Bab 2 DUA
by Veedrya
09:55,Apr 01,2021
“Rhea besok malam luangin waktu ya, buat ketemu dia sebentar.”
“Hah?”
“Nanti Mama yang atur tempatnya. Rhea siapin diri aja. Mama mohon kali ini sama Rhea.”
Dia bengong.
Tatapannya bersirobok dengan Raya yang kaget dan penuh rasa bersalah. Dia juga kebingungan.
Ini artinya….?
Masa sih?
Selama ini,yang menganggapnya ada di rumah ini hanya Raya dan Mamanya. Karena itu, Rhea selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Tapi sampai harus dijodohkan dengan orang yang dia tidak kenal untuk menggantikan Raya? Apa dia harus melakukan hal ini juga?
***
Rheee soriiii
Rhea gue jangan dikacangin doong :(
Sumpah gue nggak ada maksud buat ngarahin ide kesna, beneran, Rhe!
Rhea….. T_T
Rhea menghembuskan nafasnya kasar. Sepagian ini Raya meneror ponselnya. Ya sms, ya telpon, ya pesan chat. Semua dibombardir. Isinya, kurang lebih sama seperti itu.
Rhea meletakkan kembali ponselnya tanpa membuka pesan-pesan Raya. Dia hanya membacanya melalui notifikasi yang menyala saat pesan masuk.
“Hapenya bunyi-bunyi nggak dijawab, Rhe?” Ojan, pencatat stock yang hobi banget sama Naruto sampai rambut ikut di jabrik dan di cat kuning menegur.
Dia hanya menggeleng. “Biarin aja.”
“Dari tadi, lho. Kayaknya penting banget sampe berbondong-bondong.”
Dia menarik nafas panjang, lalu menoleh pada lawan bicaranya. “Ojan…”
Ojan gelagepan mendengar nada serius Rhea. “Iya, iya, Bos. Ini kerja. Cus, mari.”
Suasana kembali hening. Rhea berusaha membereskan pekerjaannya. Jujur, hari ini dia susah sekali fokus. Semua pekerjaannya jadi terbengkalai dan dia ikut susah diajak berkomunikasi. Gara-gara tadi pagi.
Dia langsung buru-buru keluar dari rumah dan berlari ke halte busway di depan kompleks sesaat setelah Papa menyelesaikan sarapannya. Dia cukup waras untuk tidak pergi di tengah-tengah sarapan dan masih ada Papa disana. Panggilan Raya tak dipedulikannya. Untungnya ada busway yang sedang berhenti. Tanpa pikir panjang dia langsung naik tanpa melihat tujuannya.
Tentu saja nyasar, karena ini bukan sinetron. Berakhir dengan dia harus menggunakan jasa ojek online untuk sampai ke apotik.
Kenapa jadinya kaya gini? Dia mendesah lagi. Membuat Ojan yang berada di depannya melirik heran. Ada apa gerangan dengan bosnya ini, kenapa mendadak Rhea yang bubbly jadi tukang galau kayak perawan dipaksa kawin?
***
“Fi, tumben si bos pulang cepet?”
“Nggak tau, gue. Ada urusan kali, Jan.”
“Ya kan tumben aja, biasa dia pulang kan nggak pernah kurang dari jam lima. Mana muka ditekuk terus dari tadi dateng”
“Iya, sih. Tumben diem seharian.”
Ojan dan Alfi saling berbisik saat dia pamit dan bersiap untuk pulang, padahal masih jam tiga sore.
“Bisik-bisik teros! Dikira gue nggak denger apa.” Tegurnya sambil berlalu keluar toko membawa helm dan kunci motor.. “Gue cabut dulu!”
Dia menyerah!
Dia tidak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya. Daripada terus-terusan membuat kesalahan, dia memutuskan untuk menyudahi saja. Tapi ini kemana? Pulang? Nggak, deh. Kerumah temen? Temennya cuma Adrian, yang sekarang sudah menikah, artinya, sudah tidak available setiap saat seperti dulu.
Dia melenguh panjang saat berhenti di lampu merah. Bahkan untuk menenangkan diri saja dia masih bingung harus kemana. Ya udah, ke mall aja, putusnya. Dia bukan anak mall, tapi mungkin me time sebentar dan menonton film, apalagi dia belum makan sejak siang tadi, mungkin akan membantunya menyortir pikiran-pikiran yang hari ini membanjiri kepalanya.
Dia mengendarai motornya membelah kota menuju mall terdekat. Saat dia tiba di parkiran basement, terdengar suara hujan mengguyur dengan lebatnya di luar. Dia senang. Setidaknya dia sampai tujuan dengan keadaan kering, tidak kebasahan. Dia benci hujan-hujanan. Saat orang-orang lain gembira hujan turun, dia malah bete luar biasa. Yang mereka bilang suaranya syahdu, hawanya romantis, petrichor nya bikin tenang, dia tidak merasakan semua itu.
Hanya ada satu kata untuk menggambarkan hujan baginya yaitu basah. Basah berarti tidak nyaman.Tidak nyaman berarti menyakitkan. Dan dia benci sakit. Dia ‘dituntut’ untuk selalu sehat. Bugar. Tidak boleh sakit. Dia dicintai saat dia sehat, dan ditinggalkan saat dia sakit. Itu yang ada dalam kepalanya, entah dia dapat dari mana. Tapi pola yang sama dan berulang sejak dirinya kecil, membuatnya menyimpulkan seperti itu.
Setelah menyimpan jaket dan helm nya di jok motor, dia naik dari basement ke lantai tiga menggunakan lift pengunjung. Pertama-tama, food court dulu. Dia harus mengisi tenaga untuk menikmati waktunya. Jadi dia harus makan! “Hmmm makan apa ya?” Gumamnya mulai bingung saat melihat food court yang ramai. Beberapa brand restaurant di dekat food court juga terlihat ramai. “Bebek? Ramen? Hmm… Bakso aja kali ya.”
Dia berjalan ke stand bakso, mencatat pesanannya, membayar di kasir dan mencari tempat duduk setelah mendapatkan nomor meja. Setelah duduk, dia meraih ponselnya dan menghidupkannya kembali. Dia tadi sempat mematikannya dalam usahanya fokus pada pekerjaan,walaupun gagal. Karena Raya terus-terusan menelpon dan mengiriminya pesan.
“Buset! 200? Yang bener aja, Raya!” Dia men scroll ke bawah tanpa membaca. Isinya kurang lebih akan sama saja seperti yang seharian berusaha dikirim Raya. Selebihnya hanya chat tentang pekerjaan yang di forward nya pada Ojan untuk di follow up.
Selesai! Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan fokus pada baksonya. Bahkan bakso Pak Man yang biasanya menggoda di lidahnya kini terasa hambar. Gila emang. Papa sama Mama segitunya kekeh ngejodohin anak mereka sama si Naya-Naya ini. Sehebat apa dia sampai mereka nggak mau menyerah.
Rhea penasaran sendiri jadinya. Karena Mama dan Papa itu orangnya hard to please. Sangat susah dibuat terkesan. Baim mati-matian menunjukkan eksistensinya, tapi karena dia cowok, penerus satu-satunya, tugasnya terberatnya adalah mempertahankan prestasinya. Raya, karena Baim sudah cemerlang, dan Raya yang mudah diarahkan, membuat apapun keputusan Raya selalu mendapat dukungan penuh. Dan dia?
Hhh, memikirkannya saja sudah membuat kepalanya nyut-nyutan. She used to compete with her siblings. Tapi karena Baim dan Raya sudah sangat memuaskan Papa, dia tidak pernah mendapat jatah pengakuan yang dulu diharapkannya itu. Sekarang sih, dia sudah pasrah. Dilirik biar, diakui syukur, nggak dianggap kaya biasanya juga nggak apa.
Tapi dapet triple combo kaya tadi pagi? Beyond expectation! Dia malah takut sendiri!
Di tengah makannya, matanya menangkap pemandangan sepasang kekasih yang bergelayut manja sedang makan di salah satu resto di seberang food court. Dia meringis kecut.
Bohong kalau dia bilang dia nggak butuh orang yang bisa menerimanya apa adanya. Menghargai kekurangannya dan mencintai kelebihannya. Faktanya, dia ‘iri’ melihat Raya dan Martin, juga, walaupun konyol, Baim dan Renata. Kenapa konyol? Karena mereka the coldest couple ever!
Pasangan yang dilihatnya sedang mengobrol seru. Si cowok tertawa mendengar cerita si cewek, dan menowel hidungnya manja. Sweet.
Dia tersentak saat tiba-tiba si cowok menoleh dan menatap ke seberang…. Tepat ke arahnya!
***
Dia pulang jauh setelah jam makan malam. Kepalanya sedikit lebih enteng setelah facial, creambath dan menonton film. Me time sendirian seperti itu bukan hal baru baginya. Dia toh tidak punya teman. Berbeda dengan Raya yang supel, dia memang terkenal introvert.
Dia Masuk ke kamarnya pelan-pelan. Masih enggan untuk bertegur sapa dengan Raya ataupun Papa Mama. Baim? Nyapa dia? Tunggu manusia hijrah ke Mars dulu! Baim hangat pada Raya, beberapa kali Raya mendengar mereka bercakap-cakap dan tertawa bersama di balkon. Tapi jika dia bergabung, Baim langsung jadi sedingin es. Dan membuat Rhea tidak nyaman berada di dekatnya. Ketukan samar terdengar di pintu kamar mandinya.
“Rhe? Lo udah pulang? Boleh masuk nggak?”
Rhea menarik nafasnya dalam. Yah, cepat atau lambat dia harus menghadapi Raya juga. Dia pasti juga tidak tenang seharian tadi. Perks of being twins. You share emotions.
“Masuk, Ra.”
Untung dia sudah meminum obatnya dan sudah membereskan sisanya. Raya masuk. Usianya memang sudah 26 tahun, tapi penampilan Raya di luar rumah sakit seperti Lolita. Rambut diikal, bandana, gaun terusan berenda, kaus kaki tinggi. Yah hal-hal semacam itu.
Malam ini juga dia mengenakan piyama loli putihnya. Pipinya menggembung gugup dan matanya menatap Rhea bersalah.
“Kenapa?”
“Lo nggak bales pesan gue.” Dia merajuk. Padahal yang seharusnya marah Rhea.
“Gue sibuk.”
“Kata Alfi lo pulang cepet hari ini.”
“Ada janji sama temen.”
“Siapa?” Dia mengejar.
Rhea menghembuskan nafas jengah. “Kenapa?”
“Sori.”
“Bukan salah lo.”
“Papa nanyain. Jawaban lo.” Lanjutnya.
“Harus banget dijawab? Bukannya gue nggak bisa nolak?”
“Emang lo nggak punya pacar?”
Rhea menatap Raya tidak percaya. Dia bercanda kan?
“Mana tau kan, Rhe. Gue bantuin ngomong, deh, sama Papa kalo lo nggak mau. Asal lo ada pacar. Yang serius.” Tambahnya
“Gue nggak punya. Gue jomblo dari lahir.” Jawabnya sambil beranjak. “Gue nggak ada alasan buat nolak keinginan Papa.” Kaya biasanya. “Kalo si Naya nggak mau sama gue, biar aja dia yang nolak tawaran Papa.” Ya, itu keputusannya. “Mau di situ aja? Gue mau mandi, nanti nggak bisa lewat, loh.”
***
Malam minggu. Raya menuruti Mamanya pergi ke salon untuk dandan dan ke butik langganan Mama untuk ambil baju. Baju yang sekiranya untuk Raya. Nggak apa bekasan, Rhea sudah terbiasa. Untung ukuran tubuh mereka sama, malah Rhea cenderung lebih kurus daripada Raya yang ‘berisi’ di beberapa tempat.
“Nah, cantik gini anak Mama, kok.” Mamanya memuji. Rhea hanya tersenyum. “Mama jamin Rhea nggak akan nyesel sama pilihan Mama Papa. Naya anaknya baik, pasti perhatian sama Rhea. Rhea mau ya, dijodohin sama Naya?”
“Em…” Dia bingung harus menjawab gimana.
“Mama harap nggak ada penolakan. Ini cita-cita Mama sama Papa. Demi kemajuan klinik kita. Baim dan Raya sudah berusaha keras membantu. Rhea sekarang ikutan, ya.”
Nah, kalau sudah klinik disinggung-singgung begini, pake disindir juga, bagaimana Rhea bisa menolak? Jadilah dia hanya mengangguk mengiyakan, membuat senyum Mama kembali terkembang.
Mama, satu-satunya orang yang masih mau mengakui keberadaan Rhea di rumah. Meskipun kecewa karena Rhea tidak lulus tes masuk kuliah kedokteran (karena dia sengaja, by the way) dia tetap mendukung pilihan Rhea untuk kuliah di jurusan lain. Yang membiarkan Rhea sekolah di SMA yang berbeda dari Baim dan Raya karena alasan ingin mandiri, walaupun SMA alumninya tetap pilihan orang tuanya. Mama, walaupun sikapnya pada Rhea tidak sehangat pada Raya, adalah favorit nya di rumah.
“Udah siap?
Yuk, Mama anter. Nanti pulangnya Rhea dianter Naya, ya.”
Lagi-lagi dia hanya mengangguk. Dia berjalan tertatih mengikuti Mama menuju mobil. High heels isn’t her thing. Dia jadi harus berhati-hati karena ketinggian sering kali membuatnya pusing.
Dia bernafas lega saat bokongnya menyentuh jok mobil. Mission one accomplished! Bagaimana cara dia masuk tempat janjian, mari kita pikirkan nanti.
“Rhea tau Naya, kan? Nanti bisa ngenalin?” Mama bertanya.
“Udah lama banget sih, Ma, nggak ketemu Naya. Kalo nggak salah inget dia temen kuliah Abang. Pernah dateng beberapa kali dulu ke rumah. Tapi lupa mukanya.”
Mama mengutak atik ponselnya. Menggeser beberapa kali, lalu mengangsurkannya kepada Rhea.
“Ini Naya.”
Huh?!
“Hah?”
“Nanti Mama yang atur tempatnya. Rhea siapin diri aja. Mama mohon kali ini sama Rhea.”
Dia bengong.
Tatapannya bersirobok dengan Raya yang kaget dan penuh rasa bersalah. Dia juga kebingungan.
Ini artinya….?
Masa sih?
Selama ini,yang menganggapnya ada di rumah ini hanya Raya dan Mamanya. Karena itu, Rhea selalu berusaha memberikan yang terbaik untuk mereka. Tapi sampai harus dijodohkan dengan orang yang dia tidak kenal untuk menggantikan Raya? Apa dia harus melakukan hal ini juga?
***
Rheee soriiii
Rhea gue jangan dikacangin doong :(
Sumpah gue nggak ada maksud buat ngarahin ide kesna, beneran, Rhe!
Rhea….. T_T
Rhea menghembuskan nafasnya kasar. Sepagian ini Raya meneror ponselnya. Ya sms, ya telpon, ya pesan chat. Semua dibombardir. Isinya, kurang lebih sama seperti itu.
Rhea meletakkan kembali ponselnya tanpa membuka pesan-pesan Raya. Dia hanya membacanya melalui notifikasi yang menyala saat pesan masuk.
“Hapenya bunyi-bunyi nggak dijawab, Rhe?” Ojan, pencatat stock yang hobi banget sama Naruto sampai rambut ikut di jabrik dan di cat kuning menegur.
Dia hanya menggeleng. “Biarin aja.”
“Dari tadi, lho. Kayaknya penting banget sampe berbondong-bondong.”
Dia menarik nafas panjang, lalu menoleh pada lawan bicaranya. “Ojan…”
Ojan gelagepan mendengar nada serius Rhea. “Iya, iya, Bos. Ini kerja. Cus, mari.”
Suasana kembali hening. Rhea berusaha membereskan pekerjaannya. Jujur, hari ini dia susah sekali fokus. Semua pekerjaannya jadi terbengkalai dan dia ikut susah diajak berkomunikasi. Gara-gara tadi pagi.
Dia langsung buru-buru keluar dari rumah dan berlari ke halte busway di depan kompleks sesaat setelah Papa menyelesaikan sarapannya. Dia cukup waras untuk tidak pergi di tengah-tengah sarapan dan masih ada Papa disana. Panggilan Raya tak dipedulikannya. Untungnya ada busway yang sedang berhenti. Tanpa pikir panjang dia langsung naik tanpa melihat tujuannya.
Tentu saja nyasar, karena ini bukan sinetron. Berakhir dengan dia harus menggunakan jasa ojek online untuk sampai ke apotik.
Kenapa jadinya kaya gini? Dia mendesah lagi. Membuat Ojan yang berada di depannya melirik heran. Ada apa gerangan dengan bosnya ini, kenapa mendadak Rhea yang bubbly jadi tukang galau kayak perawan dipaksa kawin?
***
“Fi, tumben si bos pulang cepet?”
“Nggak tau, gue. Ada urusan kali, Jan.”
“Ya kan tumben aja, biasa dia pulang kan nggak pernah kurang dari jam lima. Mana muka ditekuk terus dari tadi dateng”
“Iya, sih. Tumben diem seharian.”
Ojan dan Alfi saling berbisik saat dia pamit dan bersiap untuk pulang, padahal masih jam tiga sore.
“Bisik-bisik teros! Dikira gue nggak denger apa.” Tegurnya sambil berlalu keluar toko membawa helm dan kunci motor.. “Gue cabut dulu!”
Dia menyerah!
Dia tidak bisa fokus sama sekali pada pekerjaannya. Daripada terus-terusan membuat kesalahan, dia memutuskan untuk menyudahi saja. Tapi ini kemana? Pulang? Nggak, deh. Kerumah temen? Temennya cuma Adrian, yang sekarang sudah menikah, artinya, sudah tidak available setiap saat seperti dulu.
Dia melenguh panjang saat berhenti di lampu merah. Bahkan untuk menenangkan diri saja dia masih bingung harus kemana. Ya udah, ke mall aja, putusnya. Dia bukan anak mall, tapi mungkin me time sebentar dan menonton film, apalagi dia belum makan sejak siang tadi, mungkin akan membantunya menyortir pikiran-pikiran yang hari ini membanjiri kepalanya.
Dia mengendarai motornya membelah kota menuju mall terdekat. Saat dia tiba di parkiran basement, terdengar suara hujan mengguyur dengan lebatnya di luar. Dia senang. Setidaknya dia sampai tujuan dengan keadaan kering, tidak kebasahan. Dia benci hujan-hujanan. Saat orang-orang lain gembira hujan turun, dia malah bete luar biasa. Yang mereka bilang suaranya syahdu, hawanya romantis, petrichor nya bikin tenang, dia tidak merasakan semua itu.
Hanya ada satu kata untuk menggambarkan hujan baginya yaitu basah. Basah berarti tidak nyaman.Tidak nyaman berarti menyakitkan. Dan dia benci sakit. Dia ‘dituntut’ untuk selalu sehat. Bugar. Tidak boleh sakit. Dia dicintai saat dia sehat, dan ditinggalkan saat dia sakit. Itu yang ada dalam kepalanya, entah dia dapat dari mana. Tapi pola yang sama dan berulang sejak dirinya kecil, membuatnya menyimpulkan seperti itu.
Setelah menyimpan jaket dan helm nya di jok motor, dia naik dari basement ke lantai tiga menggunakan lift pengunjung. Pertama-tama, food court dulu. Dia harus mengisi tenaga untuk menikmati waktunya. Jadi dia harus makan! “Hmmm makan apa ya?” Gumamnya mulai bingung saat melihat food court yang ramai. Beberapa brand restaurant di dekat food court juga terlihat ramai. “Bebek? Ramen? Hmm… Bakso aja kali ya.”
Dia berjalan ke stand bakso, mencatat pesanannya, membayar di kasir dan mencari tempat duduk setelah mendapatkan nomor meja. Setelah duduk, dia meraih ponselnya dan menghidupkannya kembali. Dia tadi sempat mematikannya dalam usahanya fokus pada pekerjaan,walaupun gagal. Karena Raya terus-terusan menelpon dan mengiriminya pesan.
“Buset! 200? Yang bener aja, Raya!” Dia men scroll ke bawah tanpa membaca. Isinya kurang lebih akan sama saja seperti yang seharian berusaha dikirim Raya. Selebihnya hanya chat tentang pekerjaan yang di forward nya pada Ojan untuk di follow up.
Selesai! Dia memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas dan fokus pada baksonya. Bahkan bakso Pak Man yang biasanya menggoda di lidahnya kini terasa hambar. Gila emang. Papa sama Mama segitunya kekeh ngejodohin anak mereka sama si Naya-Naya ini. Sehebat apa dia sampai mereka nggak mau menyerah.
Rhea penasaran sendiri jadinya. Karena Mama dan Papa itu orangnya hard to please. Sangat susah dibuat terkesan. Baim mati-matian menunjukkan eksistensinya, tapi karena dia cowok, penerus satu-satunya, tugasnya terberatnya adalah mempertahankan prestasinya. Raya, karena Baim sudah cemerlang, dan Raya yang mudah diarahkan, membuat apapun keputusan Raya selalu mendapat dukungan penuh. Dan dia?
Hhh, memikirkannya saja sudah membuat kepalanya nyut-nyutan. She used to compete with her siblings. Tapi karena Baim dan Raya sudah sangat memuaskan Papa, dia tidak pernah mendapat jatah pengakuan yang dulu diharapkannya itu. Sekarang sih, dia sudah pasrah. Dilirik biar, diakui syukur, nggak dianggap kaya biasanya juga nggak apa.
Tapi dapet triple combo kaya tadi pagi? Beyond expectation! Dia malah takut sendiri!
Di tengah makannya, matanya menangkap pemandangan sepasang kekasih yang bergelayut manja sedang makan di salah satu resto di seberang food court. Dia meringis kecut.
Bohong kalau dia bilang dia nggak butuh orang yang bisa menerimanya apa adanya. Menghargai kekurangannya dan mencintai kelebihannya. Faktanya, dia ‘iri’ melihat Raya dan Martin, juga, walaupun konyol, Baim dan Renata. Kenapa konyol? Karena mereka the coldest couple ever!
Pasangan yang dilihatnya sedang mengobrol seru. Si cowok tertawa mendengar cerita si cewek, dan menowel hidungnya manja. Sweet.
Dia tersentak saat tiba-tiba si cowok menoleh dan menatap ke seberang…. Tepat ke arahnya!
***
Dia pulang jauh setelah jam makan malam. Kepalanya sedikit lebih enteng setelah facial, creambath dan menonton film. Me time sendirian seperti itu bukan hal baru baginya. Dia toh tidak punya teman. Berbeda dengan Raya yang supel, dia memang terkenal introvert.
Dia Masuk ke kamarnya pelan-pelan. Masih enggan untuk bertegur sapa dengan Raya ataupun Papa Mama. Baim? Nyapa dia? Tunggu manusia hijrah ke Mars dulu! Baim hangat pada Raya, beberapa kali Raya mendengar mereka bercakap-cakap dan tertawa bersama di balkon. Tapi jika dia bergabung, Baim langsung jadi sedingin es. Dan membuat Rhea tidak nyaman berada di dekatnya. Ketukan samar terdengar di pintu kamar mandinya.
“Rhe? Lo udah pulang? Boleh masuk nggak?”
Rhea menarik nafasnya dalam. Yah, cepat atau lambat dia harus menghadapi Raya juga. Dia pasti juga tidak tenang seharian tadi. Perks of being twins. You share emotions.
“Masuk, Ra.”
Untung dia sudah meminum obatnya dan sudah membereskan sisanya. Raya masuk. Usianya memang sudah 26 tahun, tapi penampilan Raya di luar rumah sakit seperti Lolita. Rambut diikal, bandana, gaun terusan berenda, kaus kaki tinggi. Yah hal-hal semacam itu.
Malam ini juga dia mengenakan piyama loli putihnya. Pipinya menggembung gugup dan matanya menatap Rhea bersalah.
“Kenapa?”
“Lo nggak bales pesan gue.” Dia merajuk. Padahal yang seharusnya marah Rhea.
“Gue sibuk.”
“Kata Alfi lo pulang cepet hari ini.”
“Ada janji sama temen.”
“Siapa?” Dia mengejar.
Rhea menghembuskan nafas jengah. “Kenapa?”
“Sori.”
“Bukan salah lo.”
“Papa nanyain. Jawaban lo.” Lanjutnya.
“Harus banget dijawab? Bukannya gue nggak bisa nolak?”
“Emang lo nggak punya pacar?”
Rhea menatap Raya tidak percaya. Dia bercanda kan?
“Mana tau kan, Rhe. Gue bantuin ngomong, deh, sama Papa kalo lo nggak mau. Asal lo ada pacar. Yang serius.” Tambahnya
“Gue nggak punya. Gue jomblo dari lahir.” Jawabnya sambil beranjak. “Gue nggak ada alasan buat nolak keinginan Papa.” Kaya biasanya. “Kalo si Naya nggak mau sama gue, biar aja dia yang nolak tawaran Papa.” Ya, itu keputusannya. “Mau di situ aja? Gue mau mandi, nanti nggak bisa lewat, loh.”
***
Malam minggu. Raya menuruti Mamanya pergi ke salon untuk dandan dan ke butik langganan Mama untuk ambil baju. Baju yang sekiranya untuk Raya. Nggak apa bekasan, Rhea sudah terbiasa. Untung ukuran tubuh mereka sama, malah Rhea cenderung lebih kurus daripada Raya yang ‘berisi’ di beberapa tempat.
“Nah, cantik gini anak Mama, kok.” Mamanya memuji. Rhea hanya tersenyum. “Mama jamin Rhea nggak akan nyesel sama pilihan Mama Papa. Naya anaknya baik, pasti perhatian sama Rhea. Rhea mau ya, dijodohin sama Naya?”
“Em…” Dia bingung harus menjawab gimana.
“Mama harap nggak ada penolakan. Ini cita-cita Mama sama Papa. Demi kemajuan klinik kita. Baim dan Raya sudah berusaha keras membantu. Rhea sekarang ikutan, ya.”
Nah, kalau sudah klinik disinggung-singgung begini, pake disindir juga, bagaimana Rhea bisa menolak? Jadilah dia hanya mengangguk mengiyakan, membuat senyum Mama kembali terkembang.
Mama, satu-satunya orang yang masih mau mengakui keberadaan Rhea di rumah. Meskipun kecewa karena Rhea tidak lulus tes masuk kuliah kedokteran (karena dia sengaja, by the way) dia tetap mendukung pilihan Rhea untuk kuliah di jurusan lain. Yang membiarkan Rhea sekolah di SMA yang berbeda dari Baim dan Raya karena alasan ingin mandiri, walaupun SMA alumninya tetap pilihan orang tuanya. Mama, walaupun sikapnya pada Rhea tidak sehangat pada Raya, adalah favorit nya di rumah.
“Udah siap?
Yuk, Mama anter. Nanti pulangnya Rhea dianter Naya, ya.”
Lagi-lagi dia hanya mengangguk. Dia berjalan tertatih mengikuti Mama menuju mobil. High heels isn’t her thing. Dia jadi harus berhati-hati karena ketinggian sering kali membuatnya pusing.
Dia bernafas lega saat bokongnya menyentuh jok mobil. Mission one accomplished! Bagaimana cara dia masuk tempat janjian, mari kita pikirkan nanti.
“Rhea tau Naya, kan? Nanti bisa ngenalin?” Mama bertanya.
“Udah lama banget sih, Ma, nggak ketemu Naya. Kalo nggak salah inget dia temen kuliah Abang. Pernah dateng beberapa kali dulu ke rumah. Tapi lupa mukanya.”
Mama mengutak atik ponselnya. Menggeser beberapa kali, lalu mengangsurkannya kepada Rhea.
“Ini Naya.”
Huh?!
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved