Bab 10 SEPULUH
by Veedrya
09:59,Apr 01,2021
Rhea merasakannya lagi. Seperti ada yang menyedot oksigen dari paru-parunya, yang menggeliat di perutnya dan mendadak hawa di sekitarnya menjadi sedikit panas. Mungkin Rhea alergi pada Naya? Tapi ada sedikit, sedikit saja, di sudut hatinya, perasaan senang melihat Naya.
“Gue lagi buru-buru, ditunggu Mama.” Jawabnya agak ketus.
“I know. Ini Tante minta gue jemput lo.”
Rhea memicingkan matanya pada Naya. Yang dipandangi hanya tersenyum geli. “Kayaknya, lebih cepet kalo gue naek motor daripada mobilan sama lo.”
“Setuju, sih. Tapi karena helm lo cuma satu, dan nggak mungkin abis dari salon naik motor lagi, mending lo ikut gue.”
“Kenapa nggak mau?”
Naya mendenguskan tawanya membuat Rhea tidak nyaman karena kesannya kalau dilihat orang Naya raman dan dia jutek. “Tante nggak kasih tau lagi. Gini deh, yang jelas sekarang lo ikut gue, daripada makin sore, nanti makin macet trus kita telat.”
Rhea bergeming, memandangi motornya. Motor hasil keringatnya, hasil nyicilnya, yang menemaninya dari pertama kali dia merintis apotik ini, sekarang jadi sering ditinggal…. Eh!
“Udah, ayo!”
Naya Menariknya menuju mobilnya.
“Dadah, Vivi.” Gumamnya saat mobil melaju.
“Siapa Vivi?”
Rhea kaget karena Naya ternyata mendengarnya. Wajahnya memerah malu. “Motor gue.”
“What?”
“Motor gue! Namanya Vivi! Masalah?” Rhea ngegas karena Naya malah tertawa terbahak-bahak mendegarnya.
Dia punya kebiasaan menamai barang-barangnya dari kecil. Motornya, Vivi. Komputer pertamanya, Kokom, walau sudah almarhum. Ponselnya, Pepi. Laptop kerjanya, Gugun. Dan masih banyak lagi.
“Serius, lo tuh ya hahahaha. Menarik.” Naya masih tertawa. Belum pernah dia bertemu orang yang diluar cuek tapi ternyata di dalam sentimentil luar biasa sampe barang-barang pribadinya diberi nama.
“Ketawa teros! Ngeledek mulu, perasaan.”
“Hei, gue nggak ngeledek! Gue ketawa karena kaget, tau. In a good way.” Dia masih tertawa.
“Apanya coba yang bagus.” Rhea menggerutu. Dia selalu merasa jadi orang freak kalau sampai rahasianya yang satu itu terbongkar. Karenanya dia selalu menyimpan rapat-rapat rahasianya yang satu itu. Bahkan Raya saja nggak tau.
“Karena jadi lebih sentimentil aja with your belonging. I think that’s cute.”
Rhea memalingkan wajahnya karena malu. Naya bilang dia cute!!
“Abis itu trus lo ngajakin mereka ngobrol?”
Itu bukan pertanyaan. Dan Rhea menolak untuk menjawab. Dia duduk di kursinya dengan agak gugup. Kan, dibilang orang-orang pasti bilang dia aneh.
“So you did talk to them?” Naya bertanya serius. Agak kaget.
“Udah, sih, nggak usah dibahas lagi.” Elaknya yang malah mengundang tawa Naya lebih kencang.
“Ya ampun, Rhe. Kaya nggak punya temen aja, ngomong sama benda mati.”
“Gue emang nggak punya temen.”
***
“Habisnya Mama suka gemes-gemes gimana gitu, kalian nggak pernah kencan. Kamu liburnya cuma hari minggu, Naya juga sibuk. Jadi kesempatan kalian jalan bareng kan jadi terbatas. Makanya, malam ini manfaatin ya.” Kata Mama dibalas anggukan Rhea.
Seharusnya dia sudah bisa menebak, kalau Mamanya membawa ke Salon, pasti dia sebentar lagi akan berada di suatu tempat atau acara yang sama sekali nggak familiar. Sebut aja, ketemuan pertamanya dengan Naya, pertunangannya dengan Naya, dan ini, pergi ke gala dinner peresmian poli baru di salah satu rumah sakit swasta di daerah Sleman. Dan dengan dandan yang tidak biasa juga, catat!
Hari ini, rambut panjang Rhea dibiarkan tergerai, dihiasi sirkam emas di puncak kepalanya. Dress merah emas selututnya nya serasi dengan kemeja dan dasi Naya. Kali ini dia berhasil membujuk Mama untuk membiarkannya memakai platform heels pendek berwarna hitam.
Walaupun terlihat kurang puas karena tingginya terpaut jauh dengan Naya, akhirnya Mama setuju.
“Sekalian kamu gantiin Mama sama Papa. Papa hari ini ada jadwal operasi soalnya. Mama juga ada janji konsultasi sebentar lagi. Naya, nanti Rhea diantar pulang, ya?”
“Iya, Tante. Serahin ke Naya aja.”
“Ini, udah mau jadi mantu manggilnya masih tante-tante aja.” Mereka berdua tertawa.
“Ya udah, berangkat dulu ya, Tante.” Naya akhirnya pamit. Rhea mengekor di belakangnya setelah berpamitan dengan Mamanya.
Sengaja dia berjalan lebih dulu dan tidak membarengi Rhea karena dia butuh waktu sebentar untuk bernafas. Rasanya mendadak sesak saat Rhea dan Mamanya keluar dari salon tadi. Dia terlihat…. Berbeda. Seperti pada malam pertunangannya, dia terlihat amat berbeda saat didandani.
Bukan berarti jika tidak dandan Naya tidak bisa mengenali Rhea, sepertinya dia bisa mengenalinya kapan saja dimanapun, sekarang. Bahkan saat bersanding dengan kembarannya pun, Naya tau Rhea yang mana.
“Nay, pelan-pelan! Tungguin!” Rhea berlari-lari kecil menyusulnya ke mobil. Lalu terhuyung saat sampai. Naya dengan sigap menangkapnya. Dia meringis kecil, “Sorry. I wasn’t careful.” Walaupun haknya hanya 5cm, tapi berlari dengan keadaan sepertinya tetap terasa menakutkan.
Rhea masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt nya, menunggu Naya dengan tenang.
Sementara di luar, Naya sengaja berlama-lama, sambil menatap tangannya yang tadi menangkap Rhea.
***
Rhea menatap ballroom hotel itu dalam diam. Tidak ingin masuk kesana. Seharusnya Raya atau Baim saja yang menggantikan Papa dan Mama. Bukan dia. Nanti kalau ada yang bertanya dan dia tidak bisa menjawab bagaimana? Apa yang akan mereka pikirkan tentang keluarganya.
Sementara Naya yang telah terlebih dulu berjalan, terhenti. Kaget karena tidak menemukan Rhea di samping maupun di belakangnya. Ngapain lagi cewek itu? Pikirnya. Mereka sudah telat sepuluh menit dari waktu yang ditentukan.
Dia ingin memanggil, tapi sepertinya atensi Rhea sedang berada pada hal lain. Jadi dengan desahan agak kesal yang ditahan, dia kembali menghampiri.
“Ngapain? Ayo masuk.” Dia menjaga suaranya tetap pelan. Dia tidak kasar pada wanita, walaupun dia pernah punya predikat playboy dan penjahat kelamin.
Rhea tersentak, menoleh pada Naya masih dalam keadaan linglung. Dia mengangguk, mengikuti langkah Naya ke dalam.
“Nanti… gue jangan ditinggal sendirian, ya.” Pintanya membuat Naya mengernyit heran. “Gue ngekor lo aja pokoknya semalaman ini.” Katanya cepat-cepat.
Naya mengenali nada gugup dalam suara Rhea. “Lo gugup?”
“Nggak, sih. Cuma susah jawab kalo ditanya-tanya.” Jawabnya.
Naya memberikan undangannya pada penerima tamu di depan, dan masuk sambil menggandeng tangan Rhea. Dia melingkarkan tangan Rhea di sikunya, dan memeganginya karena yang punya tangan sedang berusaha menariknya.
“Nay, apaan…”
“You come as my fiance, so act like you are.”
Rhea cemberut. Rasanya pengen ngemplang kepala dokter satu ini. Tapi diperhatikannya, malam ini Naya lebih banyak diam. Walaupun masih suka ketawa ngeledek saat bersamanya.
“Kita duduk disana.” Naya menunjuk meja paling depan yang sudah terisi tiga orang.
“Di depan banget?”
“Lo beneran gugup, ya? Belum pernah ke acara beginian?” Rhea menggeleng. Ngapain? “Tempat duduk kita di depan, udah ada namanya. Bokap nyokap lo harusnya jadi tamu undangan spesial.”
Rhea mengangguk pasrah sambil ber oh ria. Mereka sampai di kursinya, menyalami yangterlebih dulu duduk disana.
“Dokter Naya. Sama tunangannya, ya? Putri Pak Azzam, Dokter Raya, benar?” Seorang pria paruh baya menyapa sok tau, membuat Mood Rhea yang serapuh istana pasir itu hancur berantakan.
“Gue lagi buru-buru, ditunggu Mama.” Jawabnya agak ketus.
“I know. Ini Tante minta gue jemput lo.”
Rhea memicingkan matanya pada Naya. Yang dipandangi hanya tersenyum geli. “Kayaknya, lebih cepet kalo gue naek motor daripada mobilan sama lo.”
“Setuju, sih. Tapi karena helm lo cuma satu, dan nggak mungkin abis dari salon naik motor lagi, mending lo ikut gue.”
“Kenapa nggak mau?”
Naya mendenguskan tawanya membuat Rhea tidak nyaman karena kesannya kalau dilihat orang Naya raman dan dia jutek. “Tante nggak kasih tau lagi. Gini deh, yang jelas sekarang lo ikut gue, daripada makin sore, nanti makin macet trus kita telat.”
Rhea bergeming, memandangi motornya. Motor hasil keringatnya, hasil nyicilnya, yang menemaninya dari pertama kali dia merintis apotik ini, sekarang jadi sering ditinggal…. Eh!
“Udah, ayo!”
Naya Menariknya menuju mobilnya.
“Dadah, Vivi.” Gumamnya saat mobil melaju.
“Siapa Vivi?”
Rhea kaget karena Naya ternyata mendengarnya. Wajahnya memerah malu. “Motor gue.”
“What?”
“Motor gue! Namanya Vivi! Masalah?” Rhea ngegas karena Naya malah tertawa terbahak-bahak mendegarnya.
Dia punya kebiasaan menamai barang-barangnya dari kecil. Motornya, Vivi. Komputer pertamanya, Kokom, walau sudah almarhum. Ponselnya, Pepi. Laptop kerjanya, Gugun. Dan masih banyak lagi.
“Serius, lo tuh ya hahahaha. Menarik.” Naya masih tertawa. Belum pernah dia bertemu orang yang diluar cuek tapi ternyata di dalam sentimentil luar biasa sampe barang-barang pribadinya diberi nama.
“Ketawa teros! Ngeledek mulu, perasaan.”
“Hei, gue nggak ngeledek! Gue ketawa karena kaget, tau. In a good way.” Dia masih tertawa.
“Apanya coba yang bagus.” Rhea menggerutu. Dia selalu merasa jadi orang freak kalau sampai rahasianya yang satu itu terbongkar. Karenanya dia selalu menyimpan rapat-rapat rahasianya yang satu itu. Bahkan Raya saja nggak tau.
“Karena jadi lebih sentimentil aja with your belonging. I think that’s cute.”
Rhea memalingkan wajahnya karena malu. Naya bilang dia cute!!
“Abis itu trus lo ngajakin mereka ngobrol?”
Itu bukan pertanyaan. Dan Rhea menolak untuk menjawab. Dia duduk di kursinya dengan agak gugup. Kan, dibilang orang-orang pasti bilang dia aneh.
“So you did talk to them?” Naya bertanya serius. Agak kaget.
“Udah, sih, nggak usah dibahas lagi.” Elaknya yang malah mengundang tawa Naya lebih kencang.
“Ya ampun, Rhe. Kaya nggak punya temen aja, ngomong sama benda mati.”
“Gue emang nggak punya temen.”
***
“Habisnya Mama suka gemes-gemes gimana gitu, kalian nggak pernah kencan. Kamu liburnya cuma hari minggu, Naya juga sibuk. Jadi kesempatan kalian jalan bareng kan jadi terbatas. Makanya, malam ini manfaatin ya.” Kata Mama dibalas anggukan Rhea.
Seharusnya dia sudah bisa menebak, kalau Mamanya membawa ke Salon, pasti dia sebentar lagi akan berada di suatu tempat atau acara yang sama sekali nggak familiar. Sebut aja, ketemuan pertamanya dengan Naya, pertunangannya dengan Naya, dan ini, pergi ke gala dinner peresmian poli baru di salah satu rumah sakit swasta di daerah Sleman. Dan dengan dandan yang tidak biasa juga, catat!
Hari ini, rambut panjang Rhea dibiarkan tergerai, dihiasi sirkam emas di puncak kepalanya. Dress merah emas selututnya nya serasi dengan kemeja dan dasi Naya. Kali ini dia berhasil membujuk Mama untuk membiarkannya memakai platform heels pendek berwarna hitam.
Walaupun terlihat kurang puas karena tingginya terpaut jauh dengan Naya, akhirnya Mama setuju.
“Sekalian kamu gantiin Mama sama Papa. Papa hari ini ada jadwal operasi soalnya. Mama juga ada janji konsultasi sebentar lagi. Naya, nanti Rhea diantar pulang, ya?”
“Iya, Tante. Serahin ke Naya aja.”
“Ini, udah mau jadi mantu manggilnya masih tante-tante aja.” Mereka berdua tertawa.
“Ya udah, berangkat dulu ya, Tante.” Naya akhirnya pamit. Rhea mengekor di belakangnya setelah berpamitan dengan Mamanya.
Sengaja dia berjalan lebih dulu dan tidak membarengi Rhea karena dia butuh waktu sebentar untuk bernafas. Rasanya mendadak sesak saat Rhea dan Mamanya keluar dari salon tadi. Dia terlihat…. Berbeda. Seperti pada malam pertunangannya, dia terlihat amat berbeda saat didandani.
Bukan berarti jika tidak dandan Naya tidak bisa mengenali Rhea, sepertinya dia bisa mengenalinya kapan saja dimanapun, sekarang. Bahkan saat bersanding dengan kembarannya pun, Naya tau Rhea yang mana.
“Nay, pelan-pelan! Tungguin!” Rhea berlari-lari kecil menyusulnya ke mobil. Lalu terhuyung saat sampai. Naya dengan sigap menangkapnya. Dia meringis kecil, “Sorry. I wasn’t careful.” Walaupun haknya hanya 5cm, tapi berlari dengan keadaan sepertinya tetap terasa menakutkan.
Rhea masuk ke dalam mobil dan memasang seat belt nya, menunggu Naya dengan tenang.
Sementara di luar, Naya sengaja berlama-lama, sambil menatap tangannya yang tadi menangkap Rhea.
***
Rhea menatap ballroom hotel itu dalam diam. Tidak ingin masuk kesana. Seharusnya Raya atau Baim saja yang menggantikan Papa dan Mama. Bukan dia. Nanti kalau ada yang bertanya dan dia tidak bisa menjawab bagaimana? Apa yang akan mereka pikirkan tentang keluarganya.
Sementara Naya yang telah terlebih dulu berjalan, terhenti. Kaget karena tidak menemukan Rhea di samping maupun di belakangnya. Ngapain lagi cewek itu? Pikirnya. Mereka sudah telat sepuluh menit dari waktu yang ditentukan.
Dia ingin memanggil, tapi sepertinya atensi Rhea sedang berada pada hal lain. Jadi dengan desahan agak kesal yang ditahan, dia kembali menghampiri.
“Ngapain? Ayo masuk.” Dia menjaga suaranya tetap pelan. Dia tidak kasar pada wanita, walaupun dia pernah punya predikat playboy dan penjahat kelamin.
Rhea tersentak, menoleh pada Naya masih dalam keadaan linglung. Dia mengangguk, mengikuti langkah Naya ke dalam.
“Nanti… gue jangan ditinggal sendirian, ya.” Pintanya membuat Naya mengernyit heran. “Gue ngekor lo aja pokoknya semalaman ini.” Katanya cepat-cepat.
Naya mengenali nada gugup dalam suara Rhea. “Lo gugup?”
“Nggak, sih. Cuma susah jawab kalo ditanya-tanya.” Jawabnya.
Naya memberikan undangannya pada penerima tamu di depan, dan masuk sambil menggandeng tangan Rhea. Dia melingkarkan tangan Rhea di sikunya, dan memeganginya karena yang punya tangan sedang berusaha menariknya.
“Nay, apaan…”
“You come as my fiance, so act like you are.”
Rhea cemberut. Rasanya pengen ngemplang kepala dokter satu ini. Tapi diperhatikannya, malam ini Naya lebih banyak diam. Walaupun masih suka ketawa ngeledek saat bersamanya.
“Kita duduk disana.” Naya menunjuk meja paling depan yang sudah terisi tiga orang.
“Di depan banget?”
“Lo beneran gugup, ya? Belum pernah ke acara beginian?” Rhea menggeleng. Ngapain? “Tempat duduk kita di depan, udah ada namanya. Bokap nyokap lo harusnya jadi tamu undangan spesial.”
Rhea mengangguk pasrah sambil ber oh ria. Mereka sampai di kursinya, menyalami yangterlebih dulu duduk disana.
“Dokter Naya. Sama tunangannya, ya? Putri Pak Azzam, Dokter Raya, benar?” Seorang pria paruh baya menyapa sok tau, membuat Mood Rhea yang serapuh istana pasir itu hancur berantakan.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved