Bab 4 EMPAT

by Veedrya 09:56,Apr 01,2021
“Rhe, lo belom berangkat?” Raya menyembulkan kepalanya di balik pintu kamar mandi.
Rhea menyibak selimutnya, memperlihatkan betisnya yang penuh tambalan koyo. “Masuk siang. Nggak tahan gue. Heels is hell!” Geramnya yang malah disambut tawa oleh Raya.
Bu Dokter pagi ini sudah rapi. Jadwal hariannya adalah ke klinik Papanya yang di Gatot Subroto dari jam setengah delapan sampai jam sepuluh pagi. Lalu lanjut ke rumah sakit daerah dari jam sebelas hingga jam dua siang. Lanjut lagi di klinik yang di C.S Tubun dari jam tiga sampai jam 7 malam. Selebihnya dia fakultatif dan flexible jika dibutuhkan di Klinik. Seingat Rhea begitu.
Raya memegang dua cabang klinik tandem bergantian dengan Baim, Papa dan Mamanya masing-masing dua yang berada di luar kota. Dengan jumlah total enam klinik tersebar di seluruh Jogja. Karena kesibukan yang gila itulah, mereka hanya bisa berkumpul di pagi hari saat sarapan saja. Tapi toh Rhea suka mangkir. Seperti hari ini.
“Pulang jam berapa semalem lo? Nggak denger suara mobil Naya nganterin.”
Rhea mendengus. “Gue pulang sendiri.”
“Loh? Dia nggak nganter pulang? Ada masalah?” Lanjutnya berbisik. Dia duduk di kursi rias samping ranjangnya dengan penasaran.
“Orangnya nggak yang kaya gue kira.” Jawabnya singkat.
“Terus terus?”
“Yaa….” Dia ragu. Dia tidak pandai menyimpan rahasia. Terutama dari Raya. Oh, kecuali rahasia itu. Tapi itu karena tidak ada yg bertanya. Belum ada yang curiga tentang absennya dia beberapa hari per tiga-empat bulan. Seandainya ditanya dia pun akan kebingungan seperti ini. “Dia nggak nolak dijodohin. Tapi dia bilang dia lagi ada pacar.” Sengaja dia tidak menyebutkan bagian ‘nggak berencana mutusin pacar gue’-nya Naya.
“Ih, kok gitu! Trus lo?” Raya mencak-mencak nggak terima.
Semakin diladeni, semakin penasaran Raya jadinya. Rhea membutuhkan pengalih. “Panjang ceritanya! You’re late by the way.”
“My Gosh!” Dia berseru panik melihat jam meja Raya yang menunjukkan waktu hampir pukul tujuh pagi. “Papa pasti udah nunggu gue! Lo utang cerita sama gue! Lo nggak turun?”
“Bilang aja gue masuk angin. Kapan-kapan kalo gue inget, gue ceritain.” Sahutnya enteng sebelum kembali bergelung di balik selimutnya.
Telponnya berdering tak lama kemudian. Membuatnya lagi-lagi harus rela menyibak selimutnya.
“Halo.”
“Rhea.”
Dia mendadak terbangun. Tindakan yang kurang tepat karena mendadak kepalanya jadi pusing dan berkunang-kunang. Dia memaki dalam hati. Mengingatkan untuk tidak langsung berdiri setelah ini. Dia Mengambil kalender meja dan melihat tanggal hari ini.
Shit! Kok bisa lupa!
“Maaf, Dok! Saya lupa.”
Suara berat di seberang mendesah. “Seharusnya dua hari yang lalu. Kita coba telepon tapi kamu unreachable.” Rhea meringis. Ponselnya dimatikan dua hari yang lalu gara-gara Raya. “Besok jadwalnya Raya check up, jadi saya akan di Klinik Pusat untuk mengawasi. Kamu gimana?”
Udah telat dua hari. Tapi dia belum merasakan apa-apa. Dia juga belum mendapatkan menstruasinya. Mungkin karena itu dia masih merasa baik-baik saja. “Saya masih ada obatnya, Dok. Masih…. Setengah strip. Masih bisa untuk lima hari kedepan.”
“Nggak ada keluhan, kan? Menstruasi lancar?”
“Belum mens, Dok. Mungkin gara- gara itu jadi masih kerasa enak aja.”
“Ya sudah. Saya aturkan jadwal kamu setelah Raya. Di RS Indrayanti, Solo Baru.”
“Makasih banyak, Dok.” Gumamnya.
Lagi-lagi orang di seberang itu mendesah. “Kamu masih belum kasih tau Papa Mama?”
“Belum.”
“Om cuma khawatir sama keadaan kamu.” Kata orang itu pelan.
“Rhea tau, Om.
Rhea makasih banget Om Diki mau bantu Rhea. Rhea masih minta tolong buat rahasiakan kondisi Rhea dari Papa Mama ya, Om.”
Mereka berbincang sejenak sebelum memutuskan sambungan.
***
Good luck buat monthly examine nya. Semoga nggak sampe nginep di RS
Pesannya terkirim pada Raya yang langsung dibalas.
Oh, iya! Lupakasi tau lo tadi. Thank youuu o.o
Dia sudah sampai di apotek. Sempat kaget tadi saat keluar kamar bareng sama Baim. Dia nggak mengira Baim masih ada di rumah. Biasanya dia selalu berangkat pagi-pagi. Tapi untung cuma Baim. Papa sama Mama semua sudah berangkat, mungkin sekalian antar Raya untuk examination. Setelah beberapa detik bertatapan, Baim akhirnya berlalu. Mereka memang secanggung itu.
Dan karena terbiasa dicuekin, Rhea jadi males nyapa. Ngapain nyapa kalo ujung-ujungnya di kacangin.
Sesampainya di apotik, dia langsung disibukkan dengan pekerjaannya. Cek pembukuan, cek stock report yang dibuat Ojan, cek tagihan dan cek jadwal pengiriman supply minggu ini. Terkesan agak sepele dan monoton, tapi karena sebelum weekend dia sudah ogah-ogahan kerja sekarang kerjaannya jadi bertumpuk!
Dan dia bete.
Dan kalau dia bete, dia suka mendadak migrain.
Bruk!
“Eh, Rhe?!
Gapapa?”
“Bentar, Jan. Gue pusing banget. Biarin kek gini dulu bentar.” Ojan memang panikan, tapi kepala yang migrain ini butuh sandaran secepatnya. Akhirnya dia menumpukan kepalanya di atas tumpukan semua laporan di depan Ojan. Lebih tepat disebut menjatuhkan, makanya nggak heran kalau Ojan sampai panik.
“Gue ambilin minum ya. Lo mau minum obat? Biasanya kalo lo sakit lo suka minta Alfi kasi obat apa itu.”
“Air aja, please. Thanks.”
Ojan balik dengan gelas berisi air hangat seperti yang biasa dia minum. Dia menerimanya, meneguknya tiga kali dan meletakkannya di samping printer saat Alfi masuk.
“Rhe, ada yang nyari tuh, di depan. Lha? Muka kenapa kusut pucet gitu deh?”
“Migren gue, Fi. Siapa yang nyari?”
“Ga tau. Tapi gini orangnya.” Dia mengacungkan dua jempolnya yang membuat Ojan langsung berlari ke pintu geser untuk mengintip.
“Yang mana, sih?”
“Ojan nggak usah rese!” Dia menukas gemas, membuat cowok kurus yang agak melambai itu manyun.
“Ngomong-ngomong iklan lowongan kerja buat jaga apotek yang gue posting seminggu lalu, belum ada yang dateng masukin lamaran?”
“Oh, iya, lupa kasi lo!” Alfi berlari ke depan dan kembali membawa tiga amplop coklat. “Nih. Lo liat-liat aja dulu. Shafa bilang yang di sana juga ada beberapa yang masukin.” Shafa adalah istri Adrian, yang juga bekerja sebagai kasir di apotek cabang.
“Nanti gue liat. Gue temuin dulu si tamu ini.”
Dia keluar, tapi di dalam apotek sepi, tidak ada siapa-siapa. Baru hendak berbalik memanggil Alfi, seseorang masuk dari pintu depan dan membuatnya terkesiap pelan. Perasaan ini lagi?
“Hai.” Sapanya sambil tersenyum. Cakep, seperti sebelumnya. Kali ini kacamatanya di taruh di saku kemejanya.
“Ngapain lo kesini?” Rhea agak kaget juga dia datang dengan wajah ramah seperti tidak terjadi apa-apa semalam. Yah, toh Rhea merasa tidak salah juga sih. Dia menyiram Naya karena Naya menggampangkan hal yang baginya penting. Dia nggak
Suka.
“Make sure my future wife’s okay.”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100