Bab 2 Part 2. Dijawab Salah, Diam Juga Salah!
by Dinda Tirani
16:22,Oct 09,2023
Pov Ellinna
Kubiarkan mereka memandang takjub ke seluruh sudut dapurku. Persis seperti orang kampung, yang tiba-tiba saja sampai di kota. Semua hal, tak luput dari komentarnya. Mereka juga tidak segan, memegang-megang peralatan masak, yang dianggap aneh.
Sekarang, mulai ku pamerkan keahlianku meracik kopi ala cafe.
Heeemmm ... baunya wangi, menguar ke udara.
Memanjakan hidung siapa pun yang menciumnya.
Mereka salah, jika menganggapku sebagai nona manja yang tidak bisa apa-apa. Dari kecil, aku sudah diajari untuk memasak aneka menu makanan, oleh Mamaku. Hanya saja, sekarang waktuku sudah banyak tersita untuk kegiatan bisnisku.
*****
Setelah selesai meracik kopi, kuajak mereka menuju ruang tamu.
Ruang tamu yang cantik dengan nuansa modern. Didominasi dengan warna putih. Dengan sofa yang mewah nan elegan. Dindingnya penuh dengan foto-fotoku dan mas Ali.
Foto-foto yang terpasang apik, dengan bingkai yang unik. Foto yang menjadi bukti kebersamaan kami. Betapa bilangan tahun yang telah kami lewati bersama, telah membuat kami menjadi lebih dewasa.
Ada foto ketika kami masih bau kencur dengan seragam putih biru. Di situ, terlihat betapa cerianya masa remaja kami. Aku berdiri di depan memegang polibag, sedangkan Mas Ali memegang bibit pohon mangga. Waktu itu sedang ada acara menanam pohon di sekolah. Konon, pohon yang kami tanam, sudah berbuah lebat. Sementara kami belum juga diberikan buah hati.
Ada lagi, foto ketika kami sudah berseragam putih abu-abu. Sudah tampak ada semburat cinta, di mata Mas Ali. Sementara aku tampak masih malu-malu.
Dan ada lagi yang mendominasi ruangan ini, yaitu foto-foto pernikahan kami. Dengan pakaian adat jawa. Wajah kami masih sangatlah muda. Aku dua puluh tahun, Mas Ali dua puluh satu tahun.
Dan foto yang memakai toga itu, adalah foto ketika kami sudah menikah. Usia pernikahan memasuki angka satu, kami sama-sama meraih gelar sarjana. Di kampus yang sama, dan fakultas yang sama.
Bukan hanya semenjak kemarin sore, kami bersama. Namun sudah empat belas tahun kami saling mencinta. Berawal dari cinta monyet, hingga sampai ke pelaminan.
Aku berharap, semoga suatu hari nanti, akan ada foto-foto anak kecil, buah cintaku bersama Mas Ali. Semoga saja.
*****
Kududukkan bokongku di sofa, diikuti oleh mereka, duo komplotan serigala. Ibu mertuaku dan Dina. Sebenarnya aku merasa berdosa, menyebut Ibu mertuaku dengan sebutan itu. Tapi entahlah, aku merasa kesal dengannya. Tega sekali, dia menyebutku menantu mandul.
Bukankah anak itu adalah pemberian Allah? Sekeras apapun kita berusaha, jika Allah belum berkehendak maka mustahil kita akan melahirkannya ke dunia.
Kami juga sudah sering berkunjung dan melakukan pemeriksaan ke Dokter. Dokter pun bilang, kami semua sehat. Hanya harus lebih giat berusaha dan juga mengkonsumsi menu yang sehat. Selebihnya harus bersabar.
Bahkan aku juga ingin, sangat ingin segera memiliki momongan, di usia pernikahan kami yang sudah lima tahun.
Sering, diam-diam aku menangis. Memohon kemurahan Gusti Allah, agar memberiku momongan. Tapi jika memang belum diberikan, aku bisa apa?
Tentunya, hanya bisa berusaha dan bersabar.
"Monggo, Bu, silahkan diminum, sambil menunggu mas Ali pulang ...."
"Tidak perlu ditunggu nanti juga pulang. Ali kan sudah gede, sudah tahu jalan pulang. Bukan anak TK lagi ...."
Tarik nafas, hembuskan pelan-pelan. Kata-kata Ibu memang selalu menguji kesabaranku, terutama semenjak ayahnya Mas Ali meninggal dunia.
Mendengar jawaban Ibu yang aneh, aku kembali berpikir tentang serigala tua, yang sudah mulai pikun.
"Iya, Bu, Ibu benaaarr sekali .... Mas Ali sudah dewasa, sudah tahu jalan pulang, bukan anak TK lagi ... itu, fotonya sudah ada yang pakai toga, lho Bu ....
Tapi kan Mas Ali sekarang masih di toko, Bu? Pulangnya biasanya masih nanti, setelah kasir selesai menghitung uangnya, mencocokkan dengan pendapatan hari ini, Bu .... "
"Sudah, sudah. Kamu nerocos terus!
Kamu itu sudah enak, jadi istrinya Ali. Aku yang membesarkan Ali semenjak bayi. Tiba-tiba, begitu dia sudah dewasa, kamu merebutnya begitu saja.
Kamu jangan berani sama aku, aku aduin nanti ke Ali, baru tahu rasa .... "
Ibu terus berbicara sambil matanya melirik ke kanan dan ke kiri.
Sementara Dina masih terus meniup-niup kopi di cangkirnya, sampai air liurnya ikut menyemprot ke dalam kopi. Sambil sesekali menjilati bagian atas cangkirnya. Lidahnya merah, dan panjang. Memang, wajahnya cantik, tapi joroknya tingkat akut.
Di saat Dina meletakkan cangkir ke meja, badannya sedikit membungkuk. Tampak ada yang menyembul, karena dia memakai baju dengan belahan dada yang rendah.
Entahlah .... Mungkin dia sengaja ingin memamerkan asetnya.
Aku jadi berpikir, bagaimana nanti jika Mas Ali melihatnya, dan Mas Ali penasaran, ingin mencicipinya?
Bagaimanapun juga Mas Ali adalah laki-laki normal.
Ah ... kepalaku mendadak pusing, memikirkannya. Sepertinya justru pikiranku yang mulai tidak normal.
"Ellinna, ini Dina sudah membawa baju-bajunya sekalian.
Mau di taruh dimana? Pilihkan kamar yang di samping kamarmu itu saja, ya? Kasihan, dia kan tidur sendiri ...."
"Biar nanti, kalau ada apa-apa, Ali bisa gercep, nyamperin Dina," sambung Ibu.
Mendengar penuturan ibu mertuaku, Dina pun menyunggingkan bibirnya, sambil menatap manja ke arah Ibu mertuaku.
Padahal kamar-kamar itu, dipersiapkan oleh Mas Ali, untuk buah cinta kami, nantinya. Meskipun Mas Ali tidak pernah berbicara seperti itu.
Ah ... mereka benar-benar merusak moodku.
"Mohon maaf Bu, soal kamarnya di mana, nanti Mas Ali yang menentukan, saya tidak berani mengambil keputusan," jawabku.
"Halah, kamu itu sok alim. Bilang saja, kamu gak suka, kalau kamarnya sebelahan. Takut Ali bakalan melipir ke kamarnya Dina, kan?"
"Bukan begitu, Bu. Saya mengenal Mas Ali sudah lama, sepertinya Mas Ali bukan tipe laki-laki seperti itu," belaku.
"Ibu itu lebih tahu Ali. Kamu jangan kepedean, deh," ucap ibu.
Tangannya sibuk mengipasi wajahnya. Wajah yang lumayan cantik, di usianya yang sudah mulai menua.
Dina dari tadi hanya diam saja, tapi matanya menjelajah ke setiap sudut ruangan.
Foto-foto itu pun tak luput dari persinggahan matanya. Entahlah, apa yang ada di dalam isi kepalanya.
Sementara Ibu masih saja terus berbicara. Semakin ke sini, bicaranya terdengar semakin ngawur saja.
Sepertinya dia sengaja ingin menyakiti hatiku.
"Kenapa kamu diam saja?" Tanya Ibu.
"Tidak apa-apa, Bu," jawabku.
"Kira-kira nanti bagaimana ya? Aku sudah tidak sabar, ingin melihat reaksinya Ali nanti, saat pulang dari toko, ternyata di sini ada Dina. Pasti dia kaget."
Kudengar, Ibu bergumam sendiri. Meski tidak begitu jelas, tapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu keberatan, kalau Dina tinggal di sini?"
Ibu bertanya ke arahku.
Sungguh serba salah.
Dijawab salah, diam juga salah.
"Kamu kalau keberatan Dina tinggal di sini, kamu bisa pulang ke rumah orang tuamu, yang katanya kaya raya itu."
Enteng sekali, Ibu berbicara.
Sungguh, Ibu mertuaku sepertinya sudah mulai tidak waras lagi!
Bersambung
Kubiarkan mereka memandang takjub ke seluruh sudut dapurku. Persis seperti orang kampung, yang tiba-tiba saja sampai di kota. Semua hal, tak luput dari komentarnya. Mereka juga tidak segan, memegang-megang peralatan masak, yang dianggap aneh.
Sekarang, mulai ku pamerkan keahlianku meracik kopi ala cafe.
Heeemmm ... baunya wangi, menguar ke udara.
Memanjakan hidung siapa pun yang menciumnya.
Mereka salah, jika menganggapku sebagai nona manja yang tidak bisa apa-apa. Dari kecil, aku sudah diajari untuk memasak aneka menu makanan, oleh Mamaku. Hanya saja, sekarang waktuku sudah banyak tersita untuk kegiatan bisnisku.
*****
Setelah selesai meracik kopi, kuajak mereka menuju ruang tamu.
Ruang tamu yang cantik dengan nuansa modern. Didominasi dengan warna putih. Dengan sofa yang mewah nan elegan. Dindingnya penuh dengan foto-fotoku dan mas Ali.
Foto-foto yang terpasang apik, dengan bingkai yang unik. Foto yang menjadi bukti kebersamaan kami. Betapa bilangan tahun yang telah kami lewati bersama, telah membuat kami menjadi lebih dewasa.
Ada foto ketika kami masih bau kencur dengan seragam putih biru. Di situ, terlihat betapa cerianya masa remaja kami. Aku berdiri di depan memegang polibag, sedangkan Mas Ali memegang bibit pohon mangga. Waktu itu sedang ada acara menanam pohon di sekolah. Konon, pohon yang kami tanam, sudah berbuah lebat. Sementara kami belum juga diberikan buah hati.
Ada lagi, foto ketika kami sudah berseragam putih abu-abu. Sudah tampak ada semburat cinta, di mata Mas Ali. Sementara aku tampak masih malu-malu.
Dan ada lagi yang mendominasi ruangan ini, yaitu foto-foto pernikahan kami. Dengan pakaian adat jawa. Wajah kami masih sangatlah muda. Aku dua puluh tahun, Mas Ali dua puluh satu tahun.
Dan foto yang memakai toga itu, adalah foto ketika kami sudah menikah. Usia pernikahan memasuki angka satu, kami sama-sama meraih gelar sarjana. Di kampus yang sama, dan fakultas yang sama.
Bukan hanya semenjak kemarin sore, kami bersama. Namun sudah empat belas tahun kami saling mencinta. Berawal dari cinta monyet, hingga sampai ke pelaminan.
Aku berharap, semoga suatu hari nanti, akan ada foto-foto anak kecil, buah cintaku bersama Mas Ali. Semoga saja.
*****
Kududukkan bokongku di sofa, diikuti oleh mereka, duo komplotan serigala. Ibu mertuaku dan Dina. Sebenarnya aku merasa berdosa, menyebut Ibu mertuaku dengan sebutan itu. Tapi entahlah, aku merasa kesal dengannya. Tega sekali, dia menyebutku menantu mandul.
Bukankah anak itu adalah pemberian Allah? Sekeras apapun kita berusaha, jika Allah belum berkehendak maka mustahil kita akan melahirkannya ke dunia.
Kami juga sudah sering berkunjung dan melakukan pemeriksaan ke Dokter. Dokter pun bilang, kami semua sehat. Hanya harus lebih giat berusaha dan juga mengkonsumsi menu yang sehat. Selebihnya harus bersabar.
Bahkan aku juga ingin, sangat ingin segera memiliki momongan, di usia pernikahan kami yang sudah lima tahun.
Sering, diam-diam aku menangis. Memohon kemurahan Gusti Allah, agar memberiku momongan. Tapi jika memang belum diberikan, aku bisa apa?
Tentunya, hanya bisa berusaha dan bersabar.
"Monggo, Bu, silahkan diminum, sambil menunggu mas Ali pulang ...."
"Tidak perlu ditunggu nanti juga pulang. Ali kan sudah gede, sudah tahu jalan pulang. Bukan anak TK lagi ...."
Tarik nafas, hembuskan pelan-pelan. Kata-kata Ibu memang selalu menguji kesabaranku, terutama semenjak ayahnya Mas Ali meninggal dunia.
Mendengar jawaban Ibu yang aneh, aku kembali berpikir tentang serigala tua, yang sudah mulai pikun.
"Iya, Bu, Ibu benaaarr sekali .... Mas Ali sudah dewasa, sudah tahu jalan pulang, bukan anak TK lagi ... itu, fotonya sudah ada yang pakai toga, lho Bu ....
Tapi kan Mas Ali sekarang masih di toko, Bu? Pulangnya biasanya masih nanti, setelah kasir selesai menghitung uangnya, mencocokkan dengan pendapatan hari ini, Bu .... "
"Sudah, sudah. Kamu nerocos terus!
Kamu itu sudah enak, jadi istrinya Ali. Aku yang membesarkan Ali semenjak bayi. Tiba-tiba, begitu dia sudah dewasa, kamu merebutnya begitu saja.
Kamu jangan berani sama aku, aku aduin nanti ke Ali, baru tahu rasa .... "
Ibu terus berbicara sambil matanya melirik ke kanan dan ke kiri.
Sementara Dina masih terus meniup-niup kopi di cangkirnya, sampai air liurnya ikut menyemprot ke dalam kopi. Sambil sesekali menjilati bagian atas cangkirnya. Lidahnya merah, dan panjang. Memang, wajahnya cantik, tapi joroknya tingkat akut.
Di saat Dina meletakkan cangkir ke meja, badannya sedikit membungkuk. Tampak ada yang menyembul, karena dia memakai baju dengan belahan dada yang rendah.
Entahlah .... Mungkin dia sengaja ingin memamerkan asetnya.
Aku jadi berpikir, bagaimana nanti jika Mas Ali melihatnya, dan Mas Ali penasaran, ingin mencicipinya?
Bagaimanapun juga Mas Ali adalah laki-laki normal.
Ah ... kepalaku mendadak pusing, memikirkannya. Sepertinya justru pikiranku yang mulai tidak normal.
"Ellinna, ini Dina sudah membawa baju-bajunya sekalian.
Mau di taruh dimana? Pilihkan kamar yang di samping kamarmu itu saja, ya? Kasihan, dia kan tidur sendiri ...."
"Biar nanti, kalau ada apa-apa, Ali bisa gercep, nyamperin Dina," sambung Ibu.
Mendengar penuturan ibu mertuaku, Dina pun menyunggingkan bibirnya, sambil menatap manja ke arah Ibu mertuaku.
Padahal kamar-kamar itu, dipersiapkan oleh Mas Ali, untuk buah cinta kami, nantinya. Meskipun Mas Ali tidak pernah berbicara seperti itu.
Ah ... mereka benar-benar merusak moodku.
"Mohon maaf Bu, soal kamarnya di mana, nanti Mas Ali yang menentukan, saya tidak berani mengambil keputusan," jawabku.
"Halah, kamu itu sok alim. Bilang saja, kamu gak suka, kalau kamarnya sebelahan. Takut Ali bakalan melipir ke kamarnya Dina, kan?"
"Bukan begitu, Bu. Saya mengenal Mas Ali sudah lama, sepertinya Mas Ali bukan tipe laki-laki seperti itu," belaku.
"Ibu itu lebih tahu Ali. Kamu jangan kepedean, deh," ucap ibu.
Tangannya sibuk mengipasi wajahnya. Wajah yang lumayan cantik, di usianya yang sudah mulai menua.
Dina dari tadi hanya diam saja, tapi matanya menjelajah ke setiap sudut ruangan.
Foto-foto itu pun tak luput dari persinggahan matanya. Entahlah, apa yang ada di dalam isi kepalanya.
Sementara Ibu masih saja terus berbicara. Semakin ke sini, bicaranya terdengar semakin ngawur saja.
Sepertinya dia sengaja ingin menyakiti hatiku.
"Kenapa kamu diam saja?" Tanya Ibu.
"Tidak apa-apa, Bu," jawabku.
"Kira-kira nanti bagaimana ya? Aku sudah tidak sabar, ingin melihat reaksinya Ali nanti, saat pulang dari toko, ternyata di sini ada Dina. Pasti dia kaget."
Kudengar, Ibu bergumam sendiri. Meski tidak begitu jelas, tapi aku bisa mendengarnya.
"Kamu keberatan, kalau Dina tinggal di sini?"
Ibu bertanya ke arahku.
Sungguh serba salah.
Dijawab salah, diam juga salah.
"Kamu kalau keberatan Dina tinggal di sini, kamu bisa pulang ke rumah orang tuamu, yang katanya kaya raya itu."
Enteng sekali, Ibu berbicara.
Sungguh, Ibu mertuaku sepertinya sudah mulai tidak waras lagi!
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved