Bab 9 Part 9
by Dinda Tirani
09:10,Apr 26,2024
Masih di ranjang yang sama, kini aku pun terbaring dengan lemas. Adapun, Indra masih duduk di tepi tempat tidur sambil memikirkan suatu hal yang sepertinya serius. Aku pun masih berusaha mengatur napasku diakibatkan kenikmatan yang berkali-kali Indra genjotkan di selangkanganku. Luar biasa, kenikmatan yang kali ini kudapat jauh lebih hebat daripada kenikmatan yang Indra berikan dua minggu lalu. Mungkin hal ini disebabkan karena saat sekarang ini, aku lebih pasrah dan menerima perlakuan Indra kepadaku.
Setelah mendapatkan tenaga yang cukup akibat proses pemulihanku, aku pun segera bangun, dan kemudian duduk disebelah Indra.
“Lagi mikirin apa, Ndra?” Tanyaku sambil merangkul pundaknya.
Mendapatiku disebelahnya, Indra langsung mencium bibirku dengan lembut, kemudian membaringkan kepalaku di pundaknya. Ia pun juga membelai-belai rambutku dengan lembut. Ah, aku merasa sangat nyaman.
“Ci... Percaya deh sama aku, kalo aku tuh bener-bener cinta sama cici.” Kata Indra.
“He-eh, Ndra. Aku percaya kok.” Kataku sambil tetap menyandarkan kepalaku di pundak Indra yang kekar.
“Cici percaya gimana? Bisa aja aku bohong, lho.” Kata Indra sambil memainkan rambutku.
“Iiihh... kamu jahat ah!” Kataku sambil mencubit dadanya.
“Hehehe... becanda doang ci.” Kata Indra.
“Aku tahu kok, Ndra. Dari perlakuan kamu ke aku. Entah kenapa, aku tahu kalo kamu bener-bener serius.” Kataku.
“Iya, ci. Percaya sama aku, aku selama ini berusaha memuaskan cici, karena aku cuma berusaha ngasih cici kebutuhan batin yang suami cici nggak bisa kasih. Aku pengen ngeliat cici bahagia karena banyak kebutuhan yang terpenuhi.” Kata Indra.
“Heh, mungkin kamu bener, Ndra. Tapi, coba aku tanya sama kamu. Emang kamu rela, misalkan yang menuhin kebutuhan itu orang lain? Bukan suamiku, bukan kamu.” Tanyaku.
“Waduh... Yaa...” Kata Indra dengan terbata-bata.
“Yaa, mungkin kamu ada ngga relanya. Bener kan?” Tanyaku.
“Bener banget, ci. Hehehe.” Kata Indra.
“Makanyaa... Cinta dan nafsu itu emang dua hal yang kadang nggak bisa dipisahin, Ndra.” Kataku.
“Hehehe, lebih pengalaman cici rupanya.” Kata Indra.
“Ya iyalah, secara aku empat tahun lebih tua dari kamu lho, Ndra. Terus, yang kamu pikirin tuh apa?” Tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Indra langsung terdiam. Eh, ada apa ya? Sambil tetap menyandarkan kepalaku di pundaknya, aku pun mulai memeluk lehernya.
“Kenapa, Ndra? Kayanya serius. Cerita aja.” Kataku.
“Emang serius sih, ci. Ini tentang kita.” Kata Indra.
“Tentang kita? Kenapa nih, Ndra?” Tanyaku.
“Aku udah bilang nih ke cici, bahwa aku betul-betul cinta sama cici, dan cici pun juga udah percaya sama aku. Tapi, gimana dengan cici? Cici beberapa kali bilang kalo cici cinta sama aku. Apa itu betul-betul dari hati cici?” Tanya Indra.
“Betul kok, Ndra.” Kataku.
“Kalo gitu, aku boleh dong ci, tanya satu hal?” Kata Indra.
“Tanya aja, Ndra. Nggak usah sungkan.” Kataku sambil membelai lehernya.
“Ci, kenapa cici ga ngasih aku ngeluarin sperma di dalem?” Tanya Indra.
“Oh, itu Ndra? Ya karena aku nggak KB, Ndra.” Kataku.
“Iya. Lalu?” Tanya Indra.
“Lho, kok lalu? Ya kalo kamu keluarin sperma kamu di dalem, nanti aku hamil.” Kataku.
“Memang kenapa kalo cici hamil? Toh anakku juga kan?” Kata Indra.
“Ndra, oke. Aku akan jujur ke kamu. Aku emang cinta sama kamu, dan percayalah kalo aku tuh nggak bohong. Tapi kalo untuk masalah ini, aku nggak bisa, Ndra. Aku udah punya suami.” Kataku.
“Berarti, cici juga masih cinta sama suami cici?” Tanya Indra.
Aku pun terdiam sebentar. Kemudian setelah beberapa detik, aku mengangguk dengan yakin.
“Oke. Aku ngerti, ci. Sekarang gini, suami cici sama aku, siapa yang cici lebih cinta?” Tanya Indra.
Astaga, itu pertanyaan yang sangat sulit bagiku. Ah, mengapa begitu sulit? Seharusnya aku bisa menjawab dengan mudah bahwa aku lebih mencintai suamiku. Akan tetapi, begitulah kenyataannya, bahwa pertanyaan itu sangat sulit kujawab. Kuakui, Indra sangat pintar memperlakukan perasaanku, hingga rasa cintaku padanya bisa berkembang begitu jauh, mengimbangi perasaan cinta pada suamiku.
“Jujur, Ndra. Aku bingung mau jawab apa.” Kataku.
“Oke. Aku nggak apa-apa kalo cici bilang bingung. Tapi, aku minta kepastian aja. Satu jawaban aja. Kalo cici bilang suami cici, aku akan ngerti dan aku akan nyerah dapetin hati cici. Dan tentu saja, aku ga bakal dendam sama cici ataupun suami cici.” Kata Indra.
Luar biasa. Begitu mudahkah seorang laki-laki berlapang dada demi wanita yang ia cintai? Sifat Indra betul-betul membuatku sangat terenyuh.
“Tapi kalo ternyata jawabannya adalah aku, berarti aku memutuskan kalo ga boleh ada yang menghalangi kita, termasuk suami cici.” Kata Indra.
“Jujur, Ndra. Aku nggak tahu siapa yang lebih aku cintain diantara kalian berdua.” Kataku.
“Oke, gini aja. Cici sama suami ikut program punya anak?” Tanya Indra.
“Nggak sih. Kita nggak spesial ikut program. Tapi, kita memang pengen punya anak.” Kataku.
“Oke. Gimana kalo gini aja? Cici izinin aku nabur benih dalam tubuh cici. Ketika cici hamil, anak siapa itu sesuai dengan yang dikatakan oleh tes DNA, berarti dialah yang berhak dapet cinta cici.” Kata Indra.
“Aku nggak setuju, Ndra.” Kataku sambil melepaskan sandaran kepala dan pelukanku kepada Indra.
“Kenapa, ci?” Tanya Indra.
“Kalo kaya gitu, terlalu nggak adil Ndra buat suamiku. Dia itu adalah suami aku yang sah. Nggak mungkin kalo dia harus dilibatkan dengan kompetisi yang dia bahkan nggak tahu. Masa nanti tahu-tahu aku hamil? Mending kalo ternyata itu anak dia. Kalo ternyata anak kamu, gimana? Terlalu berat Ndra buat dia.” Kataku.
“Oke, gini aja. Aku akan nemuin suami cici, dan menceritakan semuanya.” Kata Indra.
“Haah?? Jangan, Ndra!” Kataku.
“Kenapa?” Tanya Indra dengan tenang.
“Kalo suamiku sampe tahu, semuanya bisa gawat, Ndra.” Kataku dengan panik.
“Kalo suami cici sampe tahu, kenapa? Cici takut ditinggal sama suami cici?” Tanya Indra.
“Ya, itu pastinya.” Kataku.
“Nggak usah takut, ci. Ada aku. Kalo suami cici ninggalin aku, aku akan ada buat nemenin cici.” Kata Indra.
“Bukan cuma itu, Ndra. Gimana dengan perasaan suamiku, kalo sampe suamiku tahu tentang kita?” Tanyaku.
“Kalau cici sebegitu mentingin perasaan cici ke suami cici, cici harus tegas kalo cici milih suami cici dibanding aku. Tapi aku mohon banget, ci. Jangan ada keterpaksaan sedikitpun dalam keputusan cici. Disini, aku ga berniat memaksakan sesuatu ke cici. Cuma, aku lihat cici bingung dalam mengambil keputusan, makanya aku mao kasih jalan keluar. Itu aja.” Kata Indra.
Ya, betul sekali apa yang dikatakan oleh Indra. Aku memang seharusnya tegas bahwa aku lebih memilih suamiku jika aku memang betul memikirkan perasaannya. Akan tetapi, harus kuakui bahwa jika aku memutuskan sekarang, berarti aku memutuskan bukan dengan dasar pertimbangan yang kuat. Kalau kata Indra, berarti ada keterpaksaan dalam pilihanku. Akan tetapi, berarti aku harus memberitahu semua perselingkuhanku dengan Indra pada suamiku?
“Ci, kalo cici lebih milih suami cici, katakanlah dengan tegas, dan biarkan hubungan kita berakhir sampai disini. Tapi, kalo cici bener-bener bingung, ya solusiku sih seperti yang aku ngomong tadi. Ini demi cici, suami cici, dan juga aku.” Kata Indra.
Demi aku, suamiku, dan Indra ya? Perkataan Indra memang betul sekali.
“Ndra, menurut kamu sebagai laki-laki, gimana reaksi suami cici kalo tahu hal ini dari mulutku langsung?” Tanyaku.
“Waduh, aku kan bukan suami cici ya, jadi ga tahu persisnya. Tapi aku posisikan diriku aja ya sebagai suami cici. Begitu tahu, aku pasti marah. Pasti marah kok. Tapi, ada yang aku hargai, yaitu kejujuran cici. Berikutnya, mungkin aku akan tanya ke cici, apakah hubungan kita mau dilanjut ato ga.” Kata Indra.
“He eh. Terus?” Tanyaku.
Bersambung
Setelah mendapatkan tenaga yang cukup akibat proses pemulihanku, aku pun segera bangun, dan kemudian duduk disebelah Indra.
“Lagi mikirin apa, Ndra?” Tanyaku sambil merangkul pundaknya.
Mendapatiku disebelahnya, Indra langsung mencium bibirku dengan lembut, kemudian membaringkan kepalaku di pundaknya. Ia pun juga membelai-belai rambutku dengan lembut. Ah, aku merasa sangat nyaman.
“Ci... Percaya deh sama aku, kalo aku tuh bener-bener cinta sama cici.” Kata Indra.
“He-eh, Ndra. Aku percaya kok.” Kataku sambil tetap menyandarkan kepalaku di pundak Indra yang kekar.
“Cici percaya gimana? Bisa aja aku bohong, lho.” Kata Indra sambil memainkan rambutku.
“Iiihh... kamu jahat ah!” Kataku sambil mencubit dadanya.
“Hehehe... becanda doang ci.” Kata Indra.
“Aku tahu kok, Ndra. Dari perlakuan kamu ke aku. Entah kenapa, aku tahu kalo kamu bener-bener serius.” Kataku.
“Iya, ci. Percaya sama aku, aku selama ini berusaha memuaskan cici, karena aku cuma berusaha ngasih cici kebutuhan batin yang suami cici nggak bisa kasih. Aku pengen ngeliat cici bahagia karena banyak kebutuhan yang terpenuhi.” Kata Indra.
“Heh, mungkin kamu bener, Ndra. Tapi, coba aku tanya sama kamu. Emang kamu rela, misalkan yang menuhin kebutuhan itu orang lain? Bukan suamiku, bukan kamu.” Tanyaku.
“Waduh... Yaa...” Kata Indra dengan terbata-bata.
“Yaa, mungkin kamu ada ngga relanya. Bener kan?” Tanyaku.
“Bener banget, ci. Hehehe.” Kata Indra.
“Makanyaa... Cinta dan nafsu itu emang dua hal yang kadang nggak bisa dipisahin, Ndra.” Kataku.
“Hehehe, lebih pengalaman cici rupanya.” Kata Indra.
“Ya iyalah, secara aku empat tahun lebih tua dari kamu lho, Ndra. Terus, yang kamu pikirin tuh apa?” Tanyaku.
Mendengar pertanyaanku, Indra langsung terdiam. Eh, ada apa ya? Sambil tetap menyandarkan kepalaku di pundaknya, aku pun mulai memeluk lehernya.
“Kenapa, Ndra? Kayanya serius. Cerita aja.” Kataku.
“Emang serius sih, ci. Ini tentang kita.” Kata Indra.
“Tentang kita? Kenapa nih, Ndra?” Tanyaku.
“Aku udah bilang nih ke cici, bahwa aku betul-betul cinta sama cici, dan cici pun juga udah percaya sama aku. Tapi, gimana dengan cici? Cici beberapa kali bilang kalo cici cinta sama aku. Apa itu betul-betul dari hati cici?” Tanya Indra.
“Betul kok, Ndra.” Kataku.
“Kalo gitu, aku boleh dong ci, tanya satu hal?” Kata Indra.
“Tanya aja, Ndra. Nggak usah sungkan.” Kataku sambil membelai lehernya.
“Ci, kenapa cici ga ngasih aku ngeluarin sperma di dalem?” Tanya Indra.
“Oh, itu Ndra? Ya karena aku nggak KB, Ndra.” Kataku.
“Iya. Lalu?” Tanya Indra.
“Lho, kok lalu? Ya kalo kamu keluarin sperma kamu di dalem, nanti aku hamil.” Kataku.
“Memang kenapa kalo cici hamil? Toh anakku juga kan?” Kata Indra.
“Ndra, oke. Aku akan jujur ke kamu. Aku emang cinta sama kamu, dan percayalah kalo aku tuh nggak bohong. Tapi kalo untuk masalah ini, aku nggak bisa, Ndra. Aku udah punya suami.” Kataku.
“Berarti, cici juga masih cinta sama suami cici?” Tanya Indra.
Aku pun terdiam sebentar. Kemudian setelah beberapa detik, aku mengangguk dengan yakin.
“Oke. Aku ngerti, ci. Sekarang gini, suami cici sama aku, siapa yang cici lebih cinta?” Tanya Indra.
Astaga, itu pertanyaan yang sangat sulit bagiku. Ah, mengapa begitu sulit? Seharusnya aku bisa menjawab dengan mudah bahwa aku lebih mencintai suamiku. Akan tetapi, begitulah kenyataannya, bahwa pertanyaan itu sangat sulit kujawab. Kuakui, Indra sangat pintar memperlakukan perasaanku, hingga rasa cintaku padanya bisa berkembang begitu jauh, mengimbangi perasaan cinta pada suamiku.
“Jujur, Ndra. Aku bingung mau jawab apa.” Kataku.
“Oke. Aku nggak apa-apa kalo cici bilang bingung. Tapi, aku minta kepastian aja. Satu jawaban aja. Kalo cici bilang suami cici, aku akan ngerti dan aku akan nyerah dapetin hati cici. Dan tentu saja, aku ga bakal dendam sama cici ataupun suami cici.” Kata Indra.
Luar biasa. Begitu mudahkah seorang laki-laki berlapang dada demi wanita yang ia cintai? Sifat Indra betul-betul membuatku sangat terenyuh.
“Tapi kalo ternyata jawabannya adalah aku, berarti aku memutuskan kalo ga boleh ada yang menghalangi kita, termasuk suami cici.” Kata Indra.
“Jujur, Ndra. Aku nggak tahu siapa yang lebih aku cintain diantara kalian berdua.” Kataku.
“Oke, gini aja. Cici sama suami ikut program punya anak?” Tanya Indra.
“Nggak sih. Kita nggak spesial ikut program. Tapi, kita memang pengen punya anak.” Kataku.
“Oke. Gimana kalo gini aja? Cici izinin aku nabur benih dalam tubuh cici. Ketika cici hamil, anak siapa itu sesuai dengan yang dikatakan oleh tes DNA, berarti dialah yang berhak dapet cinta cici.” Kata Indra.
“Aku nggak setuju, Ndra.” Kataku sambil melepaskan sandaran kepala dan pelukanku kepada Indra.
“Kenapa, ci?” Tanya Indra.
“Kalo kaya gitu, terlalu nggak adil Ndra buat suamiku. Dia itu adalah suami aku yang sah. Nggak mungkin kalo dia harus dilibatkan dengan kompetisi yang dia bahkan nggak tahu. Masa nanti tahu-tahu aku hamil? Mending kalo ternyata itu anak dia. Kalo ternyata anak kamu, gimana? Terlalu berat Ndra buat dia.” Kataku.
“Oke, gini aja. Aku akan nemuin suami cici, dan menceritakan semuanya.” Kata Indra.
“Haah?? Jangan, Ndra!” Kataku.
“Kenapa?” Tanya Indra dengan tenang.
“Kalo suamiku sampe tahu, semuanya bisa gawat, Ndra.” Kataku dengan panik.
“Kalo suami cici sampe tahu, kenapa? Cici takut ditinggal sama suami cici?” Tanya Indra.
“Ya, itu pastinya.” Kataku.
“Nggak usah takut, ci. Ada aku. Kalo suami cici ninggalin aku, aku akan ada buat nemenin cici.” Kata Indra.
“Bukan cuma itu, Ndra. Gimana dengan perasaan suamiku, kalo sampe suamiku tahu tentang kita?” Tanyaku.
“Kalau cici sebegitu mentingin perasaan cici ke suami cici, cici harus tegas kalo cici milih suami cici dibanding aku. Tapi aku mohon banget, ci. Jangan ada keterpaksaan sedikitpun dalam keputusan cici. Disini, aku ga berniat memaksakan sesuatu ke cici. Cuma, aku lihat cici bingung dalam mengambil keputusan, makanya aku mao kasih jalan keluar. Itu aja.” Kata Indra.
Ya, betul sekali apa yang dikatakan oleh Indra. Aku memang seharusnya tegas bahwa aku lebih memilih suamiku jika aku memang betul memikirkan perasaannya. Akan tetapi, harus kuakui bahwa jika aku memutuskan sekarang, berarti aku memutuskan bukan dengan dasar pertimbangan yang kuat. Kalau kata Indra, berarti ada keterpaksaan dalam pilihanku. Akan tetapi, berarti aku harus memberitahu semua perselingkuhanku dengan Indra pada suamiku?
“Ci, kalo cici lebih milih suami cici, katakanlah dengan tegas, dan biarkan hubungan kita berakhir sampai disini. Tapi, kalo cici bener-bener bingung, ya solusiku sih seperti yang aku ngomong tadi. Ini demi cici, suami cici, dan juga aku.” Kata Indra.
Demi aku, suamiku, dan Indra ya? Perkataan Indra memang betul sekali.
“Ndra, menurut kamu sebagai laki-laki, gimana reaksi suami cici kalo tahu hal ini dari mulutku langsung?” Tanyaku.
“Waduh, aku kan bukan suami cici ya, jadi ga tahu persisnya. Tapi aku posisikan diriku aja ya sebagai suami cici. Begitu tahu, aku pasti marah. Pasti marah kok. Tapi, ada yang aku hargai, yaitu kejujuran cici. Berikutnya, mungkin aku akan tanya ke cici, apakah hubungan kita mau dilanjut ato ga.” Kata Indra.
“He eh. Terus?” Tanyaku.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved