Bab 1 SATU
by Veedrya
09:54,Apr 01,2021
"Rhe, masih banyak pada nanyain imboost sama ibuprofen, nih! Stock di gudang habis, pengiriman masih dua hari lagi!"
Rhea, gadis berambut panjang diekor kuda yang sedang sibuk dengan laporan stock dan keuangan menoleh.
"Gue cek dulu toko yang di Untung Suropati. Suruh inden dulu deh, nanti kalo ada kita hubungin, paling cepet besok, gitu!" Jawabnya setengah berteriak karena suara hujan nyaris menenggelamkan apa saja yang ingin lebih keras daripadanya.
"Oke!" Alfi, apoteker yang bekerja di sana menjawab sebelum akhirnya menghilang di balik pintu geser.
Dia memijat batang hidungnya dan meraih ponsel di sebelah kanannya. Duh, musim pancaroba gini, hampir semua apotik kehabisan stock obat flu, penambah daya tahan tubuh dan vitamin. Termasuk apotik yang dikelolanya bersama sahabat apotekernya Adrian.
"Yan! Masih ada stok ibuprofen sama Imboost gak di sana?" Cerocosnya bahkan sebelum orang di seberang mengucapkan halo.
"Waalaikumsalam yaa Ukhti, semoga rahmat dan keberkahan Allah selalu bersamamu." Rhea nyaris menjedotkan kepalanya ke meja mendengar sahabatnya itu menjawab dengan salam santai, bahkan mendoakan keselamatannya. "Stock menipis di sini, tapi masih ada sih. Jadwal pengiriman masih dua hari lagi kan?"
"Di sini abis nih, bagi dong separo."
"Lah, tinggal dikit aja di sini, sumpah! Eh, maksudnya beneran. Sori, eh afwan, Sayang."
Rhea nyaris terkekeh mendengarnya. Pasti si Adrian sedang ditegur oleh istrinya yang kebetulan juga penjaga toko di apotek sana. Semenjak menikah enam bulan lalu, nggak ding, sebenarnya sejak taaruf hampir setahun lalu, Adrian sedang merubah penampilan dan perilaku. Katanya hijrah ke jalan yang benar. Rhea tidak pernah keberatan dengan hal itu.
"Ih, udah bagi aja dikit. Kesian pembeli gue!"
Adrian terdiam agak lama, di latar belakang, Rhea mendengar suara bisik-bisik. Mungkin berdiskusi dengan pencatat stock.
"Ya udah deh, nanti dianter. Dikit tapi ya."
"Sip, makasih."
Dia mematikan sambungan. Lalu mencatat di memo untuk Alfi dan Ojan, pencatat stock, sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Arhea namanya, lengkapnya Arhea Nindya Azzam. Putri kedua keluarga Dokter Azzam yang memiliki klinik bersalin dan rumah sakit yang lumayan terpandang di kotanya. Bersama sahabatnya Adrian yang seorang apoteker, mereka mendirikan apotik. Yang kini sudah lumayan berkembang dan memiliki dua cabang.
Sukses dengan usahanya di usia 26 tahun. Bagi orang lain, dia adalah teladan, bagi keluarganya, dia adalah aib dan kesalahan. Seseorang yang tidak terlihat eksistensinya.
***
Hujan masih belum ingin berhenti malam itu hingga jam tutup apotek, jam 10 malam. Dia dan Alfi menunggu hujan reda di dalam toko. Ojan sudah lama pulang, dia ada janji kencan, sehingga nekat menerobos hujan menggunakan jas hujan.
Seharusnya dia sudah pulang jam 5 tadi, tapi hujan yang tidak berhenti turun membuatnya malas pulang mengendarai motor maticnya.
Males hujan-hujanan, paling bentar lagi reda. Begitu mantra yang diucapnya berkali-kali dari tadi sore.
"Lo gak papa belom pulang jam segini? Biasanya Nyonya besar nyariin." Alfi menegur. Nyonya besar adalah panggilan para pegawainya untuk Mamanya.
"Udah gue chat sih tadi. Masih ujan. Males basah-basahan." Jawabnya santai masih sibuk scrolling social medianya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, telpon dari Raya, saudari kembarnya.
"Ya, Ra?"
"Lo udah pulang?"
"Belom, masih deres banget disini."
"Gue barusan selesai, nih. Mau gue jemput? Sekalian temenin gue makan bakmi jawa." tambahnya cepat-cepat.
"Oke. Gue tunggu ya." Lumayan, dia nggak akan kehujanan karena Raya membawa mobil.
"Lima belas menit!"
Sambungan pun terputus.
"Fi, gue mau dijemput Raya, nih. Lo gimana? Mau bareng?"
"Nggak, gue naek motor aja. Gue ada jas ujan. Ini cuma nungguin lo, kok hehehe."
Rhea kaget, lalu menoyor pundak Alfi gemas. Jadi nggak enak kan dia, diperhatiin gini sama pegawainya.
Tepat lima belas menit kemudian, suara klakson terdengar di depan toko. Mereka bergegas mematikan lampu dan menurunkan rolling door sebelum menguncinya. Tak berselang lama, Rhea sudah berada di mobil kembarannya.
"Yuk! Makan dimana?"
"Bakmi Pak Yadi yang biasa, ya?"
"Traktir, ya?"
"Siaap!"
Bukan rahasia umum jika Rhea tidak terlalu menyukai kekangan Papanya. Selalu memberontak kapanpun ada kesempatan. Hobi beradu mulut dengan Mama dan bahkan tidak pernah akur dengan abangnya, Dokter Ibrahim. Tapi, dia sayang banget sama kembarannya, Raya. Semua, apapun itu yg Raya minta selalu dia usahakan dan dia penuhi. Hal yang juga dilakukan oleh seluruh keluarganya.
Karena Raya, adalah anak emas mereka. Lebih kalem, selalu menuruti apa kata Papa Mama, lebih unggul dibidang akademik, dan tentu saja, karir. Di usianya yang ke 26 tahun, Raya sudah menggondol gelar spesialis anak. Walaupun belum lama di dapatnya. Baru lulus sekitar tiga bulan yang lalu melalui jalur percepatan studi. Kebayang kan, encernya otak Raya, padahal orang lain yang udah pinter butuh waktu kurang lebih 9 tahun untuk menjadi dokter spesialis.
Sangat cocok untuk diakui sebagai anggota keluarga Azzam; Ayahnya yang seorang spesialis jantung, abangnya yang spesialis syaraf dan Mamanya yang dokter mata.
Gelar Rhea yang seorang Master di bidang Business & Marketing tidak pernah dianggap setara oleh keluarganya. Gelar yang terlalu biasa, walaupun saat sarjana dan magister selalu menyabet gelar summa cumlaude.
***
Mereka sampai di warung bakmi langganan Raya. Seperti biasa, ramai walaupun hujan deras masih setia mengguyur.
Raya langsung menghampiri Bu Yadi yang setia menemani sang suami berjualan.
"Neng Kembar! Kaya biasanya?" Sapanya ramah, karena memang Raya sudah langganan disana. Nggak selalu datang bersama Rhea. Tapi dimana-nama anak kembar memang selalu menarik perhatian.
"Lo ada tambahan nggak, Rhe?" Tanyanya pada Rhea yang sudah pewe duduk di satu-satunya bangku kosong disana.
"Sate jeroan, dong! Sama wedang uwuh yak. Dingin."
Raya menyampaikan pesananannya dan langsung membayar sebelum menyusul Rhea duduk. Mukanya yang lelah bercampur suntuk tertangkap netra Rhea.
"Ada kejadian di Klinik?"
Sebenarnya lebih tepat disebut rumah sakit daripada klinik, tapi menyesuaikan namanya, mereka menyebut klinik untuk semua chain rumah kesehatan yang menjadi usaha Papa dan Mama.
"Nggak, tapi barusan Papa nyinggung soal itu lagi." Jawabnya masih dengan nada bete.
Perjodohan itu lagi. Papa belum menyerah soal itu. Sejak kelulusan Raya dari studi dokternya lima tahun tahun lalu, beliau seakan berambisi untuk menjodohkannya dengan anak didik kesayangannya, sekaligus sahabat abangnya, dokter Naya.
Orangnya ganteng. Boyfriend material. Rhea tidak terlalu mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu dulu. Itupun kebetulan pas dia keluar kamar dan kebetulan si dokter itu main ketemu Baim, abangnya. Dia anak didik yang selalu dibanggakan Papa karena prestasinya yang gemilang di usia muda. Bidangnya yang seorang hematolog membuat dia sering tandem dengan Papa saat operasi jantung.
"Martin gimana?" Rhea menyinggung pacar Raya sejak SMA. Satu-satunya yg tak pernah tergantikan. Setau Rhea.
"Martin bukannya nggak mau lamar, Rhe. Tapi gue yang belum mau nikah. Gue masih punya banyak hal yang pengen gue wujudin. Mumpung masih muda." Jawabnya lesu.
Dari awal Raya memang tidak tertarik mewarisi bisnis kesehatan Papa. Padahal jika Baim, abangnya, sendirian yang mengurusi, pasti akan kewalahan.
Karena minimnya opsi inilah, keputusan Rhea untuk tidak terjun menjadi tenaga kesehatan sering dijadikan bulan-bulanan di keluarganya.
Tapi Rhea tidak ingin merasa menyesal. Dia bagus dalam hal yang digelutinya sekarang dan ingin tetap seperti itu. Dia ingin melakukan hal yang dia suka sepenuh hati, bukan dipaksa untuk menyukai kesukaan orang lain lagi. Seperti yang dilakukannya hampir sepanjang hidupnya. Dan ternyata sia-sia
"Ngobrol aja baik-baik sama Papa. Opsinya emang cuma nikah aja?"
"Karena Papa nggak mau lepasin kliniknya ke pasar bebas. Nggak bisa kontrol kualitas katanya."
Bener juga. Tapi apa harus sekolot ini, menurunkan kepada pewaris dengan jalan pernikahan? Padahal Papa punya banyak orang kepercayaan yang bisa meringankan pekerjaannya.
"Makan dulu, pikir nanti lagi."
Mereka kompak memutuskan saat bakmi pesanan mereka datang.
***
Mereka sampai rumah hampir tengah malam. Dilihatnya di parkiran sudah terparkir mobil Abang dan Papanya. Abangnya dan Raya masing-masing memiliki mobil hadiah kelulusan dari Papanya. Rhea? Hanya sepeda motor matic yang dia peroleh dari hasil menabung. Dia ada mobil, tapi inventaris kantor, yang sekarang seringnya dibawa Adrian.
Iri? Biasa aja sih. Sudah biasa.
“Besok jangan berangkat pagi banget yaa.” Pinta Raya saat turun dari mobil. Rhea mengerutkan alis bingung. “Lo harus ikut sarapan. Bantuin gue alihin perhatian Papa kalo masalah perjodohan ini diungkit-ungkit lagi.”
Ha? Dia bisa apa? Perkataan Papa di rumah ini bagaikan titah raja. Haram ditolak. Tapi toh dia mengangguk juga. Karena Raya yang meminta.
Mereka masuk berbarengan karena kamar mereka bersebelahan di lantai dua, bersebrangan dengan kamar Abangnya.
“Lo mau mandi duluan?” Tanyanya.
“Iya nih, gerah. Padahal ujan masih sisa gerimis gini tapi gue udah mandi keringat.” Jawab Raya.
Kamar mereka berbagi kamar mandi. Mereka harus gantian menggunakannya, tapi toh mereka tidak keberatan. Dulu waktu kecil mereka sering bermain tebak-tebakan dan telepati, seperti sekarang siapa yang berada di kamar mandi dan akan berapa lama.
Rhea masuk ke kamarnya, memastikan semua pintu terkunci sebelum mengeluarkan obat dari laci mejanya dan meminumnya. Ini adalah rahasianya yang dia simpan sendiri sejak kelas dua SMA. Dia menunggu sejenak sambil duduk hingga pening di kepalanya berkurang.
Setelah beberapa saat, ketukan Raya di pintu kamar mandi terdengar.
“Rhe, gue udah selesai.”
“Iya, bentar lagi gue masuk. Langsung istirahat ya.”
***
Rhea duduk di sebelah Raya dengan canggung. Semua yang disana hanya melirik sekilas lalu melanjutkan sarapan ketika dia datang. Protes? Oh, tidak. Ini sudah biasa. Dia menelan kekecewaannya dan memulai sarapannya dengan tenang.
“Raya.” Papanya memanggil. “Sudah dipikirkan apa yang kita bicarakan kemarin?”
Raya merengut di kursinya. “Pa, Raya kan udah bilang. Raya belum mau nikah dulu. Lagian, Raya udah punya Martin. Emang ini tahun berapa sih masih aja jaman jodoh-jodohan.”
“Nak, Ini bukan masalah jaman Siti Nurbaya.” Mamanya menyela. “Ini tentang SDM yang tepat untuk keluarga kita.”
“Kan nggak harus dengan nikah juga.” Raya teguh dengan pendiriannya.
“Baim nggak mungkin sanggup mengelola semuanya. Dan kamu butuh seorang pendamping yang tepat untuk membantu Baim.” Abangnya hanya menatap sekilas pada Raya yang semakin tidak tertarik.
“Jawaban Raya tetep nggak.”
“Kalo Naya cewek, dijodohinnya udah sama Baim. Tapi kan dia cowok, Sayang. Baim juga udah punya calon.” Mamanya masih berusaha membujuk.
“Raya juga udah punya calon, kalo Mama lupa.”
Rhea mencoba tidak terpengaruh dengan perdebatan ini. Dirinya jarang sekali ikut berkumpul di meja ini. Bukan karena terlalu sibuk, tapi karena lebih baik begitu demi kewarasan semua orang. Karena jelas Papa dan Baim tidak terlalu senang dengan kehadirannya di sini.
“Pa, kalau Raya nggak mau jangan dipaksa.” Baim membela.
“Naya itu kandidat yang sangat cocok.” Papa seperti berbicara sendiri.
“Putri Papa kan bukan Raya aja.”
Rhea merasakan meja makan mendadak hening, dan semua mata terarah padanya.
Dia mengangkat alisnya pada Raya, yang dibalas dengan kedikan bahu.
“Rhea kenapa, Ma?” Dia akhirnya bertanya sendiri.
“Rhea tau Naya, kan?”
“Temennya Abang?” Rhea melirik Baim yang balas menatapnya datar.
“Rhea besok malam luangin waktu ya, buat ketemu dia sebentar.”
“Hah?”
Rhea, gadis berambut panjang diekor kuda yang sedang sibuk dengan laporan stock dan keuangan menoleh.
"Gue cek dulu toko yang di Untung Suropati. Suruh inden dulu deh, nanti kalo ada kita hubungin, paling cepet besok, gitu!" Jawabnya setengah berteriak karena suara hujan nyaris menenggelamkan apa saja yang ingin lebih keras daripadanya.
"Oke!" Alfi, apoteker yang bekerja di sana menjawab sebelum akhirnya menghilang di balik pintu geser.
Dia memijat batang hidungnya dan meraih ponsel di sebelah kanannya. Duh, musim pancaroba gini, hampir semua apotik kehabisan stock obat flu, penambah daya tahan tubuh dan vitamin. Termasuk apotik yang dikelolanya bersama sahabat apotekernya Adrian.
"Yan! Masih ada stok ibuprofen sama Imboost gak di sana?" Cerocosnya bahkan sebelum orang di seberang mengucapkan halo.
"Waalaikumsalam yaa Ukhti, semoga rahmat dan keberkahan Allah selalu bersamamu." Rhea nyaris menjedotkan kepalanya ke meja mendengar sahabatnya itu menjawab dengan salam santai, bahkan mendoakan keselamatannya. "Stock menipis di sini, tapi masih ada sih. Jadwal pengiriman masih dua hari lagi kan?"
"Di sini abis nih, bagi dong separo."
"Lah, tinggal dikit aja di sini, sumpah! Eh, maksudnya beneran. Sori, eh afwan, Sayang."
Rhea nyaris terkekeh mendengarnya. Pasti si Adrian sedang ditegur oleh istrinya yang kebetulan juga penjaga toko di apotek sana. Semenjak menikah enam bulan lalu, nggak ding, sebenarnya sejak taaruf hampir setahun lalu, Adrian sedang merubah penampilan dan perilaku. Katanya hijrah ke jalan yang benar. Rhea tidak pernah keberatan dengan hal itu.
"Ih, udah bagi aja dikit. Kesian pembeli gue!"
Adrian terdiam agak lama, di latar belakang, Rhea mendengar suara bisik-bisik. Mungkin berdiskusi dengan pencatat stock.
"Ya udah deh, nanti dianter. Dikit tapi ya."
"Sip, makasih."
Dia mematikan sambungan. Lalu mencatat di memo untuk Alfi dan Ojan, pencatat stock, sebelum melanjutkan pekerjaannya.
Arhea namanya, lengkapnya Arhea Nindya Azzam. Putri kedua keluarga Dokter Azzam yang memiliki klinik bersalin dan rumah sakit yang lumayan terpandang di kotanya. Bersama sahabatnya Adrian yang seorang apoteker, mereka mendirikan apotik. Yang kini sudah lumayan berkembang dan memiliki dua cabang.
Sukses dengan usahanya di usia 26 tahun. Bagi orang lain, dia adalah teladan, bagi keluarganya, dia adalah aib dan kesalahan. Seseorang yang tidak terlihat eksistensinya.
***
Hujan masih belum ingin berhenti malam itu hingga jam tutup apotek, jam 10 malam. Dia dan Alfi menunggu hujan reda di dalam toko. Ojan sudah lama pulang, dia ada janji kencan, sehingga nekat menerobos hujan menggunakan jas hujan.
Seharusnya dia sudah pulang jam 5 tadi, tapi hujan yang tidak berhenti turun membuatnya malas pulang mengendarai motor maticnya.
Males hujan-hujanan, paling bentar lagi reda. Begitu mantra yang diucapnya berkali-kali dari tadi sore.
"Lo gak papa belom pulang jam segini? Biasanya Nyonya besar nyariin." Alfi menegur. Nyonya besar adalah panggilan para pegawainya untuk Mamanya.
"Udah gue chat sih tadi. Masih ujan. Males basah-basahan." Jawabnya santai masih sibuk scrolling social medianya.
Tiba-tiba ponselnya berbunyi, telpon dari Raya, saudari kembarnya.
"Ya, Ra?"
"Lo udah pulang?"
"Belom, masih deres banget disini."
"Gue barusan selesai, nih. Mau gue jemput? Sekalian temenin gue makan bakmi jawa." tambahnya cepat-cepat.
"Oke. Gue tunggu ya." Lumayan, dia nggak akan kehujanan karena Raya membawa mobil.
"Lima belas menit!"
Sambungan pun terputus.
"Fi, gue mau dijemput Raya, nih. Lo gimana? Mau bareng?"
"Nggak, gue naek motor aja. Gue ada jas ujan. Ini cuma nungguin lo, kok hehehe."
Rhea kaget, lalu menoyor pundak Alfi gemas. Jadi nggak enak kan dia, diperhatiin gini sama pegawainya.
Tepat lima belas menit kemudian, suara klakson terdengar di depan toko. Mereka bergegas mematikan lampu dan menurunkan rolling door sebelum menguncinya. Tak berselang lama, Rhea sudah berada di mobil kembarannya.
"Yuk! Makan dimana?"
"Bakmi Pak Yadi yang biasa, ya?"
"Traktir, ya?"
"Siaap!"
Bukan rahasia umum jika Rhea tidak terlalu menyukai kekangan Papanya. Selalu memberontak kapanpun ada kesempatan. Hobi beradu mulut dengan Mama dan bahkan tidak pernah akur dengan abangnya, Dokter Ibrahim. Tapi, dia sayang banget sama kembarannya, Raya. Semua, apapun itu yg Raya minta selalu dia usahakan dan dia penuhi. Hal yang juga dilakukan oleh seluruh keluarganya.
Karena Raya, adalah anak emas mereka. Lebih kalem, selalu menuruti apa kata Papa Mama, lebih unggul dibidang akademik, dan tentu saja, karir. Di usianya yang ke 26 tahun, Raya sudah menggondol gelar spesialis anak. Walaupun belum lama di dapatnya. Baru lulus sekitar tiga bulan yang lalu melalui jalur percepatan studi. Kebayang kan, encernya otak Raya, padahal orang lain yang udah pinter butuh waktu kurang lebih 9 tahun untuk menjadi dokter spesialis.
Sangat cocok untuk diakui sebagai anggota keluarga Azzam; Ayahnya yang seorang spesialis jantung, abangnya yang spesialis syaraf dan Mamanya yang dokter mata.
Gelar Rhea yang seorang Master di bidang Business & Marketing tidak pernah dianggap setara oleh keluarganya. Gelar yang terlalu biasa, walaupun saat sarjana dan magister selalu menyabet gelar summa cumlaude.
***
Mereka sampai di warung bakmi langganan Raya. Seperti biasa, ramai walaupun hujan deras masih setia mengguyur.
Raya langsung menghampiri Bu Yadi yang setia menemani sang suami berjualan.
"Neng Kembar! Kaya biasanya?" Sapanya ramah, karena memang Raya sudah langganan disana. Nggak selalu datang bersama Rhea. Tapi dimana-nama anak kembar memang selalu menarik perhatian.
"Lo ada tambahan nggak, Rhe?" Tanyanya pada Rhea yang sudah pewe duduk di satu-satunya bangku kosong disana.
"Sate jeroan, dong! Sama wedang uwuh yak. Dingin."
Raya menyampaikan pesananannya dan langsung membayar sebelum menyusul Rhea duduk. Mukanya yang lelah bercampur suntuk tertangkap netra Rhea.
"Ada kejadian di Klinik?"
Sebenarnya lebih tepat disebut rumah sakit daripada klinik, tapi menyesuaikan namanya, mereka menyebut klinik untuk semua chain rumah kesehatan yang menjadi usaha Papa dan Mama.
"Nggak, tapi barusan Papa nyinggung soal itu lagi." Jawabnya masih dengan nada bete.
Perjodohan itu lagi. Papa belum menyerah soal itu. Sejak kelulusan Raya dari studi dokternya lima tahun tahun lalu, beliau seakan berambisi untuk menjodohkannya dengan anak didik kesayangannya, sekaligus sahabat abangnya, dokter Naya.
Orangnya ganteng. Boyfriend material. Rhea tidak terlalu mengenalnya, hanya pernah beberapa kali bertemu dulu. Itupun kebetulan pas dia keluar kamar dan kebetulan si dokter itu main ketemu Baim, abangnya. Dia anak didik yang selalu dibanggakan Papa karena prestasinya yang gemilang di usia muda. Bidangnya yang seorang hematolog membuat dia sering tandem dengan Papa saat operasi jantung.
"Martin gimana?" Rhea menyinggung pacar Raya sejak SMA. Satu-satunya yg tak pernah tergantikan. Setau Rhea.
"Martin bukannya nggak mau lamar, Rhe. Tapi gue yang belum mau nikah. Gue masih punya banyak hal yang pengen gue wujudin. Mumpung masih muda." Jawabnya lesu.
Dari awal Raya memang tidak tertarik mewarisi bisnis kesehatan Papa. Padahal jika Baim, abangnya, sendirian yang mengurusi, pasti akan kewalahan.
Karena minimnya opsi inilah, keputusan Rhea untuk tidak terjun menjadi tenaga kesehatan sering dijadikan bulan-bulanan di keluarganya.
Tapi Rhea tidak ingin merasa menyesal. Dia bagus dalam hal yang digelutinya sekarang dan ingin tetap seperti itu. Dia ingin melakukan hal yang dia suka sepenuh hati, bukan dipaksa untuk menyukai kesukaan orang lain lagi. Seperti yang dilakukannya hampir sepanjang hidupnya. Dan ternyata sia-sia
"Ngobrol aja baik-baik sama Papa. Opsinya emang cuma nikah aja?"
"Karena Papa nggak mau lepasin kliniknya ke pasar bebas. Nggak bisa kontrol kualitas katanya."
Bener juga. Tapi apa harus sekolot ini, menurunkan kepada pewaris dengan jalan pernikahan? Padahal Papa punya banyak orang kepercayaan yang bisa meringankan pekerjaannya.
"Makan dulu, pikir nanti lagi."
Mereka kompak memutuskan saat bakmi pesanan mereka datang.
***
Mereka sampai rumah hampir tengah malam. Dilihatnya di parkiran sudah terparkir mobil Abang dan Papanya. Abangnya dan Raya masing-masing memiliki mobil hadiah kelulusan dari Papanya. Rhea? Hanya sepeda motor matic yang dia peroleh dari hasil menabung. Dia ada mobil, tapi inventaris kantor, yang sekarang seringnya dibawa Adrian.
Iri? Biasa aja sih. Sudah biasa.
“Besok jangan berangkat pagi banget yaa.” Pinta Raya saat turun dari mobil. Rhea mengerutkan alis bingung. “Lo harus ikut sarapan. Bantuin gue alihin perhatian Papa kalo masalah perjodohan ini diungkit-ungkit lagi.”
Ha? Dia bisa apa? Perkataan Papa di rumah ini bagaikan titah raja. Haram ditolak. Tapi toh dia mengangguk juga. Karena Raya yang meminta.
Mereka masuk berbarengan karena kamar mereka bersebelahan di lantai dua, bersebrangan dengan kamar Abangnya.
“Lo mau mandi duluan?” Tanyanya.
“Iya nih, gerah. Padahal ujan masih sisa gerimis gini tapi gue udah mandi keringat.” Jawab Raya.
Kamar mereka berbagi kamar mandi. Mereka harus gantian menggunakannya, tapi toh mereka tidak keberatan. Dulu waktu kecil mereka sering bermain tebak-tebakan dan telepati, seperti sekarang siapa yang berada di kamar mandi dan akan berapa lama.
Rhea masuk ke kamarnya, memastikan semua pintu terkunci sebelum mengeluarkan obat dari laci mejanya dan meminumnya. Ini adalah rahasianya yang dia simpan sendiri sejak kelas dua SMA. Dia menunggu sejenak sambil duduk hingga pening di kepalanya berkurang.
Setelah beberapa saat, ketukan Raya di pintu kamar mandi terdengar.
“Rhe, gue udah selesai.”
“Iya, bentar lagi gue masuk. Langsung istirahat ya.”
***
Rhea duduk di sebelah Raya dengan canggung. Semua yang disana hanya melirik sekilas lalu melanjutkan sarapan ketika dia datang. Protes? Oh, tidak. Ini sudah biasa. Dia menelan kekecewaannya dan memulai sarapannya dengan tenang.
“Raya.” Papanya memanggil. “Sudah dipikirkan apa yang kita bicarakan kemarin?”
Raya merengut di kursinya. “Pa, Raya kan udah bilang. Raya belum mau nikah dulu. Lagian, Raya udah punya Martin. Emang ini tahun berapa sih masih aja jaman jodoh-jodohan.”
“Nak, Ini bukan masalah jaman Siti Nurbaya.” Mamanya menyela. “Ini tentang SDM yang tepat untuk keluarga kita.”
“Kan nggak harus dengan nikah juga.” Raya teguh dengan pendiriannya.
“Baim nggak mungkin sanggup mengelola semuanya. Dan kamu butuh seorang pendamping yang tepat untuk membantu Baim.” Abangnya hanya menatap sekilas pada Raya yang semakin tidak tertarik.
“Jawaban Raya tetep nggak.”
“Kalo Naya cewek, dijodohinnya udah sama Baim. Tapi kan dia cowok, Sayang. Baim juga udah punya calon.” Mamanya masih berusaha membujuk.
“Raya juga udah punya calon, kalo Mama lupa.”
Rhea mencoba tidak terpengaruh dengan perdebatan ini. Dirinya jarang sekali ikut berkumpul di meja ini. Bukan karena terlalu sibuk, tapi karena lebih baik begitu demi kewarasan semua orang. Karena jelas Papa dan Baim tidak terlalu senang dengan kehadirannya di sini.
“Pa, kalau Raya nggak mau jangan dipaksa.” Baim membela.
“Naya itu kandidat yang sangat cocok.” Papa seperti berbicara sendiri.
“Putri Papa kan bukan Raya aja.”
Rhea merasakan meja makan mendadak hening, dan semua mata terarah padanya.
Dia mengangkat alisnya pada Raya, yang dibalas dengan kedikan bahu.
“Rhea kenapa, Ma?” Dia akhirnya bertanya sendiri.
“Rhea tau Naya, kan?”
“Temennya Abang?” Rhea melirik Baim yang balas menatapnya datar.
“Rhea besok malam luangin waktu ya, buat ketemu dia sebentar.”
“Hah?”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved