Bab 1 Part 1

by Dinda Tirani 16:39,Apr 25,2024
Namaku Lisa, seorang wanita yang telah berusia 32 tahun dan telah bersuami. Menurut banyak teman, aku adalah wanita yang cukup cantik dan berkulit putih bersih. Yang luar biasa adalah postur tubuhku yang begitu terawat dan indah. Tinggi badanku 164 cm. Pantatku cukup bulat dan berisi dengan sepasang betis yang indah. Sepasang payudaraku yang berukuran 34B juga tampak padat dan serasi dengan bentuk tubuhku. Selama pernikahanku dengan suamiku, aku belum juga dikaruniai seorang anak.

Aku bekerja sebagai accounting manager pada sebuah perusahaan distributor yang cukup besar di kota Jakarta. Aku juga menjadi instruktur bermacam-macam kelas ditempat aku fitness, seperti body combat, body language, dan body pump. Aku merupakan orang yang fokus pada pekerjaanku, sehingga aku kurang pandai bergaul.

Sebagai seorang istri, aku merupakan seorang wanita yang setia pada suami.
Aku berprinsip, tidak ada laki-laki lain yang menyentuh hati dan tubuhku, kecuali suami yang sangat kucintai. Jangankan disentuh, tertarik dengan lelaki lain merupakan pantangan buatku. Akan tetapi, begitulah. Suamiku kurang dapat memuaskanku diatas ranjang. Kalaupun bisa, dia pasti kelelahan dan langsung istirahat. Aku hanyalah seorang wanita yang normal, wanita yang mendambakan kenikmatan seks dari laki-laki. Sehingga, mau tidak mau aku cuma bisa memainkan jari sambil membayangkan suamiku sedang memasukkan batang kejantanannya ke vaginaku, walaupun tidak senikmat kenyataan. Yah tapi apa bisa dikata. Sudah kewajibanku untuk menerima suamiku apa adanya dalam kaya miskin sehat sakit.

Suatu hari, aku sedang sibuk menghitung laporan keuangan perusahaan menjelang akhir bulan. Sekarang, aku yang memegang seluruh pengambilan keputusan terhadap divisi accounting. Hal ini dikarenakan asisten manajer divisi accounting ini resign bulan lalu karena masalah gaji. Sudah beberapa kali aku meng-interview calon asisten manajer untuk divisi accounting. Akan tetapi, semuanya tidak cocok. Giliran cocok, minta gaji ketinggian. Haduuh, susahnya.

“Permisi, Ci Lisa. Bisa ketemu sebentar?” Suara manager HRD, Wandy.

“Oh, silakan masuk, Wan.” Kataku.

Kemudian, pintu pun terbuka. Wandy masuk bersama seorang pria. Lho, sepertinya pria itu aku pernah melihatnya, entah dimana ya.

“Begini, Ci Lisa. Perusahaan sudah menyetujui bahwa dia akan menjadi asisten manajer divisi accounting untuk membantu Ci Lisa. Perkenalkan ci, namanya Indra.” Kata Wandy.

“Oh. Lisa.” Kataku sambil menyalami Indra.

“Indra.” Kata Indra sambil tersenyum.

Oh iya, Indra. Aku pernah menginterview-nya beberapa minggu lalu. Pengetahuannya tentang akuntansi boleh juga. Dan dari yang kupelajari, dia ini orangnya begitu gigih belajar dan sepertinya tidak mudah menyerah. Kuperhatikan dia dari atas sampai bawah, cukup lumayan penampilannya. Indra berbadan tinggi besar dan atletis, tingginya sekitar 178 cm. Wajahnya pun cukup tampan dan maskulin, dengan warna kulit coklat muda dan rambut bergelombang. Sungguh aku tidak mempunyai pikiran atau perasaan tertarik padanya. Aku sih sportif saja ya, jika ia memang bagus, maka akan kuakui. Kubaca CV-nya waktu itu, dia mengatakan bahwa masih lajang. Indra belum tergolong tua, berumur 30 tahun.



Syukurlah, akhirnya aku mendapatkan seorang asisten manajer. Untungnya, Indra ini orang yang cukup pandai. Tidak hanya pandai, ia juga memiliki penampilan fisik yang bagus. Hanya dalam beberapa hari saja, seluruh wanita-wanita ABG di divisi accounting langsung jatuh hati kepadanya. Hal itu tidak mengherankan sih karena aku harus mengakui bahwa wajahnya yang ganteng dan tubuhnya yang atletis menjadi daya tarik tersendiri bagi wanita. Tidak sedikit anak-anak yang curhat kepadaku masalah perasaan mereka terhadap Indra. Akan tetapi, mereka semua tidak direspon oleh Indra. Katanya sih, Indra sudah memiliki seseorang yang membuatnya jatuh hati pada pandangan pertama. Haah, seperti sinetron saja.



Hubunganku dengan Indra sih biasa-biasa saja, malah cenderung agak kaku. Mungkin karena ia masih baru. Meskipun begitu, Indra selalu menghormatiku. Nada bicaranya, pemilihan kata-katanya, dan sikapnya terhadapku menunjukkan rasa hormat yang begitu besar. Harus kuakui bahwa sebetulnya aku lumayan senang punya asisten manajer yang begitu menghormatiku. Ia juga tidak pernah mengeluh, dan selalu mencari pekerjaan demi memperluas wawasannya tentang perusahaan dan pekerjaannya. Dulu aku sempat tidak menerima dia di perusahaan ini karena gaji yang dia ajukan itu terlalu tinggi. Akan tetapi, mungkin divisi HRD lebih pandai dalam memperhitungkan keselarasan antara gaji dan performa. Yah, aku senang ia diterima di perusahaan ini, karena sampai sejauh ini dia menunjukkan sikap yang sangat baik.


Lama-kelamaan kekakuan aku dan Indra pun berkurang dan kami berdua menjadi akrab. Beberapa kali, kami sempat makan siang bersama sambil sharing mengenai pengetahuan dan wawasan masing-masing. Jika aku sudah makan siang berdua, aku selalu menjadi bahan pelototan anak-anak ABG di divisi accounting. Haduuh, memang masih anak-anak mereka itu.



Suatu hari, aku meminta bantuan Indra untuk membantuku lembur dikantor karena ada pekerjaan yang harus diselesaikan hari itu juga. Tanpa kuduga, ia begitu bersemangat menyetujui permintaanku itu. Dia bilang hal itu berguna untuk semakin memperdalam pengetahuannya agar tidak tertinggal dengan anak-anak bawah, dan juga bisa mengayomi anak-anak bawah. Boleh juga semangatnya, aku akui itu.



Aku dan Indra terus berkutat pada pekerjaan yang telah kami janjikan masing-masing. Sekarang sudah jam tujuh malam. Entah sampai kapan ini akan selesai. Enaknya memang setelah capek-capek begini, begitu pulang itu langsung makan, mandi, dan bercinta dengan suami. Akan tetapi, begitu ingat bahwa suamiku memang kurang tahan lama di ranjang, aku jadi bete sendiri rasanya.



“Kenapa, ci?” Tanya Indra tiba-tiba.



“Eh, kenapa Ndra? Nggak apa-apa kok.” Kataku.



“Ah, masa? Muka cici ga bilang kalo cici ga apa-apa tuh.” Kata Indra.



Wih, tajam amat penglihatan dan pengamatannya.



“Ah masa sih? Aku nggak apa-apa kok, Ndra.” Kataku berdalih.



“Udah, ci ga apa-apa kok. Cerita aja sama aku. Aku sih harapnya bisa bantu, ci.” Kata Indra sambil duduk disofa dihadapanku.



Ruanganku ini memang tergolong cukup luas. Ada meja kerjaku, ada dua meja kerja lagi yang diperuntukkan bagi karyawan yang memang harus bekerja langsung denganku, dan juga ada sofa.



“Sorry, ci. Ga bermaksud kurang ajar, tapi kayanya masalah ranjang sama suami ya, ci?” Tanya Indra.



Mendengar hal itu, aku tersentak kaget. Bukan karena apa, tapi kenapa ia bisa tahu pikiranku begitu?



“Kenapa tiba-tiba kamu ngomong gitu, Ndra?” Tanyaku.



“Ekspresi dan gestur cici mengatakan hal itu.” Kata Indra.



“Oh, kelihatan ya?” Tanyaku.



Indra hanya mengangguk sambil menundukkan kepalanya.



“Yah, mungkin agak aneh ya Ndra. Padahal aku ini wanita, tapi kok mikirinnya malah seks. Harusnya aku fokus kepada memelihara dan melayani keluarga.” Kataku dengan lirih.



“Hmmm, emang apa yang aneh ci dengan wanita dan malah mikirin seks?” Tanya Indra.



“Lho, menurutmu memang nggak aneh?” Tanyaku.



“Nggak sih. Seks itu kan kebutuhan dasar manusia, baik cowo maupun cewek. Jadi yah wajar aja sih kalo cici memikirkan seks, secara itu kebutuhan.” Kata Indra.



Seks adalah kebutuhan dasar manusia? Betul juga sih ya.



“Emang kenapa, ci? Maaf nih, tapi suami cici ga bisa muasin cici?” Tanya Indra.



“Yah, kurang lebihnya sih gitu, Ndra.” Kataku.



“Maaf nih ci kalo aku boleh tau, ga bisa berdiri ato cepet keluarnya?” Tanya Indra.



“Cepet keluarnya Ndra. Kadang baru aja masuk, udah keluar duluan. Kadang sih tahan lama, tapi yah begitu aku orgasme, dia juga keluar dan langsung kecapekan.” Kataku.



“Terus, cici kira-kira masalah dengan itu?” Tanya Indra.



“Yah, sebetulnya sih bukan masalah yang gimana-gimana banget sih, Ndra. Tapi, kadang tuh aku pengen banget dipuasin. Rasanya gimana gitu.” Kataku.



“Iya sih, aku ngerti, ci.” Kata Indra.



“Ngerti? Emangnya kamu udah pernah berhubungan badan?” Tanyaku.



“Waktu itu sih beberapa kali ci sama pacar. Tapi sekarang yah masturbasi aja seringnya.” Kata Indra.



“Kamu ini ya! Belom nikah, udah main berhubungan aja.” Kataku.



“Hehehe. Susah sih, ci. Namanya nafsu, emang susah ditahan. Tapi kan sama pacar aja, ga sama sembarang cewek.” Kata Indra.



“Apa bedanya?” Tanyaku.



Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

202