Bab 3 Part 3

by Dinda Tirani 10:08,Apr 26,2024
Setelah aku dikenalkan dengan Ika, calon pembantu ku, Pak Jaelani dan Rachmat pun langsung pulang. Suara mobil Pajero mereka terdengar sayup mulai menjauh meninggalkan rumahku.

“Duduk sini Ka, umur berapa kamu?” aku menyuruhnya duduk di kursi yang ada di sebelahku. Ika dengan masih malu-malu menurutiku.

“Iya Mas Bos.. nuhun.. Ika baru lewat 19 tahun Mas Bos..” Ika memang masih terlihat seperti anak kecil.

Kalau dia mengaku masih perawan pun aku bakalan percaya melihat molek tubuhnya. Ckckck.. 19 tahun sudah janda ternyata..

“Kok masih muda udah nikah Ka?” aku masih ingin mengenal Ika lebih jauh.

Ika akhirnya bercerita kalau sejak umur 17, kedua orang tua nya sudah meninggal. Warisan mereka yang tidak seberapa hanya cukup dipakai Ika untuk makan selama setahun. Itu pun Ika harus berhenti sekolah dan mengisi waktu nya dengan jualan gorengan di dekat kantor kepala desa.

Setelah mantan suami nya melamar Ika, dia pun langsung menerimanya.

Maklum, Ika pikir kalau dia menikah setidaknya ada laki-laki yang akan menafkahi dia untuk hidup.

Ternyata, suami nya yang hanya bekerja sebagai kernet truk pasir itu sudah punya istri di desa sebelah. Ketahuan suami nya kawin lagi, sang istri pun membawa pulang si suami dari desa Cicilok.

Akhirnya, hanya selang 3 bulan setelah mereka menikah, Ika pun ditinggal kabur dan menjadi janda. Setahun terakhir, Ika kembali berjualan gorengan untuk menyambung hidup.

“Kasian juga ya kamu? Manggil gue jangan Mas Bos, pake akang ato aa aja lah biar lebih akrab. Terus si Rachmat udah ngasih tau tugas kamu apa disini?” aku memastikan dulu kalau Ika sudah dikasih briefing sama si Rachmat sebelum aku apa-apain.

Ga lucu kalau nanti aku udah ga tahan buat menyentuh Ika tapi nanti dia malah teriak. Bisa geger satu kampung menyatroni rumahku malam-malam begini.

“Mmm.. udah kang.. nanti Ika bantuin bersih-bersih, masak, sama ngurusin Akang selama tinggal disini..” mukanya yang masih begitu polos mulai memerah malu.

“Ngurusin gue gimana Ka?” aku memancingnya.

“Mmm.. atuh.. semuanya Kang.. pokoknya Ika kudu bikin Akang betah lah tinggal disini..”

Hmm oke, berarti Ika sudah mau mengerjakan semua ‘tugas’ nya.

“Bagus deh kalo gitu, nanti kamu nginep disini aja biar gue ada temennya. Kamar sebelah situ kosong, di atas juga masih ada dua kamar masih kosong juga. Tapi kalo kamu mau di kamar gue juga gapapa..” ujarku sambil menunjuk ke arah ruangan-ruangan kosong di rumahku.

“Terserah akang aja mau nyuruh Ika tidur dimana..” Ika menjawab pasrah.

Wah betul kan.. Mantap ini..

“Terus masalah gaji gimana Ka? Kamu mau berapa? Kalo urusan makan sama kebutuhan sehari-hari kamu biar nanti masuk daftar belanjaan gue aja”

“Di kasih 300 juga Ika udah alhamdulillah kok kang. Lumayan kalo udah dapet makan nanti duitnya bisa buat Ika tabung...” aku cukup iba mendengar keluh kesah kehidupan janda cantik ini.

Kalau di Jakarta, 300 ribu pun tak cukup untuk mengisi full tank bensin mobil BMW ku. Disini, dengan 300 ribu aku bisa membayar janda secantik Ika untuk mengurusi semua kebutuhanku selama sebulan.

“Yaudah 300 ribu buat beres-beres rumah. Kalo buat bikin gue betah, mau ditambahin berapa?” mana tega aku cuma membayar segitu untuk dia.

“Ihh kalo itu mah ga usah diitung atuh kang.. Ika mah ikhlas..” Ika melirik ke selangkanganku sambil merona. Wah, bandel juga janda kembang satu ini.

“Ya udah, nanti bulanan nya Ika gue kasih sejuta ya. Tapi nanti ngaku ke orang kampung 500ribu aja, ga enak kalo ketauan Ika dibayar di atas yang kerja di kebun” aku bukannya tidak mau membayar Ika lebih dari sejuta, tapi mayoritas tenaga kerja di Cicilok diserap kantorku sebagai buruh kasar di kebun yang hanya dibayar 900ribu sebulan. Bisa protes mereka kalau tahu gaji pembantuku lebih besar dari mereka.

“Duhh.. akang meuni baik pisan.. Iya kang nanti saya ga bakal cerita-cerita.. Makasih ya kangg…” Ika kegirangan dengan tawaran yang kuberikan.

“Iya iya.. Pokoknya kerja yang bener, nanti gue tambahin kalo kerja Ika bagus” Ika hanya manggut-manggut mendengar instruksi ku.

“Terus kamu mau mulai kerja kapan? Besok?” waktu memang sudah menunjukkan hampir jam 10 malam. Sprei masih bisa lah kalau diganti besok.

“Kalo akang pengen.. Langsung sekarang juga boleh kang..” Ika menjawabku genit.

Wah, salah sambung nih kayaknya. Tapi, masa iya gue nolak sih?

“Yaudah kunci dulu pintu nya, gue duluan ke kamar ya..” jawabku tersenyum penuh arti kepadanya.

“Iya kang sakedap (sebentar)..”


===


Aku dan Ika sudah bergumul di kasur ku yang luas. Bibirku sudah sibuk memagut bibir Ika yang tipis serta meremas-remas tetek nya yang ‘seadanya’.

“Duh ini jarang diremes ya Ka? Kecil gini tetek kamu?” komenku sambil terus bergumul dengannya

“He eh kang.. remesin aja kang.. dibikin gede.. achhh…” janda muda ini tidak malu-malu merespon ku di kasur.

“Kamu ga ada baju yang bagusan dikit apa?” aku sudah menelanjangi Ika sampai bugil.

“Ga ada kang.. Udah lama ga beli baju” Ika masih malu-malu dengan mendekap tetek nya yang mungil dan menutupi selangkangannya yang berjembut tebal.

“Nanti gue beliin online ya, gue cariin yang seksi seksi mau ga?”

“Shh… terserah akang ajahhh…” Ika sudah mulai mendesis ketika payudara nya mulai kujilati.

“Kalo ga, nanti di rumah mah Ika ga usah pake baju aja ya?” ujarku lagi menggodaku

“Achh.. terserahh kangg…” Ika sudah tidak konsen membalas pertanyaanku. Rangsangan jariku di memek nya sudah membuatnya makin lepas kendali.

“Oughh.. Enakhh kang... Ehhh?” Ika kaget ketika aku melepas permainan jariku di memek nya.

Ada raut protes yang tidak berani disampaikan kepadaku. Melihat tampang nya yang sudah sangat sange, aku pun juga sudah terpancing ikut bergairah.

Aku melepas semua pakaian ku hingga bugil sama sepertinya. Muka nya makin memerah ketika melihat torpedo ku yang lumayan besar.

“Sini Ka..” kuposisikan Ika menungging di atas tubuhku. Posisi kami sekarang gaya 69. Dari bawah aku sudah menghirup bau kemaluannya yang tepat berada di atas wajahku.

“Gede mana sama mantan suami kamu?” tanyaku sebelum mulai menjilati lubang kemaluannya.

“Achh.. punya akang atuhh… dua kali nya ini aduh.. Shhh…” kembali Ika tidak konsen ketika jilatan-jilatan lidahku mengorek-orek vagina dan klitoris nya.

Slebbb…

Hangat mulut Ika sudah terasa di penis ku. Dengan susah payah, mulut Ika yang mungil mencoba menelan torpedo ku sampai habis. Baru lewat setengahnya, kurasakan pangkal tenggorokan Ika sudah menahan kepala penisku untuk masuk lebih dalam.

“Ghookkkk.. Ghokkk…” Ika langsung tersedak ketika kusundulkan penisku ke ujung mulut nya.

“Sshhh.. Enak mulut kamu Ka…” aku memujinya disela jilatan ku di memek nya yang sudah merekah.

Suara tersedak berkali kali keluar dari mulut Ika.

Beberapa kali Ika melepas penisku dari mulutnya untuk mengambil nafas dan digantikan kocokan nikmat dari tangannya yang agak kasar. Mungkin efek dia bekerja keras selama ini membuat tangannya tidak semulus wanita-wanita Jakarta yang pernah kucicip. Tapi kasar kulit tangannya malah memberikan sensasi tersendiri pada penisku.


Bersambung

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

355