Bab 4 Part 4. Mengagetkan Saja
by Dinda Tirani
16:23,Oct 09,2023
Pov. Ali
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Setiap pagi, aku dan Ellinna pergi ke toko. Ellinna's fashion. Toko yang berdiri megah di pinggir jalan raya. Dengan tempat parkir yang luas. Menjual aneka jenis pakaian, dari yang harga puluhan ribu, hingga jutaan rupiah. Selain itu, kami juga menjual, sepatu, tas dan aksesoris.
Toko itu dirintis oleh istriku dengan gaji kami ketika kami masih bekerja kantoran. Ellinna adalah wanita yang sangat ulet. Sangat pandai mengatur keuangan. Bakat yang menurun dari kedua orangtuanya.
Atas permintaan Ellinna juga, tiga tahun yang lalu, aku berhenti bekerja agar bisa bersama-sama membangun bisnis pertokoan kami. Padahal waktu itu karirku sedang naik.
Sangat disayangkan, memang. Ellinna setiap hari merengek memintaku untuk berhenti kerja. Namun karena rasa sayangku terhadap Ellinna yang semakin mendalam, maka aku pun menuruti keinginannya, meskipun waktu itu gajiku sudah mulai menanjak. Ellinna bilang, lebih baik menjadi bos, di tokonya sendiri, daripada menjadi bawahan di perusahaan orang lain. Kupikir-pikir, perkataan Ellinna ada benarnya juga, namun tidak sepenuhnya benar.
Kami pun bergotong royong, bahu-membahu untuk memajukan toko ini. Hingga sekarang, menjadi berkembang sebesar ini. Meskipun kami masih berhutang uang yang tidak sedikit, kepada ayahnya Ellinna.
Betapa aku merasa sangat beruntung beristrikan Ellinna. Dia adalah perempuan yang sangat cantik. Mata bulat, bening bak telaga, dengan bulu mata yang sangat lentik. Bibir sensual, ranum nan menggoda. Rambut lebat, hitam mengkilap. Kulit putih, seputih susu.
Ellinna tidak perlu pensil alis, apalagi sulam alis. Alisnya sudah di ukir dengan begitu sempurna, oleh Sang Pencipta. Pun tidak perlu menanam bulu mata. Tidak perlu membenamkan skincare ke dalam tubuhnya. Bahkan tanpa lipstik pun bibirnya sudah ranum kemerahan. Dia cantik natural. Dia terlalu sempurna untuk menjadi istriku. Dia selalu berhasil merebut perhatianku.
Aku menyukai Ellinna sudah sejak masih berseragam putih biru. Cinta monyet, katanya. Namun kami hanya berteman saja. Kupendam rasa itu dalam-dalam. Aku merasa tidak percaya diri. Dia begitu sempurna di mataku. Sementara aku bukanlah siapa-siapa.
Aku terus belajar dengan gigih, berusaha meraih nilai tertinggi, agar bisa mendapat beasiswa. Agar bisa satu sekolah dengan Ellinna.
Setelah SMA barulah aku mengungkapkan rasa yang selama kupendam dengan begitu dalam.
Ellinna memintaku mengunggu satu tahun lamanya. Dia tidak tahu, bahwa aku sudah menunggunya, bahkan beberapa tahun lamanya. Kujalani waktu setahun dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, tepat setahun kemudian, kami berpacaran diam-diam.
Awal masuk kuliah, aku sudah mencari pekerjaan. Setelah kurasa aku mampu untuk menafkahi, aku memberanikan diri, untuk melamarnya.
Kuhalalkan dia, satu tahun sebelum kami meraih gelar sarjana.
Kuajak tinggal di kos-kosan dekat kampus.
Pagi kuliah, siang kerja. Malam pun kadang kerja lembur di kantor, untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar bisa segera memiliki rumah.
Aku dan Ellinna, bagaikan magnet yang saling tarik-menarik. Di mana ada aku, di situ ada Ellinna.
Rasaku terhadap Ellinna sungguh tak terukur. Tersimpan di palung hati yang terdalam.
Cintaku laksana simpul mati, yang tak kan pernah bisa terlepaskan.
Tak ada lagu yang bisa menggambarkan.
Entahlah, sejak dulu, aku tak pernah bisa melihat perempuan lain. Meskipun Ibuku bilang, bahwa aku sudah dijodohkan, aku tidak peduli. Mereka semua tidak secantik Ellinnaku.
Ellinna adalah masa laluku, masa sekarangku, dan masa depanku.
Meskipun sampai hari ini kami belum punya momongan, namun itu tetap tidak menyurutkan rasa cintaku terhadap istriku. Bahkan jika pun kami di takdirkan tidak memiliki anak, aku rela menua berdua saja dengan Ellinna.
*****
Pagi ini Ellinna nampak lesu, tidak bersemangat. Mungkin kelelahan, karena aku selalu meminta untuk dimanjakan. Kusuruh saja dia pulang siang, agar bisa istirahat, mengembalikan lagi tenaga yang sempat terkuras.
Siang ini, toko lumayan ramai. Sepertinya kami butuh karyawan tambahan, dan juga kasir satu lagi.
Saat aku sedang berbincang dengan sales yang menawarkan dagangannya, tiba-tiba ku lihat pegawai kasirku, Anita, melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Segera kulangkahkan kakiku mendekatinya.
"Mohon maaf, Pak. Saya kebelet pipis, bisa Bapak gantikan saya sebentar, Pak? Sepertinya karyawan yang lain, sedang sibuk semua. Maaf ya, Pak?"
Pinta Anita, sambil memutar badannya ke kanan dan ke kiri, dan terdengar suara tulang yang saling beradu. Pasti dia sudah pegal-pegal.
"Ok, silahkan. Maaf ya? Kamu jadi kayak kerja rodi. Besok saya carikan kasir satu lagi."
Jawabku sambil duduk di kursi belakang meja kasir.
Segera kugantikan tugasnya.
Antrian kasir pun selalu panjang seperti ular. Saat aku sedang sibuk berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba ponselku berdering. Telfon dari ibuku. Untung saja, Anita sudah kembali.
"Eh, Ali ... anak kesayangan Ibu. Lagi ngapain, sudah hampir sore kok belum pulang. Ibu nungguin di rumahmu, dari tadi. Sampai bosan Ibu nunggunya. Cepet pulang, ya? Ibu bawa kejutan buat kamu. Kamu pasti suka banget, deh, nanti sama kejutannya."
"Maaf, Bu ... ini toko sedang ramai-ramainya, Ali belum bisa pulang. Ibu ngobrol saja dulu sama Ellin." Aku berusaha memberi tahu ibuku.
"Nggak bisa, Ali. Ibu maunya kamu pulang sekarang. Kamu suruh saja istrimu itu ke toko. Gantian kamu yang pulang. Masak iya, suami pontang-panting kerja keras, kok istri cuma rebahan di kamar mewah. Gantian, kamu yang pulang. Rebahan di kamar, ada yang mijitin, pula. Pasti kamu bakalan seneng banget."
Aku semakin tidak mengerti dengan arah bicara ibuku.
"Maaf, Bu ... tapi Ellin sedang tidak enak badan, biar dia istirahat di rumah.
Aku janji, Bu. Nanti setelah ashar langsung pulang ke rumah, terus antar Ibu pulang, nginep di rumah Ibu, sama Ellin juga."
Aku masih berusaha membujuk ibuku.
"Apa? Ellinna tidak enak badan, kamu bilang? Kamu itu ya? Badan aja, segede buaya, tapi mau aja, dikadalin sama istri mandulmu itu. Ellinna lagi main ke rumah tetangga, kamu bilang masuk angin."
"Maaf Bu, tapi Ali beneran, belum bisa pulang sekarang. Ini aja karyawan pada keteteran, Bu ..." Aku mulai putus asa.
"Ya sudah, kalau kamu nggak mau pulang, biar Ibu aja, sekarang yang pulang. Kejutannya Ibu tinggal di rumah kamu.
Dasar anak tidak berguna."
Begitulah ibuku. Dia akan merajuk, saat aku menolak perintahnya. Tapi biarlah nanti sore saja kuajak Ellinna ke rumah Ibu.
Jam lima sore, toko sudah tutup. Segera kubawa mobilku pulang ke rumah. Dari kejauhan sudah kulihat istriku yang sangat cantik menungguku di halaman rumah. Hilang sudah rasa lelahku, setelah memandang wajah teduh Ellinnaku, berganti dengan rasa semangat yang membara. Sampai di halaman, langsung saja kuciumi wajah istriku, dan kugendong seperti aku memanggul karung beras. Meski dia meronta-ronta ingin turun, aku justru semakin memperkuat memegangnya agar tidak jatuh. Kugendong dia menaiki tangga ke lantai dua. Dia masih tetap meronta-ronta, sambil sesekali mencubit dan memukul punggungku.
Sampai-sampai kerudungnya terlepas, jatuh entah ke mana. Ah, biar saja ... aku memang suka menggodanya.
Belum sampai naik ke lantai dua, tiba-tiba aku mendengar teriakan ibuku, yang melengking. Suaranya persis seperti suara nenek sihir yang ada di tv. Mengagetkan saja. Bahkan aku tadi tidak melihatnya karena kukira sudah pulang.
Mungkin juga karena aku terlalu fokus dengan Ellinna, sampai-sampai tidak melihat keberadaan ibuku.
Bersambung
Masih sama seperti hari-hari sebelumnya. Setiap pagi, aku dan Ellinna pergi ke toko. Ellinna's fashion. Toko yang berdiri megah di pinggir jalan raya. Dengan tempat parkir yang luas. Menjual aneka jenis pakaian, dari yang harga puluhan ribu, hingga jutaan rupiah. Selain itu, kami juga menjual, sepatu, tas dan aksesoris.
Toko itu dirintis oleh istriku dengan gaji kami ketika kami masih bekerja kantoran. Ellinna adalah wanita yang sangat ulet. Sangat pandai mengatur keuangan. Bakat yang menurun dari kedua orangtuanya.
Atas permintaan Ellinna juga, tiga tahun yang lalu, aku berhenti bekerja agar bisa bersama-sama membangun bisnis pertokoan kami. Padahal waktu itu karirku sedang naik.
Sangat disayangkan, memang. Ellinna setiap hari merengek memintaku untuk berhenti kerja. Namun karena rasa sayangku terhadap Ellinna yang semakin mendalam, maka aku pun menuruti keinginannya, meskipun waktu itu gajiku sudah mulai menanjak. Ellinna bilang, lebih baik menjadi bos, di tokonya sendiri, daripada menjadi bawahan di perusahaan orang lain. Kupikir-pikir, perkataan Ellinna ada benarnya juga, namun tidak sepenuhnya benar.
Kami pun bergotong royong, bahu-membahu untuk memajukan toko ini. Hingga sekarang, menjadi berkembang sebesar ini. Meskipun kami masih berhutang uang yang tidak sedikit, kepada ayahnya Ellinna.
Betapa aku merasa sangat beruntung beristrikan Ellinna. Dia adalah perempuan yang sangat cantik. Mata bulat, bening bak telaga, dengan bulu mata yang sangat lentik. Bibir sensual, ranum nan menggoda. Rambut lebat, hitam mengkilap. Kulit putih, seputih susu.
Ellinna tidak perlu pensil alis, apalagi sulam alis. Alisnya sudah di ukir dengan begitu sempurna, oleh Sang Pencipta. Pun tidak perlu menanam bulu mata. Tidak perlu membenamkan skincare ke dalam tubuhnya. Bahkan tanpa lipstik pun bibirnya sudah ranum kemerahan. Dia cantik natural. Dia terlalu sempurna untuk menjadi istriku. Dia selalu berhasil merebut perhatianku.
Aku menyukai Ellinna sudah sejak masih berseragam putih biru. Cinta monyet, katanya. Namun kami hanya berteman saja. Kupendam rasa itu dalam-dalam. Aku merasa tidak percaya diri. Dia begitu sempurna di mataku. Sementara aku bukanlah siapa-siapa.
Aku terus belajar dengan gigih, berusaha meraih nilai tertinggi, agar bisa mendapat beasiswa. Agar bisa satu sekolah dengan Ellinna.
Setelah SMA barulah aku mengungkapkan rasa yang selama kupendam dengan begitu dalam.
Ellinna memintaku mengunggu satu tahun lamanya. Dia tidak tahu, bahwa aku sudah menunggunya, bahkan beberapa tahun lamanya. Kujalani waktu setahun dengan penuh kesabaran.
Akhirnya, tepat setahun kemudian, kami berpacaran diam-diam.
Awal masuk kuliah, aku sudah mencari pekerjaan. Setelah kurasa aku mampu untuk menafkahi, aku memberanikan diri, untuk melamarnya.
Kuhalalkan dia, satu tahun sebelum kami meraih gelar sarjana.
Kuajak tinggal di kos-kosan dekat kampus.
Pagi kuliah, siang kerja. Malam pun kadang kerja lembur di kantor, untuk mengumpulkan pundi-pundi rupiah, agar bisa segera memiliki rumah.
Aku dan Ellinna, bagaikan magnet yang saling tarik-menarik. Di mana ada aku, di situ ada Ellinna.
Rasaku terhadap Ellinna sungguh tak terukur. Tersimpan di palung hati yang terdalam.
Cintaku laksana simpul mati, yang tak kan pernah bisa terlepaskan.
Tak ada lagu yang bisa menggambarkan.
Entahlah, sejak dulu, aku tak pernah bisa melihat perempuan lain. Meskipun Ibuku bilang, bahwa aku sudah dijodohkan, aku tidak peduli. Mereka semua tidak secantik Ellinnaku.
Ellinna adalah masa laluku, masa sekarangku, dan masa depanku.
Meskipun sampai hari ini kami belum punya momongan, namun itu tetap tidak menyurutkan rasa cintaku terhadap istriku. Bahkan jika pun kami di takdirkan tidak memiliki anak, aku rela menua berdua saja dengan Ellinna.
*****
Pagi ini Ellinna nampak lesu, tidak bersemangat. Mungkin kelelahan, karena aku selalu meminta untuk dimanjakan. Kusuruh saja dia pulang siang, agar bisa istirahat, mengembalikan lagi tenaga yang sempat terkuras.
Siang ini, toko lumayan ramai. Sepertinya kami butuh karyawan tambahan, dan juga kasir satu lagi.
Saat aku sedang berbincang dengan sales yang menawarkan dagangannya, tiba-tiba ku lihat pegawai kasirku, Anita, melambai-lambaikan tangannya ke arahku. Segera kulangkahkan kakiku mendekatinya.
"Mohon maaf, Pak. Saya kebelet pipis, bisa Bapak gantikan saya sebentar, Pak? Sepertinya karyawan yang lain, sedang sibuk semua. Maaf ya, Pak?"
Pinta Anita, sambil memutar badannya ke kanan dan ke kiri, dan terdengar suara tulang yang saling beradu. Pasti dia sudah pegal-pegal.
"Ok, silahkan. Maaf ya? Kamu jadi kayak kerja rodi. Besok saya carikan kasir satu lagi."
Jawabku sambil duduk di kursi belakang meja kasir.
Segera kugantikan tugasnya.
Antrian kasir pun selalu panjang seperti ular. Saat aku sedang sibuk berkutat dengan pekerjaanku, tiba-tiba ponselku berdering. Telfon dari ibuku. Untung saja, Anita sudah kembali.
"Eh, Ali ... anak kesayangan Ibu. Lagi ngapain, sudah hampir sore kok belum pulang. Ibu nungguin di rumahmu, dari tadi. Sampai bosan Ibu nunggunya. Cepet pulang, ya? Ibu bawa kejutan buat kamu. Kamu pasti suka banget, deh, nanti sama kejutannya."
"Maaf, Bu ... ini toko sedang ramai-ramainya, Ali belum bisa pulang. Ibu ngobrol saja dulu sama Ellin." Aku berusaha memberi tahu ibuku.
"Nggak bisa, Ali. Ibu maunya kamu pulang sekarang. Kamu suruh saja istrimu itu ke toko. Gantian kamu yang pulang. Masak iya, suami pontang-panting kerja keras, kok istri cuma rebahan di kamar mewah. Gantian, kamu yang pulang. Rebahan di kamar, ada yang mijitin, pula. Pasti kamu bakalan seneng banget."
Aku semakin tidak mengerti dengan arah bicara ibuku.
"Maaf, Bu ... tapi Ellin sedang tidak enak badan, biar dia istirahat di rumah.
Aku janji, Bu. Nanti setelah ashar langsung pulang ke rumah, terus antar Ibu pulang, nginep di rumah Ibu, sama Ellin juga."
Aku masih berusaha membujuk ibuku.
"Apa? Ellinna tidak enak badan, kamu bilang? Kamu itu ya? Badan aja, segede buaya, tapi mau aja, dikadalin sama istri mandulmu itu. Ellinna lagi main ke rumah tetangga, kamu bilang masuk angin."
"Maaf Bu, tapi Ali beneran, belum bisa pulang sekarang. Ini aja karyawan pada keteteran, Bu ..." Aku mulai putus asa.
"Ya sudah, kalau kamu nggak mau pulang, biar Ibu aja, sekarang yang pulang. Kejutannya Ibu tinggal di rumah kamu.
Dasar anak tidak berguna."
Begitulah ibuku. Dia akan merajuk, saat aku menolak perintahnya. Tapi biarlah nanti sore saja kuajak Ellinna ke rumah Ibu.
Jam lima sore, toko sudah tutup. Segera kubawa mobilku pulang ke rumah. Dari kejauhan sudah kulihat istriku yang sangat cantik menungguku di halaman rumah. Hilang sudah rasa lelahku, setelah memandang wajah teduh Ellinnaku, berganti dengan rasa semangat yang membara. Sampai di halaman, langsung saja kuciumi wajah istriku, dan kugendong seperti aku memanggul karung beras. Meski dia meronta-ronta ingin turun, aku justru semakin memperkuat memegangnya agar tidak jatuh. Kugendong dia menaiki tangga ke lantai dua. Dia masih tetap meronta-ronta, sambil sesekali mencubit dan memukul punggungku.
Sampai-sampai kerudungnya terlepas, jatuh entah ke mana. Ah, biar saja ... aku memang suka menggodanya.
Belum sampai naik ke lantai dua, tiba-tiba aku mendengar teriakan ibuku, yang melengking. Suaranya persis seperti suara nenek sihir yang ada di tv. Mengagetkan saja. Bahkan aku tadi tidak melihatnya karena kukira sudah pulang.
Mungkin juga karena aku terlalu fokus dengan Ellinna, sampai-sampai tidak melihat keberadaan ibuku.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved