Bab 7 Part 7. Hanya Guling-guling Saja, iya kan, Sayang?

by Dinda Tirani 16:26,Oct 09,2023
Pov Ellinna
Mas Ali seperti tidak punya telinga saja. Dengan santainya, dia tetap anteng, saat ibu menunjuk-nunjuk Dina yang sedang pingsan. Bahkan Mas Ali justru memasukkan kedua tangannya ke saku celananya. Dia berdiri agak jauh dari Dina. Tanpa mau sedikit pun mendekatinya.
"Sayang, tolong beri pertolongan pertama pada orang yang pingsan."
Perintahnya kepadaku, tanpa mengeluarkan tangannya dari saku celananya.
Gegas aku pun berlari mengambil minyak kayu putih. Sebenarnya, dalam hatiku aku juga merasa panik. Bagaimanapun, Dina pingsan di rumahku. Kalau dia mati, bagaimana?
"Sayang, gak usah lari-lari, ntar jatuh ...."
Kudengar Mas Ali berteriak kepadaku.
Dia memang selalu memperhatikan gerak-gerikku. Dia akan menegurku, jika aku melakukan hal yang dianggapnya berbahaya. Begitulah, kadang dia menjadi agak cerewet.
"Ali, kamu ini bagaimana? Cepat kamu tolongin Dina, gendong ke kamarmu, beri nafas buatan, balurkan minyak kayu putih ke seluruh tubuhnya." Kudengar dengan jelas, Ibu memarahi Mas Ali.
"Maaf gih, Bu? Dia hanya pingsan. Bukannya gak bisa nafas karena tenggelam. Tolong, Ibu jangan mengada-ada. Dia bukan siapa-siapanya Ali. Masak iya Ali bawa ke kamar, terus Ali kasih nafas buatan. Ga mungkin, Bu, apalagi suruh membalurkan minyak kayu putih ke seluruh tubuhnya. Ibu ngaco, deh. Ibu pikir, Ali dukun cabul,apa? Lagian dia ini siapa sih, Bu? Kok bisa ada di sini? Bikin repot saja."
Begitulah suamiku. Dia tidak akan suka, jika ada orang asing di rumah ini.
Aku masih mondar-mandir mencari minyak kayu putih, yang belum juga kutemukan. Sambil membayangkan wajah Mas Ali saat ini. Pasti dia sedang berbicara dengan raut muka yang datar. Bahkan sangat, datar. Aku tahu betul, bagaimana saat suamiku berbicara tentang hal yang tidak disukainya. Pembicaraan Ibu dan Mas Ali terdengar jelas di telingaku, meskipun terpisah ruang.
"Dia itu Dina, anaknya temen Ibu. Masak sih, kamu lupa. Dulu kamu sering kuajak main ke rumahnya, lho. Itu, putrinya Bu Tina, yang dulu mau aku jodohkan sama kamu, tapi kamu tidak mau. Sekarang ini, biarkan dia sementara tinggal disini, bantu-bantu Ellin. Tidak lama kok, nanti begitu dia dapat kerjaan, dia akan pergi dari sini. Ibu janji."
Ibu tampak lebih berhati-hati, saat berbicara dengan Mas Ali. Berbeda, ketika dia berbicara denganku, terdengar ketus dan suka menyindir.
Belum sempat mas Ali menanggapi cerita Ibu, aku sudah datang membawa minyak kayu putih ke arah mereka.
"Sayang, tolong oleskan minyaknya ke bawah hidungnya itu ya?"
Perintah Mas Ali, masih tetap setia dengan tangannya yang masih di simpan di saku celananya. Dia Hanya sedikit memajukan dagunya, menunjuk ke arah Dina.
Aku pun segera melakukan yang diperintahkan Mas Ali.
Kuusapkan minyak kayu putih itu, ke bawah hidungnya. Belum siuman, kutambah lagi.
Tak lama kemudian, Dina mulai membuka matanya. Dia terus saja memandang mas Ali dengan tatapan yang memelas. Lagaknya seperti seorang janda yang haus belaian. Aku tahu itu.
Sementara Ibu masih terus mengelus-elus punggungnya Dina. Ibu mertuaku menatap Dina dengan penuh kasih sayang.
"Ali, tolong terima Dina, jadi pembantu di sini, ya?
Dia itu orangnya rajin, pinter masak lagi. Biar istrimu bisa fokus program hamilnya. Biar Ibu bisa cepat punya cucu."
Ibu berbicara dengan nada lembut, kepada mas Ali. Namun aku justru merasa kalau Ibu sedang menyindirku. Entah ini sindiran yang ke berapa kalinya.
"Mohon maaf, Bu. Ali gak butuh pembantu. Ali sudah cukup sama Ellinna saja."
Mas Ali menatap Ibu dengan serius.
"Lagian di rumah ini juga ga ada kerjaan, kan sayang?
kita aja tiap hari kalau sudah sampai rumah juga kerjaannya cuma guling-guling aja, iya kan, Sayang?"
Mas Ali masih sempat-sempatnya menggodaku sambil cengengesan, sambil mengedip-ngedipkan sebelah matanya ke arahku. Tidak tahukah dia, bahwa aku sangat malu, dengan kata-katanya?
"Ali, Ibu serius. Pokoknya Ibu mau kamu terima Dina di rumah ini. Atau ... Ibu minta cucu sekarang juga." Ibu mulai berkacak pinggang.
"Ok, Ibu minta cucu kan? Baiklah, sekarang juga aku sama Ellinna mau bikin anak. Ibu urus saja, itu anak temennya Ibu itu." Mas Ali meraih tanganku, mengajak ke kamar.
"Ali, kamu itu, diajak ngomong susahnya minta ampun!" teriak Ibu.
"Lagian Ibu ada-ada saja deh. cucu Ibu kan sudah lima, Bu. Lagian selama ini kayaknya Ibu juga gak sayang tuh, sama cucu-cucunya Ibu," bela Mas Ali.
"Ibu mau, Dina kamu terima kerja di rumah ini, atau kamu mau jadi anak durhaka? Ali, Ibu melahirkanmu dengan susah payah, merawatmu dengan penuh cinta, menyekolahkanmu hingga sarjana, kamu mau berani sama Ibu?"
Ibu mertuaku mulai tersulut emosi. Nafasnya turun naik, suaranya terdengar gemetar.
"Bukannya begitu, Bu. Tapi permintaan Ibu itu, aneh. Cucu itu, di luar kuasa kami, Bu."
"Kalau begitu, sudah tidak ada pilihan lain. Terima Dina, atau kamu mau jadi anak durhaka, tanpa ridho ibumu."
Sepertinya ucapan Ibu bakalan melebar kemana-mana. Aku juga tidak mau jika suamiku, durhaka kepada ibunya. Aku sangat menyayangi Mas Ali. Aku tidak ingin sesuatu yang buruk menimpanya, jika dia durhaka kepada ibunya.
"Baiklah Bu, kami menerima Dina bekerja disini. Iya kan, Mas?"
Aku mewakili Mas Ali, menyetujui permintaan Ibu. Mas Ali memandangku dengan tatapan heran.
Dina dan juga Ibu saling berpandangan, Meraka tersenyum penuh kemenangan.
"Oh, ya Ali, kamar Dina di sebelah kamarmu, ya?" pinta ibu lagi.
"Ga bisa, kamar pembantu, sudah ada di dekat dapur."
Mas Ali menjawab dengan wajah datar tanpa ekspresi, kemudian pergi ke kamar meninggalkan aku begitu saja. Tak lama kemudian, terdengar suara pintu yang dibanting keras.
Segera kususul Mas Ali ke kamar. Aku memeluknya, dia pun membalas memelukku. Kami saling berpelukan tanpa suara, hingga terdengar adzan maghrib.
Sampai malam pun, Mas Ali tidak keluar kamar. Mas Ali sama sekali tidak mau berbicara denganku. Bahkan sebenarnya aku ingin minta maaf kepada Mas Ali, karena aku telah lancang mengambil keputusan, tanpa meminta persetujuannya. Namun entahlah, lidah ini terasa kelu, tak bisa berucap sepatah pun.
Kami ada di ruangan yang sama, namun saling diam, seperti orang asing. Bahkan kami melewati jam malam begitu saja, tanpa asupan apa-apa.
Malam ini, hujan turun dengan derasnya. Sepertinya langit sudah tak mampu lagi menahan bebannya. Petir pun saling menyambar, seperti sedang meluapkan amarahnya.
Entahlah, bagaimana dengan Ibu dan Dina. Aku pun enggan memikirkannya.
Malam ini, saat tubuh kami sudah ada di dalam selimut yang sama, saat mata mulai terpejam menjemput mimpi. Terdengar pintu kamar, diketuk dari luar.
Ketukannya sangat halus, nyaris tak terdengar ....
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

201