Bab 15 LIMA BELAS

by Veedrya 10:02,Apr 01,2021
Naya memandangi ponselnya yang sepi notifikasi. Tepatnya sepi notifikasi dari satu orang. Selebihnya, banyak pesan berseliweran disana. Dari group UGD RS A, Group jadwal operasi RS B, group shift para dokter di RS C, group keluarganya, dan juga kekasihnya Soraya.
Heran, sudah banyak terklunting pesan tapi dia masih saja menganggap ponselnya sepi notifikasi hanya karena satu orang yang biasa membalas pesannya tidak ada kabar selama tiga hari ini.
Dia akui akhir-akhir ini sibuk sekali. Dan jadi tambah sibuk karena Soraya pulang dan lebih banyak menghabiskan waktu dengannya. Badannya sih puas, karena hampir setiap malam dipuaskan sampai lemas dan kadang berangkat kerja dalam keadaan setengah loyo. Tapi pikirannya jauh dari puas.
Dia agak kangen sama tunangannya yang cerewet. Naya tersenyum sendiri mengingat tingkah Rhea yang lugu dan polos luar biasa. Biasanya, dia akan mengirim pesan singkat untuk mengecek keadaannya atau sekedar iseng ingin menggoda cewek itu.
Tapi tiga hari ini, jarinya seakan kaku. Dia tahu kenapa. Karena dia merasa bersalah. Dia mendengus karena pikiran tersebut bisa-bisanya terlintas di kepalanya. Kenapa dia harus merasa bersalah, itu yang dia nggak tahu! Dia sudah menjelaskan batasnya pada Rhea. Rhea tahu keberadaan Soraya dan tahu niat Naya yang tidak ingin mengakhiri hubungannya dengan Soraya.
Lalu kenapa dia harus merasa bersalah?!
Dia menggeleng, mencoba mengenyahkan itu semua ke belakang kepalanya. Kalau dia kangen sama Rhea, maka dia akan menemuinya! Dia berhak, kan? Kan dia tunangannya.
Dia mengemasi peralatannya dan mengganti snelli nya dengan jaket bomber yang biasa dia pakai jika tidak membawa jas. Jadi dokter itu nggak perlu formal, yang penting rapi, bersih, professional. Tapi karena dia punya sense of fashion yang lumayan karena pernah mencicip dunia modelling sebentar saat kuliah dulu, dia jadi banyak bereksperimen dengan pakaiannya.
Hari ini Sora tidak menunggunya pulang. Dia mungkin sekarang sudah di bandara karena pesawatnya take off jam lima sore. Dia merasa bebas untuk kembali pada Rheanya.
Anjir, Rheanya! Dia mengumpat geli tapi senyum-senyum sendiri.
“Pulang, Dok?” Sapa salah satu suster yang berjaga di depan polinya.
“Iya, dong, saya kan udah dari pagi disini. Gantian jaga rumah sakitnya sama suster.” Dia meringis, melambai pada para suster.
Dia mengemudikan mobilnya langsung ke apotek Rhea. Baru jam empat. Rhea biasanya pulang jam lima keatas. Jarak dari rumah sakit ke apotek Rhea kira-kira dua puluh menit. Empat puluh menit kalau sedang macet banget. Tapi mari kali ini kta berharap nasib baik berpihak padanya.
Dia sampai di apotek tiga puluh menit kemudian. Langsung turun dan masuk ke dalam dengan langkah ringan yang agak tergesa.
“Sore Alfi. Bu Bos ada?” Sapanya ramah pada apoteker disana. Sedikit banyak dia tahu nama-nama yang bekerja disini. Tapi duo bocah yang malu-malu sambil cengengesan di pojokan itu dia nggak inget namanya.
“Eh, dokter Naya.” Perasaannya saja atau Alfi terlihat gugup?
“Bisa tolong panggilin nggak? Kangen, nih.” Dia menampilkan senyum terbaiknya yang biasanya nggak pernah gagal.
“Aduh, maaf nih, dok. Rheanya nggak masuk hari ini.”
Hah?
“Kemana?”
“Em… kurang tau, sih. Mungkin bisa dihubungi aja hapenya, dok. Soalnya hari ini beliau kasih instruksinya juga lewat pesan sama telpon, sih.”
“Oh, gitu. Ya udah, deh. Makasih, ya.”
Dia meninggalkan apotek dengan muka bingung. Nggak masuk? Kenapa? Sakit?
Segera dia mengambil ponselnya dari saku jaket dan mencari nomor Raya. Menelponnya segera setelah dia berada di dalam mobil.
“Angkat, Rhea. Please!”
Dia hampir mematikan sambungan dengan putus asa, dan bersiap untuk ke rumah Rhea saat suara lirihnya dari seberang terdengar.
“Halo?”
***
Transfusinya tidak berjalan lancar. Rhea muntah-muntah parah, nyeri punggung dan sesak nafas saat kantong ketiga yang baru mulai setelah subuh hari kedua dia disini baru berjalan separuh.
Dia memuntahkan apapun yang dimakannya sebelumnya sampai rasanya lemas dan sesak luar biasa. Dia bahkan sampai dipasangi selang respirator untuk memudahkannya bernafas.
Tante Kinan dan Om Diki datang pagi-pagi sekali sebelum jam shiftnya dimulai. Untung saja dia selalu ada di rumah sakit tempat om Diki praktek setidaknya tiga hari berturut-turut. Jadi berasa ada yang nengok. Padahal aslinya cuma kunjungan dokter.
“Maaf, Nte. Jadi kudu kesini pagi-pagi banget. Padahal Rheanya udah nggak papa.” Dia berucap lemah.
Tante Kiran yang mengupas telur rebus mendelik padanya. “Suara kalo udah putus-putus kayak tali layangan tipis gitu diem aja. Nih, Nte siapin buat kamu makan. Biar cepet pulih tenaganya. Tadi pagi juga sempet bikin jus beet sama buah naga merah. Nanti di minum, ya.”
Rhea meringis di balik masker penutup respiratornya. Kepalanya masih pusing, dan badannya masih lemas serta nafasnya pun sesak. Tapi dia sudah tidak muntah lagi. Mualnya juga sudah berkurang. Nyeri di punggung nya juga sudah samar-samar terasa.
Kemungkinan dia mengalami after effect seperti ini memang kecil, tapi tetap bisa terjadi kata Om Diki. Seingatnya, sejak pertama kali menjalani pengobatan, bisa dihitung dengan jari dia mengalami reaksi after effect yang parah dan datang sekaligus.
“Kamu lagi banyak pikiran, ya?”
Om Diki walaupun belum masuk shift, tapi sudah tampil rapi dengan snelli nya. Jenggotnya juga sudah tercukur rapi dan bersih. Dia berdiri di samping mesin respirator Rhea dan mengamati laju tetesan infusnya.
“Biasa aja, Om.” Dia semalam mikirin Naya sih, dikit. Mimpiin dia juga, dikit. Tapi nggak usah ngaku lah, ya. “Ih, Om kan jenguk, bukan jadi dokternya Rhea. Duduk aja di samping Nte Kiran.”
“Tadi pagi yang nanganin dokter siapa?”
“Wah, nggak inget, Om. Orang udah teler separuh sadar. Mungkin kalo Izroil yang dateng juga Rhea udah pasrah-pasrah aja.”
“Hush!” Kompak Om dan Tantenya menyela.
“Mulutnya dijaga. Nanti ada yang ngaminin tau rasa.”
Dia hanya tersenyum kecil. Tantenya menaikkan bagian atas tempat tidurnya dan memasang meja portabel untuk dia makan. Dia melepas masker bening yang menutupi hidung dan telinganya dan mulai makan perlahan.
“Kasian, hari minggu gini ngendon doang di rumah sakit.”
“Malam ini kamu harus nginep lagi, lho, ya. Kasih tau temanmu di apotik.”
Rhea memasang wajah memelas pada Om nya. “Sampe kapan?”
“Senin atau selasa, lihat kondisi kamu pulihnya cepet atau nggak.”
“Tenang aja, hari minggu ini, Nte bebas. Nte temenin deh sampe nanti sore.” Tante Kiran menepuk-nepuk lututnya.
“Malemnya? Besok?”
“Biasa juga sendirian.”
“Tega bener. Mending nggak usah jenguk, deh. Eeeeh mau kemana?” Tante Kiran dan Om Diki kompak beranjak dari kursi. “Kan cuma becanda, ih.”
Rhea menyelesaikan sarapannya, lalu istirahat ditunggui Tante Kiran. Tantenya juga membantunya membalas beberapa pesan yang masuk dari Raya dan Mama yang menanyakan keberadannya.
“Kamu nggak ada rencana cerita sama keluargamu tentang sakitmu?”
“Buat apa, Nte? Rhea males jadi biang ribut terus di rumah. Biarin kaya gini lah.” Tidak seperti biasanya, yang cepat kembali pulih dan segar setelah beberapa saat, sampai tengah hari ini, badannya masih terasa luar biasa lemas. Dia sampai harus dibantu Tante Kiran untuk ke kamar kecil karena kakinya selemas jelly.
“Terus tunangan kamu?”
“Naya? Kenapa?”
“Oh, namanya Naya, tho.” Wajah jenaka Tante Kiran membuatnya jengah. Capek diledek terus sama orang-orang tua. “Kamu harus cerita sama dia.”
“Nanti lah, Nte. Kalo sudah bener-bener nggak bisa ngelak lagi hehehe.”
“Dasar bandel.”
Alasannya yang sebenarnya adalah dia tidak ingin Naya memandangnya dengan wajah kasihan. Seperti teman-teman di apotik awalnya, dan beberapa suster yang dia temui di rumah sakit selama menjalani pemeriksaan.
Sudah cukup mereka saja. Dan sudah cukup juga keluarganya yang selalu memandang dirinya ragu. Dia ingin Naya memandangnya karena benar-benar dirinya. Akan berat jika Naya juga memandangnya dengan tatapan kasihan itu. Ditatap penuh rasa kasihan sama cowok yang agak dia taksir. Sakit, kan?!
***
“Nte, kok bisa sama Om Diki sih, dulu? Emang sengaja banget nyari mertua galak kaya Eyang?” Dia bangun saat suster membuka respiratornya siang itu. Nafasnya sudah kembali normal, tapi badannya masih terasa lemas dengan nyeri punggung datang dan pergi.
“Hush!”
Rhea memang lebih terbuka pada Om dan Tantenya ini. Sejak kecil, Om Diki yang selalu menghibur dan menemaninya saat dia tersisih dari acara mingguan di rumah Eyang. Papa-Mama sibuk dengan Baim dan Raya. Lalu ada Tante Niar yang juga kebetulan punya anak kembar cowok-cewek, dan untungnya sekarang mereka pindah ke Austria, jadi beban Rhea tidak seberat dulu.
Eyang hanya fokus pada mereka. Tidak ada sisa untuk Rhea dan Om Diki. Makanya, bonding mereka lebih dalam dari sekedar om dan ponakan biasa.
Rhea juga sering nebeng Om nya saat kencan dengan Tante Kinan dulu. Dan Tante Kinan yang memang peka dan punya empati luar biasa langsung akrab dengan Rhea. Simpelnya sih, Tante Kinan emang supel orangnya. Bahkan sama Eyang yang lebih jutek tiga kali lipatnya Papa saja dia masih bisa bersikap baik dan sabar.
Rhea kadang suka mikir, itu hati punya Tante Kinan terbuat dari apa sih? Ususnya sepanjang apa? Kok bisa sabar banget?
“Nyatanya emang Eyang galak.”
“Eyang nggak seburuk itu, kok. Tadi pagi aja Eyang bantuin Nte siapin ini semua buat kamu.”
Rhea panik. “Nte nggak bilang kan, kalo aku disini?!”
“Enggak. Tenang aja. Kayak Nte baru ngelakuin beginian kemaren aja. Udah fasih Nte mah.”
Rhea lega mendengarnya. Sejenak tadi, dia sempat jantungan, takut kalau-kalau ada yang tahu selain om tantenya perihal dia disini.
“Jadi? Kenapa pilih Om Diki?”
“Emang Om Diki Kenapa?”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100