Bab 7 TUJUH
by Veedrya
09:58,Apr 01,2021
Kondangan kemana? Udah mau selesai? Nggak usah nginep, yah. Hari ini Naya sama orang tuanya mau dateng ke rumah.”
Dobel mampus! “Eh, em...baru mau berangkat ini, Mah, tapi.”
“Nitip aja, deh. Mama jemput kamu. Share loc, ya. Abis ini harus ke salon juga soalnya.”
“Eh.. em...iya Ma, Rhea pulang. Nggak usah dijemput, Rhea bawa motor, kok.”
“Ya udah, Mama tunggu di salon kemaren, ya! Sejam lagi sampe kan?”
“Dua jam, Mama, Rhea dari luar kota.”
Sambungan terputus setelah Mama puas, tapi di sini Rhea lemas. Dia menatap Om Diki yang menghela nafas berat.
“Gagal lagi transfusinya Om.”
Tiga bulan lalu juga dia gagal transfusi darah dan hanya meminta obat dari Om Diki karena ke gap Raya di lobby rumah sakit.
“Ya udah, ke ruangan Om dulu. Om kasih resepnya. Tadi kesini naik apa?”
“Ngereta, trus taksol.”
“Pesen tiketnya sekarang, trus ganti baju, baru ambil resepnya di ruangan Om. Nanti nggak keburu.”
Rhea menurut.
Sebenarnya Om Diki amat nggak rela keponakannya itu menggadaikan kesehatannya demi tuntutan keluarga. Tapi akan percuma kalau dia memaksa. Keponakannya itu tidak akan tenang, dan beban pikiran bisa membuat sugesti yang kurang bagus untuk penyembuhan. Salah-salah, nanti bukannya sembuh, malah harus opname karena komplikasi.
***
Rhea sampai di Jogja lagi jam 5 sore. Sebelumnya dia sudah menelpon Adrian, meminta untuk menjemputnya dengan mobil kantor, karena letak apoteknya lebih dekat dengan stasiun.
“Trus jadinya tadi belum sempet treatment?” Adrian bertanya saat mobil sudah berjalan menuju salon yang di pesan Mamanya.
“Boro-boro. Baru abis banget examination nya. Baru juga mau dikasih tindakan, udah di...nah, udah ditelpon nih.”
“Buruan angkat, dah.”
“Iya, Mama?” Dia langsung menjawab sebelum deringan kedua berakhir.
“Kok belum sampe?”
“Ini masih di jalan, Mama. Agak macet, soalnya.”
“Masih lama?” Suara Mamanya terdengar kurang sabar. Mama baik pada Rhea, tapi tetap saja, tidak suka dibantah. Juga nggak suka menunggu.
“Sepuluh menit lagi paling, Ma.”
“Nggak usah mampir-mampir.”
“Iya Mama.”
Rhea mendesah setelah sambungan terputus. Dia capek banget hari ini, dan kepalanya mulai terasa pening. Duh, saat-saat kaya gini, malah kondisinya agak drop. Jangan, dong!
“Woy woy! Lo nggak boleh pingsan, ye di mobil.” Adrian mulai terdengar khawatir.
Rhea tertawa mendengarnya, meskipun lirih. “Lo kalo nggak ada bini lo ngomongnya biasa lagi, kalo di depan bini lo, udah kaya syekh aja.”
“Kan biar dia seneng, nyenengin bini pahalanya banyak. Syurga, imbalannya” Adrian menjawab enteng. Rhea terkekeh. Pasangan ini romantis, tapi seringnya lawak. Menghibur.
“Tapi apa lo nggak ngerasa kehilangan jati diri gitu, ngikut-ngikut?”
“Nggak juga. Dia lebih nyaman kalo gue ngobrol gitu sama dia. Di keluarga dia juga kebiasaan gitu. Tapi yang paling penting kan diri gue sendiri jadi upgrade setelah ada dia. Gue nggak merasa kepaksa juga.”
“Bahagia ya, Yan. Dibimbing bener-bener bininya. Gue doain yang awet sampe ntar ntar.”
“Aamiin. Eh bener lo nggak apa?”
“Pusing dikit. Lo ada aer nggak? Aer gue abis tadi di kereta.”
“Uda makan belom? Ngasal aja kalo minum obat. Tuh di belakang kursi ada beberapa botol” Tegur Adrian.
“Udaaah. Suwer.” Katanya saat Adrian mendelik.
Rhea cepat-cepat mengambil air dan meminum obatnya karena sebentar lagi mereka akan sampai.
Dia belum sempat cerita ke Adrian kalau dirinya dijodohkan. Setaunya, dia hanya disuruh menjemput Rhea karena disuruh menemani Mamanya ke suatu tempat.
Maaf ya, Yan, mungkin Rhea beneran lupa.
***
“Sumpah, lo cantik banget!” Raya memekik saat Rhea dan Mama sampai di rumah.
Rhea hanya tertawa melihat kehebohan saudarinya yang langsung menariknya untuk mengambil selfie atau memotretnya sendirian. Raya juga sudah siap. Dia tidak perlu ke salon. Raya bagus dengan make up, dan pembawaannya lebih anggun, jadi tetap terlihat flawless walaupun tanpa bantuan professional.
“Lo juga, tau. Gue takutnya nanti Naya mikir dia mau dikasih dua istri sekaligus.”
“Eit, nggak bisa. Ada gue.” Martin nongol entah dari mana.
“Hon, sanaan dikit, jangan mepet-mepet.” Usir Raya, karena Papa dan Baim lekat memandangi mereka.
Rhea meleletkan lidahnya, “Sukurin.”
Mereka masih seperti itu hingga suara mobil terdengar berhenti di depan. Raya menengok ke pintu, sedangkan Rhea menyusul Mama yang sudah melambai menyuruhnya duduk di sampingnya.
Ruang tamu besar yang ramainya hanya saat lebaran itu, hari ini tertata rapi. Mbak Yanti pasti sudah bekerja keras seharian di dapur.
Suara berisik orang bersahut-sahutan dari depan, perlahan mendekat. Suara Raya yang tertawa yang pertama kali di tangkap telinganya.
“Ma, masa Tante Sukma marahin Martin yang gandeng aku, katanya jangan kurang ajar sama tunangan orang.” Raya mengadu sambil tertawa.
“Lupa aku lho jeng, kalo anakmu kembar.” Wanita paruh baya yang dipanggil Tante Sukma itu menjawab malu, menyambut pelukan dan cipika cipiki Mama. Cantik, Rhea bisa melihat kemiripan antara Tante Sukma dan Naya.
Tawa garing yang dipaksakan keluar dari Baim, Papa, diikuti dirinya sendiri. Belum selesai kegaringan ini, tatapannya bersirobok dengan Naya. Mata yang biasanya terlihat jenaka itu berkilat aneh, membuat Rhea sadar diri akan penampilannya yang tidak biasa hari ini. Percakapan di sekelilingnya mendadak terdengar seperti dengung lebah. Tubuhnya bergerak otomatis menyalami orang tua Naya saat dipanggil, telinganya mendengar tanpa mengirimkan pemahaman pada otaknya.
Dia grogi. Tiba-tiba saja. Dia jadi was-was sendiri setelah melihat tatapan Naya barusan. Seperti kurang suka? Apa barusan dia dibandingkan lagi dengan Raya? Atau malah…. Dengan pacar tersayangnya yang kekeh nggak mau diputuskannya itu? Kalau dengan Raya, walaupun muka mereka amat identik, pembawaannya tidak bisa secantik Raya. Mereka amat berbeda.
Dia selalu dilanda inferiority complex akut jika dibanding-bandingkan dengan Raya. Raya supel, dia introvert. Raya menarik, dia plain. Raya asyik dia membosankan. Raya menarik, dia bahkan tidak enak dilihat. Raya sehat, dia penyakitan. Raya anak emas, dan dia seperti anak tetangga.
Semua tentang mereka bagaikan langit dan bumi. Tapi bagi masing-masing mereka, they complete each other.
Acara berlangsung mulus, tanpa dia sadari. Tau-tau sudah waktunya tukar cincin. Rhea bangkit dituntun Mama, menghampiri Naya yang sudah berdiri menanti mereka di tengah ruangan. Tubuhnya bergerak tanpa sadar. Hanya otomatis mengikuti perintah sekitar.
“Ngelamunin apa, sih?” Bisiknya.
“Huh?”
“Muka lo kaya orang kepaksa nikah.” Naya masih berbisik, mengambil tangan kanannya dan mulai menyematkan cincin di jari manisnya. Cincin polos biasa dengan permata kecil di tengah.
“Nggak salah, sih.” Balas Rhea ikutan berbisik. Sekarang gantian dia yang akan menyematkan cincin di jari Naya. Cincin perak polos.
“Senyum dikit, biar nggak ada yang curiga.”
Mereka berdua tersenyum, menoleh pada Martin, Raya dan Tante Sukma yang sedang mengabadikan momen. Tangan kanan mereka teracung kedepan dan tangan kiri Naya merangkul pinggangnya.
“Itu tangan apa-apan?” Rhea bertanya masih sambil tersenyum karena sekarang semua sedang heboh mengabadikan momen dan bertepuk berseru gembira.
“Biasain. Gue suka nyentuh dan disentuh.”
Kampret kan, si Naya ini.
Dobel mampus! “Eh, em...baru mau berangkat ini, Mah, tapi.”
“Nitip aja, deh. Mama jemput kamu. Share loc, ya. Abis ini harus ke salon juga soalnya.”
“Eh.. em...iya Ma, Rhea pulang. Nggak usah dijemput, Rhea bawa motor, kok.”
“Ya udah, Mama tunggu di salon kemaren, ya! Sejam lagi sampe kan?”
“Dua jam, Mama, Rhea dari luar kota.”
Sambungan terputus setelah Mama puas, tapi di sini Rhea lemas. Dia menatap Om Diki yang menghela nafas berat.
“Gagal lagi transfusinya Om.”
Tiga bulan lalu juga dia gagal transfusi darah dan hanya meminta obat dari Om Diki karena ke gap Raya di lobby rumah sakit.
“Ya udah, ke ruangan Om dulu. Om kasih resepnya. Tadi kesini naik apa?”
“Ngereta, trus taksol.”
“Pesen tiketnya sekarang, trus ganti baju, baru ambil resepnya di ruangan Om. Nanti nggak keburu.”
Rhea menurut.
Sebenarnya Om Diki amat nggak rela keponakannya itu menggadaikan kesehatannya demi tuntutan keluarga. Tapi akan percuma kalau dia memaksa. Keponakannya itu tidak akan tenang, dan beban pikiran bisa membuat sugesti yang kurang bagus untuk penyembuhan. Salah-salah, nanti bukannya sembuh, malah harus opname karena komplikasi.
***
Rhea sampai di Jogja lagi jam 5 sore. Sebelumnya dia sudah menelpon Adrian, meminta untuk menjemputnya dengan mobil kantor, karena letak apoteknya lebih dekat dengan stasiun.
“Trus jadinya tadi belum sempet treatment?” Adrian bertanya saat mobil sudah berjalan menuju salon yang di pesan Mamanya.
“Boro-boro. Baru abis banget examination nya. Baru juga mau dikasih tindakan, udah di...nah, udah ditelpon nih.”
“Buruan angkat, dah.”
“Iya, Mama?” Dia langsung menjawab sebelum deringan kedua berakhir.
“Kok belum sampe?”
“Ini masih di jalan, Mama. Agak macet, soalnya.”
“Masih lama?” Suara Mamanya terdengar kurang sabar. Mama baik pada Rhea, tapi tetap saja, tidak suka dibantah. Juga nggak suka menunggu.
“Sepuluh menit lagi paling, Ma.”
“Nggak usah mampir-mampir.”
“Iya Mama.”
Rhea mendesah setelah sambungan terputus. Dia capek banget hari ini, dan kepalanya mulai terasa pening. Duh, saat-saat kaya gini, malah kondisinya agak drop. Jangan, dong!
“Woy woy! Lo nggak boleh pingsan, ye di mobil.” Adrian mulai terdengar khawatir.
Rhea tertawa mendengarnya, meskipun lirih. “Lo kalo nggak ada bini lo ngomongnya biasa lagi, kalo di depan bini lo, udah kaya syekh aja.”
“Kan biar dia seneng, nyenengin bini pahalanya banyak. Syurga, imbalannya” Adrian menjawab enteng. Rhea terkekeh. Pasangan ini romantis, tapi seringnya lawak. Menghibur.
“Tapi apa lo nggak ngerasa kehilangan jati diri gitu, ngikut-ngikut?”
“Nggak juga. Dia lebih nyaman kalo gue ngobrol gitu sama dia. Di keluarga dia juga kebiasaan gitu. Tapi yang paling penting kan diri gue sendiri jadi upgrade setelah ada dia. Gue nggak merasa kepaksa juga.”
“Bahagia ya, Yan. Dibimbing bener-bener bininya. Gue doain yang awet sampe ntar ntar.”
“Aamiin. Eh bener lo nggak apa?”
“Pusing dikit. Lo ada aer nggak? Aer gue abis tadi di kereta.”
“Uda makan belom? Ngasal aja kalo minum obat. Tuh di belakang kursi ada beberapa botol” Tegur Adrian.
“Udaaah. Suwer.” Katanya saat Adrian mendelik.
Rhea cepat-cepat mengambil air dan meminum obatnya karena sebentar lagi mereka akan sampai.
Dia belum sempat cerita ke Adrian kalau dirinya dijodohkan. Setaunya, dia hanya disuruh menjemput Rhea karena disuruh menemani Mamanya ke suatu tempat.
Maaf ya, Yan, mungkin Rhea beneran lupa.
***
“Sumpah, lo cantik banget!” Raya memekik saat Rhea dan Mama sampai di rumah.
Rhea hanya tertawa melihat kehebohan saudarinya yang langsung menariknya untuk mengambil selfie atau memotretnya sendirian. Raya juga sudah siap. Dia tidak perlu ke salon. Raya bagus dengan make up, dan pembawaannya lebih anggun, jadi tetap terlihat flawless walaupun tanpa bantuan professional.
“Lo juga, tau. Gue takutnya nanti Naya mikir dia mau dikasih dua istri sekaligus.”
“Eit, nggak bisa. Ada gue.” Martin nongol entah dari mana.
“Hon, sanaan dikit, jangan mepet-mepet.” Usir Raya, karena Papa dan Baim lekat memandangi mereka.
Rhea meleletkan lidahnya, “Sukurin.”
Mereka masih seperti itu hingga suara mobil terdengar berhenti di depan. Raya menengok ke pintu, sedangkan Rhea menyusul Mama yang sudah melambai menyuruhnya duduk di sampingnya.
Ruang tamu besar yang ramainya hanya saat lebaran itu, hari ini tertata rapi. Mbak Yanti pasti sudah bekerja keras seharian di dapur.
Suara berisik orang bersahut-sahutan dari depan, perlahan mendekat. Suara Raya yang tertawa yang pertama kali di tangkap telinganya.
“Ma, masa Tante Sukma marahin Martin yang gandeng aku, katanya jangan kurang ajar sama tunangan orang.” Raya mengadu sambil tertawa.
“Lupa aku lho jeng, kalo anakmu kembar.” Wanita paruh baya yang dipanggil Tante Sukma itu menjawab malu, menyambut pelukan dan cipika cipiki Mama. Cantik, Rhea bisa melihat kemiripan antara Tante Sukma dan Naya.
Tawa garing yang dipaksakan keluar dari Baim, Papa, diikuti dirinya sendiri. Belum selesai kegaringan ini, tatapannya bersirobok dengan Naya. Mata yang biasanya terlihat jenaka itu berkilat aneh, membuat Rhea sadar diri akan penampilannya yang tidak biasa hari ini. Percakapan di sekelilingnya mendadak terdengar seperti dengung lebah. Tubuhnya bergerak otomatis menyalami orang tua Naya saat dipanggil, telinganya mendengar tanpa mengirimkan pemahaman pada otaknya.
Dia grogi. Tiba-tiba saja. Dia jadi was-was sendiri setelah melihat tatapan Naya barusan. Seperti kurang suka? Apa barusan dia dibandingkan lagi dengan Raya? Atau malah…. Dengan pacar tersayangnya yang kekeh nggak mau diputuskannya itu? Kalau dengan Raya, walaupun muka mereka amat identik, pembawaannya tidak bisa secantik Raya. Mereka amat berbeda.
Dia selalu dilanda inferiority complex akut jika dibanding-bandingkan dengan Raya. Raya supel, dia introvert. Raya menarik, dia plain. Raya asyik dia membosankan. Raya menarik, dia bahkan tidak enak dilihat. Raya sehat, dia penyakitan. Raya anak emas, dan dia seperti anak tetangga.
Semua tentang mereka bagaikan langit dan bumi. Tapi bagi masing-masing mereka, they complete each other.
Acara berlangsung mulus, tanpa dia sadari. Tau-tau sudah waktunya tukar cincin. Rhea bangkit dituntun Mama, menghampiri Naya yang sudah berdiri menanti mereka di tengah ruangan. Tubuhnya bergerak tanpa sadar. Hanya otomatis mengikuti perintah sekitar.
“Ngelamunin apa, sih?” Bisiknya.
“Huh?”
“Muka lo kaya orang kepaksa nikah.” Naya masih berbisik, mengambil tangan kanannya dan mulai menyematkan cincin di jari manisnya. Cincin polos biasa dengan permata kecil di tengah.
“Nggak salah, sih.” Balas Rhea ikutan berbisik. Sekarang gantian dia yang akan menyematkan cincin di jari Naya. Cincin perak polos.
“Senyum dikit, biar nggak ada yang curiga.”
Mereka berdua tersenyum, menoleh pada Martin, Raya dan Tante Sukma yang sedang mengabadikan momen. Tangan kanan mereka teracung kedepan dan tangan kiri Naya merangkul pinggangnya.
“Itu tangan apa-apan?” Rhea bertanya masih sambil tersenyum karena sekarang semua sedang heboh mengabadikan momen dan bertepuk berseru gembira.
“Biasain. Gue suka nyentuh dan disentuh.”
Kampret kan, si Naya ini.
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved