Bab 9 SEMBILAN

by Veedrya 09:59,Apr 01,2021
Naya sampai apartemennya hampir tengah malam. Dia tinggal sendiri. Apartemen ini dibangun setelah dia lulus kuliah FK di salah satu universitas di Jogja dan kebetulan langsung menjadi dokter muda di salah satu rumah sakit umum daerah. Lokasinya juga kebetulan sangat strategis, dekat dengan kota, dan tidak begitu jauh dari rumah utamanya.
Gajinya memang belum seberapa saat itu, tapi dia ingin lebih mandiri. Jadi dia meminjam uang muka dari Mamanya dan berusaha mencicil satu unit apartemen dua kamar di pinggiran kota Jogja. Sekarang, setelah menyelesaikan resident tiga tahun yang lalu, dan resmi menjadi dokter spesialis, dia sudah mendapatkan tawaran dari beberapa rumah sakit besar di Jogja yang tentu saja tidak akan dia sia-siakan.
Ya, berbeda dengan anggapan orang yang baru mengenal dirinya, dia amat serius dengan profesinya. Ada alasan kenapa dia bertekad menjadi seorang dokter, the good and best one! Dan dia mungkin akan menghalalkan segala cara yang bisa diterima untuk sampai kesana.
Ya, termasuk menerima perjodohannya dengan putri bungsu Dokter Azzam.
Dia mulai melepaskan bajunya dan memasukkannya ke dalam mesin cuci yang langsung berputar itu. Besok asisten rumah tangga yang datang seminggu dua kali itu biar bisa
menyetrika baju-bajunya.
Dia melanjutkan ke kamar mandi dan mulai ritual malamnya sebelum tidur. Membersihkan diri. Lucunya, sebagai dokter, dia tidak suka bau rumah sakit di luar rumah sakit.
Ponselnya berdering di akhir mandinya. Dia mengangkatnya setelah membaca caller id penelpon. Soraya.
“Halo, Hon.” Sapanya.
“Udah pulang, Beb?”
“Baru selesai mandi. How’s Singapore?”
Suara kesayangannya mendesah di seberang. “It’s great. But it would be greater if you were here.”
Naya tertawa pelan. Gadisnya sedang berada di Singapura karena dikontrak salah satu vendor makanan di sana untuk menjadi food tester and quality control sebuah brand makanan selama enam bulan. Hari dimana Rhea melihatnya bersama dengan Sora di Mall waktu itu adalah hari keberangkatan Sora. Dan hingga saat ini, Sora belum tahu bahwa dia sudah bertunangan.
Mereka ngobrol agak lama, saling melepas rindu. Hal yang rutin mereka lakukan sejak Sora ke Singapura.
“You should rest, Baby. Jadwalmu besok pagi.”
“You too.” Naya menjawab lembut.
“Ya udah matiin.” Sora tertawa karena Naya masih mempertahankan sambungan telpon.
“You first.”
“No, you first.”
Sora terkikik. Dengan Naya, kadang mereka menjalani hubungan yang dewasa, bergairah, menggebu-gebu, saling membutuhkan dan menguntungkan. Tapi kadang juga terasa seperti roman picisan dan cinta monyet anak SMP. Cringey.
“Bareng, ya. In Three?”
“Tapi aku masih kangen.” Sora merengek.
“Aku juga, Hon. Insomniaku kambuh nggak ada kamu.”
“Bukannya kalo ada aku kamu juga nggak tidur?” Sora menjawab dengan suara yang didesahkan. Seksi. “Jangan bawa-bawa insomnia jadi kambing hitam, Beb.”
Naya tertawa. “Honey, masa aku dikasih rejeki dan kesempatan malah kuanggurin, sih? Mubadzir, namanya.” jawabnya ngaco.
“Yah, karena aku nggak ada di sana, dan nggak bisa bikin kamu sibuk sampe ketiduran, kamu tidur sendiri dulu, ya. Don’t miss me too much.”
Anehnya, Naya memang tidak sekangen itu pada Sora. Dia tercenung dengan kenyataan yang barusan menghantam kepalanya hingga dia linglung.
***
Kalau ada yang Rhea syukuri dari pertunangan ini, itu adalah sikap Mama. Mama jadi lebih sering menghabiskan waktu dengannya, dan sering meminta tolong ini itu, walaupun ujung-ujungnya ada Naya nya.
Seperti sore ini, saat Mama tiba-tiba telpon menyuruhnya untuk menemaninya ke salon langganannya. Yang tentu saja tidak mungkin ditolak Rhea.
Katakan saja dia haus kasih sayang, jablay, atau istilah-istilah lain sejenisnya. Dia tidak keberatan. Karena nyatanya, dia memang merindukan itu semua. Perhatian adalah hal paling mewah yang dia idamkan. Terutama dari Papa, Mama dan Baim. Jadi saat ada kesempatan seperti ini, kenapa nggak? Mengingat mungkin ini satu-satunya hal positif dalam pertunangan ini.
“Gue kayaknya harus pulang cepet lagi deh, Fi.” Katanya murung.
Walaupun excited, tapi dia tidak suka meninggalkan pekerjaan yang belum beres seperti ini. Terlebih itu tanggung jawabnya.
“Nyonya besar lagi?” Rhea mengangguk.
Alfi adalah teman yang dikenalkan Adrian kepadanya. Karena mereka seumuran, Rhea jadi merasa lebih dekat dengan Alfi dari pada dengan Ojan maupun Ghista dan Dara, penjaga toko dan apoteker junior yang baru bergabung di apotik mereka menggantikan pegawainya yang keluar karena menikah. Terlebih, Rhea memang setertutup itu pada orang baru.
“Iya nih, gue disuruh nemenin lagi.”
“Hari ini ada apa aja yang harus di follow up?” Alfi menawarkan bantuan, membuat Rhea terharu. Dia harus catat untuk kasih Alfi insentif dari gajinya sendiri akhir bulan ini.
“Rencana gue mau ajarin Dara update stock pake sistem. Dia kan udah lumayan ngerti tentang obat-obat dan cara nyatat stock pake kartu stock orang dia lulusan D3 farmasi. Kalo dia udah ngerti baru Ghista yang diajarin. Tapi Ghista juga nggak bisa kan dibiarin jaga sendirian.” Dia malah sibuk bermonolog. Lalu teringat cowok kurus yang hobi boyband yang berusaha tidak menampakkan dirinya dari tadi di belakang layar PC. “Ojan.”
“Iya, Rhe?” Setelah kaget yang penuh drama, yang dipanggil menyahut juga.
“Lo lembur bentar ya, nanti. Bantuin gue.”
“Eh tapi… eh, iyaaa iyaaa, oke.” Jawabnya gugup karena Rhea menatapnya datar. Gagal deh dia streaming live idolnya, sore ini.
“Tolong ajarin Dara pake sistem ya. Yang teliti. Biar keliatan keren gitu, mana tau bisa digebet.” Rhea ‘menyemangati’
Apanya yang digebet, cewek model begitu. Mantannya aja Lisa Blackpink! Sekarang dia lagi PDKT sama Yeri RV, Dara mah kaya remahan upil. Tapi toh dia ngangguk juga, menyanggupi. Rhea kalau ngamuk galaknya kaya Song Jihyo pangkat 10.
“Bilangin sama dia juga besok pagi gue test, udah bisa sampe mana. Trus Alfi, cek kerjaan Ghista ya. Udah sesuai SOP belum. Kalo belum, jangan sungkan negor, biar bisa diperbaikin. Front liner itu kan wajah kita, jadi harus bagus.”
“Siap, deh.”
“Udah sih, itu aja. Nanti kalo kerjaan lo udah selesai, bisa lo email in ke gue ya, Jan? Lo juga Fi, kalo laporan toko hari ini udah kelar bisa lo email in gue.”
“Iya, iya. Santai aja. Lo buruan sana, pergi. Ntar diomel lagi kalau telat.”
Rhea meringis. Mamanya nggak pernah ngomel, tapi kalau sedang jengkel, dia suka ngomong panjang banget, dengan nada lembut, yang bikin orang jadi ngerasa nggak enak. Banget. Lebih seram daripada dimarahi.
Dia bersiap mengemasi barangnya, mengambil kunci motornya dan berpamitan. Baru akan keluar dari pintu utama apotik, dia melihat Naya keluar dari mobil dan menghampirinya.
Ih, firasat jelek, deh. Mana disenyumin pula. Rhea memaksa dirinya untuk terus nyinyir. Karena dengan begitu dia berharap, pesona Naya tidak akan terlalu berefek padanya. Tengsin lah kalau dia ketahuan klepek-klepek sama Naya. Walaupun aslinya iya. Sedikit.
“Pas banget.”
Sapa Naya memamerkan deretan gigi pepsodent nya.

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100