Bab 12 DUA BELAS
by Veedrya
10:00,Apr 01,2021
“Tolong bawain mobil gue dulu boleh? Biar lo ada kendaraan juga pas ke apotek besok. Besok sore gue ambil di apotek.”
“Trus lo ntar gimana?”
“Jadwal operasi gue besok penuh. Dan malem ini nggak tau kelar jam berapa. Keluar dari ruang operasi pasti gue udah capek banget. Bakal nggak aman kalo nyetir sendiri, mending besok gue naksol aja sampe apotek lo.”
Bener juga. Dia pasti bakalan nggak ada tenaga lebih buat nyetir mobilnya pulang. Rhea pun menyetujuinya. Lagi-lagi untuk menghemat waktu Naya. Mereka berkendara ke rumah sakit dalam diam. Jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen Naya. Raya juga praktek disini, tapi malam ini pasti sudah pulang.
Naya menghentikan mobilnya dekat pintu masuk UGD dan segera keluar.
“Nay.” Cowok itu menoleh pada Rhea yang bersandar di pintu mobil, bersiap pindah ke kursi pengemudi. “Kasih tau aja besok lo kelar jam berapa. Gue jemput pake mobil lo.”
***
Hari ini meeting Triwulan dengan Adrian. Mereka sedang membicarakan tentang rencana pembukaan cabang baru di Kulon Progo karena daerah yang awalnya tidak terlalu ramai itu kini menjadi destinasi pertama para pelancong dan mereka yang kerap mobile menggukanan pesawat terbang. Yap, bandara baru Jogja berada di sana.
Jadi Rhea dan Adrian juga tidak ingin melewatkan kesempatan berinvestasi di sana. Mumpung harga sewa dan bangunan belum terlalu tinggi.
Sialnya, Adrian datang terlebih dulu dan sudah menunggunya di dalam, mengira Rhea sudah datang karena motornya terparkir di parkiran motor di luar.
Dia mengangkat alis tinggi sekali sampai peci putihnya melorot menutupi mata saat Rhea datang menaiki mobil. Matanya mengikuti gerak Rhea menanti penjelasan yang enggan di berikan.
Hari ini tidak hanya mereka berdua, tapi ada satu orang kenalan Adrian dan teman apotekernya yang rencananya akan mengepalai dan menjalankan operasional disana.
“Iyan, apaan, sih? Loncat mata lo ntar lama-lama melototin gue terus.” Rhea menegur jengah.
“Lagian lo tuh harusnya jaga pandangan! Gue laporin Shafa, loh.”
“Waiting for explanation.” Jawabnya singkat.
“Penjelasan apa?”
“Tumben-tumbennya motor lo tinggal, lo titipin satpam ruko trus pulang gitu aja? Nggak biasanya. Trus mobil siapa tuh?”
Adrian nggak tau aja, empat bulan ini, Vivi (nama motor Rhea) udah ditinggal berapa kali disini sendirian. Kedatangan teman-teman Adrian yang akan ikut meeting bersama mereka, menyelamatkannya dari kewajiban menjawab pertanyaan.
“Yo, Adrian Brother!”
“Asslamu’alaikum, saudara-saudaraku.” Dia menyambut uluran tangan mereka. “Kenalin, ini Rhea, teknisnya, dia pemilik semua cabang apotik kita alias bos. Tapi dia nggak mau dipanggil bos. Rhe, kenalin, ini Kemal, apotekernya.” Rhea menyalami cowok tinggi rapi berwajah lucu di sebelah Adrian. “Trus ini Guntur.” Rhea juga menyalami cowok satunya yang entah kenapa Rhea merasa malah memandanginya nyaris tanpa kedip. Oh, dia ganteng juga, tapi… gantengnya nggak seaman Kemal. Bikin Rhea agak risih.
“Rhea. Salam kenal.”
Ini memang pertama kalinya Rhea bertemu mereka. Dia memasrahkan pada Adrian proyek ini, dan hanya ikut survey jika diperlukan saja, terkait lokasi dan analisis pasar.
Meting berlangsung hampir seharian. Banyak yg Rhea dan Adrian sampaikan termasuk SOP dan target pemasaran di tahun pertama.
“Kenapa nggak gandeng dokter buat praktek disana? Itu bakal bikin prospek lebih bagus dan nggak cuma ngandelin dr tebus resep dan penjualan obat.” Guntur menyampaikan pendapatnya.
Adrian melirik Rhea gelisah, seakan memberi kode siapa yang harus nerangin hal ini. Rhea hanya menatap Guntur sebentar dan setenang mungkin. Sejak pertama ketemu tadi, Guntur selalu menatap Rhea intens, membuatnya tidak nyaman untuk berlama-lama berkontak mata dengan cowok cepak bermata tajam itu. Padahal dalam berbisinis, salah satu etika dasar adalah menatap lawan bisnis saat terjadi kesepakatan.
“Itu bagus, sih. Tapi kita belum butuh. Banyak klinik besar tidak jauh dari lokasi. Kita bisa manfaatin itu aja. Lagian, harga kita amat bersaing, jadi menurut gue itu
udah jadi biggest selling point kita.” Rhea menerangkan.
“Gue kenal beberapa dokter yang mungkin tertarik buat kerjasama.” Guntur tetap keras
kepala dengan idenya.
Adrian menggeleng. Cowok itu nggak tau lagi ngomong sama siapa. Rhea nggak akan mau mengungguli siapapun disini. Tapi jika harus banget buka praktek dokter di apoteknya, tunggu Klinik Gratama Medika bangkrut dulu. “Itu nanti aja, Bro. Kita fokus pada kegiatan apotiknya aja dulu, karena ijin yang turun masih apotik aja, nggak pake praktek dokter segala.”
Guntur akhirnya mengalah setelah berkali-kali ditolak. Walaupun ekspresi jengkelnya masih bercokol disana. Rhea sengaja tidak melihat ke arahnya lagi selama meeting berlangsung, menolak merasa tidak enak atau sejenisnya.
Mereka break saat kumandang Adzan dzuhur terdengar. Rhea menggunakan kesempatan ini untuk turun dan memenuhi janjinya pada para pegawainya untuk mengecek pekerjaanmereka.
“Break dulu lah, lo dari pagi nggak ada berentinya.” Alfi menegurnya.
Rhea hanya melambaikan tangannya, atensinya masih pada Dara yang sedang mencoba input data, hasil ajaran Ojan kemarin sore. “Bentar lagi, Fi. Nanggung. Bukan itu Dara, kalau mau ngurangin stock di gudang…. Nah! Diinget-inget ya. Kalo salah masukin, trus terlanjur di save, Ojan sama Alfi bisa senewen harus ngobrak abrik gudang di lantai dua.”
Dara mengangguk sambil cengengesan.
Rhea menarik menghembuskan nafas lega dan meregangkan tubuhnya. Hari yang panjaaaang, akhirnya ada yang kelar juga pekerjaannya. Seharusnya meetingnya selesai tidak lama lagi. Karena hampir semua hal sudah dibahas. Tinggal bagi tugas aja untuk launching bulan depan.
“Astaga!” Katanya kencang sambil menepuk dahinya, membuat Alfi yang sedang mengutak atik ponselnya terlonjak, mungkin menghubungi Ojan yang sedang keluar beli makan siang karena dia nitip.
“Apaan, sih?”
“Gue lupa! Hape gue mana ya?” Dia benar-benar lupa pada Naya yang mobilnya dia bawa hari ini. Dari tadi pagi dia sama sekali tidak mengecek ponselnya. Dara memberikan ponsel yang dari tadi tergeletak di samping kirinya sambil pamit menemani Ghista di depan.
Cepat-cepat dia mengecek, tapi tertegun kecewa saat tidak menemukan pemberitahuan apapun di sana.
“Lo pulang cepet nanti?” Alfi bertanya, berbarengan dengan Ojan yang masuk membawa pesanan mereka semua termasuk makan siang Adrian, Kemal dan Guntur yang sedang ishoma di atas.
“Nggak tau. Nunggu dikabarin aja.”
“Trus kerjaan gue, Bos? Adaw!” Ojan merengut. Kan dia nanya, bukan minta dikemplang. Lagian baru dateng loh ini, baru aja masuk, masih nenteng helm, udah di kemplang aja.
“Dibilangin jangan panggil bos!”
“Khilaf.” Dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dahinya seperti orang menyembah, meminta maaf.
“Kalo nanti gue pergi lo belom kelar, kirim email aja kek semalem. Eh yang tadi pagi, yang gue koreksi udah lo benerin? Cocok sama real stock kan?”
Ojan mengacungkan kedua jempolnya. “Fi, lo yang anter ya, ke atas.”
“Ogah!”
“Ih, sekalian tepe-tepe, Fi! Bedua di atas masih single, loh.”
Rhea tertawa saat Alfi melemparkan sandal jepitnya pada Ojan.
***
Rhea menunggu di parkiran dekat lobby, di dalam mobilnya. Sudah sepuluh menit dia di sini. Dia cepat-cepat pamitan tadi dari apotek dan langsung kesini pas Naya telpon, bilang operasinya sudah selesai.
Sekarang, setelah nggak terlalu hectic di dalam kepalanya, dia termenung sambil menatap layar laptopnya. Masih berusaha bekerja sambil menunggu Naya keluar. Ini gue ngapain sih, sebenernya. Buru-buru banget nyamperin, pake ngebut-ngebut padahal lalu lintas sore sudah pasti macet. Untung nggak nabrak.
Ah, bodo lah!
Dia menggeleng-nggeleng. Pikirnya, pasti karena tidak nyaman sudah membawa mobil Naya. Takut dia menunggu lama padahal sudah pasti capek banget habis operasi dari pagi. Iya, pasti gara-gara itu!
Tok! Tok! Tok!
Rhea tersentak, buru-buru menutup laptopnya, menemukan Naya sudah berdiri di sisi pintu pengemudi.
“Hai, udah kelar?” Tanyanya, entah mengapa, merasa gugup.
“Lama, ya? Keknya gue ganggu jam kerja lo?” Dia mengernyit, terlihat sedikit serius.
Rhea cepat menggeleng. “Nggak, kok. Yuk masuk, gue anterin pulang.”
“Nggak papa, nih?”
“Santai, lah. Buruan, biar bisa istirahat!”
Naya menurut. Rhea merapikan bawaannya dan menaruhnya di jok belakang, sementara Naya naik dan memakai seat belt di sebelahnya.
“Udah perhatian ya, sekarang. Ntar gue ketagihan, lo.”
“Nggak usah reseh, muka nggak bisa melek gitu, juga.” Ledeknya.
Naya memang terlihat capek, Tapi masih sedap dipandang. Mungkin sudah nasib orang-orang bermuka cakep kali ya, mau separah apapun kondisinya, capek, tidur mangap, bangun tidur, makan belepotan, tetep aja cakep.
Mereka diam sepanjang perjalanan. Rhea menahan diri agar tidak bertanya tentang operasi yang dilakukan Naya barusan. Dia pernah mendengar Papa ngobrol sama Baim tentang hal itu. Bahwa seprofesional apapun dokter di rumah sakit, keadaan pasien mereka pasti amat mempengaruhi.
Mungkin operasi-operasinya sukses, hanya Naya terlalu capek, makanya dia jadi pendiam. Rhea tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk seperti operasi gagal atau ada komplikasi, dan sebagainya walaupun kemungkinan itu tetap ada.
Mereka sudah sampai di parkiran apartement Naya. Naya keluar dari mobil tanpa sepatah kata, membuat Rhea bingung. Woy, kunci mobilnya!!!
Dia berlari kecil mengejar Naya sampai di Lobby, tepat sebelum cowok itu masuk ke dalam lift.
“Nay!” Naya menoleh. “Kunci mobiil, lo.” Katanya mengangsurkan benda lonjong kecil itu.
Naya mengernyitkan wajahnya. “Lo nggak masuk?”
“Nggak usah, lo istirahat aja. Ntar gue ganggu. Ini, tadi gue mampir beli ayam lamongan, buat lo aja. Gue balik dulu ya. Bye.”
Rhea berbalik tergesa setelah mengangsurkan plastik kresek ke tangan Naya, setengah berlari hingga tidak sengaja menabrak seseorang.
“Aduh, maaf, Mbak! Maaf.”
Yang ditabraknya hanya tersenyum kecil saat menoleh padanya. Tidak repot-repot menjawabnya juga dan langsung pergi.
“Hai, Babe! Aku kangen!”
Rhea berdiri mematung.
“Trus lo ntar gimana?”
“Jadwal operasi gue besok penuh. Dan malem ini nggak tau kelar jam berapa. Keluar dari ruang operasi pasti gue udah capek banget. Bakal nggak aman kalo nyetir sendiri, mending besok gue naksol aja sampe apotek lo.”
Bener juga. Dia pasti bakalan nggak ada tenaga lebih buat nyetir mobilnya pulang. Rhea pun menyetujuinya. Lagi-lagi untuk menghemat waktu Naya. Mereka berkendara ke rumah sakit dalam diam. Jaraknya tidak terlalu jauh dari apartemen Naya. Raya juga praktek disini, tapi malam ini pasti sudah pulang.
Naya menghentikan mobilnya dekat pintu masuk UGD dan segera keluar.
“Nay.” Cowok itu menoleh pada Rhea yang bersandar di pintu mobil, bersiap pindah ke kursi pengemudi. “Kasih tau aja besok lo kelar jam berapa. Gue jemput pake mobil lo.”
***
Hari ini meeting Triwulan dengan Adrian. Mereka sedang membicarakan tentang rencana pembukaan cabang baru di Kulon Progo karena daerah yang awalnya tidak terlalu ramai itu kini menjadi destinasi pertama para pelancong dan mereka yang kerap mobile menggukanan pesawat terbang. Yap, bandara baru Jogja berada di sana.
Jadi Rhea dan Adrian juga tidak ingin melewatkan kesempatan berinvestasi di sana. Mumpung harga sewa dan bangunan belum terlalu tinggi.
Sialnya, Adrian datang terlebih dulu dan sudah menunggunya di dalam, mengira Rhea sudah datang karena motornya terparkir di parkiran motor di luar.
Dia mengangkat alis tinggi sekali sampai peci putihnya melorot menutupi mata saat Rhea datang menaiki mobil. Matanya mengikuti gerak Rhea menanti penjelasan yang enggan di berikan.
Hari ini tidak hanya mereka berdua, tapi ada satu orang kenalan Adrian dan teman apotekernya yang rencananya akan mengepalai dan menjalankan operasional disana.
“Iyan, apaan, sih? Loncat mata lo ntar lama-lama melototin gue terus.” Rhea menegur jengah.
“Lagian lo tuh harusnya jaga pandangan! Gue laporin Shafa, loh.”
“Waiting for explanation.” Jawabnya singkat.
“Penjelasan apa?”
“Tumben-tumbennya motor lo tinggal, lo titipin satpam ruko trus pulang gitu aja? Nggak biasanya. Trus mobil siapa tuh?”
Adrian nggak tau aja, empat bulan ini, Vivi (nama motor Rhea) udah ditinggal berapa kali disini sendirian. Kedatangan teman-teman Adrian yang akan ikut meeting bersama mereka, menyelamatkannya dari kewajiban menjawab pertanyaan.
“Yo, Adrian Brother!”
“Asslamu’alaikum, saudara-saudaraku.” Dia menyambut uluran tangan mereka. “Kenalin, ini Rhea, teknisnya, dia pemilik semua cabang apotik kita alias bos. Tapi dia nggak mau dipanggil bos. Rhe, kenalin, ini Kemal, apotekernya.” Rhea menyalami cowok tinggi rapi berwajah lucu di sebelah Adrian. “Trus ini Guntur.” Rhea juga menyalami cowok satunya yang entah kenapa Rhea merasa malah memandanginya nyaris tanpa kedip. Oh, dia ganteng juga, tapi… gantengnya nggak seaman Kemal. Bikin Rhea agak risih.
“Rhea. Salam kenal.”
Ini memang pertama kalinya Rhea bertemu mereka. Dia memasrahkan pada Adrian proyek ini, dan hanya ikut survey jika diperlukan saja, terkait lokasi dan analisis pasar.
Meting berlangsung hampir seharian. Banyak yg Rhea dan Adrian sampaikan termasuk SOP dan target pemasaran di tahun pertama.
“Kenapa nggak gandeng dokter buat praktek disana? Itu bakal bikin prospek lebih bagus dan nggak cuma ngandelin dr tebus resep dan penjualan obat.” Guntur menyampaikan pendapatnya.
Adrian melirik Rhea gelisah, seakan memberi kode siapa yang harus nerangin hal ini. Rhea hanya menatap Guntur sebentar dan setenang mungkin. Sejak pertama ketemu tadi, Guntur selalu menatap Rhea intens, membuatnya tidak nyaman untuk berlama-lama berkontak mata dengan cowok cepak bermata tajam itu. Padahal dalam berbisinis, salah satu etika dasar adalah menatap lawan bisnis saat terjadi kesepakatan.
“Itu bagus, sih. Tapi kita belum butuh. Banyak klinik besar tidak jauh dari lokasi. Kita bisa manfaatin itu aja. Lagian, harga kita amat bersaing, jadi menurut gue itu
udah jadi biggest selling point kita.” Rhea menerangkan.
“Gue kenal beberapa dokter yang mungkin tertarik buat kerjasama.” Guntur tetap keras
kepala dengan idenya.
Adrian menggeleng. Cowok itu nggak tau lagi ngomong sama siapa. Rhea nggak akan mau mengungguli siapapun disini. Tapi jika harus banget buka praktek dokter di apoteknya, tunggu Klinik Gratama Medika bangkrut dulu. “Itu nanti aja, Bro. Kita fokus pada kegiatan apotiknya aja dulu, karena ijin yang turun masih apotik aja, nggak pake praktek dokter segala.”
Guntur akhirnya mengalah setelah berkali-kali ditolak. Walaupun ekspresi jengkelnya masih bercokol disana. Rhea sengaja tidak melihat ke arahnya lagi selama meeting berlangsung, menolak merasa tidak enak atau sejenisnya.
Mereka break saat kumandang Adzan dzuhur terdengar. Rhea menggunakan kesempatan ini untuk turun dan memenuhi janjinya pada para pegawainya untuk mengecek pekerjaanmereka.
“Break dulu lah, lo dari pagi nggak ada berentinya.” Alfi menegurnya.
Rhea hanya melambaikan tangannya, atensinya masih pada Dara yang sedang mencoba input data, hasil ajaran Ojan kemarin sore. “Bentar lagi, Fi. Nanggung. Bukan itu Dara, kalau mau ngurangin stock di gudang…. Nah! Diinget-inget ya. Kalo salah masukin, trus terlanjur di save, Ojan sama Alfi bisa senewen harus ngobrak abrik gudang di lantai dua.”
Dara mengangguk sambil cengengesan.
Rhea menarik menghembuskan nafas lega dan meregangkan tubuhnya. Hari yang panjaaaang, akhirnya ada yang kelar juga pekerjaannya. Seharusnya meetingnya selesai tidak lama lagi. Karena hampir semua hal sudah dibahas. Tinggal bagi tugas aja untuk launching bulan depan.
“Astaga!” Katanya kencang sambil menepuk dahinya, membuat Alfi yang sedang mengutak atik ponselnya terlonjak, mungkin menghubungi Ojan yang sedang keluar beli makan siang karena dia nitip.
“Apaan, sih?”
“Gue lupa! Hape gue mana ya?” Dia benar-benar lupa pada Naya yang mobilnya dia bawa hari ini. Dari tadi pagi dia sama sekali tidak mengecek ponselnya. Dara memberikan ponsel yang dari tadi tergeletak di samping kirinya sambil pamit menemani Ghista di depan.
Cepat-cepat dia mengecek, tapi tertegun kecewa saat tidak menemukan pemberitahuan apapun di sana.
“Lo pulang cepet nanti?” Alfi bertanya, berbarengan dengan Ojan yang masuk membawa pesanan mereka semua termasuk makan siang Adrian, Kemal dan Guntur yang sedang ishoma di atas.
“Nggak tau. Nunggu dikabarin aja.”
“Trus kerjaan gue, Bos? Adaw!” Ojan merengut. Kan dia nanya, bukan minta dikemplang. Lagian baru dateng loh ini, baru aja masuk, masih nenteng helm, udah di kemplang aja.
“Dibilangin jangan panggil bos!”
“Khilaf.” Dia menyatukan kedua telapak tangannya di depan dahinya seperti orang menyembah, meminta maaf.
“Kalo nanti gue pergi lo belom kelar, kirim email aja kek semalem. Eh yang tadi pagi, yang gue koreksi udah lo benerin? Cocok sama real stock kan?”
Ojan mengacungkan kedua jempolnya. “Fi, lo yang anter ya, ke atas.”
“Ogah!”
“Ih, sekalian tepe-tepe, Fi! Bedua di atas masih single, loh.”
Rhea tertawa saat Alfi melemparkan sandal jepitnya pada Ojan.
***
Rhea menunggu di parkiran dekat lobby, di dalam mobilnya. Sudah sepuluh menit dia di sini. Dia cepat-cepat pamitan tadi dari apotek dan langsung kesini pas Naya telpon, bilang operasinya sudah selesai.
Sekarang, setelah nggak terlalu hectic di dalam kepalanya, dia termenung sambil menatap layar laptopnya. Masih berusaha bekerja sambil menunggu Naya keluar. Ini gue ngapain sih, sebenernya. Buru-buru banget nyamperin, pake ngebut-ngebut padahal lalu lintas sore sudah pasti macet. Untung nggak nabrak.
Ah, bodo lah!
Dia menggeleng-nggeleng. Pikirnya, pasti karena tidak nyaman sudah membawa mobil Naya. Takut dia menunggu lama padahal sudah pasti capek banget habis operasi dari pagi. Iya, pasti gara-gara itu!
Tok! Tok! Tok!
Rhea tersentak, buru-buru menutup laptopnya, menemukan Naya sudah berdiri di sisi pintu pengemudi.
“Hai, udah kelar?” Tanyanya, entah mengapa, merasa gugup.
“Lama, ya? Keknya gue ganggu jam kerja lo?” Dia mengernyit, terlihat sedikit serius.
Rhea cepat menggeleng. “Nggak, kok. Yuk masuk, gue anterin pulang.”
“Nggak papa, nih?”
“Santai, lah. Buruan, biar bisa istirahat!”
Naya menurut. Rhea merapikan bawaannya dan menaruhnya di jok belakang, sementara Naya naik dan memakai seat belt di sebelahnya.
“Udah perhatian ya, sekarang. Ntar gue ketagihan, lo.”
“Nggak usah reseh, muka nggak bisa melek gitu, juga.” Ledeknya.
Naya memang terlihat capek, Tapi masih sedap dipandang. Mungkin sudah nasib orang-orang bermuka cakep kali ya, mau separah apapun kondisinya, capek, tidur mangap, bangun tidur, makan belepotan, tetep aja cakep.
Mereka diam sepanjang perjalanan. Rhea menahan diri agar tidak bertanya tentang operasi yang dilakukan Naya barusan. Dia pernah mendengar Papa ngobrol sama Baim tentang hal itu. Bahwa seprofesional apapun dokter di rumah sakit, keadaan pasien mereka pasti amat mempengaruhi.
Mungkin operasi-operasinya sukses, hanya Naya terlalu capek, makanya dia jadi pendiam. Rhea tidak ingin memikirkan kemungkinan terburuk seperti operasi gagal atau ada komplikasi, dan sebagainya walaupun kemungkinan itu tetap ada.
Mereka sudah sampai di parkiran apartement Naya. Naya keluar dari mobil tanpa sepatah kata, membuat Rhea bingung. Woy, kunci mobilnya!!!
Dia berlari kecil mengejar Naya sampai di Lobby, tepat sebelum cowok itu masuk ke dalam lift.
“Nay!” Naya menoleh. “Kunci mobiil, lo.” Katanya mengangsurkan benda lonjong kecil itu.
Naya mengernyitkan wajahnya. “Lo nggak masuk?”
“Nggak usah, lo istirahat aja. Ntar gue ganggu. Ini, tadi gue mampir beli ayam lamongan, buat lo aja. Gue balik dulu ya. Bye.”
Rhea berbalik tergesa setelah mengangsurkan plastik kresek ke tangan Naya, setengah berlari hingga tidak sengaja menabrak seseorang.
“Aduh, maaf, Mbak! Maaf.”
Yang ditabraknya hanya tersenyum kecil saat menoleh padanya. Tidak repot-repot menjawabnya juga dan langsung pergi.
“Hai, Babe! Aku kangen!”
Rhea berdiri mematung.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved