Bab 4 Part 4
by Dinda Tirani
08:57,Apr 26,2024
Agar suamiku tidak curiga, aku katakan padanya aku pergi ke rumah manajer Finance, Ani, yang notabenenya adalah sahabatku untuk menyelesaikan lemburan kantor. Untungnya suamiku tidak mengenal teman-temanku, jadi harusnya dia tidak mungkin mengecek temanku untuk memastikan keberadaanku. Aku sudah memberitahu Indra untuk menjemputku didepan rumah Ani. Aku memanggil taksi dan memintaku mengantarku ke rumah Ani yang letaknya cukup jauh dari rumahku. Suamiku tidak mengantarku karena kemarin ia kecapekan habis nonton final liga champion. Kebetulan deh.
Jam lima subuh kurang, aku sudah sampai di depan rumah Ani. Tidak lama kemudian, Indra datang menjemputku dengan mobil kijang-nya. Aku pun langsung naik, dan Indra langsung tancap gas. Hanya dalam dua jam saja, kami sudah sampai di daerah Puncak. Kami mengunjungi banyak obyek wisata di puncak. Sekitar jam sebelasan, kami turun di Kebun Teh untuk berjalan-jalan disana. Terkadang, kami juga mengambil spot yang bagus untuk berfoto.
“Ndra, jangan dipasang di medsos atau di chatting service ya.” Kataku.
“Tenang aja, ci.” Kata Indra.
Aku lega karena sepertinya perkataannya bisa dipegang. Sesekali, ia juga menggandeng tanganku di Kebun Teh. Entah kenapa, aku tidak berusaha menepisnya. Malah, aku enjoy-enjoy saja digandeng tangannya. Aahh sudahlah, setelah besok juga kami akan semakin jauh dan akhirnya lost contact.
Kami makan siang di suatu restoran seafood di Puncak. Bahkan, sesekali ia menyuapiku makan. Yang lebih anehnya lagi, aku terima-terima saja disuapi olehnya. Gawat, apakah sebetulnya aku juga sudah kepincut oleh Indra? Ah, tenang-tenang. Hari ini terakhir. Setelah besok, dia juga hilang. Aku memilih untuk tidak ambil pusing mengenai masalah ini.
Setelah selesai makan siang, jam sudah menunjukkan pukul empat belas. Aku mengajaknya untuk segera pulang, karena takutnya kemalaman. Indra pun menyetujui ajakanku. Kami pun segera naik ke mobil, dan Indra pun mengemudikan mobilnya menuruni Puncak Pass. Di tengah perjalanan, aku melihat Indra sepertinya agak kelelahan. Maklum. Habis makan siang itu bawaannya ngantuk.
“Kenapa, Ndra? Ngantuk?” Tanyaku.
“Dikit doang, ci.” Kata Indra sambil tetap fokus ke depan.
“Kayaknya mendingan istirahat dulu deh di suatu tempat. Daripada bahaya.” Kataku.
“Ga lah, ci. Lagian bahaya mah ga apa-apa, aku kebiasa kok sama bantingan.” Kata Indra.
“Yeee, siapa yang mikirin kamu? Aku takut kena bahaya tau!” Kataku.
“Hahahaha. Yaudah deh, kayanya mending kita istirahat dulu. Gimana, ci?” Tanya Indra.
“Oke-oke aja sih. Tidur dulu aja dua jam gitu, abis itu baru nyetir lagi ke Jakarta.” Kataku.
“Oke. Di Losmen Kariya saja ya.” Kata Indra.
“Terserah.” Kataku.
Losmen Kariya? Aku belum pernah dengar sih. Akan tetapi, sepertinya Indra tahu jalan. Hingga akhirnya, ia memasuki suatu jalan kecil yang sepertinya menuju losmen. Setelah menyusuri jalan kecil ini, kami tiba di suatu losmen yang cukup besar dan sepertinya cukup bersih dan terawat.
Setelah kami turun dari mobil, kami langsung menuju kasir untuk memesan kamar. Indra menyewa satu kamar. Aku pun juga hendak memesan satu kamar. Sebelum resepsionis sempat memproses reservasiku, ia terlebih dulu menyerahkan kunci kamar kepada Indra. Indra pun langsung menggandengku.
“Yuk, ci.” Kata Indra.
“Eh, tunggu, Ndra. Aku belum pesen.” Kataku.
“Udah, bareng aja.” Kata Indra sambil menunjukkan kunci kamar yang ia dapatkan.
“Loh, jangan dong, Ndra. Ntar kamu jadi sempit loh kalo aku juga numpang di kamar kamu.” Kataku.
”Udahlah, tuh bed-nya ada dua. Kamarnya emang sengaja aku pesen yang gede-an. Udah bareng aja, ci. Ngapain boros-boros?” Kata Indra.
“Aduh, Ndra. Udahlah nggak apa-apa. Aku sewa satu kamar lagi aja, masa kamu yang bayar kamar, terus aku tinggal numpang. Nggak enak aku.” Kataku.
“Udah, ga apa-apa, ci. Emang aku pesen yang gedean tuh biar cici bisa sekalian.” Kata Indra sambil menarik tanganku.
Ya, kalau begini sih ya sudahlah. Daripada debat tiada akhir, malu-maluin di depan kasir. Akhirnya aku mengalah, Indra tetap menggandeng tanganku sambil berjalan kearah kamar yang disewa oleh Indra. Aku berjalan saja mengikutinya. Kamar yang disewa oleh Indra tidak begitu jauh dari kasir. Sebelah kamar kami terbuka, sepertinya kosong. Yang sebelahnya lagi tertutup, sepertinya ada yang menyewa. Kamar ini lumayan besar, berukuran sekitar lima kali enam meter persegi. Ada dua tempat tidur terpisah dalam kamar ini.
Aku segera mengambil tempat tidur yang di kiri, kemudian langsung berbaring. Indra pun duduk di ranjang yang sama denganku, persis disebelahku. Ia pun kemudian membelai-belai rambutku dengan lembut.
“Capek ya?” Tanya Indra dengan lembut.
“Nggak sih, baringan aja.” Kataku.
Aku tetap membiarkan Indra membelai-belai rambutku. Aku mulai memejamkan mataku. Berbagai macam pikiran terus bermunculan dalam kepalaku. Hari ini, lumayan menyenangkan sih. Ternyata, jalan-jalan dengan Indra itu asik juga. Meskipun seringkali ia merangkul pundakku, menggandeng tanganku, dan membelai-belai rambutku, aku tetap tidak merasa risih. Justru sebaliknya, aku merasa nyaman diperlakukan begitu olehnya. Bahkan, aku semakin menikmati belaian tangannya dirambutku sekarang. Ah, rasanya betul-betul seperti zaman pacaran dulu, begitu dimabuk oleh cinta.
Tiba-tiba, Indra mengangkat tubuhku dan langsung mendudukanku dipangkuannya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung mencium bibirku. Aku tidak sempat menghindar, bahkan aku juga membiarkan ketika bibir dan kumis halus Indra menempel kebibirku hingga beberapa saat. Dadaku semakin berdegub kencang ketika kurasakan bibir halus Indra melumat mulutku. Lidah Indra menelusup kecelah bibirku dan menggelitik hampir semua rongga mulutku. Mendapat serangan mendadak itu, darahku seperti berdesir, sementara bulu tengkukku merinding. Semua itu dilakukannya dengan sangat lembut.
Namun, tiba-tiba kesadaranku timbul kembali. Maka, kudorong dada indra supaya ia melepaskan pelukannya pada diriku.
”Ndra, jangan Ndra. Ini nggak pantas kita lakukan!” Kataku terbata-bata.
Indra memang melepaskan ciumannya dibibirku, tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat masih tetap memeluk pinggang rampingku dengan erat. Aku juga masih terduduk dipangkuannya.
”Kenapa ga pantes, ci? Aku ini betul-betul sayang kok sama Ci Lisa. Ci Lisa juga sayang sama aku kan?” Kata Indra yang terdengar seperti desahan.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Jujur, aku kebingungan sekali jika harus menjawab pertanyaan itu.
“Ga apa-apa, ci. Tenang aja. Aku ga akan ngecewain cici. Aku beneran sayang kok sama cici.” Kata Indra sambil membelai-belai rambutku.
Seolah begitu terhipnotis oleh kata-kata Indra dengan nada yang lembut itu, aku pun merasa tenang. Setelah itu, Indra kembali mendaratkan ciuman. Ia menjilati dan menciumi seluruh wajahku, lalu merambat ke leher dan telingaku. Aku memang pasif dan diam, namun perlahan tapi pasti nafsu birahi semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Indra sangat pandai mengobarkan birahiku. Jilatan demi jilatan lidahnya ke leherku benar- benar telah membuatku terbakar dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun belum pernah aku merasakan rangsangan sehebat ini.
Indra sendiri tampaknya juga sudah mulai terangsang. Aku dapat merasakan napasnya mulai terengah-engah. Sementara, aku semakin tidak kuat untuk menahan erangan. Maka aku pun mendesis-desis untuk menahan kenikmatan yang mulai membakar kesadaranku.
Setelah itu tiba-tiba tangan Indra yang kekar itu membuka kancing kemeja hijau-ku.
Cepat sekali ia membukanya. Hanya dalam beberapa detik saja, seluruh kancing kemeja hijau-ku sudah terbuka sepenuhnya. Secara refleks aku masih mencoba untuk berontak.
”Cukup, Ndra! Jangan sampai kesitu. Aku takut, Ndra.” Kataku sambil meronta dari pelukannya.
”Takut sama siapa, ci? Toh ga ada yang tahu. Percaya sama aku, ci. Aku akan muasin Ci Lisa.” Jawab Indra dengan napas yang memburu.
Seperti tidak peduli dengan protesku, Indra yang telah melepas kemeja hijau-ku sepenuhnya, kini ganti sibuk melepas BH hijau-ku. Meskipun aku berusaha meronta, tetap tidak berguna sama sekali sebab tubuh Indra yang tegap dan kuat itu mendekapku dengan sangat erat.
Dalam pelukan Indra, buah dadaku kini terbuka tanpa tertutup sehelai kain pun. Aku berusaha menutupi dengan mendekapkan tangan di dadaku. Akan tetapi, dengan cepat tangan Indra memegangi tanganku dan merentangkannya. Setelah itu, Indra mengangkat dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tanpa membuang waktu, bibir Indra melumat salah satu buah dadaku, sementara salah satu tangannya juga langsung meremas-remas buah dadaku yang lainnya. Bagaikan seekor singa buas, ia menjilati dan meremas buah dada yang kenyal dan putih ini. Kini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain megap-megap dan mengerang karena kenikmatan yang mencengkeramku. Aku menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan karena rasa geli dan nikmat yang kurasakan ketika bibir dan lidah Indra menjilat dan melumat puting susuku.
”Ci.. da.. dada cici putih dan in.. indah sekali. A.. aku makin sa... sayaang sama cicii... ” Kata Indra terputus-putus karna nafsu birahi yang kian memuncak.
Bersambung
Jam lima subuh kurang, aku sudah sampai di depan rumah Ani. Tidak lama kemudian, Indra datang menjemputku dengan mobil kijang-nya. Aku pun langsung naik, dan Indra langsung tancap gas. Hanya dalam dua jam saja, kami sudah sampai di daerah Puncak. Kami mengunjungi banyak obyek wisata di puncak. Sekitar jam sebelasan, kami turun di Kebun Teh untuk berjalan-jalan disana. Terkadang, kami juga mengambil spot yang bagus untuk berfoto.
“Ndra, jangan dipasang di medsos atau di chatting service ya.” Kataku.
“Tenang aja, ci.” Kata Indra.
Aku lega karena sepertinya perkataannya bisa dipegang. Sesekali, ia juga menggandeng tanganku di Kebun Teh. Entah kenapa, aku tidak berusaha menepisnya. Malah, aku enjoy-enjoy saja digandeng tangannya. Aahh sudahlah, setelah besok juga kami akan semakin jauh dan akhirnya lost contact.
Kami makan siang di suatu restoran seafood di Puncak. Bahkan, sesekali ia menyuapiku makan. Yang lebih anehnya lagi, aku terima-terima saja disuapi olehnya. Gawat, apakah sebetulnya aku juga sudah kepincut oleh Indra? Ah, tenang-tenang. Hari ini terakhir. Setelah besok, dia juga hilang. Aku memilih untuk tidak ambil pusing mengenai masalah ini.
Setelah selesai makan siang, jam sudah menunjukkan pukul empat belas. Aku mengajaknya untuk segera pulang, karena takutnya kemalaman. Indra pun menyetujui ajakanku. Kami pun segera naik ke mobil, dan Indra pun mengemudikan mobilnya menuruni Puncak Pass. Di tengah perjalanan, aku melihat Indra sepertinya agak kelelahan. Maklum. Habis makan siang itu bawaannya ngantuk.
“Kenapa, Ndra? Ngantuk?” Tanyaku.
“Dikit doang, ci.” Kata Indra sambil tetap fokus ke depan.
“Kayaknya mendingan istirahat dulu deh di suatu tempat. Daripada bahaya.” Kataku.
“Ga lah, ci. Lagian bahaya mah ga apa-apa, aku kebiasa kok sama bantingan.” Kata Indra.
“Yeee, siapa yang mikirin kamu? Aku takut kena bahaya tau!” Kataku.
“Hahahaha. Yaudah deh, kayanya mending kita istirahat dulu. Gimana, ci?” Tanya Indra.
“Oke-oke aja sih. Tidur dulu aja dua jam gitu, abis itu baru nyetir lagi ke Jakarta.” Kataku.
“Oke. Di Losmen Kariya saja ya.” Kata Indra.
“Terserah.” Kataku.
Losmen Kariya? Aku belum pernah dengar sih. Akan tetapi, sepertinya Indra tahu jalan. Hingga akhirnya, ia memasuki suatu jalan kecil yang sepertinya menuju losmen. Setelah menyusuri jalan kecil ini, kami tiba di suatu losmen yang cukup besar dan sepertinya cukup bersih dan terawat.
Setelah kami turun dari mobil, kami langsung menuju kasir untuk memesan kamar. Indra menyewa satu kamar. Aku pun juga hendak memesan satu kamar. Sebelum resepsionis sempat memproses reservasiku, ia terlebih dulu menyerahkan kunci kamar kepada Indra. Indra pun langsung menggandengku.
“Yuk, ci.” Kata Indra.
“Eh, tunggu, Ndra. Aku belum pesen.” Kataku.
“Udah, bareng aja.” Kata Indra sambil menunjukkan kunci kamar yang ia dapatkan.
“Loh, jangan dong, Ndra. Ntar kamu jadi sempit loh kalo aku juga numpang di kamar kamu.” Kataku.
”Udahlah, tuh bed-nya ada dua. Kamarnya emang sengaja aku pesen yang gede-an. Udah bareng aja, ci. Ngapain boros-boros?” Kata Indra.
“Aduh, Ndra. Udahlah nggak apa-apa. Aku sewa satu kamar lagi aja, masa kamu yang bayar kamar, terus aku tinggal numpang. Nggak enak aku.” Kataku.
“Udah, ga apa-apa, ci. Emang aku pesen yang gedean tuh biar cici bisa sekalian.” Kata Indra sambil menarik tanganku.
Ya, kalau begini sih ya sudahlah. Daripada debat tiada akhir, malu-maluin di depan kasir. Akhirnya aku mengalah, Indra tetap menggandeng tanganku sambil berjalan kearah kamar yang disewa oleh Indra. Aku berjalan saja mengikutinya. Kamar yang disewa oleh Indra tidak begitu jauh dari kasir. Sebelah kamar kami terbuka, sepertinya kosong. Yang sebelahnya lagi tertutup, sepertinya ada yang menyewa. Kamar ini lumayan besar, berukuran sekitar lima kali enam meter persegi. Ada dua tempat tidur terpisah dalam kamar ini.
Aku segera mengambil tempat tidur yang di kiri, kemudian langsung berbaring. Indra pun duduk di ranjang yang sama denganku, persis disebelahku. Ia pun kemudian membelai-belai rambutku dengan lembut.
“Capek ya?” Tanya Indra dengan lembut.
“Nggak sih, baringan aja.” Kataku.
Aku tetap membiarkan Indra membelai-belai rambutku. Aku mulai memejamkan mataku. Berbagai macam pikiran terus bermunculan dalam kepalaku. Hari ini, lumayan menyenangkan sih. Ternyata, jalan-jalan dengan Indra itu asik juga. Meskipun seringkali ia merangkul pundakku, menggandeng tanganku, dan membelai-belai rambutku, aku tetap tidak merasa risih. Justru sebaliknya, aku merasa nyaman diperlakukan begitu olehnya. Bahkan, aku semakin menikmati belaian tangannya dirambutku sekarang. Ah, rasanya betul-betul seperti zaman pacaran dulu, begitu dimabuk oleh cinta.
Tiba-tiba, Indra mengangkat tubuhku dan langsung mendudukanku dipangkuannya. Tanpa berkata apa-apa, dia langsung mencium bibirku. Aku tidak sempat menghindar, bahkan aku juga membiarkan ketika bibir dan kumis halus Indra menempel kebibirku hingga beberapa saat. Dadaku semakin berdegub kencang ketika kurasakan bibir halus Indra melumat mulutku. Lidah Indra menelusup kecelah bibirku dan menggelitik hampir semua rongga mulutku. Mendapat serangan mendadak itu, darahku seperti berdesir, sementara bulu tengkukku merinding. Semua itu dilakukannya dengan sangat lembut.
Namun, tiba-tiba kesadaranku timbul kembali. Maka, kudorong dada indra supaya ia melepaskan pelukannya pada diriku.
”Ndra, jangan Ndra. Ini nggak pantas kita lakukan!” Kataku terbata-bata.
Indra memang melepaskan ciumannya dibibirku, tetapi kedua tangannya yang kekar dan kuat masih tetap memeluk pinggang rampingku dengan erat. Aku juga masih terduduk dipangkuannya.
”Kenapa ga pantes, ci? Aku ini betul-betul sayang kok sama Ci Lisa. Ci Lisa juga sayang sama aku kan?” Kata Indra yang terdengar seperti desahan.
Aku tidak bisa menjawab apa-apa. Jujur, aku kebingungan sekali jika harus menjawab pertanyaan itu.
“Ga apa-apa, ci. Tenang aja. Aku ga akan ngecewain cici. Aku beneran sayang kok sama cici.” Kata Indra sambil membelai-belai rambutku.
Seolah begitu terhipnotis oleh kata-kata Indra dengan nada yang lembut itu, aku pun merasa tenang. Setelah itu, Indra kembali mendaratkan ciuman. Ia menjilati dan menciumi seluruh wajahku, lalu merambat ke leher dan telingaku. Aku memang pasif dan diam, namun perlahan tapi pasti nafsu birahi semakin kuat menguasaiku. Harus kuakui, Indra sangat pandai mengobarkan birahiku. Jilatan demi jilatan lidahnya ke leherku benar- benar telah membuatku terbakar dalam kenikmatan. Bahkan dengan suamiku sekalipun belum pernah aku merasakan rangsangan sehebat ini.
Indra sendiri tampaknya juga sudah mulai terangsang. Aku dapat merasakan napasnya mulai terengah-engah. Sementara, aku semakin tidak kuat untuk menahan erangan. Maka aku pun mendesis-desis untuk menahan kenikmatan yang mulai membakar kesadaranku.
Setelah itu tiba-tiba tangan Indra yang kekar itu membuka kancing kemeja hijau-ku.
Cepat sekali ia membukanya. Hanya dalam beberapa detik saja, seluruh kancing kemeja hijau-ku sudah terbuka sepenuhnya. Secara refleks aku masih mencoba untuk berontak.
”Cukup, Ndra! Jangan sampai kesitu. Aku takut, Ndra.” Kataku sambil meronta dari pelukannya.
”Takut sama siapa, ci? Toh ga ada yang tahu. Percaya sama aku, ci. Aku akan muasin Ci Lisa.” Jawab Indra dengan napas yang memburu.
Seperti tidak peduli dengan protesku, Indra yang telah melepas kemeja hijau-ku sepenuhnya, kini ganti sibuk melepas BH hijau-ku. Meskipun aku berusaha meronta, tetap tidak berguna sama sekali sebab tubuh Indra yang tegap dan kuat itu mendekapku dengan sangat erat.
Dalam pelukan Indra, buah dadaku kini terbuka tanpa tertutup sehelai kain pun. Aku berusaha menutupi dengan mendekapkan tangan di dadaku. Akan tetapi, dengan cepat tangan Indra memegangi tanganku dan merentangkannya. Setelah itu, Indra mengangkat dan merebahkan tubuhku di tempat tidur. Tanpa membuang waktu, bibir Indra melumat salah satu buah dadaku, sementara salah satu tangannya juga langsung meremas-remas buah dadaku yang lainnya. Bagaikan seekor singa buas, ia menjilati dan meremas buah dada yang kenyal dan putih ini. Kini, aku tidak bisa berbuat apa-apa lagi selain megap-megap dan mengerang karena kenikmatan yang mencengkeramku. Aku menggeliat-geliat seperti cacing kepanasan karena rasa geli dan nikmat yang kurasakan ketika bibir dan lidah Indra menjilat dan melumat puting susuku.
”Ci.. da.. dada cici putih dan in.. indah sekali. A.. aku makin sa... sayaang sama cicii... ” Kata Indra terputus-putus karna nafsu birahi yang kian memuncak.
Bersambung
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved