Bab 3 Part 3

by Dinda Tirani 16:40,Apr 25,2024
Kedekatan dan keakrabanku dengan Indra semakin tinggi dari hari ke hari. Beberapa kali jika Indra konsultasi denganku, ia selalu memberikan hadiah, berupa ciuman lembut di bibir seperti yang waktu pertama kali. Tentu itu dilakukannya jika tidak ada orang yang melihat. Meskipun pada akhirnya aku menolaknya, tetapi anehnya, aku tidak pernah marah dengan perbuatan Indra itu. Entahlah, aku sendiri bingung. Aku tidak tahu, apakah ini dikarenakan permasalahanku yang begitu menginginkan kepuasan seksual yang tidak bisa diberikan oleh suamiku, ataukah aku telah memiliki perasaan sayang yang sama seperti Indra sayang kepadaku. Sekali lagi, aku betul-betul bingung dengan perasaanku sendiri. Aku sendiri merasa sangat nyaman berada di dekat Indra.



Suatu hari, pada saat aku mengerjakan pekerjaan harianku pada siang hari, tiba-tiba ada yang mengetuk pintu ruang kerjaku. Tok tok tok...



“Masuk.” Kataku.



“Permisi, ci.” Kata Indra sambil membuka pintu ruanganku.



“Kenapaa kamuu?” Tanyaku sambil tersenyum.



Indra hanya memajukan bibir bagian bawahnya sambil menundukkan kepalanya. Hmmm, kok sepertinya ada yang serius ya?



“Duduk, Ndra. Ada apa?” Tanyaku sambil mempersilakan Indra duduk.



Indra pun kemudian duduk dihadapanku. Kemudian, ia melihat wajahku dengan sangat serius.



“Maaf, ci. Aku mao ngajuin resign.” Kata Indra.



Mendengar hal itu, bukan main aku kagetnya.



“Hah? Kenapa, Ndra?” Tanyaku.



“Aku... mao merintis usaha sendiri, ci.” Kata Indra.



Aah, merintis usaha sendiri ya? Aku akan merasa kehilangan jika Indra harus resign, karena pengetahuannya tentang kantor dan proses belajarnya yang sangat cepat itu tidak mudah didapatkan. Di sisi lain, aku yang mungkin mulai jatuh cinta pada Indra, pastilah akan kehilangan. Akan tetapi, sebagai atasan dan seorang teman, sudah kewajibanku untuk mendukungnya demi kemajuan masa depannya.



“Yakin nih, Ndra? Atau mungkin ada yang kira-kira perusahaan bisa tawarkan agar kamu tetap disini?” Tanyaku.



“Aku yakin, ci. Keputusanku udah bulat.” Kata Indra.



“Oke kalo gitu, Ndra.” Kataku sambil tersenyum dan mengangguk.



“Cici jangan sedih ya. Aku masih di Indonesia kok.” Kata Indra.



“Eh, siapa yang sedih? Kamu kali yang sedih karena bakal pisah ama aku.” Kataku.



“Iya, itu betul, ci. Aku bakal sedih karena bakal pisah ama cici.” Kata Indra dengan serius.



Deg. Sial, sepertinya aku salah mengucapkan kata-kata. Yah, tapi mungkin dia memang memiliki perasaan kepadaku. Memang haknya untuk suka kepada siapapun, termasuk diriku. Mau tidak mau, aku hanya memang bisa menerimanya.



“Makasih, Ndra. Tapi diluar sana, masih banyak kok cewek yang lebih baik dan cantik dari aku. Suatu saat nanti, kamu pasti nemuin cewek itu kok.” Kataku.



Indra pun berpikir sebentar, kemudian ia tersenyum kecil.



“Yah, mungkin sih ci. Toh, kita ga pernah tahu masa depan seperti apa. Tapi, cici harus tahu bahwa cici itu spesial, dan ga mungkin ada yang serupa persis sama cici.” Kata Indra.



Mendapat pujian seperti itu, jujur hatiku terasa deg-degan. Aku suka sekali pujian macam itu. Pujian yang begitu tulus mengena, tidak dibuat-buat dan tidak berlebihan, dan juga masuk akal.



“Ah...” Kataku kehabisan kata-kata.



“Oke, ci. Ini surat resign-ku.” Kata Indra sambil menyerahkan surat resign-nya.



“Iya, nanti aku sampaikan ke HRD.” Kataku sambil menerima surat resign-nya.



“Sukses ya, Ndra.” Kataku.



Indra pun hanya mengangguk, kemudian dia berdiri. Akan tetapi, ia tidak keluar ruangan. Lagi-lagi, ia memberiku ciuman di bibir seperti biasanya. Entah mungkin karena ia sudah akan resign, aku tidak tega jika harus menghindar. Akhirnya, selama beberapa puluh detik, kami saling melumat bibir kami. Setelah itu, Indra pun keluar dari ruanganku. Peraturan perusahaan tempatku bekerja ini mengharuskan karyawan untuk bekerja selama sebulan lagi sejak mengajukan resign, jadi Indra masih mempunyai waktu sebulan untuk mentransfer pengetahuan kerjanya.



Selama sebulan ini, aku dan Indra tetap dekat dan akrab seperti biasanya. Beberapa kali ia berkonsultasi denganku masalah pekerjaan. Kadang-kadang, kami juga saling curhat. Indra sekarang sudah menjadi orang yang selalu menampung curhatku. Ia juga selalu ada untukku ketika aku membutuhkannya. Aku sadar, mungkin memang sedikit demi sedikit, hatiku juga sudah mulai memberikan tempat bagi Indra. Hanya saja, aku ingat dengan statusku yang sudah menikah, karena itu kadang-kadang aku tidak membiarkan hatiku terus berbunga-bunga untuk Indra. Sangat sulit sekali melakukannya, karena memang cinta adalah salah satu perasaan paling sulit dilawan.



Suatu hari, pada hari Jumat, yaitu hari terakhir masa kerja Indra di perusahaan ini. Indra mendatangiku di ruanganku.



“Ci, besok jalan-jalan yuk.” Kata Indra.



“Hah? Jalan-jalan? Nggak ah.” Kataku.



Tentu saja aku menolaknya. Aku khawatir kalau kedekatanku dengannya menjadi semakin jauh dan menyebabkan perselingkuhan yang sebenarnya. Selama ini, walaupun dekat dan akrab, tapi aku tetap berusaha membuat batas-batas antara aku dan Indra. Aku tidak bisa membiarkan perasaan cintaku pada Indra begitu meluas. Aku harus mengendalikannya. Jika aku jalan-jalan bersamanya, tentu saja rasa cinta itu akan berkembang menjadi lebih luas.



“Ayolah, ci. Aku nggak pernah jalan-jalan nih sama cici.” Kata Indra.



Ya, memang aku tidak pernah jalan-jalan berduaan bersama Indra. Mulai muncul godaan dalam hatiku untuk menyetujui ajakannya. Ah, tidak boleh! Aku harus bisa menolaknya. Ini kan hari terakhirnya. Kalau aku bisa menolaknya, setelah hari ini harusnya aku lebih mudah untuk menyingkirkannya dari hatiku.



“Ndra, jangan lah. Aku kan juga udah bersuami. Apa kata orang nanti kalo kita jalan-jalan sama-sama?” Kataku berusaha sekuat hati untuk menolaknya.



“Tenang aja, ci. Ga ada yang tahu kok.” Kata Indra.



Ah, nggak ada yang tahu. Betul juga ya. Toh, hanya jalan-jalan saja. Mungkin aman kali ya? Aku sesekali ingin jalan-jalan berduaan dengannya. Eh, tidak boleh! Tidak.. tidak... tidak boleh! Gejolak hatiku antara dua perasaan ini begitu kuat.



“Kamu kan juga udah punya pacar, Ndra. Aku juga nggak enak lah sama pacar kamu.” Kataku berusaha untuk mencari-cari alasan.



“Tenang aja, ci. Itu urusanku. Mengenai apa yang akan terjadi sama hubunganku sama pacar aku, itu sepenuhnya tanggung jawab aku. Lagian ini kan hari terakhirku nih di perusahaan ini. Aku nggak tau kapan ketemu cici lagi” Kata Indra.



“Yah, kita tetep bisa ketemuan lah, Ndra. Kan katanya kamu tetep di Indonesia.” Kataku.



“Nah, apa bedanya ketemuan nanti-nanti dengan besok?” Tanya Indra.


Aduh, dia ini betul-betul tetap berpegang pada karakternya, tidak mudah menyerah. Dan sialnya, aku juga semakin tergoda.



“Udah, Ndra. Jangan. Kapan-kapan aja, ya.” Kataku masih berusaha menolaknya.



“Soalnya biasanya kan kalo udah pisah itu lost contact, ci. Ayolah, ci. Pleassee...” Kata Indra.



Ah, disinilah pertahananku runtuh sepenuhnya. Di samping tidak tega, aku sendiri pun mengakui bahwa aku sangat ingin setidaknya jalan-jalan sama Indra berdua sekali saja. Baiklah, akhirnya hatiku memutuskan bahwa aku akan menyetujui ajakannya. Akan tetapi, di sisi lain aku bingung apa yang harus kujelaskan pada keluargaku jika aku menyetujui ajakannya. Indra terus melihatku dengan penuh harap. Jika melihat dari tatapannya, aku memang semakin tidak tega. Sudahlah, aku sendiri sebetulnya juga menginginkan hal itu, ingin sekali merasakan rasanya jalan-jalan berdua dengannya. Mungkin, Indra pun merasakan hal yang sama denganku.



“Oke.” Kataku.



“Nah, gitu dong, ci. Akhirnya.” Kata Indra.



“Eits, tapi banyak syaratnya, Ndra.” Kataku.



“Apa aja ci? Aku siap memenuhinya selama itu bukan yang menghalangi acara.” Kata Indra.



“Pertama, nggak boleh ada orang lain yang tahu.” Kataku.



“Oke. Gampang.” Kata Indra.



“Kedua, hari minggu aja, Ndra. Jangan besok. Karena minggu biasanya orang-orang pada istirahat di rumah. Jujur aja, kalo ketahuan sama orang lain, aku takut orang lain berpikiran yang nggak-nggak ke aku.” Kataku.



“Oke. Gampang.” Kata Indra.



“Ketiga, kita perginya ke luar kota aja.” Kataku.



“Hmmm, Puncak gimana, ci?” Tanya Indra.



“Puncak... Hmmm, boleh sih kayanya.” Kataku.



“Tapi kalo ke Puncak, berarti agak subuh dong ci berangkatnya?” Tanya Indra.



“Oh iya, bisa macet ya kalo nggak subuh-subuh?” Tanyaku.



“Betul.” Kata Indra.



“Oke, nggak masalah. Kira-kira jam 5 ya kita berangkat.” Kataku.



“Oke. Hari Minggu jam 5 aku jemput cici di rumah.” Kata Indra.



“Eh. Jangan di rumah. Kita ketemuan aja di suatu tempat. Nanti alamatnya aku kasihtau besok.” Kataku.



“Oke deh, ci. Deal ya hari Minggu.” Kata Indra.



“Iya-iya.” Kataku.



“Oke. Sampai hari minggu, ci.” Kata Indra sambil keluar dari ruanganku.



Kemudian, karena hari itu sudah saatnya jam pulang, kami merayakan last day nya Indra di kantor. Anak-anak ABG divisi accounting itu pun sepertinya pada sedih karena kehilangan Indra. Dasar anak-anak ABG hahaha. Setelah acara selesai, aku segera pulang ke rumah. Haah, hari minggu ya. Semoga tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

202