baru dengan semangat baru.
Aku dan ibunya Mas Ali, bangun lebih awal. Kami sibuk berkutat di dapur, bermain dengan spatula. Kami membuat menu kesukaan mas Ali.
Kami memasak dengan penuh semangat, meskipun sebenarnya hatiku sangat nelangsa, mengingat peristiwa di tangga semalam. Mengingat bagaimana mas Ali menolakku.
Sambil menaburkan garam, aku masih tetap memikirkan mas Ali. Pun saat menuangkan gula. Aku masih tetap membayangkan mas Ali.
Aku berharap mas Ali datang dan memelukku dari belakang.
Belum juga aku sempat mencicipi masakanku, mas Ali sudah datang ke meja makan. Gegas, ku sajikan ke meja makan dengan terburu.
Ku layani mas Ali, di meja makan. Ku bayangkan saja, bahwa mas Ali adalah suamiku. Sebelum akhirnya Ellinna datang, dan membuyarkan khayalanku.
Baru satu suap saja, ternyata masakanku ditinggalkan begitu saja. Mereka pergi dengan mesra. Betapa aku merasa sangat cemburu.
Tapi aku tidak boleh menyerah. Sekali layar terkembang, pantang surut ke belakang.
Meskipun sebesar apa pun badai kan menghadang. Aku punya Ibu, yang akan selalu membelaku.
"Dina, mungkin sebaiknya kamu jangan terlalu agresif. Kamu tiru saja itu Ellinna. Mungkin Ali lebih suka dengan wanita yang lemah lembut. Kamu harus lebih bersabar lagi.
Waktumu masih panjang di sini. Jadilah pembantu yang baik. Rebut hatinya Ali pelan-pelan. Ibu yakin, Ali bakalan luluh. Ibu sangat mengerti Ali. Kemarin kita terlalu gegabah."
"Ya, Bu. Dina ngerti. Dina bakal lakuin apa yang Ibu bilang. Ibu jangan khawatir. Dina bakalan memberikan cucu buat Ibu."
Aku dan ibunya Mas Ali berbincang-bincang, sambil mengerjakan pekerjaan rumah. Mengatur strategi untuk menghadapi perang selanjutnya.
****
Menjelang siang, aku berpamitan kepada ibunya Mas Ali, pura-pura mau ke mini market.
Aku pergi untuk berkencan dengan Bagas, di sebuah penginapan. Kami melepas rindu seperti biasanya.
Mas Bagas adalah anak orang yang kaya raya. Uangnya tidak akan pernah habis. Dia tidak perlu bekerja. Dia juga sering memberiku uang, meskipun tidak dalam jumlah yang besar. Dia bilang, jika sudah menikah nanti, baru akan memberiku uang yang banyak.
Aku juga heran, dengan Mas Bagas. Dia belum pernah mengajakku kencan di hotel berbintang. Paling-paling, ya di hotel melati, atau di penginapan kecil seperti ini. Dia selalu bilang, jika di hotel berbintang, dia banyak yang kenal. Tidak bebas, katanya. Sudahlah, tidak apa-apa.
Tidak masalah.
Lewat tengah hari, aku sudah pulang ke rumah Mas Ali. Sekarang aku harus lebih pandai membagi waktu.
Bagaimanapun juga, Mas Ali adalah tujuan utamaku saat ini. Jangan sampai ibunya menaruh curiga kepadaku.
Sebagai perempuan, aku harus cerdik. Harus lincah, meloncat ke sana ke mari seperti tupai.
Setidaknya jika gagal mendapatkan Mas Ali, aku masih punya Mas Bagas.
bersambung.
mohon maaf atas segala kekurangan.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

201