Bab 13 TIGA BELAS
by Veedrya
10:01,Apr 01,2021
“Hai, Babe! Aku kangen!”
Rhea berdiri mematung di sana, tidak menyangka melihat pemandangan ini ketika tadi reflek berbalik mengikuti perempuan yang ditabraknya karena merasa familiar.
Disana, masih ditempat Rhea meninggalkannya tadi, Naya sedang berdiri dengan perempuan cantik yang barusan bersenggolan bahu dengannya bergelayut rapat di pelukannya.
***
Naya mematung memandangi Rhea yang pergi dengan terburu-buru. Dia merasa nggak enak. Terlebih, sekarang Soraya mendadak datang tanpa memberi kabar. Dalam keadaan biasa, saat luar biasa capek dan frustasi yang sudah menyiksa kinerja otak dan mentalnya, kedatangan Soraya pasti disambutnya dengan sukacita. Kalian taulah, maksudnya apa. Tapi sekarang, perasaannya jadi abu-abu.
Apa Rhea tadi sempat melihat Sora yang bergelayut padanya dan menciuminya tanpa ampun walaupun di tempat umum?
“Babe, naik, yuk. Kita jadi tontonan orang-orang, tau.”
Naya tersentak. Menurut saja saat ditarik Soraya masuk ke dalam lift menuju unit
apartemennya.
“Kamu nggak sakit, kan, Babe? Diem aja dari tadi.”
“Abis ada operasi seharian tadi. Semalem juga sempet ada tindakan di IGD gara-gara kecelakaan beruntun di Klaten.” Jawabnya tenang, sambil menghempaskan tubuhnya di sofa depan TV. Diletakkannya plastik kresek berisi lamongan yang tadi di berikan Rhea di meja depannya.
“Lho, kamu udah beli makan? Aku udah pesenin makan, nih, lagi dianter.” Sora membuka plastik yang diletakkan Naya.
“Cuma satu. Nggak papa, nanti juga dimakan.” Jawabnya sambil menarik Sora ke pangkuannya. “Sini, dulu. Masih kangen.”
Sora mengalungkan tangannya ke leher Naya dan mendekatkan bibirnya yang disambut Naya dengan pagutan dalam dan posesif.
“Emmmh.” Erangan Soraya bagaikan sorakan cheerleader yang meyemangati Naya melanjutkan aksinya.
Diputarnya tubuh Soraya hingga menghadap padanya dengan kaki mengangkang tanpa mengistirahatkan bibirnya.
“Hhh babe… jangan bikin hickey.” Soraya mengingatkan saat ciumannya turun ke leher dan dada bagian atasnya.
Naya hanya menggumam. Dia memang tipe yang menikmati saat seperti ini dengan tindakan, bukan menyelinginya dengan dirty talk dan gombalan-gombalan mesum.
Tangannya yang semula bertengger mesra di pinggul Sora kini bergerak naik menangkup dadanya, membuat Sora mendesah nikmat, sementara tangan Sora sibuk mengacak rambutnya.
“Kenapa?”
Tanyanya saat Sora menghentikan gerakan tangannya yang akan menurunkan blazernya. Keduanya bertatapan sayu dengan nafas terengah, hampir tersesat dalam kabut gairah.
“Hape aku bunyi. Kayaknya makanan yang kupesen udah dateng.” Jawab cewek di pangkuannya terputus karena nafasnya masih berkejaran. “Aku turun dulu ke lobby, ambil ya. Set the table, please?”
Naya mengangguk. Merasa kosong saat Sora beranjak berdiri meninggalkannya dengan bukti gairah yang menyesakkan celananya. Dia sedikit lega karena bayangan Rhea tidak lagi memenuhi kepalanya. Memang seharusnya seperti ini.
Seharusnya dia tidak terganggu dengan apapun yang dirasakan Rhea tentangnya, pun sebaliknya. Hubungan mereka murni hubungan yang saling menguntungkan. Mereka akan berteman, mereka akan bersimpati satu sama lain, tapi sudah. Berhenti hanya sampai disitu saja.
Dan saat pintu depan tertutup, dia beranjak ke dapur untuk mempersiapkan meja untuk makan malam seperti yang diminta Sora, dengan kresek hitam berisi ayam lamongan pemberian Rhea di tangannya.
***
Ra, lo praktekdi Klinik Monjali nggak, sih, hari ini? Boleh nebeng pulang?
Dia mengetik pesan pada saudarinya, yang tetumbenan langsung dibalas saat itu juga.
Iyaa, ini mau pulang, gantian shift sama temen di watesnya
Gue dapet jatah besok pagi butaaaa
Okee, gue jemput di apotek, yak
Gue di deket monjali Ra
Di kedai kopi kekinian yang lagi hits itu
Jemput sini aja, ya
Okee,
tungguin, gue!
Dia memeriksa lagi ponselnya. Masih sama, tidak ada pesan sama sekali dari Naya sejak dia pergi dari apartement cowok itu hampir tiga puluh menit yang lalu. Biasanya cowok itu selalu mengecek apakah Rhea sudah sampai rumah, atau mengabari bahwa dia sudah sampai ke tujuannya selanjutnya. Walaupun Rhea selalu marah-marah dan jutek, Naya tetap berlaku baik padanya.
Sepertinya dia sibuk. Sama mbak yang tadi, pikirnya.
Lalu memaki pelan karena sudah memikirkan hal tersebut. Bukan urusannya Naya mau ngapain sama pacarnya. He stated clearly dari awal mereka berhubungan hampir empat bulan yang lalu. Tapi melihat sendiri cewek itu… siapa namanya? Soraya? Saori? Menggelendot manja di pelukan Naya membuatnya lumayan terguncang.
Dan ngomong-ngomong soal terguncang, dia harus cepat-cepat menguasai dirinya sendiri karena sebentar lagi jemputannya datang. Dia belum ingin cerita apapun pada Raya tentang hal ini.
Ponselnya bergetar saat pesan dari Raya masuk, mengabarkan kalau dia sudah di depan, menunggunya. Rhea mengambil pesanan Thai Tea yang disukai Raya dan keluar dari sana.
“Kok bisa ada disini?” Rhea sengaja tidak memarkirkan mobil Naya di garasi rumah, melainkan di jalan kompleks, agak jauh dari rumahnya. Jadi Raya dan orang rumah lainnya nggak ada yang tau tentang dengan apa dia berangkat dan pulang kantor hari ini. Yah, kaya ada yang peduli aja.
“Ada urusan tadi. Nih, buat bayar tumpangan gue.”
Raya menerima dengan cengengesan. Senang karena Rhea perhatian padanya. Dia seneng banget karena Rhea hanya perhatian padanya. Tidak cuek seperti pada Papa dan Baim.
“Gimana proyek apotik barunya? Di deket bandara baru ya.”
“Udah tinggal finishing aja. Nggak di deket banget sih, masih deket kotanya.” Rhea menurunkan sedikit sandaran kursinya. Kepalanya pusing.
“Lo hebat, tau. Belum ada lima tahun tapi apotek lo udah mau tiga cabang aja. Mana yg pusat udah gedung milik sendiri. Kenapa lo masih nolak buat gabung di klinik? Gue yakin kalo business developer nya kaya lo, pasti makin maju, deh.”
Rhea menghela nafas berat, menutup telinganya, “Please Ra, nggak lo juga yang bahas masalah ini.” Dia merengek. Raya tertawa kencang melihat wajah Rhea yg pura-pura tersiksa. “Cukup Papa sama Baim aja yang suka nyindir-nyindir, lo nggak perlu ikutan.”
“Tapi gue serius, Rhe. Lo mungkin harus pertimbangin itu.”
“Rayaaaa.”
“Okay-okay.” dia membuat gerakan menutup resleting di mulutnya.
Raya melanjutkan monolognya dengan topik lain yang sebisa mungkin ditanggapi Rhea dengan tidak mengecewakan. Mencoba biasa saat hatinya sedang luar biasa, luar biasa kacau, ternyata lumayan susah.
“Oiya, Rhe! Lo akhir-akhir ini apa kabar sama Naya?”
Seharusnya tadi dia pulang sendiri saja naik ojol atau taksol. Sekarang dia menyesal sudah minta nebeng Raya.
***
“Iya, Om. Rhea kebanyakan ijin minggu ini soalnya.” Jawabnya pelan pada Om Diki di seberang sambungan.
“Om paham. Tapi kesehatan kamu lebih penting, Nduk.” Rhea meringis. Lagi-lagi dia telat untuk pemeriksaan rutinnya sampai Om Diki harus menelpon dan mengingatkannya.
“Yah Om tau sendiri sejak tunangan Mama jadi suka ngecekin Rhea dimana. Nggak bisa kabur-kaburan kayak dulu.” Dia malah curhat.
“Gini deh, weekend ini Om ada jadwal di Sleman. Di Punokawan.” Om Diki menyebut nama salah satu klinik khusus ibu hamil di Jogja. “Nanti Tante Kinan bisa jemput kamu karena kami nginep di tempat Eyang.”
Tante Kinanadalah istri Om Diki. Mereka sudah menikah hampir lima tahun, tapi belum juga memiliki keturunan. Karena hal itu, Tante Kinan jarang sekali mengunjungi Eyang di Jogja dan lebih suka tetap di Solo. Karena tipikal keluarga besarnya, mereka yang memiliki anak pertama bukan berjenis kelamin laki-laki dan disusul dengan anak perempuan setelahnya, tidak akan dianggap. Om Diki dan Rhea adalah contohnya. Ada juga kakak sepupu perempuannya yang sekarang menetap di Malaysia, enggan untuk pulang karena orang tuanya nyaris tidak pernah menganggapnya ada.
“Oke deh, Om. pulang kantor nggak papa kan, Om?”
“Iya, yang penting dateng. Kali ini harus jadi transfusi karena kamu udah sering ngeluh migren dan kecapean terus.”
“Iya Om…..”
“Ya sudah, om tutup, ya.”
Mereka mengakhirinya tepat saat seseorang mengetuk pintu kamarnya, membuat jantung Rhea nyaris mogok seketika.
“Ya?”
“Ini Mama, Sayang. Dipanggil Papa di bawah.”
Wow, tumben!
“Iya, Ma. Rhea cuci muka dulu.”
Dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan wajahnya dan kemudian turun menemui Papanya, yang tumben-tumbenan memanggilnya. Dia tidak ingat sudah membuat masalah. Kalau diingat lagi, terakhir kali dia dipanggil seperti ini adalah saat dia gagal ikut tes ujian masuk FK di salah satu UN di Jogja.
“Papa manggil Rhea?” Tanyanya setelah berada di samping sofa ruang tengah yang diduduki Papanya.
“Duduk.” Papa menunjuk sofa single yang ada di samping kirinya. Rhea menurut. “Gimana kamu sama Naya?”
Walah, tiba-tiba Naya. Nggak kaget, sih. Papa kan nggak mungkin penasaran apa yang dia lakukan selama ini kalau nggak relate sama Raya atau Naya.
“Baik, Pa.”
“Sering jalan bareng?”
“Nggak sering banget, Pa. Naya kan baru lulus tes masuk dokter di JIH, masih sibuk-sibuknya settle biar bisa jadi dokter spesialis tetap di JIH.”
“Rhea, kapan-kapan Naya diajak kesini buat main. Biar Mama sama Papa bisa ngobrol juga sama dia.” Mama mendekat membawakan Papa wedang jahe. Rutinitas penutup hari buat Papa; minum wedang jahe.
“Nanti Rhea ajakin, Ma.”
“Sabtu ini aja. Mumpung Papa sama Mama off.”
Rhea gelagepan. Nggak bisa! Dia udah janji sama Om Diki!! Dia nggak mau sampai Om Diki nekad menyeretnya dari rumah buat perawatan.
“Minggu depan gimana, Ma? Rhea ada janji minggu ini. Naya juga bilang lagi sibuk-sibuknya, banyak jadwal operasi.” Bohong, sih. Dia nggak tau jadwal Naya. Yang dia tau kemarin sama hari ini dia sibuk banget. Dan akan tetap sibuk selama sesembak itu masih ada disini. Buktinya, dia nggak ada kabar sama sekali. Biasanya, sekedar basa basi selamat pagi atau selamat malam pasti Naya kirimkan untuknya. Lihat dua hari ini? Nihil.
“Gitu?”
“Kamu aturin waktunya. Ada yang mau Papa bahas sama Naya.” Papanya berkata dengan nada final.
“Iya, Pa.”
“Sudah, kamu boleh istirahat.”
Rhea undur diri. Meringis miris. Cuma Naya yang ditanyain. Bahkan nggak ada basa basi pertanyaan soal pekerjaannya dan apa kesulitan yang dia hadapi sekarang. Whatta life!
***
Semua hal untuk launching cabang apotek barunya sudah beres. Tinggal menunggu hari H saja. Rhea fokus pada pekerjaannya agar selesai di hari sabtu, hari ini. Dia tidak ingin menunda pengobatannya lagi. Apalagi beberapa symptom nya mulai menampakkan diri seperti sesak nafas, lebam di kaki dan lengan bagian dalam, serta nyeri di ulu hati.
Dia sukses menyingkirkan Naya ke urutan paling belakang list nya. Lagipula, Naya pasti terlalu sibuk sampai tidak mengingatnya lagi. Biasanya dia rutin mengecek Rhea, sekedar mengirim quote of the day atau gombalan busuk yang ditanggapi dengusan olehnya.
Tak apa! Dia tidak merindukannya sama sekali! Rhea memantapkan hati.
“Rhe, udah jam empat, lho.” Alfi mengingatkan. Pembawaannya yang dewasa membuat Rhea merasa punya kakak. Dan lagi, dia sering banget ngingetin Rhea tentang jadwalnya. Jadi gini rasanya punya asisten hehehe.
“Ojan udah kelar?”
“Udah gue email ke lo, Rhe. Ada lagi yang bisa gue bantu?” Rhea mengangkat alisnya heran. Tetumben Kpopers melambai ini nawarin bantuan. Biasanya dia paling dulu ngacir kalau kerjaan udah kelar. “Biar lo tenang aja ntar.”
Ojan tau dia mau ke RS buat periksa karena beberapa kali Alfi mengingatkan dan merecokinya. Tidak begitu masalah karena yang Ojan tau hanyalah Raya dan Naya. Apalagi dua anak baru di depan. Nggak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Dia lumayan bisa bernafas lega karena di tempat kerja, dia benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri tanpa bayang-bayang nama Azzam.
“Bener lo mau bantu?” Alfi mulai tersenyum jahil.
“Ogah kalo suruh ngecek gudang sekali lagi sekarang juga!” Dia membantah tegas. “Bagus lagi yang bisa gue bawa pulang.”
“Boleh rekapin daftar presensi mereka berdua? Kan masih manual. Adrian belum sempat setting kemarin.” Ojan mengangguk. “Minta di Alfi ya kartu presensi mereka.”
“Okay.”
“Makasih, Ojan. Sarangheyoo.”
Dia beranjak pergi diikuti Alfi yang kembali ke depan. Takut ada yang datang menebus resep atau beli obat.
“Hai, gue duluan ya. Kalo ada apa-apa, bilangnya sama Kak Alfi, ya.”
“Iya, Kak.”
Mereka menjawab kompak.
Rhea gemas dibuatnya. Mungkin kalau dulu pas freshgrad dia ikut cari kerja seperti teman-temannya yang lain, pasti dia juga begitu. Nempel dan kompak sama temen satu angkatan kerja.
Dia cuma berharap, tempatnya terbebas dari drama orang dewasa seperti saling julid, saling fitnah dan saling jilat. Amit-amit. Rhea bergidik ngeri.
Rhea berdiri mematung di sana, tidak menyangka melihat pemandangan ini ketika tadi reflek berbalik mengikuti perempuan yang ditabraknya karena merasa familiar.
Disana, masih ditempat Rhea meninggalkannya tadi, Naya sedang berdiri dengan perempuan cantik yang barusan bersenggolan bahu dengannya bergelayut rapat di pelukannya.
***
Naya mematung memandangi Rhea yang pergi dengan terburu-buru. Dia merasa nggak enak. Terlebih, sekarang Soraya mendadak datang tanpa memberi kabar. Dalam keadaan biasa, saat luar biasa capek dan frustasi yang sudah menyiksa kinerja otak dan mentalnya, kedatangan Soraya pasti disambutnya dengan sukacita. Kalian taulah, maksudnya apa. Tapi sekarang, perasaannya jadi abu-abu.
Apa Rhea tadi sempat melihat Sora yang bergelayut padanya dan menciuminya tanpa ampun walaupun di tempat umum?
“Babe, naik, yuk. Kita jadi tontonan orang-orang, tau.”
Naya tersentak. Menurut saja saat ditarik Soraya masuk ke dalam lift menuju unit
apartemennya.
“Kamu nggak sakit, kan, Babe? Diem aja dari tadi.”
“Abis ada operasi seharian tadi. Semalem juga sempet ada tindakan di IGD gara-gara kecelakaan beruntun di Klaten.” Jawabnya tenang, sambil menghempaskan tubuhnya di sofa depan TV. Diletakkannya plastik kresek berisi lamongan yang tadi di berikan Rhea di meja depannya.
“Lho, kamu udah beli makan? Aku udah pesenin makan, nih, lagi dianter.” Sora membuka plastik yang diletakkan Naya.
“Cuma satu. Nggak papa, nanti juga dimakan.” Jawabnya sambil menarik Sora ke pangkuannya. “Sini, dulu. Masih kangen.”
Sora mengalungkan tangannya ke leher Naya dan mendekatkan bibirnya yang disambut Naya dengan pagutan dalam dan posesif.
“Emmmh.” Erangan Soraya bagaikan sorakan cheerleader yang meyemangati Naya melanjutkan aksinya.
Diputarnya tubuh Soraya hingga menghadap padanya dengan kaki mengangkang tanpa mengistirahatkan bibirnya.
“Hhh babe… jangan bikin hickey.” Soraya mengingatkan saat ciumannya turun ke leher dan dada bagian atasnya.
Naya hanya menggumam. Dia memang tipe yang menikmati saat seperti ini dengan tindakan, bukan menyelinginya dengan dirty talk dan gombalan-gombalan mesum.
Tangannya yang semula bertengger mesra di pinggul Sora kini bergerak naik menangkup dadanya, membuat Sora mendesah nikmat, sementara tangan Sora sibuk mengacak rambutnya.
“Kenapa?”
Tanyanya saat Sora menghentikan gerakan tangannya yang akan menurunkan blazernya. Keduanya bertatapan sayu dengan nafas terengah, hampir tersesat dalam kabut gairah.
“Hape aku bunyi. Kayaknya makanan yang kupesen udah dateng.” Jawab cewek di pangkuannya terputus karena nafasnya masih berkejaran. “Aku turun dulu ke lobby, ambil ya. Set the table, please?”
Naya mengangguk. Merasa kosong saat Sora beranjak berdiri meninggalkannya dengan bukti gairah yang menyesakkan celananya. Dia sedikit lega karena bayangan Rhea tidak lagi memenuhi kepalanya. Memang seharusnya seperti ini.
Seharusnya dia tidak terganggu dengan apapun yang dirasakan Rhea tentangnya, pun sebaliknya. Hubungan mereka murni hubungan yang saling menguntungkan. Mereka akan berteman, mereka akan bersimpati satu sama lain, tapi sudah. Berhenti hanya sampai disitu saja.
Dan saat pintu depan tertutup, dia beranjak ke dapur untuk mempersiapkan meja untuk makan malam seperti yang diminta Sora, dengan kresek hitam berisi ayam lamongan pemberian Rhea di tangannya.
***
Ra, lo praktekdi Klinik Monjali nggak, sih, hari ini? Boleh nebeng pulang?
Dia mengetik pesan pada saudarinya, yang tetumbenan langsung dibalas saat itu juga.
Iyaa, ini mau pulang, gantian shift sama temen di watesnya
Gue dapet jatah besok pagi butaaaa
Okee, gue jemput di apotek, yak
Gue di deket monjali Ra
Di kedai kopi kekinian yang lagi hits itu
Jemput sini aja, ya
Okee,
tungguin, gue!
Dia memeriksa lagi ponselnya. Masih sama, tidak ada pesan sama sekali dari Naya sejak dia pergi dari apartement cowok itu hampir tiga puluh menit yang lalu. Biasanya cowok itu selalu mengecek apakah Rhea sudah sampai rumah, atau mengabari bahwa dia sudah sampai ke tujuannya selanjutnya. Walaupun Rhea selalu marah-marah dan jutek, Naya tetap berlaku baik padanya.
Sepertinya dia sibuk. Sama mbak yang tadi, pikirnya.
Lalu memaki pelan karena sudah memikirkan hal tersebut. Bukan urusannya Naya mau ngapain sama pacarnya. He stated clearly dari awal mereka berhubungan hampir empat bulan yang lalu. Tapi melihat sendiri cewek itu… siapa namanya? Soraya? Saori? Menggelendot manja di pelukan Naya membuatnya lumayan terguncang.
Dan ngomong-ngomong soal terguncang, dia harus cepat-cepat menguasai dirinya sendiri karena sebentar lagi jemputannya datang. Dia belum ingin cerita apapun pada Raya tentang hal ini.
Ponselnya bergetar saat pesan dari Raya masuk, mengabarkan kalau dia sudah di depan, menunggunya. Rhea mengambil pesanan Thai Tea yang disukai Raya dan keluar dari sana.
“Kok bisa ada disini?” Rhea sengaja tidak memarkirkan mobil Naya di garasi rumah, melainkan di jalan kompleks, agak jauh dari rumahnya. Jadi Raya dan orang rumah lainnya nggak ada yang tau tentang dengan apa dia berangkat dan pulang kantor hari ini. Yah, kaya ada yang peduli aja.
“Ada urusan tadi. Nih, buat bayar tumpangan gue.”
Raya menerima dengan cengengesan. Senang karena Rhea perhatian padanya. Dia seneng banget karena Rhea hanya perhatian padanya. Tidak cuek seperti pada Papa dan Baim.
“Gimana proyek apotik barunya? Di deket bandara baru ya.”
“Udah tinggal finishing aja. Nggak di deket banget sih, masih deket kotanya.” Rhea menurunkan sedikit sandaran kursinya. Kepalanya pusing.
“Lo hebat, tau. Belum ada lima tahun tapi apotek lo udah mau tiga cabang aja. Mana yg pusat udah gedung milik sendiri. Kenapa lo masih nolak buat gabung di klinik? Gue yakin kalo business developer nya kaya lo, pasti makin maju, deh.”
Rhea menghela nafas berat, menutup telinganya, “Please Ra, nggak lo juga yang bahas masalah ini.” Dia merengek. Raya tertawa kencang melihat wajah Rhea yg pura-pura tersiksa. “Cukup Papa sama Baim aja yang suka nyindir-nyindir, lo nggak perlu ikutan.”
“Tapi gue serius, Rhe. Lo mungkin harus pertimbangin itu.”
“Rayaaaa.”
“Okay-okay.” dia membuat gerakan menutup resleting di mulutnya.
Raya melanjutkan monolognya dengan topik lain yang sebisa mungkin ditanggapi Rhea dengan tidak mengecewakan. Mencoba biasa saat hatinya sedang luar biasa, luar biasa kacau, ternyata lumayan susah.
“Oiya, Rhe! Lo akhir-akhir ini apa kabar sama Naya?”
Seharusnya tadi dia pulang sendiri saja naik ojol atau taksol. Sekarang dia menyesal sudah minta nebeng Raya.
***
“Iya, Om. Rhea kebanyakan ijin minggu ini soalnya.” Jawabnya pelan pada Om Diki di seberang sambungan.
“Om paham. Tapi kesehatan kamu lebih penting, Nduk.” Rhea meringis. Lagi-lagi dia telat untuk pemeriksaan rutinnya sampai Om Diki harus menelpon dan mengingatkannya.
“Yah Om tau sendiri sejak tunangan Mama jadi suka ngecekin Rhea dimana. Nggak bisa kabur-kaburan kayak dulu.” Dia malah curhat.
“Gini deh, weekend ini Om ada jadwal di Sleman. Di Punokawan.” Om Diki menyebut nama salah satu klinik khusus ibu hamil di Jogja. “Nanti Tante Kinan bisa jemput kamu karena kami nginep di tempat Eyang.”
Tante Kinanadalah istri Om Diki. Mereka sudah menikah hampir lima tahun, tapi belum juga memiliki keturunan. Karena hal itu, Tante Kinan jarang sekali mengunjungi Eyang di Jogja dan lebih suka tetap di Solo. Karena tipikal keluarga besarnya, mereka yang memiliki anak pertama bukan berjenis kelamin laki-laki dan disusul dengan anak perempuan setelahnya, tidak akan dianggap. Om Diki dan Rhea adalah contohnya. Ada juga kakak sepupu perempuannya yang sekarang menetap di Malaysia, enggan untuk pulang karena orang tuanya nyaris tidak pernah menganggapnya ada.
“Oke deh, Om. pulang kantor nggak papa kan, Om?”
“Iya, yang penting dateng. Kali ini harus jadi transfusi karena kamu udah sering ngeluh migren dan kecapean terus.”
“Iya Om…..”
“Ya sudah, om tutup, ya.”
Mereka mengakhirinya tepat saat seseorang mengetuk pintu kamarnya, membuat jantung Rhea nyaris mogok seketika.
“Ya?”
“Ini Mama, Sayang. Dipanggil Papa di bawah.”
Wow, tumben!
“Iya, Ma. Rhea cuci muka dulu.”
Dia beranjak ke kamar mandi, membersihkan wajahnya dan kemudian turun menemui Papanya, yang tumben-tumbenan memanggilnya. Dia tidak ingat sudah membuat masalah. Kalau diingat lagi, terakhir kali dia dipanggil seperti ini adalah saat dia gagal ikut tes ujian masuk FK di salah satu UN di Jogja.
“Papa manggil Rhea?” Tanyanya setelah berada di samping sofa ruang tengah yang diduduki Papanya.
“Duduk.” Papa menunjuk sofa single yang ada di samping kirinya. Rhea menurut. “Gimana kamu sama Naya?”
Walah, tiba-tiba Naya. Nggak kaget, sih. Papa kan nggak mungkin penasaran apa yang dia lakukan selama ini kalau nggak relate sama Raya atau Naya.
“Baik, Pa.”
“Sering jalan bareng?”
“Nggak sering banget, Pa. Naya kan baru lulus tes masuk dokter di JIH, masih sibuk-sibuknya settle biar bisa jadi dokter spesialis tetap di JIH.”
“Rhea, kapan-kapan Naya diajak kesini buat main. Biar Mama sama Papa bisa ngobrol juga sama dia.” Mama mendekat membawakan Papa wedang jahe. Rutinitas penutup hari buat Papa; minum wedang jahe.
“Nanti Rhea ajakin, Ma.”
“Sabtu ini aja. Mumpung Papa sama Mama off.”
Rhea gelagepan. Nggak bisa! Dia udah janji sama Om Diki!! Dia nggak mau sampai Om Diki nekad menyeretnya dari rumah buat perawatan.
“Minggu depan gimana, Ma? Rhea ada janji minggu ini. Naya juga bilang lagi sibuk-sibuknya, banyak jadwal operasi.” Bohong, sih. Dia nggak tau jadwal Naya. Yang dia tau kemarin sama hari ini dia sibuk banget. Dan akan tetap sibuk selama sesembak itu masih ada disini. Buktinya, dia nggak ada kabar sama sekali. Biasanya, sekedar basa basi selamat pagi atau selamat malam pasti Naya kirimkan untuknya. Lihat dua hari ini? Nihil.
“Gitu?”
“Kamu aturin waktunya. Ada yang mau Papa bahas sama Naya.” Papanya berkata dengan nada final.
“Iya, Pa.”
“Sudah, kamu boleh istirahat.”
Rhea undur diri. Meringis miris. Cuma Naya yang ditanyain. Bahkan nggak ada basa basi pertanyaan soal pekerjaannya dan apa kesulitan yang dia hadapi sekarang. Whatta life!
***
Semua hal untuk launching cabang apotek barunya sudah beres. Tinggal menunggu hari H saja. Rhea fokus pada pekerjaannya agar selesai di hari sabtu, hari ini. Dia tidak ingin menunda pengobatannya lagi. Apalagi beberapa symptom nya mulai menampakkan diri seperti sesak nafas, lebam di kaki dan lengan bagian dalam, serta nyeri di ulu hati.
Dia sukses menyingkirkan Naya ke urutan paling belakang list nya. Lagipula, Naya pasti terlalu sibuk sampai tidak mengingatnya lagi. Biasanya dia rutin mengecek Rhea, sekedar mengirim quote of the day atau gombalan busuk yang ditanggapi dengusan olehnya.
Tak apa! Dia tidak merindukannya sama sekali! Rhea memantapkan hati.
“Rhe, udah jam empat, lho.” Alfi mengingatkan. Pembawaannya yang dewasa membuat Rhea merasa punya kakak. Dan lagi, dia sering banget ngingetin Rhea tentang jadwalnya. Jadi gini rasanya punya asisten hehehe.
“Ojan udah kelar?”
“Udah gue email ke lo, Rhe. Ada lagi yang bisa gue bantu?” Rhea mengangkat alisnya heran. Tetumben Kpopers melambai ini nawarin bantuan. Biasanya dia paling dulu ngacir kalau kerjaan udah kelar. “Biar lo tenang aja ntar.”
Ojan tau dia mau ke RS buat periksa karena beberapa kali Alfi mengingatkan dan merecokinya. Tidak begitu masalah karena yang Ojan tau hanyalah Raya dan Naya. Apalagi dua anak baru di depan. Nggak ada yang tahu siapa dia sebenarnya. Dia lumayan bisa bernafas lega karena di tempat kerja, dia benar-benar bisa menjadi dirinya sendiri tanpa bayang-bayang nama Azzam.
“Bener lo mau bantu?” Alfi mulai tersenyum jahil.
“Ogah kalo suruh ngecek gudang sekali lagi sekarang juga!” Dia membantah tegas. “Bagus lagi yang bisa gue bawa pulang.”
“Boleh rekapin daftar presensi mereka berdua? Kan masih manual. Adrian belum sempat setting kemarin.” Ojan mengangguk. “Minta di Alfi ya kartu presensi mereka.”
“Okay.”
“Makasih, Ojan. Sarangheyoo.”
Dia beranjak pergi diikuti Alfi yang kembali ke depan. Takut ada yang datang menebus resep atau beli obat.
“Hai, gue duluan ya. Kalo ada apa-apa, bilangnya sama Kak Alfi, ya.”
“Iya, Kak.”
Mereka menjawab kompak.
Rhea gemas dibuatnya. Mungkin kalau dulu pas freshgrad dia ikut cari kerja seperti teman-temannya yang lain, pasti dia juga begitu. Nempel dan kompak sama temen satu angkatan kerja.
Dia cuma berharap, tempatnya terbebas dari drama orang dewasa seperti saling julid, saling fitnah dan saling jilat. Amit-amit. Rhea bergidik ngeri.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved