Bab 8 DELAPAN

by Veedrya 09:58,Apr 01,2021
Rhea sengaja tidak mau ambil pusing dengan perjodohan ini. Dia sudah pasti tidak akan bisa menolak. Dan harapan awalnya pada Naya, paling tidak agar perjodohan ini terasa lebih manusiawi juga harus pupus, karena cowok brengsek itu tidak mau, bahkan memikirkannya saja tidak, melepas ceweknya dan menjaga kesetiannya pada Rhea.
Jadi, karena hidupnya sebelum ini pun sudah lumayan ruwet, dia memutuskan untuk tidak menambah bebannya dengan memikirkan tentang perjodohan ini. Biarlah Mama, Papa dan Naya saja yang ribet. Dirinya tinggal ikut arus seperti biasanya. Kalau tidak suka, dia bisa mundur cantik, seperti hari ini.
Naya tiba-tiba datang mengajaknya makan siang bareng. Rhea heran. Naya ini kan dokter ya, tapi sumpah, dia bisa selow banget jadwalnya. Nggak seperti Baim dan Raya yang kadang di waktu liburnya harus rela di telepon UGD atau jika ada pasien mendadak. Tapi Naya, yang dilihatnya selama tiga bulan mereka menjadi ‘tunangan’, sungguh sangat selow, amat selow bagaikan Via Vallen.
Sesebal apapun dia setiap Naya datang, tetap saja, di sudut hatinya dia merasa… berbunga-bunga? Apalagi dia selalu terlihat sangat ganteng, membuat yang melihat jadi pengen istighfar dan hamdalah bersamaan. Termasuk dia. Rhea tidak kebal dengan pesona Naya.
“Nggak bisa Nay, hari ini stock dateng. Gue harus bantuin Alfi dan ngawasin kerjaan trainee baru.” Katanya tanpa mengalihkan matanya menelusuri laporan stock yang dibuat Ojan. Sebenarnya kerjaan Ojan hampir selalu bagus, tapi jika meleng sekali saja, dia suka miss. Makanya Rhea harus rela mengecek lagi walaupun sekilas.
Alfi yang dijadikan alasan hanya meringis pada cowok rupawan di depan mereka. Sekarang hampir semua orang di apotek tau tentang kabar pertunangannya. Tentu saja mereka antusias luar biasa menyambut kabar pertunangan Rhea, secara dia memang belum pernah sama sekali terlibat dalam hubungan, setau mereka. Lebih-lebih Adrian yang heboh dan sedikit tidak terima karena tidak jadi orang pertama yang mengetahui tentang pertunangannya.
Terlebih setelah melihat Naya yang bak Mr. Perfect. Ganteng, check. Ramah, check. Perhatian, check. Semua jadi tergila-gila sama dia. Rhea bingung, ini yang tunangannya siapa yang heboh tiap kali Naya datang siapa.
“Fi, stock dateng jam berapa, Fi?” Tanya Naya manis pada Alfi yang sudah blushing tidak karuan. Rhea hanya menggeleng di sampingnya. Payah, Alfi. Lemah.
“Masih nanti jam tiga, sih, jadwalnya.”
“Boleh pinjem Rhea bentar, nggak? Gue balikin deh nanti sebelum jam tiga.”
“I-iya. Boleh.” Tuh, Alfi sampe gagap-gagap jawabnya. Rhea melotot, Alfi seenaknya menjawab. Gue masih bos disini, kan? Pikirnya suram. “Rhe, buruan. Naya nunggu. Ini biar gue aja. Gayatri juga gue aja nanti yang ajarin.” Dia mendorong Rhea pada Naya yang langsung menariknya menjauh, tak lupa sambil memberi kedipan mautnya buat Alfi.
“Apaan, sih. Lepas.”
Protesnya setelah berada di luar apotik. Naya bergeming, wajahnya masih tersenyum geli, tangannya rapat menggandeng Rhea dan menuntunnya ke mobil.
“Kan gue udah pernah bilang, gue suka sentuhan. Biasain ya, Sayang.” Dia menekankan kata sayang sebelum menutup pintu penumpang dan berjalan memutari mobil menuju kursi kemudi. Rhea geram luar biasa.
“Rese banget! Lo tuh bener dokter bukan, sih? Perasaan selo banget hidup lo.”
Dia tertawa, menjalankan mobilnya santai bergabung dengan mobil lainnya di jalan raya. “Gue libur hari ini. Tapi nanti jam lima ada appointment sama pasien di rumah sakit Wates.”
“Bukan urusan gue.”
“Jangan ketus gitu. Lo kan harus apal jadwal gue juga, kaya gue yang udah apal jadwal lo.”
Please, jayusnya kelewatan. Lagian jadwal Rhea kan tiap hari sama. Apotik, dari jam
delapan pagi sampe jam lima sore, senin sampe sabtu! Kecuali tanggal merah!
“Kenapa lo nggak makan sendiri aja, sih? Ribet banget makan pake cari temen!”
“Gue nggak suka makan sendiri.” Naya masih menjawab santai.
Mereka melambat, berbelok memasuki rumah makan, yang walaupun tidak asing, amat sangat jarang dia masuki karena tempatnya seakan berteriak ‘khusus buat yang berduit, yang bokek gigit jari aja jauh-jauh’. Dan walaupun nggak dalam golongan bokek, dia juga tidak berada dalam golongan berduit.
“Kenapa nggak ngajak pacar lo?”
Tawanya kembali terdengar berbarengan dengan mobil berhenti setelah terparkir sempurna.
“Sebenernya gue nggak mau bilang, tapi kalo Sora available, lo nggak akan disini.”
Sialan!
***
Naya nggak bohong pas bilang kalau dia nggak suka makan sendirian. It sucks! Lidahnya tidak bisa merasa makanannya saat sendiri. Karenanya hampir selalu, tiga kali dalam sehari dia akan mencari seseorang untuk menemaninya makan.
Pertemuannya dengan Soraya juga melibatkan waktu makannya. Saat itu dia masih jadi dokter residen di rumah sakit umum daerah di kota Jogja. Soraya sedang mengantar Mamanya check up rutin. Mereka bertemu karena sama-sama makan sendirian di kantin rumah sakit. Dari sana kisah keduanya bermula.
Soraya sangat menikmati waktu makan dan makanannya. Profesinya sebagai food tester lepas untuk beberapa hotel berbintang di Jogja membuatnya sungguh-sungguh jika menyangkut makanan.
Rhea, sebaliknya. Gadis itu bisa makan apa saja sekaligus bisa amat tidak tertarik dengan makanan, selain sebagai syarat untuk hidup. Beberapa kali ‘kencan makan’ dengan Rhea membuatnya sedikit paham tentang gadis kurus yang hobi memakai kemeja gombrong, jeans dan dikucir kuda.
Naya melihat Rhea yang melahap makanannya. Wajahnya datar. Tidak ada obrolan di antara mereka. Biasanya memang Naya yang memulai pembicaraan. Bukan karena Naya tertarik jadi dia melakukan modus untuk pendekatan, hanya saja, dia merasa seumur hidup terlalu lama dilewati dengan orang asing yang tidak dikenal. Jadi sekarang dia sedang berusaha mengenal Rhea. Lagi Pula, tujuannya juga belum tercapai.
“Ini mau diem-dieman aja?” Naya yang tidak tahan akhirnya bertanya.
“Ya ngobrol aja. Biasa juga lo gitu, kan?” Rhea cuek.
Naya mendesah kesal. Dia selalu nggak habis pikir sama Rhea. Kelakuannya bahkan nggak seperti cewek pada umumnya. Dia cantik, agak tomboy, walaupun tidak sesupel saudari kembarnya, tapi menurut Naya dia Asyik. Dia lumayan senang sebetulnya menghabiskan waktu dengan cewek ini. Tapi seringnya, dikadalin seperti ini.
Rhea ini matanya rabun apa ya, ada cowok seganteng ini di depannya dia malah sok cuek. Apa dia nggak sadari kalau banyak pandangan iri mengarah padanya sendari tadi?
“Malah diem?”
Naya memfokuskan kembali perhatiannya. Enggan mengakui kalau dari tadi pikirannya berkelana, tidak bersama mereka disitu.
“Bingung mau ngomong apa.”
“Biasa ngobrolin cewek lo.”
“Gue kira lo males dikuliahin.” Sebenarnya bukan ngobrolin, lebih ke membandingkan. Yah, dia kan anak dokter terkenal, bakal jadi istri dokter juga, paling nggak, dia harus belajar membawa diri, kan? Dan menurut Naya, Sora cocok menjadi contoh. Dia cantik, memiliki pembawaan yang baik dan sebenarnya girlfriend material sekali.
“Asal lo nggak bandingin gue aja sama dia.”
“Gue kan ngasih contoh yang bagus biar lo bisa improve.”
Rhea mendengus keras, yang sangat tidak feminin sekali. Tapi Naya tidak keberatan. “Gue paling nggak suka dibandingin. Ini gue. Kalo lo nggak suka, buang aja.”
“Bukannya lo udah biasa dibandingin? Sama Raya terutama. Kalian kembar, that can’t be helped.”

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

100