Bab 8 Part 8. Mengajakku Bermain Nikmat

by Dinda Tirani 16:26,Oct 09,2023
Pov Ali
Sebenarnya saat aku pulang dari toko, dan sudah sampai di halaman, namun belum turun dari mobil. Sekilas aku melihat ada perempuan lain, berdiri di samping istriku. Namun aku sama sekali tidak memandangnya. Pandanganku sudah terlanjur fokus pada wajah istriku yang teramat cantik.
Apalagi jika mengingat kata-kata ibuku di telpon tadi pagi. Aku pun berfikir, mungkin saat ini istriku sedang tidak baik-baik saja.
Aku pun merentangkan tanganku, dan istriku langsung menghambur ke pelukanku. Inilah momen yang selalu kurindukan. Kami akan berpelukan dengan erat, ketika kami bertemu. Aku akan menghirup aroma wangi tubuhnya. Aroma yang sudah menjadi candu dalam hidupku.
Kulihat dia tersenyum, namun senyumnya berbeda dari biasanya. Senyumnya seperti menyimpan kegetiran.
Apalagi matanya yang bulat dan bening seindah telaga, seperti menyimpan cairan bening, yang akan tumpah begitu saja.
Langsung kuciumi matanya berkali-kali. Aku berusaha membendung tangisnya. Aku jadi ingat saat Ibu menelpon tadi, katanya mau memberi kejutan.
Jangan-jangan, kejutan yang dimaksud Ibu, adalah perempuan itu.
Kugendong istriku, kumanjakan dia, agar hilang rasa gundahnya. Aku pun menggodanya seperti biasanya. Aku ingin menegaskan bahwa aku masih utuh, miliknya. Aku ingin mencoba untuk mengobati lara di hatinya. Aku ingin menunjukkan bahwa dia adalah seseorang yang paling berarti dalam hidupku.
Kukira, Ibu sudah pulang, namun ternyata masih di sini, bersama perempuan itu. Ditambah lagi, malah perempuan itu pingsan, mungkin saja karena dia merasa cemburu, melihat romansa cintaku bersama Ellinna, yang begitu mesra.
Suara Ibu melengking-lengking, memekakkan telinga. Seperti nenek sihir saja. Masak iya, Ibu menyuruhku untuk menggendong perempuan itu ke kamarku. Menyuruhku untuk memberikan nafas buatan, padahal kan dia cuma pingsan, bukan tidak bisa bernafas karena tenggelam. Ibu juga menyuruhku membalurkan minyak kayu putih, ke seluruh tubuhnya.
Stop, Ibu, aku bukan anak kecil lagi. Aku tahu maksud Ibu. Ibu sedang berusaha untuk memisahkan aku dengan istriku, dengan menghadirkan perempuan itu. Ibu sedang berusaha agar aku menggantikan istriku dengan perempuan itu.
Saat perempuan itu pingsan, aku baru melihat wajahnya, meskipun dari jarak yang tidak begitu dekat. Lebih tepatnya aku tidak mau terlalu dekat. Aku harus menjaga perasaan istriku.
Sepertinya aku pernah melihat wajah itu, tapi di mana? Aku lupa. Ibu bilang namanya Dina.
Oh, aku jadi ingat. Dia adalah orang yang sering memberikan pesan di aplikasi inbokku. Namun tidak pernah aku balas. Dia mengajak berkenalan, sampai mengajak berkencan. Tidak hanya itu, dia juga sering mengirimkan foto-fotonya yang tidak senonoh. Terakhir, beberapa bulan yang lalu, aku menempatkannya dalam daftar blokir di semua sosial mediaku. Aku tidak ingin mengambil resiko. Aku tidak ingin membuat istriku menjadi salah paham.
Untung saja istriku tidak terlalu ingin tahu dengan isi ponselku. Semua berjalan dengan baik. Istriku tidak tahu tentang pesan-pesan itu. Akupun tidak pernah menceritakannya.
Ibu juga bilang, bahwa perempuan itu adalah anak teman Ibu, yang dulu mau dijodohkan denganku. Aku semakin paham dengan pembicaraan Ibu.
Tapi yang lebih mengejutkan, Ibu memintaku untuk menerima Dina bekerja di rumah ini.
Sungguh, kejutan ibu, sangat mengejutkan. Kukira Ibu hanya mengajak berkunjung saja. Ternyata ... mau membuat hidupku menjadi rumit saja.
Ibu mulai mengancam. Bicaranya mulai ke mana-mana. Sedangkan Ellinna? Dia akhirnya menyetujui permintaan Ibu, tanpa meminta pendapatku. Entah apa yang dipikirkannya.
Mereka semua sama saja. Ingin membuat hidupku menjadi rumit.
Kubanting pintu dengan sekerasnya. Biar saja.
Namun Ellinna tetaplah Ellinnaku. Wanita lembut, yang selalu menenangkan aku. Dia menyusulku ke kamar kemudian memelukku dengan lembut dan hangat. Mengalirkan rasa nyaman ke relung hatiku.
Kami saling berpelukan dalam diam.
Baru saja mata hendak terpejam, terdengar suara pintu kamar di ketuk dari luar. Meski tidak begitu jelas, karena sedang hujan deras.
Pasti, ibuku. Mau apa dia malam-malam begini.
Sebaiknya kubiarkan saja, sampai dia lelah. Aku pura-pura sudah tidur. Namun justru ketukannya semakin keras, di iringi suaranya yang memanggil namaku. Tidak salah lagi, memang Ibu.
"Ali, bangun, Ali ... keluar, Ibu mau bicara."
Akupun keluar dengan malas. Kulihat Ellinna sudah tertidur. Aku membuka pintu pelan-pelan. Namun belum juga pintu terbuka sepenuhnya, ibu sudah menyeretku keluar, dan menutup pintunya kembali. Menyeretku ke lantai bawah, dengan cepat.
Aku jadi ingat, dulu saat masih TK. Ibu akan menyeret tanganku secepat ini, jika aku terlambat ke sekolah.
"Ali, Ibu minta maaf, tapi apa yang Ibu lakukan, benar-benar tidak ada maksud apa-apa. Ibu cuma ingin segera punya cucu." Ibu berbicara dengan menunjukkan wajah yang sedih. Aku sudah hafal.
"Ibu, kalau kepingin punya cucu, ya beri kami kebebasan, dong. Biarkan kami tinggal berdua saja, biar bisa bikin cucu sewaktu-waktu."
Jawabku asal.
"Alah, kamu itu, kayak istrimu itu subur saja."
Ibu berbicara dengan mencebikkan bibirnya.
Di tengah perbincangan aku dan ibuku, kulihat Dina berjalan ke arah dapur, memakai baju yang kurang bahan, hampir menampakkan semua auratnya. Menambah pusing saja.
"Ali, lihat itu, Dina. Dia cantik ya? Bodinya juga bagus. Lihat, deh. Ellinna, istrimu kalah jauh."
Ibu menunjuk ke arah Dina.
"Ibu apaan sih? Aneh, deh. Sudah ya, Bu? Ali mau tidur, besok mau wawancara calon pegawai kasir yang baru. Ibu urus aja, itu, sundel bolong. Jangan lupa, suruh pembantu baru itu, bangun pagi-pagi, siapkan sarapan. Ibu tidak perlu repot-repot membantunya. Ok?"
Aku pun, beranjak dari tempat dudukku, menuju saklar, untuk mematikan lampu, dan kulihat Ibu pun, masuk ke kamar tamu.
Aku berjalan dalam gelap, menuju kamarku. Namun baru sampai di tangga ke dua, tanganku terasa ada yang memegangnya. Tangannya halus, tapi sepertinya tangan Ellinna lebih halus. Kalau Dina tidak mungkin, karena tadi aku melihatnya berjalan ke arah dapur. Tapi siapa? Tapi aku yakin, ini bukan Ellinnaku.
Aku paham seperti apa wanginya Ellinna. Aku tidak akan terkecoh.
Ku tepis tangannya dengan kasar. Namun tangan itu justru bergerak semakin liar. Entah mengapa aku justru merasa muak. Rasa ini begitu berbeda, jika dibandingkan dengan saat-saat di mana aku sedang bermanja dengan istriku. Ellinna selalu berhasil membangkitkan jiwa lelakiku, tanpa dia harus menyentuhku terlebih dulu.
Tidak mau mengambil resiko, aku berlari mengambil langkah seribu, masuk ke kamarku.
Kubuka pintu kamar, ternyata Ellinna masih di tempat tidur. Tidak salah lagi, pasti yang tadi itu adalah Dina.
Sepertinya perempuan itu hendak mengajakku bermain-main. Dasar perempuan ed*n. Nekat sekali dia.
Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

201