Bab 6 Part 6. Ultimatum Yang Cukup Gila!
by Dinda Tirani
16:25,Oct 09,2023
Pov. Ellinna
Ibu mertuaku dan Dina masih sibuk berbincang sambil minum kopi. Sesekali mereka tertawa renyah. Sepertinya Ibu sangat menyukai Dina. Bahkan Dina memanggil Ibu mertuaku dengan sebutan Mama, kadang dengan sebutan Ibu. Mereka tampak akrab, layaknya mertua dan menantu.
"Dina, kamu itu, makin dewasa, makin bertambah cantik saja. Betapa beruntungnya nanti yang menjadi suamimu," puji Ibu.
"Ah, Ibu bisa aja," jawab Dina dengan manja.
"Pasti, kalau sudah nikah nanti, kamu bakalan langsung punya anak. Kelihatan tuh, dari body kamu yang sintal."
Sepertinya Ibu mulai menyindirku.
"Ya semoga saja begitu ya, Bu? Soalnya saya juga pinginnya nanti kalau sudah nikah itu, langsung punya anak, biar suami saya juga seneng," jawab Dina.
Terbersit rasa iri dalam benakku. Bagaimanapun juga, akulah yang menjadi menantunya. Bukan dia!
Sungguh, aku menjadi seperti orang asing di rumahku sendiri.
"Ngomong-ngomong, kamu sudah punya pacar apa belum?" tanya Ibu.
"Belum sih, Bu. Saya masih setia menunggu seseorang. Mudah-mudahan, sebentar lagi berjodoh."
Mendengar obrolan mereka, rasanya ingin ku tumpahkan tangis ini, mengingat nasib rumah tanggaku yang sedang dipertaruhkan.
Ya Allah, kenapa aku belum juga hamil? Mungkin jika pernikahan ini sudah di karuniai anak, semua ini tidak akan terjadi. Ibu mertuaku tidak perlu membawa wanita lain ke rumah ini, dan aku pun tidak perlu membenci Ibu mertuaku.
Waktu terasa lambat sekali berjalan. Ingin rasanya aku pergi saja ke toko, menyusul Mas Ali. Tapi aku kembali berfikir, bahwa ini adalah rumahku. Akulah Nyonya di rumah ini, dan mereka hanyalah tamu. Aku pantang terusir dari rumahku sendiri.
*****
Rumah ini kami bangun secara bertahap. Melewati proses yang tidak mudah. Kami harus kerja keras, banting tulang siang dan malam.
Pengantin baru, yang seharusnya masih menikmati manisnya bulan madu, tapi kami hampir tiap malam harus kerja lembur di kantor, dan paginya berangkat ke kampus. Rela tinggal di kos-kosan yang sempit, demi memiliki rumah sendiri.
Benar-benar harus hidup dengan mengencangkan ikat pinggang. Dan sekarang setelah kami memiliki rumah layak huni yang sangat nyaman, mereka dengan seenaknya berencana mau menjadi benalu. Enak saja! Tidak akan kubiarkan.
Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat, agar tetap bisa mempertahankan rumah tanggaku. Aku harus tetap waras.
Ku tinggalkan saja mereka dengan semua bualan kosongnya. Aku keluar rumah, berbaur dengan tetanggaku. Hal yang jarang kulakukan, karena aku selalu sibuk, pergi pagi, pulang sore.
Melihat anak-anak kecil yang bermain dengan riang. Mereka yang penuh semangat, mereka yang seperti tidak pernah merasakan lelah. Mereka yang selalu tertawa bergembira. Tingkah mereka yang lucu, membuatku ikut tertawa lepas. Sejenak aku terlupa dengan pikiran yang membebaniku.
Tak terasa sudah tiba waktu ashar. Aku segera mandi dan berwudhu, dan menunaikan shalat ashar. Meskipun namaku tidak ada arab-arabnya, namun aku dibesarkan di keluarga yang cukup agamis. Kami pantang meninggalkan shalat lima waktu.
Sebentar lagi Mas Ali pulang, ku tunggu di teras depan rumah.
Tidak lupa aku memakai wewangian, agar Mas Ali merasa senang. Aku selalu ingin tampil paripurna, saat bersama suamiku.
Tidak lama kemudian, tampak mobil Mas Ali memasuki halaman. Seketika hati menjadi tenang. Namun, tiba-tiba saja kulihat Dina sudah ada di sampingku. Dia sibuk membenahi rambutnya, sibuk menarik-narik bajunya. Mau apa, dia? Apakah dia juga ingin menyambut suamiku?
Aku semakin miris membayangkan nasib rumah tanggaku ke depannya. Seperti ini saja rasanya sudah seperti berbagi suami. Kami seperti sedang berkompetisi untuk merebut perhatian Mas Ali.
Getir, memang. Namun aku tetap berusaha tersenyum. Memberikan senyum terbaikku, untuk suamiku.
Kulihat Mas Ali merentangkan tangannya, aku pun menghambur ke pelukannya. Seketika air mataku akan tumpah begitu saja, namun tanpa kusangka, Mas Ali sudah menciumi wajahku, kemudian beralih menciumi kedua mataku. Kemudian dia menggendongku sambil menggelitiki perutku.
Aku pun urung menangis. Yang ada malah tawa yang tidak bisa kutahan, karena rasa geli di perutku. Aku meronta-ronta minta di turunkan, tapi Mas Ali justru mengeratkan pegangannya.
Kerudungku terlepas di dekat pintu utama. Sengaja, aku mendongakkan kepalaku, agar Dina yang sedang berjalan di belakang Mas Ali, melihat hasil karya mas Ali di leherku. Ku pamerkan leher jenjangku yang penuh dengan tanda merah karena kegilaan suamiku.
Kulihat, Ibu menatapku tajam, dengan tatapan tidak suka. Tapi sepertinya Mas Ali tidak menyadari keberadaan ibunya, buktinya dia terus saja berjalan, tanpa menyapa ibunya.
Tapi bukankah tadi Dina juga ikut keluar menyambut Mas Ali? Dan juga berjalan di belakang kami, dan berhenti di dekat sofa yang sedang diduduki Ibu.
Sepertinya mustahil jika Mas Ali tidak melihatnya.
Apakah Mas Ali sengaja pura-pura tidak melihatnya? Tapi kenapa? Motifnya apa?
Ah, biar saja. Salahkah aku jika aku ingin bermanja dengan suamiku?
Mungkin saja aku memang salah, karena telah berbahagia, di atas penderitaan mereka.
Tadi kusempatkan tersenyum pada Dina. Senyum mengejek, lebih tepatnya. Aku ingin menegaskan, bahwa di sini, dia bukan siapa-siapanya Mas Ali.
Aku ingin dia menyaksikan, betapa Mas Ali sangat memanjakanku. Aku ingin membunuh harapannya, pelan-pelan.
Melihat keromantisan Mas Ali saat memperlakukanku, dia begitu terlihat cemburu. Sungguh lucu, bisa-bisanya dia mencemburui suamiku.
Ekspresi wajahnya sungguh sukar dijabarkan. Matanya seperti mengembun, bibirnya mengerucut dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Dina tengah mencari perhatian Mas Ali. Sayangnya, pandangan suamiku hanya terfokus kepadaku.
Saat kami masih di anak tangga menuju lantai dua, tiba-tiba terdengar suara ibu yang melengking, memanggil nama mas Ali. Sepertinya mas Ali sampai kaget, dan berbalik arah ke ruang tamu, sambil masih terus menggendongku.
"Mas, turunkan aku, Mas, malu ada Ibu ...."
Aku berbisik lirih, ku tempelkan bibirku di telinga mas Ali.
"Sayang, kok kamu gak bilang, kalau ada Ibu?"
Mas Ali justru balik bertanya, tanpa menurunkan aku.
"Bagaimana mau bilang, kamu dari tadi menggodaku ...."
"Ali, cepat kesini, kamu tidak lihat, apa? Ada anak gadis pingsan?!"
Tiba-tiba suara Ibu terdengar menggelegar memenuhi seisi rumah.
Bahkan mungkin tetangga pun mendengarnya.
Ibu mendekati Dina yang tengah tergolek lemas di lantai. Salah siapa?
Apa karena saking cemburunya, hingga dia sampai pingsan?
"Lihatlah, Ali! Gadis secantik ini, kamu biarkan pingsan." Ibu kembali berteriak.
Mas Ali pun menurunkan aku dengan sangat pelan, sangat hati-hati. Layaknya aku adalah porselen yang sangat berharga, sehingga takut jatuh dan retak. Setelah aku turun dari gendongannya, Mas Ali masih sempat menciumku.
"Cepat Ali, tolongin ini Dina. Gendong! Bawa ke kamarmu ...."
Ibu memberi ultimatum.
Ultimatum yang cukup gila!
Bersambung
Ibu mertuaku dan Dina masih sibuk berbincang sambil minum kopi. Sesekali mereka tertawa renyah. Sepertinya Ibu sangat menyukai Dina. Bahkan Dina memanggil Ibu mertuaku dengan sebutan Mama, kadang dengan sebutan Ibu. Mereka tampak akrab, layaknya mertua dan menantu.
"Dina, kamu itu, makin dewasa, makin bertambah cantik saja. Betapa beruntungnya nanti yang menjadi suamimu," puji Ibu.
"Ah, Ibu bisa aja," jawab Dina dengan manja.
"Pasti, kalau sudah nikah nanti, kamu bakalan langsung punya anak. Kelihatan tuh, dari body kamu yang sintal."
Sepertinya Ibu mulai menyindirku.
"Ya semoga saja begitu ya, Bu? Soalnya saya juga pinginnya nanti kalau sudah nikah itu, langsung punya anak, biar suami saya juga seneng," jawab Dina.
Terbersit rasa iri dalam benakku. Bagaimanapun juga, akulah yang menjadi menantunya. Bukan dia!
Sungguh, aku menjadi seperti orang asing di rumahku sendiri.
"Ngomong-ngomong, kamu sudah punya pacar apa belum?" tanya Ibu.
"Belum sih, Bu. Saya masih setia menunggu seseorang. Mudah-mudahan, sebentar lagi berjodoh."
Mendengar obrolan mereka, rasanya ingin ku tumpahkan tangis ini, mengingat nasib rumah tanggaku yang sedang dipertaruhkan.
Ya Allah, kenapa aku belum juga hamil? Mungkin jika pernikahan ini sudah di karuniai anak, semua ini tidak akan terjadi. Ibu mertuaku tidak perlu membawa wanita lain ke rumah ini, dan aku pun tidak perlu membenci Ibu mertuaku.
Waktu terasa lambat sekali berjalan. Ingin rasanya aku pergi saja ke toko, menyusul Mas Ali. Tapi aku kembali berfikir, bahwa ini adalah rumahku. Akulah Nyonya di rumah ini, dan mereka hanyalah tamu. Aku pantang terusir dari rumahku sendiri.
*****
Rumah ini kami bangun secara bertahap. Melewati proses yang tidak mudah. Kami harus kerja keras, banting tulang siang dan malam.
Pengantin baru, yang seharusnya masih menikmati manisnya bulan madu, tapi kami hampir tiap malam harus kerja lembur di kantor, dan paginya berangkat ke kampus. Rela tinggal di kos-kosan yang sempit, demi memiliki rumah sendiri.
Benar-benar harus hidup dengan mengencangkan ikat pinggang. Dan sekarang setelah kami memiliki rumah layak huni yang sangat nyaman, mereka dengan seenaknya berencana mau menjadi benalu. Enak saja! Tidak akan kubiarkan.
Aku tidak boleh cengeng. Aku tidak boleh menangis. Aku harus kuat, agar tetap bisa mempertahankan rumah tanggaku. Aku harus tetap waras.
Ku tinggalkan saja mereka dengan semua bualan kosongnya. Aku keluar rumah, berbaur dengan tetanggaku. Hal yang jarang kulakukan, karena aku selalu sibuk, pergi pagi, pulang sore.
Melihat anak-anak kecil yang bermain dengan riang. Mereka yang penuh semangat, mereka yang seperti tidak pernah merasakan lelah. Mereka yang selalu tertawa bergembira. Tingkah mereka yang lucu, membuatku ikut tertawa lepas. Sejenak aku terlupa dengan pikiran yang membebaniku.
Tak terasa sudah tiba waktu ashar. Aku segera mandi dan berwudhu, dan menunaikan shalat ashar. Meskipun namaku tidak ada arab-arabnya, namun aku dibesarkan di keluarga yang cukup agamis. Kami pantang meninggalkan shalat lima waktu.
Sebentar lagi Mas Ali pulang, ku tunggu di teras depan rumah.
Tidak lupa aku memakai wewangian, agar Mas Ali merasa senang. Aku selalu ingin tampil paripurna, saat bersama suamiku.
Tidak lama kemudian, tampak mobil Mas Ali memasuki halaman. Seketika hati menjadi tenang. Namun, tiba-tiba saja kulihat Dina sudah ada di sampingku. Dia sibuk membenahi rambutnya, sibuk menarik-narik bajunya. Mau apa, dia? Apakah dia juga ingin menyambut suamiku?
Aku semakin miris membayangkan nasib rumah tanggaku ke depannya. Seperti ini saja rasanya sudah seperti berbagi suami. Kami seperti sedang berkompetisi untuk merebut perhatian Mas Ali.
Getir, memang. Namun aku tetap berusaha tersenyum. Memberikan senyum terbaikku, untuk suamiku.
Kulihat Mas Ali merentangkan tangannya, aku pun menghambur ke pelukannya. Seketika air mataku akan tumpah begitu saja, namun tanpa kusangka, Mas Ali sudah menciumi wajahku, kemudian beralih menciumi kedua mataku. Kemudian dia menggendongku sambil menggelitiki perutku.
Aku pun urung menangis. Yang ada malah tawa yang tidak bisa kutahan, karena rasa geli di perutku. Aku meronta-ronta minta di turunkan, tapi Mas Ali justru mengeratkan pegangannya.
Kerudungku terlepas di dekat pintu utama. Sengaja, aku mendongakkan kepalaku, agar Dina yang sedang berjalan di belakang Mas Ali, melihat hasil karya mas Ali di leherku. Ku pamerkan leher jenjangku yang penuh dengan tanda merah karena kegilaan suamiku.
Kulihat, Ibu menatapku tajam, dengan tatapan tidak suka. Tapi sepertinya Mas Ali tidak menyadari keberadaan ibunya, buktinya dia terus saja berjalan, tanpa menyapa ibunya.
Tapi bukankah tadi Dina juga ikut keluar menyambut Mas Ali? Dan juga berjalan di belakang kami, dan berhenti di dekat sofa yang sedang diduduki Ibu.
Sepertinya mustahil jika Mas Ali tidak melihatnya.
Apakah Mas Ali sengaja pura-pura tidak melihatnya? Tapi kenapa? Motifnya apa?
Ah, biar saja. Salahkah aku jika aku ingin bermanja dengan suamiku?
Mungkin saja aku memang salah, karena telah berbahagia, di atas penderitaan mereka.
Tadi kusempatkan tersenyum pada Dina. Senyum mengejek, lebih tepatnya. Aku ingin menegaskan, bahwa di sini, dia bukan siapa-siapanya Mas Ali.
Aku ingin dia menyaksikan, betapa Mas Ali sangat memanjakanku. Aku ingin membunuh harapannya, pelan-pelan.
Melihat keromantisan Mas Ali saat memperlakukanku, dia begitu terlihat cemburu. Sungguh lucu, bisa-bisanya dia mencemburui suamiku.
Ekspresi wajahnya sungguh sukar dijabarkan. Matanya seperti mengembun, bibirnya mengerucut dengan langkah kaki yang dihentak-hentakkan. Dina tengah mencari perhatian Mas Ali. Sayangnya, pandangan suamiku hanya terfokus kepadaku.
Saat kami masih di anak tangga menuju lantai dua, tiba-tiba terdengar suara ibu yang melengking, memanggil nama mas Ali. Sepertinya mas Ali sampai kaget, dan berbalik arah ke ruang tamu, sambil masih terus menggendongku.
"Mas, turunkan aku, Mas, malu ada Ibu ...."
Aku berbisik lirih, ku tempelkan bibirku di telinga mas Ali.
"Sayang, kok kamu gak bilang, kalau ada Ibu?"
Mas Ali justru balik bertanya, tanpa menurunkan aku.
"Bagaimana mau bilang, kamu dari tadi menggodaku ...."
"Ali, cepat kesini, kamu tidak lihat, apa? Ada anak gadis pingsan?!"
Tiba-tiba suara Ibu terdengar menggelegar memenuhi seisi rumah.
Bahkan mungkin tetangga pun mendengarnya.
Ibu mendekati Dina yang tengah tergolek lemas di lantai. Salah siapa?
Apa karena saking cemburunya, hingga dia sampai pingsan?
"Lihatlah, Ali! Gadis secantik ini, kamu biarkan pingsan." Ibu kembali berteriak.
Mas Ali pun menurunkan aku dengan sangat pelan, sangat hati-hati. Layaknya aku adalah porselen yang sangat berharga, sehingga takut jatuh dan retak. Setelah aku turun dari gendongannya, Mas Ali masih sempat menciumku.
"Cepat Ali, tolongin ini Dina. Gendong! Bawa ke kamarmu ...."
Ibu memberi ultimatum.
Ultimatum yang cukup gila!
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved