Bab 14 EMPAT BELAS

by Veedrya 10:01,Apr 01,2021
Dia sudah memesan taksol khusus hari ini karena tidak ingin drama pingsan diatas motor dan berakhir nyungsep di selokan terulang lagi. Ya, dia pernah seperti itu dulu saat ojol dan taksol belum sepopuler sekarang. Uang jajannya amat pas-pasan sehingga untuk pesan taksi dari kampus ke rumah sakit masih terlalu sayang.
Tante Kinan sudah menawarkan jemputan, tapi lokasi pemotretannya agak jauh dari apotek, sehingga Rhea tidak tega. Bukan, Tante Kinan bukan model, tapi fotografer. Dan bulan-bulan ramai nikah seperti ini, jobnya laris luar biasa sehingga kadang dia dan Om Diki hanya bertemu saat tidur dan pagi hari saja.
Rhea membayar taksinya dan bergegas masuk ke ruangan Om Diki. Kebetulan shift nya selesai jam lima, dia meminta waktu istirahat sebentar sampai habis maghrib untuk istirahat dan memasukkan Rhea dalam listnya. Dia memang jarang sekali antre di rumah sakit. Katakanlah itu kecurangannya memanfaatkan relasi. Tapi hanya itu saja kok. Karena dia tidak ingin namanya tercatat di daftar pasien rumah sakit. Hanya di list pasien Om nya saja.
Rhea sampai saat suster membalik plakat Om Diki dari ‘Available’ menjadi ‘Not Available’. Dia segera mendekat dan mengetuk pintunya.
“Oh, udah dateng? Sama Tante? Masuk.”
Om Diki segera melambai. Dan menunjuk ranjang tindakan untuk pemeriksaan standard. Denyut nadi, tekanan darah, berat badan, dan sebagainya sebelum dilanjutkan dengan tes darah dan biopsi.
“Naik taksol. Tantenya lagi jauh. Kesian bolak balik, Om.” Katanya merebahkan dirinya saat Om Diki menekan pergelangan tangannya pelan sambil melihat jam tangannya.
“Ya sudah, kirain nekad naik motor lagi.”
“Udah Insyaf, Om. Takut nyungsep lagi.”
“Sesek ya? Darahnya lumayan rendah, nih. Pusing, nggak?”
“Kalo lagi capek kerasa seseknya, Om. Biasa sih, Om. Kepala bawaannya enteng terus.”
Om Diki menuliskan laporannya di medical report Rhea yang entah bagaimana caranya, ada copy annya di semua RS yang dipakai praktek Om Diki.
“Suster Ira, tolong ke ruangan saya sebentar.” Katanya memencet interkom.
Rhea masih duduk di atas ranjang tindakan, memperhatikan Om nya yang menulis memo dan menyalinnya di komputer.
“Saya, Dok?” Seorang suster senior masuk setelah mengetuk pintu. Tersenyum saat bersitatap dengan Rhea.
“Tolong sampaikan ini ke bagian lab darah, ya. 15 menit lagi saya kesana untuk tes.”
“Baik, Dok.” Rhea salut dengan pekerja rumah sakit yang cekatan. Nggak banyak tanya. Palingan nanti di belakang gosipnya hehehe. Tapi mereka yang tau kapan harus kerja cepat kapan harus santai adalah mereka yang berdedikasi pada pekerjaannya.
“Jadi, gimana tunangan kamu?” Om nya tersenyum jahil.
“Apaan, sih, Om Diki.” Rhea mengelak dengan wajah panas.
“Dokter juga, kan? Sama kaya Om.” Maksudnya berkutat dengan darah.
“Iya, Om. Nggak tau Papa nemu dimana modelan begitu. Kacau.” Om Diki malah tertawa lepas. “Tapi kalian baik-baik aja, kan?” Kali ini, bahkan dengan Om Diki pun dia tidak bercerita.
“Baik, kok, Om. Orangnya perhatian. Cuma jahilnya bikin pengen jorokin ke kawah merapi.”
Rhea berdiri dan mengemasi barangnya dan berjalan mengikuti Om Diki keluar ruangan.
“Tapi belum ada percikan-percikan, ya?”
“Api kaliiii percikan! Selow lah, Om. Baru juga mau jalan empat bulan. Temenan dulu kita, cari cocok nggak cocoknya.”
“Cinta bisa dibiasain, Nduk. Itu yang anak muda sekarang nggak mau ngerti. Maunya yang instan. Nggak kenal sama dengan nggak cocok. Nggak cocok sama dengan nggak cinta dan seterusnya.” Pria berumur awal empat puluhan itu menasehatinya.
Mereka sampai di lab darah, dan langsung dipersilahkan masuk oleh suster yang menunggu disana. Rhea berganti baju dan mulai pemeriksaannya satu demi satu dan akhirnya didorong dengan kursi roda ke kamar rawat untuk transfusi darah.
***
Rhea menginap di rumah sakit malam itu. Transfusinya sudah berjalan setengah kantong. Om Diki menargetkan paling tidak tiga sampai lima kantong darah untuknya, dengan pengecekan HB secara berkala, karena walaupun HB nya stabil, masih terlalu rendah untuk mengimbagi jadwal Rhea yang seabreg. Dan juga untuk mengantisipasi rasa mual dan nyeri di punggung belakangnya yang biasa muncul setelah transfusi.
Dia sedang ngemil buah beet yang dia siapkan di apotik tadi, sengaja untuk dibawa kesini. Karena penyakitnya ini, dia jadi punya kebiasaan ngemil yang aneh. Buah beet, yang kalau selesai makan dia sudah persis vampir habis menghisap darah, lalu kurma walaupun bukan bulan puasa, pisang dan tomat yang padahal dia nggak terlalu suka, dan semangka yang otomatis membuatnya beser.
Dia nyambi mengecek kurva penjualan yang dikirim Ojan dan Adrian padanya rutin setiap tiga bulan sekali. Dia bersyukur kurvanya selalu stabil menanjak pelan tapi pasti. Adrian juga mengirimkan proyeksi tiga bulan pertama yang dia minta untuk calon cabang barunya di dekat bandara baru.
Untungnya, Shafa, istri adrian ini lulusan akuntansi, jadi nyambung diajak kerja. Dan karena mereka saling mempengaruhi dengan kuat, Adrian banyak belajar darinya. Lumayan meringankan beban Rhea. Nggak perlu mengajari Adrian yang kalau mumet sedikit langsung bete dan ngambek ogah belajar.
Tok! Tok! Tok!
Dia menoleh saat Om Diki mampir.
“Om selesai shift sebentar lagi. Nanti kalau sudah habis suster yang ganti, ya.” Dia menunjuk kantong darah Rhea yang jumlahnya semakin berkurang.
“Siap, bos!”
“Mual nggak? Pusing? Nyeri?”
“Belum sih, Om. Masih oke.” Jawabnya meyakinkan.
“Nggak capek-capek, lho.” Om Diki melirik sebal laptop di pangkuannya.
Rhea yang tahu maksudnya hanya meringis lucu. “Nyari ngantuk, Om. Biasanya kalo liat kerjaan njelimet auto merem matanya.”
“Tapi vertigo juga auto nongol.”
Ehehehe. Rhea hanya bisa tertawa keki mendengarnya.
Tok! Tok! Tok!
“Tante!”
“Wah! Nggak pake loncat dong, Sayang!” Tante Kiran panik saat Rhea bangun dengan cepat dari posisi setengah rebahannya. “Aduh, Nyo, pasienmu yang satu ini bahaya bener, deh!”
Om Diki tertawa. “Emang.” Dia mendekat pada istrinya dan mencium keningnya. “Barusan sampe? Macet nggak?”
Ini yang Rhea suka dari Om-Tantenya. Selalu romantis, bikin yang nonton melting baper sendiri. Mereka bahkan punya panggilan sayang ‘Sinyo’, yang Rhea nggak tahu artinya. Nggak pengen nanya juga sih, takutnya tambah baper nanti. Sayangnya, mereka belum juga dikarunia keturunan, setelah menikah hampir lima tahun.
Om Diki memang tergolong telat menikah. Dia baru membawa Tante Kiran pulang dan mengenalkannya pada Eyang di umur 32 tahun. Perjuangan keras karena Tante Kiran yatim piatu dan besar di panti asuhan.
Karir Tante Kiran yang gemilang di ranah fotografi sama sekali tidak membuat Eyang terkesan. Tapi entah bagaimana cara Om Diki mengatasinya, mereka akhirnya menikah delapan bulan kemudian, dengan restu Eyang.
Tapi karena Om Diki bukan anak laki-laki pertama, dia anak laki-laki ketiga setelah Papa. Ditambah latar belakang Tante Kiran dan fakta bahwa mereka belum memiliki keturunan, membuat mereka selalu menjadi kambing hitam di setiap acara keluarga.
“Cepet pulih, nanti jalan-jalan sama Tante. Tante nginep di Eyang tiga hari.” Tantenya menyemangati.
Dan anehnya, Tante Kiran tidak pernah kapok untuk berbakti pada mertuanya walaupun diperlalukan tidak begitu baik. Rhea salut pada kekuatan dan kegigihan wanita yang awet muda dan enerjik ini.
“Paling cepet besok sore. Itu juga kalo Om Diki kasih, Nte.”
“Makanya, nggak usah sok rajin. Istirahat malem ini biar efek sampingnya bisa diminimalisir.” Om Diki menegur, Tante Kiran melirik dan Rhea meringis.
“Tumben Tante ke Jogja, deh.”
“Mau ngedate dong.”
“Serius?”
“Ini Anniversary ke lima kami. Mau dinner romantis kita. Anak kecil nggak boleh iri.” Tantenya menaik turunkan alisnya menyebalkan.
“Ih, Rhea bukan anak kecil, yaaa.”
“Oh Iya, lupa. Udah tunangan. Ciyeee yang udah tunangan.”
Wajahnya merah padam mendengar ledekan Tantenya. Om Diki ikut tertawa keras di samping Tantenya. Menikmati semua ledekan yang diterima Rhea.
“Ganteng lho, Nyo, anaknya.” Om Diki menimpali, membuat Rhea semakin memerah jika memungkinkan.
“Dia tandem juniorku di RS sebelah.”
“Wah, aku doang ini yang belum kenal? Ayo, bawa main ke Solo. Kenalin sama Tante.”
Rhea mengibaskan tangannya, tanda menyerah. Nggak bisa dia kalau diledekin combo begini. Bikin dadanya deg-degan seneng karena jadi auto ngarep.
“Udah udaah sanaaa. Jangan gangguin pasien mau istirahat!” Rhea mengusir mereka berdua yang masih tertawa meledek padanya.
“Kalo ada apa-apa panggil suster, ya?”
“Iya Pak Dokter.”
“Istirahat, nggak usah buka laptop.”
“Aduh, iyaaaa.”
Akhirnya mereka pergi juga meninggalkan Rhea yang masih senyum-senyum sendiri karena baper pada perlakuan Om Tante nya yang bikin meleleh. Lalu secepat tawanya tadi datang, secepat itu pula dia pergi saat mengingat ‘tunangan’nya ‘tersayang’ sama sekali tidak menghubunginya seharian ini.
Sepertinya ada yang lagi sibuk.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100