Bab 6 ENAM
by Veedrya
09:57,Apr 01,2021
Rhea sampai di RS Indriati Solo Baru sore hari, dan langsung naik ke ruangan Om Diki. Dia termasuk pasien rutin di bawah pengamatan Om Diki di sini. Beberapa perawat yang sudah lama bekerja dengan Om Diki mengenalnya dengan baik. Di kota ini, walaupun reputasi Papa terkenal, dia masih aman, dia juga lebih jarang bertemu dengan orang-orang yang mengenal keluarganya.
“Mbak Rhea, sudah dateng? Sebelah sini Mbak.” Suster Maya, salah satu suster yang kenal baik dengannya, menggiringnya ke laboratorium untuk pengecekan darah dan biopsi sumsum tulang. “Mbak Rhea hari ini pucet banget. Dapet?”
“Nggak Sus, dari kemarin badannya udah kaya gini. Ini juga memarnya gede banget nggak mau ilang.” Rhea menunjukkan memar keunguan di lengan dalam bagian atas.
“Walah, iya lho, gede banget ini. Yuk, langsung ganti baju lab biar bisa langsung sama Dokter Diki nanti kalo udah selesai disini.”
Rhea menurut. Tes demi tes yang rutin di jalaninya per 3 - 4 bulan sekali ini sudah dia lakukan sejak kelas dua SMA. Symptom pertamanya muncul saat perayaan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Memang dia mendapatkan menstruasinya jauh lebih lambat daripada Raya dan teman-teman sebayanya. Tiba-tiba hari itu dia merasa pusing luar biasa dan sesak nafas,bahkan muntah-muntah. Om Diki yang memergoki keadaannya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Klinik Papa yang di dekat rumah, waktu itu.
Hasil pemeriksaan menyatakan Rhea kelelahan dan kekurangan darah. Om Diki yang tahu riwayat kesehatan Rhea dan Raya, memintanya datang ke Solo untuk melakukan pemeriksaan ulang, karena dia ingin memastikan sesuatu.
Setelah cek darah dan biopsi sumsum tulang belakang, mereka berdua harus menerima kenyataan pahit bahwa Rhea positif terkena anemia aplastik. Penyakit yang sama yang di bawa Raya dari dalam kandungan. Cara penyembuhannya yang paling efektif adalah dengan transplantasi sel induk. Keluarga kandung kemungkinan terbesar memiliki kecocokan sel induk dan resikonya penolakan pasca transplantasi tidaklah sebesar jika menerima donor dari orang asing.
Dunianya runtuh seketika itu juga. Dia memohon pada Om Diki agar merahasiakan hal ini dari keluarganya. Dia tidak mau membayangkan reaksi Papa mendengar hal ini. Jika reaksinya bagus, dia tidak ingin membuat Papa merasakan kekhawatiran yang sama. Papa sudah cukup sakit saat mengetahui Raya didiagnosa penyakit yang sama semasa dia bayi dulu. Dia juga tidak ingin Raya merasa berkewajiban mengembalikan sel induk yang sudah diterimanya dari Rhea. Dan jika reaksinya cuek, seperti yang selama ini selalu diterimanya, dia tidak ingin menjadi semakin hancur.
Biar ini jadi rahasianya saja. Dan Om Diki, yang merupakan adik dari Papanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang mengerti keadaan Rhea yang sebenarnya. Dia juga yang berkeras agar Rhea tetap menjalani pemeriksaan dan pengobatan sebagaimana mestinya sehingga symptom nya dapat ditekan.
“Sudah siap, Rhea?”
“Iya, Om.”
***
Diki Pramono, begitu namanya. Atau dikenal dengan Dokter Diki, adik dari dokter Azzam, spesialis jantung yang terkenal tidak hanya di Jogja saja. Bahkan hingga ke Jawa Tengah dan sebagian kota di Jawa timur.
Dengan serius dia membaca hasil pemeriksaan keponakannya, Rhea. Berharap kemajuan kondisinya setiap kali dia melakukan hal ini, walaupun kecil pun tidak apa. Dia tidak tega melihat keponakannya begitu pasrah dengan keadaannya seperti ini. Sudah cukup buruk keluarganya mengabaikannya, ditambah dengan penyakit, yang seringnya dianggap sepele gejalanya ini, harus dilawannya juga.
Dari semua orang di keluarga besarnya, mungkin hanya dia yang paling berempati terhadap keadaan Rhea. Dia tau perang batin gadis itu di tengah tuntutan dan sikap abai keluarganya. Karena dia pun merasakan hal serupa. Sama persis. Di keluarganya, yang paling penting adalah anak pertama laki-laki dan anak perempuan pertama setelahnya. Tidak peduli mereka kembar sekalipun. Sikap kolot yang masih turun temurun dilakukan oleh orang tua dan saudara-saudarinya.
Keponakan kembarnya hanya berjarak tujuh menit, Raya lebih dulu, terlahir lebih kecil dari Rhea yang amat sempurna saat itu. Dengan tangisan kencang yang menandakan jantung yang kuat dan kulit yang merah, khas bayi baru lahir. Pemeriksaan fisiknya pun bagus. Tidak seperti Raya yang tersengal dan pucat, sehingga harus menghabiskan seminggu pertamanya setelah lahir di dalam inkubator di ruang NICU.
Meskipun begitu, kakaknya dan istrinya, tetap menunggui Raya dan mengabaikan Rhea hingga pada akhirnya dia terkena dehidrasi karena jarang disusui dan penyakit kuning yang sering menghampiri bayi yang baru lahir. Bagaimana bisa menyusui kalau setiap kali suaminya disana, kakak iparnya harus mengekor suaminya untuk menengok Raya di dalam tabung.
Rhea tumbuh dengan baik mengingat kurangnya atensi dari keluarganya. Meskipun dia sering diabaikan, dia masih terus berusaha memenuhi tuntutan keluarganya yang harus selalu sempurna.
“Kamu belum dapet mens mu bulan ini?” Tanyanya sambil membolak balik hasil tes.
“Belum, Om. Tapi biasanya kan emang nggak teratur gitu, Om.”
“Iya, karena anemia-mu. Makan masih teratur kan?”
Rhea mengacungkan dua jempolnya. Dia bisa makan apa saja, dan dalam jumlah yang benar-benar besar kadang-kadang. Tapi bisa juga tidak bisa makan apa-apa saat anemianya kambuh.
“Om rencananya mau ngurangin resep obatmu, biar nggak ketergantungan. Salah-salah nanti ginjal sama hatimu yang kena. Transfusi darah juga bukan hal bagus, karena bikin kamu lemes dan mual-mual setelahnya.”
Rhea meringis. Dia tau sempitnya opsi yang dia punya. Karena selain anemianya ini, dia juga punya hal lain yang bikin pengobatannya hampir mustahil.
“Kenapa juga rhesusmu harus negatif. Darah AB aja udah susah banget, apalagi ini negatif.” Om Diki menggaruk pipinya. Kebiasannya kalau sedang bingung.
Benar.
Golongan darahnya AB dengan rhesus negatif. Golongan darah dalam kategori langka. Hanya sekitar 0,1% orang asia yang memilikinya. Bahkan di China dan Taiwan, orang dengan golongan darah ini diberi tunjangan besar oleh pemerintah untuk merawat tubuhnya agar jangan sampai jatuh sakit.
Berita bagusnya, atau buruknya, Mama memiliki rhesus negatif, dengan golongan darah A, Raya dan Baim memiliki darah AB, tapi hanya Raya yang memiliki rhesus negatif seperti dirinya.
“Kan Rhea nggak bisa request rhesus, Om.” Dia membela diri sambil merengut.
“Om sudah siapkan tiga kantong, Tapi mungkin nggak kepake semua. Kamu istirahat dulu, nanti abis isya kita mulai tranfusi ya.”
“Oke, Bos.”
Mereka berdua keluar dari ruang pemeriksaan dan menuju kamar rawat saat ponsel Rhea berdering.
“Mama, Om.” Dia berbisik kaget.
Oke, sebenarnya dia panik. Dia jarang sekali dicari oleh keluarganya. Paling Raya, dan kadang, masih dalam hitungan jari, Mama. Dan tadi Rhea sudah menitipkan pesan pada Mbak Yanti kalau dia mau nginep di ‘rumah temen’.
“Angkat, Rhe.”
“Jawab apa?”
“Angkat dulu. Biar nggak kuatir.”
Rhea menurut. “Assalamu’alaikum, Ma?”
“Kamu dimana, Sayang? Mama jemput kamu di apotik tapi kata Alfi hari ini kamu setengah hari.”
Mampus! Rhea melihat Om Diki dengan mata memelas, meminta tolong. Om nya memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Eh, em…kondangan, Mah. Rencana mau nginep di rumah temen.” Dia nggak bisa bohong. Nanti credit dosanya ditanggung Om Diki ya, Ya Allah. Pokoknya Rhea makmum aja.
“Kondangan kemana? Udah mau selesai? Nggak usah nginep, yah. Hari ini Naya sama orang tuanya mau dateng ke rumah.”
“Mbak Rhea, sudah dateng? Sebelah sini Mbak.” Suster Maya, salah satu suster yang kenal baik dengannya, menggiringnya ke laboratorium untuk pengecekan darah dan biopsi sumsum tulang. “Mbak Rhea hari ini pucet banget. Dapet?”
“Nggak Sus, dari kemarin badannya udah kaya gini. Ini juga memarnya gede banget nggak mau ilang.” Rhea menunjukkan memar keunguan di lengan dalam bagian atas.
“Walah, iya lho, gede banget ini. Yuk, langsung ganti baju lab biar bisa langsung sama Dokter Diki nanti kalo udah selesai disini.”
Rhea menurut. Tes demi tes yang rutin di jalaninya per 3 - 4 bulan sekali ini sudah dia lakukan sejak kelas dua SMA. Symptom pertamanya muncul saat perayaan ulang tahunnya yang ke tujuh belas. Memang dia mendapatkan menstruasinya jauh lebih lambat daripada Raya dan teman-teman sebayanya. Tiba-tiba hari itu dia merasa pusing luar biasa dan sesak nafas,bahkan muntah-muntah. Om Diki yang memergoki keadaannya langsung membawanya ke rumah sakit terdekat. Klinik Papa yang di dekat rumah, waktu itu.
Hasil pemeriksaan menyatakan Rhea kelelahan dan kekurangan darah. Om Diki yang tahu riwayat kesehatan Rhea dan Raya, memintanya datang ke Solo untuk melakukan pemeriksaan ulang, karena dia ingin memastikan sesuatu.
Setelah cek darah dan biopsi sumsum tulang belakang, mereka berdua harus menerima kenyataan pahit bahwa Rhea positif terkena anemia aplastik. Penyakit yang sama yang di bawa Raya dari dalam kandungan. Cara penyembuhannya yang paling efektif adalah dengan transplantasi sel induk. Keluarga kandung kemungkinan terbesar memiliki kecocokan sel induk dan resikonya penolakan pasca transplantasi tidaklah sebesar jika menerima donor dari orang asing.
Dunianya runtuh seketika itu juga. Dia memohon pada Om Diki agar merahasiakan hal ini dari keluarganya. Dia tidak mau membayangkan reaksi Papa mendengar hal ini. Jika reaksinya bagus, dia tidak ingin membuat Papa merasakan kekhawatiran yang sama. Papa sudah cukup sakit saat mengetahui Raya didiagnosa penyakit yang sama semasa dia bayi dulu. Dia juga tidak ingin Raya merasa berkewajiban mengembalikan sel induk yang sudah diterimanya dari Rhea. Dan jika reaksinya cuek, seperti yang selama ini selalu diterimanya, dia tidak ingin menjadi semakin hancur.
Biar ini jadi rahasianya saja. Dan Om Diki, yang merupakan adik dari Papanya. Hanya dia satu-satunya keluarga yang mengerti keadaan Rhea yang sebenarnya. Dia juga yang berkeras agar Rhea tetap menjalani pemeriksaan dan pengobatan sebagaimana mestinya sehingga symptom nya dapat ditekan.
“Sudah siap, Rhea?”
“Iya, Om.”
***
Diki Pramono, begitu namanya. Atau dikenal dengan Dokter Diki, adik dari dokter Azzam, spesialis jantung yang terkenal tidak hanya di Jogja saja. Bahkan hingga ke Jawa Tengah dan sebagian kota di Jawa timur.
Dengan serius dia membaca hasil pemeriksaan keponakannya, Rhea. Berharap kemajuan kondisinya setiap kali dia melakukan hal ini, walaupun kecil pun tidak apa. Dia tidak tega melihat keponakannya begitu pasrah dengan keadaannya seperti ini. Sudah cukup buruk keluarganya mengabaikannya, ditambah dengan penyakit, yang seringnya dianggap sepele gejalanya ini, harus dilawannya juga.
Dari semua orang di keluarga besarnya, mungkin hanya dia yang paling berempati terhadap keadaan Rhea. Dia tau perang batin gadis itu di tengah tuntutan dan sikap abai keluarganya. Karena dia pun merasakan hal serupa. Sama persis. Di keluarganya, yang paling penting adalah anak pertama laki-laki dan anak perempuan pertama setelahnya. Tidak peduli mereka kembar sekalipun. Sikap kolot yang masih turun temurun dilakukan oleh orang tua dan saudara-saudarinya.
Keponakan kembarnya hanya berjarak tujuh menit, Raya lebih dulu, terlahir lebih kecil dari Rhea yang amat sempurna saat itu. Dengan tangisan kencang yang menandakan jantung yang kuat dan kulit yang merah, khas bayi baru lahir. Pemeriksaan fisiknya pun bagus. Tidak seperti Raya yang tersengal dan pucat, sehingga harus menghabiskan seminggu pertamanya setelah lahir di dalam inkubator di ruang NICU.
Meskipun begitu, kakaknya dan istrinya, tetap menunggui Raya dan mengabaikan Rhea hingga pada akhirnya dia terkena dehidrasi karena jarang disusui dan penyakit kuning yang sering menghampiri bayi yang baru lahir. Bagaimana bisa menyusui kalau setiap kali suaminya disana, kakak iparnya harus mengekor suaminya untuk menengok Raya di dalam tabung.
Rhea tumbuh dengan baik mengingat kurangnya atensi dari keluarganya. Meskipun dia sering diabaikan, dia masih terus berusaha memenuhi tuntutan keluarganya yang harus selalu sempurna.
“Kamu belum dapet mens mu bulan ini?” Tanyanya sambil membolak balik hasil tes.
“Belum, Om. Tapi biasanya kan emang nggak teratur gitu, Om.”
“Iya, karena anemia-mu. Makan masih teratur kan?”
Rhea mengacungkan dua jempolnya. Dia bisa makan apa saja, dan dalam jumlah yang benar-benar besar kadang-kadang. Tapi bisa juga tidak bisa makan apa-apa saat anemianya kambuh.
“Om rencananya mau ngurangin resep obatmu, biar nggak ketergantungan. Salah-salah nanti ginjal sama hatimu yang kena. Transfusi darah juga bukan hal bagus, karena bikin kamu lemes dan mual-mual setelahnya.”
Rhea meringis. Dia tau sempitnya opsi yang dia punya. Karena selain anemianya ini, dia juga punya hal lain yang bikin pengobatannya hampir mustahil.
“Kenapa juga rhesusmu harus negatif. Darah AB aja udah susah banget, apalagi ini negatif.” Om Diki menggaruk pipinya. Kebiasannya kalau sedang bingung.
Benar.
Golongan darahnya AB dengan rhesus negatif. Golongan darah dalam kategori langka. Hanya sekitar 0,1% orang asia yang memilikinya. Bahkan di China dan Taiwan, orang dengan golongan darah ini diberi tunjangan besar oleh pemerintah untuk merawat tubuhnya agar jangan sampai jatuh sakit.
Berita bagusnya, atau buruknya, Mama memiliki rhesus negatif, dengan golongan darah A, Raya dan Baim memiliki darah AB, tapi hanya Raya yang memiliki rhesus negatif seperti dirinya.
“Kan Rhea nggak bisa request rhesus, Om.” Dia membela diri sambil merengut.
“Om sudah siapkan tiga kantong, Tapi mungkin nggak kepake semua. Kamu istirahat dulu, nanti abis isya kita mulai tranfusi ya.”
“Oke, Bos.”
Mereka berdua keluar dari ruang pemeriksaan dan menuju kamar rawat saat ponsel Rhea berdering.
“Mama, Om.” Dia berbisik kaget.
Oke, sebenarnya dia panik. Dia jarang sekali dicari oleh keluarganya. Paling Raya, dan kadang, masih dalam hitungan jari, Mama. Dan tadi Rhea sudah menitipkan pesan pada Mbak Yanti kalau dia mau nginep di ‘rumah temen’.
“Angkat, Rhe.”
“Jawab apa?”
“Angkat dulu. Biar nggak kuatir.”
Rhea menurut. “Assalamu’alaikum, Ma?”
“Kamu dimana, Sayang? Mama jemput kamu di apotik tapi kata Alfi hari ini kamu setengah hari.”
Mampus! Rhea melihat Om Diki dengan mata memelas, meminta tolong. Om nya memberi isyarat untuk mengikutinya.
“Eh, em…kondangan, Mah. Rencana mau nginep di rumah temen.” Dia nggak bisa bohong. Nanti credit dosanya ditanggung Om Diki ya, Ya Allah. Pokoknya Rhea makmum aja.
“Kondangan kemana? Udah mau selesai? Nggak usah nginep, yah. Hari ini Naya sama orang tuanya mau dateng ke rumah.”
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved