Bab 3 TIGA
by Veedrya
09:56,Apr 01,2021
Huh?!
Seperti familiar wajahnya. Iya, tau dia pernah ketemu Naya duluuuu banget pas dia masih SMP (Baim dan Rhea-Raya terpaut lima tahun). Tapi dia memang nggak inget wajah Naya. Cuma inget samar-samar aja sosoknya. Tapi wajah ini…. Serius, nggak asing. Kayak baru kemarin lihatnya.
Rhea bingung.Tapi dia toh mengangguk pada Mamanya. Melihat sekali lagi foto separuh badan seorang cowok dibalut setelan jas.
Masalah penampilan, Naya tidak kalah dengan para model. Wajah? Rhea tidak punya banyak teman cowok, tapi Papa dan Baim, menurut Rhea, ganteng banget. Dan bersanding dengan mereka, Naya bisa dengan gampang ternotis. Tau artinya, kan? Badan? Baim badannya bagus karena hobi nge gym dari SMA. Kelihatannya sih, nggak kalah fit sama Baim. Style? Keren aja, sih, menurutnya.
“Nah, udah sampe. Kamu turun ya. Bilang reservasi atas nama Papa, biar dianter kamu ke Naya.”
Dan, dia memaki lagi dalam hati melihat tempat ketemuannya. Garden Resto! Sungguh perpaduan yang aduhai dengan high heels, iya kan, ladies?
“Mama tinggal dulu, ya, Sayang. Sukses buat Malam ini, Mama mengharap banyak sama kamu.”
***
“Dokter Naya?”
Pria berambut lurus, dengan potongan rapi dan berkacamata yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak.
Rhea menahan nafas. Dia beda sama di foto. Di fotonya ganteng. Ini… Foto emang suka nipu, sih. Kalo gue, cowok, dokter, dengan wajah kek gitu, nggak sudi gue di jodohin.
Rhea yakin seratus persen lelaki di depannya ini punya antrian cewek yang mengular di belakangnya.
Dia tinggi, mungkin sekitar 180an, dengan raut wajah tegas, mata tajam dan hidung bangir.
Sempurna. Itu yang terlintas di kepala Rhea saat mereka bersitatap. Tapi kenapa
cowok model begini mau aja dijodohin?
Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Membuatnya kikuk salah tingkah karena bengong.
“Saya Rhea. Putri Dokter Azzam.”
“Naya.” Dia berdiri dan mengulurkan tangan.
Kan bener, tinggi banget dia. Rhea bukan cewek mungil, dia termasuk tinggi untuk ukuran cewek Indonesia, 166 bukanlah ukuran cebol. Ditambah high heels 9 centi nya, dia masih harus mendongak banyak agar mata mereka tetap bertaut.
Ulurannya disambut singkat oleh Rhea sebelum menunjuk kursi kosong di depannya.
“Boleh ngobrol pake lo gue? Atau harus formal saya anda?”
“Senyamannya saja.”
“Oke. Thanks.”
Dia mengangguk puas. “Setau gue nama adeknya Baim itu Raya. Dan nama lo tadi… Rhea?
“Raya saudari kembar saya.”
Dia terlihat tertarik. Mungkin baru tau kalo mereka kembar. Karena Baim memang hanya hang out dengan Raya.
“Mau minum apa? Bentar lagi pesanan kita keluar, kok.” Dia menunjuk buku menu di samping kiri Rhea.
Dia mengangkat tangan memanggil waiters saat Rhea siap memesan. Dan, seperti yang bisa ditebak, waitersnya tersenyum saat Naya berbicara, tapi berubah ketus saat Rhea memesan. Yah, bukan sesuatu yang baru. Dia tidak kaget. Tapi tetap terasa menyebalkan.
“Dokter juga?”
Naya membuka percakapan setelah minumannya datang.
Rhea mengaduk minumannya pelan dan menahan poker face nya. Wajah andalannya saat berada di tengah orang-orang. “Bukan. Usaha apotik kecil-kecilan.” Jawabnya saat Naya diam, menunggu jawaban.
“Ah, nggak jauh-jauh dari garis keluarga. Emang udah bakat ya.”
Rhea hanya tersenyum.
“Kemaren gue liat adek lo di Mall HM. Kalian mirip ya. Hahaha ngomong apa gue, kan kalian kembar.”
Rhea memicingkan matanya bingung. Kemarin Raya ke HM juga?
Dan kebetulan saat itu Naya memutuskan untuk melepas kacamatanya, membuat Rhea terbelalak kaget. Ah! Iya! Cowok yang di Mall kemarin! Yang dia lihat lagi mesra-mesraan sama ceweknya! Rhea ingin memaki Naya saat itu juga, namun ditahannya sekuat tenaga.
“Yang lo liat gue. Bukan Raya. Gue jadi heran, kenapa cowok mapan yang udah punya pacar kaya lo tertarik banget sama perjodohan ini. Lo bisa nolak, tau.”
***
Rhea menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Capek! Kesel! Marah! Semua bercampur menjadi satu.
Lokasi resto yang di pilih Mama tidak berada di tengah kota ataupun tempat yang ramai. Mungkin maksudnya memang sengaja agar Naya dan Rhea bisa pulang bareng. Siapa yang tau kalau ternyata Rhea harus keluar resto dengan kepala mendidih dan memaki-maki di pinggir jalan karena taxi online tidak bisa sampai kesana dengan mudah sehingga dia harus berjalan sampai ke pinggir jalan raya yang hampir setengah kilo jaraknya.
Bukan masalah setengah kilonya! Tapi jalan pakai high heels yang membuat betisnya kebas saat ini! Mama juga menahan tasnya dan hanya memberikan dia ponsel. Untung dia rajin top up digital wallet nya, sehingga aman saja baginya untuk bertransaksi walaupun hanya membawa ponsel. Terimakasih sebesar-besarnya pada orang-orang yang menciptakan teknologi cashless.
Mengingat perjalanan pulangnya, membuatnya mengingat juga penyebab dia walk out seperti tadi. Dan itu membuatnya kesal luar biasa!
Si Naya Brengsek itu!!! Dia masih bisa mengingat jelas senyum miringnya saat dia tanpa basi basi menanyakan keberadaan pacarnya dan opsi untuk menolak perjodohan.
Dalam kasus biasanya, kalau orang itu sudah memiliki pacar dan berniat serius, seperti Raya misalnya, mereka pasti akan menolak situasi ini! Tapi si Brengsek itu malah menjawab dengan enteng seakan janji pernikahan hanyalah hal main-main!
“Gue emang punya pacar. Belum berniat putus juga. Tapi gue juga nggak berniat buat batalin perjodohan ini.” Katanya membuat Rhea terbengong kaget.
“Maksudnya?”
“Lo nggak dengan naifnya berharap kalau perjodohan seperti ini bakal berujung pada happy ending, kedua belah saling mencintai dan hidup bahagia selamanya kan?” Tanyanya masih dengan nada mencemooh.
Rhea harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak langsung membalas karena saat itu waiters memutuskan untuk menyajikan pesanan mereka.
“Kalau memang mau berusaha, hal itu bukannya nggak mungkin, kan?” Naya malah tertawa kencang, membuat Rhea marah. “Kalau nggak mau usaha, dan menerima kenyataan, ngapain dilanjutin? Nggak ada gunanya!”
Lagi-lagi dia ketawa. Dan Rhea benci mengakui kalau Naya ganteng pas ketawa. Walaupun lagi ketawa nyebelin kaya sekarang! Dia jadi jijik sama dirinya sendiri. Kesannya kayak jablay murahan! Pasti efek jomblo dari lahir deh!
“Kamu naifnya kebangetah hahahaha. Kita dijodohin, karena kita saling menguntungkan, Rhea. Gue untung, bokap lo juga untung. Dan seperti yang gue bilang tadi, gue nggak berniat buat batalin perjodohan ini.”
“Tapi lo punya pacar!” Rhea geram.
“Ya biarin aja. Nggak ada hubungannya gue punya pacar ato nggak. You can do the same. Tapi gue bakalan baek-baek sama lo. Janji.” Dia tersenyum, yang walaupun terlihat tulus, malah makin membuat Rhea muak.
“Brengsek!”
Dia melempar isi gelasnya pada lelaki di depannya ini. Lalu berderap keluar restoran, yang anehnya, tidak seperti saat dia datang tadi, tanpa kesusahan.
Dan sekarang, dengan betis nyeri dan kram luar biasa, dia rebahan di atas ranjangnya.
Sendirian. Bertanya-tanya. Setelah ini apa lagi Tuhan, kenapa orang-orang tidak ingin berhenti bermain-main dengan hidupnya? Pertama orang tuanya, lalu sekarang, calon suaminya?
Apa usahanya belum cukupkah dia untuk boleh merasa bahagia?
Seperti familiar wajahnya. Iya, tau dia pernah ketemu Naya duluuuu banget pas dia masih SMP (Baim dan Rhea-Raya terpaut lima tahun). Tapi dia memang nggak inget wajah Naya. Cuma inget samar-samar aja sosoknya. Tapi wajah ini…. Serius, nggak asing. Kayak baru kemarin lihatnya.
Rhea bingung.Tapi dia toh mengangguk pada Mamanya. Melihat sekali lagi foto separuh badan seorang cowok dibalut setelan jas.
Masalah penampilan, Naya tidak kalah dengan para model. Wajah? Rhea tidak punya banyak teman cowok, tapi Papa dan Baim, menurut Rhea, ganteng banget. Dan bersanding dengan mereka, Naya bisa dengan gampang ternotis. Tau artinya, kan? Badan? Baim badannya bagus karena hobi nge gym dari SMA. Kelihatannya sih, nggak kalah fit sama Baim. Style? Keren aja, sih, menurutnya.
“Nah, udah sampe. Kamu turun ya. Bilang reservasi atas nama Papa, biar dianter kamu ke Naya.”
Dan, dia memaki lagi dalam hati melihat tempat ketemuannya. Garden Resto! Sungguh perpaduan yang aduhai dengan high heels, iya kan, ladies?
“Mama tinggal dulu, ya, Sayang. Sukses buat Malam ini, Mama mengharap banyak sama kamu.”
***
“Dokter Naya?”
Pria berambut lurus, dengan potongan rapi dan berkacamata yang sedang sibuk dengan ponselnya itu mendongak.
Rhea menahan nafas. Dia beda sama di foto. Di fotonya ganteng. Ini… Foto emang suka nipu, sih. Kalo gue, cowok, dokter, dengan wajah kek gitu, nggak sudi gue di jodohin.
Rhea yakin seratus persen lelaki di depannya ini punya antrian cewek yang mengular di belakangnya.
Dia tinggi, mungkin sekitar 180an, dengan raut wajah tegas, mata tajam dan hidung bangir.
Sempurna. Itu yang terlintas di kepala Rhea saat mereka bersitatap. Tapi kenapa
cowok model begini mau aja dijodohin?
Lelaki itu mengangkat sebelah alisnya. Membuatnya kikuk salah tingkah karena bengong.
“Saya Rhea. Putri Dokter Azzam.”
“Naya.” Dia berdiri dan mengulurkan tangan.
Kan bener, tinggi banget dia. Rhea bukan cewek mungil, dia termasuk tinggi untuk ukuran cewek Indonesia, 166 bukanlah ukuran cebol. Ditambah high heels 9 centi nya, dia masih harus mendongak banyak agar mata mereka tetap bertaut.
Ulurannya disambut singkat oleh Rhea sebelum menunjuk kursi kosong di depannya.
“Boleh ngobrol pake lo gue? Atau harus formal saya anda?”
“Senyamannya saja.”
“Oke. Thanks.”
Dia mengangguk puas. “Setau gue nama adeknya Baim itu Raya. Dan nama lo tadi… Rhea?
“Raya saudari kembar saya.”
Dia terlihat tertarik. Mungkin baru tau kalo mereka kembar. Karena Baim memang hanya hang out dengan Raya.
“Mau minum apa? Bentar lagi pesanan kita keluar, kok.” Dia menunjuk buku menu di samping kiri Rhea.
Dia mengangkat tangan memanggil waiters saat Rhea siap memesan. Dan, seperti yang bisa ditebak, waitersnya tersenyum saat Naya berbicara, tapi berubah ketus saat Rhea memesan. Yah, bukan sesuatu yang baru. Dia tidak kaget. Tapi tetap terasa menyebalkan.
“Dokter juga?”
Naya membuka percakapan setelah minumannya datang.
Rhea mengaduk minumannya pelan dan menahan poker face nya. Wajah andalannya saat berada di tengah orang-orang. “Bukan. Usaha apotik kecil-kecilan.” Jawabnya saat Naya diam, menunggu jawaban.
“Ah, nggak jauh-jauh dari garis keluarga. Emang udah bakat ya.”
Rhea hanya tersenyum.
“Kemaren gue liat adek lo di Mall HM. Kalian mirip ya. Hahaha ngomong apa gue, kan kalian kembar.”
Rhea memicingkan matanya bingung. Kemarin Raya ke HM juga?
Dan kebetulan saat itu Naya memutuskan untuk melepas kacamatanya, membuat Rhea terbelalak kaget. Ah! Iya! Cowok yang di Mall kemarin! Yang dia lihat lagi mesra-mesraan sama ceweknya! Rhea ingin memaki Naya saat itu juga, namun ditahannya sekuat tenaga.
“Yang lo liat gue. Bukan Raya. Gue jadi heran, kenapa cowok mapan yang udah punya pacar kaya lo tertarik banget sama perjodohan ini. Lo bisa nolak, tau.”
***
Rhea menghempaskan tubuhnya ke atas ranjang. Capek! Kesel! Marah! Semua bercampur menjadi satu.
Lokasi resto yang di pilih Mama tidak berada di tengah kota ataupun tempat yang ramai. Mungkin maksudnya memang sengaja agar Naya dan Rhea bisa pulang bareng. Siapa yang tau kalau ternyata Rhea harus keluar resto dengan kepala mendidih dan memaki-maki di pinggir jalan karena taxi online tidak bisa sampai kesana dengan mudah sehingga dia harus berjalan sampai ke pinggir jalan raya yang hampir setengah kilo jaraknya.
Bukan masalah setengah kilonya! Tapi jalan pakai high heels yang membuat betisnya kebas saat ini! Mama juga menahan tasnya dan hanya memberikan dia ponsel. Untung dia rajin top up digital wallet nya, sehingga aman saja baginya untuk bertransaksi walaupun hanya membawa ponsel. Terimakasih sebesar-besarnya pada orang-orang yang menciptakan teknologi cashless.
Mengingat perjalanan pulangnya, membuatnya mengingat juga penyebab dia walk out seperti tadi. Dan itu membuatnya kesal luar biasa!
Si Naya Brengsek itu!!! Dia masih bisa mengingat jelas senyum miringnya saat dia tanpa basi basi menanyakan keberadaan pacarnya dan opsi untuk menolak perjodohan.
Dalam kasus biasanya, kalau orang itu sudah memiliki pacar dan berniat serius, seperti Raya misalnya, mereka pasti akan menolak situasi ini! Tapi si Brengsek itu malah menjawab dengan enteng seakan janji pernikahan hanyalah hal main-main!
“Gue emang punya pacar. Belum berniat putus juga. Tapi gue juga nggak berniat buat batalin perjodohan ini.” Katanya membuat Rhea terbengong kaget.
“Maksudnya?”
“Lo nggak dengan naifnya berharap kalau perjodohan seperti ini bakal berujung pada happy ending, kedua belah saling mencintai dan hidup bahagia selamanya kan?” Tanyanya masih dengan nada mencemooh.
Rhea harus menahan diri sekuat tenaga untuk tidak langsung membalas karena saat itu waiters memutuskan untuk menyajikan pesanan mereka.
“Kalau memang mau berusaha, hal itu bukannya nggak mungkin, kan?” Naya malah tertawa kencang, membuat Rhea marah. “Kalau nggak mau usaha, dan menerima kenyataan, ngapain dilanjutin? Nggak ada gunanya!”
Lagi-lagi dia ketawa. Dan Rhea benci mengakui kalau Naya ganteng pas ketawa. Walaupun lagi ketawa nyebelin kaya sekarang! Dia jadi jijik sama dirinya sendiri. Kesannya kayak jablay murahan! Pasti efek jomblo dari lahir deh!
“Kamu naifnya kebangetah hahahaha. Kita dijodohin, karena kita saling menguntungkan, Rhea. Gue untung, bokap lo juga untung. Dan seperti yang gue bilang tadi, gue nggak berniat buat batalin perjodohan ini.”
“Tapi lo punya pacar!” Rhea geram.
“Ya biarin aja. Nggak ada hubungannya gue punya pacar ato nggak. You can do the same. Tapi gue bakalan baek-baek sama lo. Janji.” Dia tersenyum, yang walaupun terlihat tulus, malah makin membuat Rhea muak.
“Brengsek!”
Dia melempar isi gelasnya pada lelaki di depannya ini. Lalu berderap keluar restoran, yang anehnya, tidak seperti saat dia datang tadi, tanpa kesusahan.
Dan sekarang, dengan betis nyeri dan kram luar biasa, dia rebahan di atas ranjangnya.
Sendirian. Bertanya-tanya. Setelah ini apa lagi Tuhan, kenapa orang-orang tidak ingin berhenti bermain-main dengan hidupnya? Pertama orang tuanya, lalu sekarang, calon suaminya?
Apa usahanya belum cukupkah dia untuk boleh merasa bahagia?
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved