Bab 11 SEBELAS

by Veedrya 10:00,Apr 01,2021
“Dokter Naya. Sama tunangannya, ya? Putri Pak Azzam, Dokter Raya, benar?” Seorang pria paruh baya menyapa sok tau, membuat Mood Rhea yang serapuh istana pasir itu hancur berantakan.
“Selamat malam, Pak Arifin. Ini Rhea, tunangan saya. Saudari kembar Dokter Raya. Bae, kenalin, ini Pak Arifin, Manager operasional rumah sakit yang diresmiin malam ini.” Naya menyambar lugas, masih menggenggam tangan Rhea yang melingkar di sikunya. Menenangkannya.
Bae? Rhea bingung harus bereaksi atas yang mana dulu. Pada si Bapak sok tau di depannya ini, pada panggilan Naya pada dirinya, atau pada tangan yang sedari tadi mengelus tangannya tanpa henti?
Rhea akhirnya melepaskan tangannya dan mengulurkannya pada Bapak sok tau di depannya ini. “Selamat malam, Pak Arifin. Rhea Azzam.” Ucapnya singkat.
Mereka duduk. Naya masih meladeni basa basi dengan beberapa orang disana sebelum akhirnya atensinya tertuju sepenuhnya pada Rhea. Walaupun wajahnya datar, terlihat dari gestur tubuhnya, Rhea amat sangat tidak nyaman.
“Kenapa? Kebelet ke kamar mandi?” Bisiknya.
“Sialan!” Mau nggak mau Rhea tersenyum juga. Lalu membalas masih dengan berbisik. “Boring, nggak kenal siapa-siapa ehehehe.”
“Tahanin bentar. Acaranya bentar, basa basinya yang lama.” Naya meringis. Mengakui kalau di dunia ini kegiatan jilat menjilat demi membangun relasi dan nama besar masih disarankan untuk dilakukan.
“Tapi gue harus ketemu beberapa orang sih, disini. Lo temenin ya.”
Rhea hanya mengangguk. Dia merasa beruntung punya Adrian. Otak dan jantung apotek nya memang dia sendiri, karena dia bisa melihat celah dan peluang dalam berinvestasi. Tapi saat dia sedang tidak ingin bertemu dan menghadapi orang lain, Adrian selalu siap menggantikan.
Memang sudah cukup lama dia berkecimpung di dunia kerja. Dia merintis usahanya sendiri dari nol dengan Adrian sejak semester tujuh. Saat itu Adrian yang sudah lulus sekolah farmasi memberi sedang galau mencari pekerjaan. Dan dia juga sedang bingung bekerja apa setelah lulus nanti.
Dari sana, mereka berdua menyewa kios murah di dekat ruko apotek yang ditempati Rhea sekarang dan mengurus ijin buka apotek serta mencari supplier dan pemasok obat.
Rhea menggunakan sebagian tabungannya untuk menyewa ruko selama dua tahun dan berkomitmen dengan Adrian, mereka hanya akan mengambil sebanyak dua persen keuntungan dari hasil penjualan apotek selama setahun. Yang penting cukup untuk biaya bensin dan makan sehari-hari.
Awalnya mereka pontang panting sendiri. Rhea yang sibuk dengan skripsinya hanya bisa menemani Adrian dari siang menjelang jam tutup apotek, jam sepuluh malam. Tapi mereka bertahan. Mereka menjual obat - obatan dengan harga yang bersaing sehingga hampir semua modal kembali di tahun pertama.
Krisis kembali terjadi saat beasiswa Rhea untuk melanjutkan S2 diterima. Walaupun secara teknis Rhea hanya mengurusi administrasi dan pembukuan keuangan, tapi dia masih menyempatkan untuk membantu Adrian melayani di toko. Saat tercapek itulah, Alfi masuk. Membantu Adrian dan membebaskan Rhea dari rasa bersalah karena sibuk dengan kuliah S2 nya.
Melihat hasil yang mereka tuai sekarang, dia sedikit bisa tersenyum. Apotek kecilnya dulu, sekarang sudah berdiri kokoh dua lantai dan memiliki satu cabang. Walaupun yang satu masih bangunan kontrak, belum milik sendiri seperti ruko yang ditempatinya.
“Malah ngelamun.” Naya menegur pelan. Dia tersipu malu karena ketahuan melamun, tapi dengan segera menguasai diri dan ikut bertepuk tangan di akhir sambutan entah siapa tadi.
***
Rhea terlihat capek, dan sepertinya sedikit mengantuk. Matanya sayu dan, agak pucat, walaupun sudah di poles make up sedemikian rupa. Tapi dia tetap mengekori Naya menemui beberapa orang setelah acara. Ikut menyapa dan mencoba mengikuti obrolan mereka. Beberapa kali Naya memergokinya menyembunyikan kuapannya di balik tangan.
“Ngantuk banget, ya?” Tanyanya geli. Rhea seperti anak kecil yang ikut bapaknya kondangan.
“Ketauan, ya? Sori, deh. Boleh ke toilet bentar nggak?”
“Mau cuci muka?” Tanyanya kaget. Gimana nggak kaget, Rhea pakai dandanan penuh malam ini walaupun konsepnya natural. Nggak mungkin kan langsung diguyur air begitu saja.
“Mau pake tetes mata! Nggak bisa benerin gue kalo ini ilang.” Sungutnya.
“Mau dianter?” Tawarnya.
“Emangnya gue
anak SD.” Katanya sambil melambaikan tangan dan beranjak pergi diikuti gelengan Naya yang masih tersenyum geli.
Rhea buru-buru mencari restroom terdekat dan buru-buru mengeluarkan obatnya. Dia sempat memasukkan satu aqua gelas dari salon tadi di tasnya sebelum pergi. Kepalanya sudah pusing sekali dan rasanya dia bisa ambruk kapan saja kalau tidak segera istirahat.
Dari semua malam yang ada, kenapa harus malam ini, sih? Dia merutuki badannya. Bisa tamat dia kalau dia sampai pingsan disini. Semua orang mengenal Papa dan Mama, kabarnya pasti akan cepat menyebar bahkan sebelum pagi datang.
Dia buru-buru masuk ke dalam bilik saat mendengar suara tawa mendekat. Yah, itung-itung istirahat sebentar. Dia duduk di atas toilet duduk yang ditutup dan menyenderkan kepalanya ke dinding bilik.
Sebentar saja….
Dia tersentak saat ponselnya bergetar.
Huh? Naya?
“Woy, lo sakit perut? Lama bener di restroom nya.” Suara Naya terdengar gelisah di ujung telepon.
Dia tersentak bangun. Waduh, jangan-jangan dia ketiduran! Udah berapa lama?
“Eh, nggak! Ini…. anu… gue kesasar. Bentar, lagi mau kesitu abis tanya orang.” Dia langsung menutup telponnya dan bersiap bangun untuk kembali ke ballroom.
Dilihatnya Naya sudah menunggunya di pintu masuk, terlihat mondar-mandir gelisah. Rhea menelan ludahnya gugup. Mampus!
Dia segera menghampiri saat dilihatnya Rhea mendekat. Dia lumayan khawatir tadi setelah hampir lima belas menit tidak ada kabar. Dia mengecek keadaannya sekilas, hanya untuk memastikan Rhea baik-baik saja. Matanya agak kuning, mungkin kecapean, dan agak pucat, walaupun tidak terlalu kentara karena make up. Dan telapak tangannya dingin.
“Lo bener abis kesasar?”
Rhea mengangguk gugup. Naya mengangkat alisnya, lalu mengangguk setuju. Menganggap masalah ini selesai karena Rhea sudah kembali. Padahal kan restroom cuma di satu belokan di ujung lorong. Masa iya kesasar? Tapi ya udah, lah.
“Kita pamitan, yuk. Atau masih mau makan?”
Rhea mengecek jam tangan kecilnya. Sudah jam sembilan. Dan dia sudah tidak ingin makan apapun lagi, walaupun tadi dia hampir selalu diinterupsi oleh orang yang menyapa saat makan.
“Nggak mau makan lagi.”
“Oke. Kita
pamitan aja. Barusan ada telpon dari IGD. Kecelakaan di Klaten. Harus operasi segera.”
“Ya buruan, ayo!”
Tidak seperti Naya yang terlihat santai, Rhea malah sebaliknya, panik luar biasa. Ada kecelakaan, perlu operasi, tapi dokternya malah disini.
“Yuk, buruan.” Dia nyaris berlari ke mobil, membuat cowok itu geleng-geleng takjub.
“Gue nggak tau operasinya bakal lama atau nggak, gue juga harus ngecek pasien-pasien gue yang besok ada jadwal operasi. Kita mampir ke apartemen dulu ya, ambil baju ganti. Besok ada operasi dari pagi.” Naya berkata enteng, mulai melajukan mobilnya. Untung Jogja kalau malam nggak separah siang, jalanan lebih lengang, sehingga mereka cepat sampai di tempat Naya.
“Lo nggak ikut masuk?” Dia biasa memang menunggu di lobby saat ketemu Naya. Belum pernah naik sampai ke aprtemennya.
“Kan lo buru-buru, gue mending pesen taksol aja kali, ya. Pulang.” Katanya nggak yakin.
“Naik dulu, yuk. Gue mau minta tolong.”
Rhea menurut. Membantah berarti membuang-buang waktu Naya yang berarti. Sepertinya alam memang mendukung Naya untuk bergegas. Lift yang dipanggil langsung datang dan dengan cepat mengantar mereka ke lantai sepuluh. Naya menempelkan kartu kunci di salah satu pintu bernomorkan 1055 dan mempersilakan Rhea masuk.
Naya juga heran, kenapa dia meminta Rhea naik ke tempatnya. Selama ini, selain Mama dan Sora, tidak ada wanita yang pernah datang kesini. Yah, nanti setelah menikah, mereka toh akan tinggal disini, jadi Rhea adalah pengecualian. Dia bergegas masuk ke kamarnya dan mengemas kemeja, celana bahan dan perlengkapan lainnya untuk besok termasuk peralatan mandi dan pisau cukur.
Rhea masih mengagumi tempat Naya yang, anehnya, sangat rapi untuk ukuran cowok saat Naya Selesai.
“Yuk.”
“Tadi lo mau minta tolong apa?” Tanyanya saat mereka sudah berada kembali di lift.
“Lo bisa bawa mobil?”
“Hah?”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100