Bab 9: Kupastikan Kalian Mati Bersama
by Michael Bosley
16:06,Dec 05,2024
Andreas tidak berusaha menghindar dan hanya menjilat bibirnya yang sedikit asin. Lalu, dia terkekeh pada dirinya sendiri, "Sepertinya aku memang terlalu usil. Bu Emma nggak tahu terima kasih. Ditolong malah memperlakukan aku seperti anjing!"
Saat itu, Andreas memarkir mobil di pinggir jalan dan melepas sabuk pengaman.
Emma dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya dan berkata khawatir, "Tunggu! Kamu pergi begitu saja? Xander bagaimana?"
Andreas perlahan melepaskan tangannya. "Jangan khawatir, aku, Andreas Malcolm, selalu melakukan apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku yang mengalahkan Xander, jadi aku nggak akan menyakitimu, Bu Emma."
Begitu kalimat itu keluar, Andreas membanting pintu dan keluar dari mobil.
Emma menyadari apa yang terjadi, tetapi dia tidak terlalu peduli. Dengan langkah cepat, dia turun dari mobil tanpa sepatu dan mengejar Andreas.
Andreas mengangkat alisnya dan bertanya, "Apa lagi sekarang?"
Dengan nada keras kepala, Emma bicara dengan mata berkaca-kaca, "Jangan pergi!"
Andreas akhirnya menoleh. "Kamu khawatir aku akan kabur dan membuat masalah ke depannya? Nggak masalah, telepon saja si Xander itu. Jangan khawatir, aku akan menunggunya dan nggak akan kabur."
Emma menggigit bibirnya dengan keras, air mata mulai mengalir deras di pipinya, "Dasar bajingan!"
Tak lama kemudian, Emma kehilangan kendali atas emosinya. Dia berjongkok di tanah, memeluk lututnya sendiri dan menangis tanpa henti. Sosoknya yang kurus dan lemah membuat siapapun yang melihatnya merasa kasihan.
Melihat perubahan drastis itu, Andreas panik. Dia tidak punya pengalaman dalam menghadapi keadaan seperti ini, jadi dia buru-buru berkata, "Kenapa menangis? Aku kan belum pergi. Jangan menangis, ya. Aku nggak pergi, oke?"
Saat Emma tetap diam, Andreas tanpa sadar melepaskan mantelnya dan dengan lembut mengenakannya di bahu Emma.
Mungkin kenyamanan itu sedikit mengurangi kesedihan Emma karena tangisannya mulai mereda meskipun wajahnya masih terkubur di antara lututnya. Terkadang, suara tangisannya terdengar pelan, "Terima kasih ... terima kasih ...."
Andreas tertegun. "Apa katamu barusan?"
Emma mengangkat kepalanya dan dengan suara yang lebih keras berteriak, "Kamu tuli? Aku bilang terima kasih!"
Andreas terdiam sejenak, bingung dengan perubahan sikap yang tiba-tiba itu.
Dia hanya pasrah dan mencoba membujuk, "Baguslah, tapi kenapa kamu berterima kasih? Kalau ada yang mau kamu katakan, nanti saja setelah kamu tenang."
Emma meraih lengan mantelnya dan menyeka sudut matanya. Setelah itu, dia berdiri, melemparkan pakaian itu ke Andreas dan berkata dengan dingin. "Apa lihat-lihat?"
Tanpa memedulikan tatapan terkejut Andreas, dia melanjutkan seolah bicara pada dirinya sendiri, "Terima kasih sudah membantuku barusan, tapi kamu nggak tahu siapa yang kamu pukul itu. Dia adalah cucu tertua dari keluarga Vanderbilt, pewaris utama dari aset triliunan. Dengan status dan latar belakangnya, kalau Xander mau menghancurkan orang sepertimu, dia nggak perlu repot-repot. Cukup dengan surat pengacara, dia bisa membuatmu bangkrut dan bahkan memenjarakanmu!"
"Aku benar-benar nggak mengerti. Kalau kamu mau membantu, sebenarnya ada banyak cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah ini. Kenapa kamu tetap memilih tindakan begini? Sebegitunya kamu merasa hebat saat melindungi seorang wanita? Itu sangat kekanak-kanakan, tahu!"
"Andreas, asal kamu tahu, sudah ada banyak pria yang mencoba mendekati seorang Emma Golding dari dulu. Kamu bukan yang pertama dan jelas bukan yang terakhir. Apa yang kamu lakukan hari ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi semua orang."
Andreas tidak gentar. "Karena aku berani bertindak, tentu aku juga nggak takut bertanggung jawab!"
Emma terkekeh sinis, "Kamu pikir, kamu bisa menakut-nakuti keluarga Vanderbilt cuma pakai otot? Andreas, kalau iya, aku cuma bisa bilang kalau kamu itu benar-benar bodoh!"
Melihat Andreas ingin berbicara, Emma segera mengibaskan tangannya dengan kesal. "Sudahlah, aku malas bertengkar denganmu dan aku nggak punya waktu mendengar penjelasanmu. Terserah kalau memang kamu nggak taku, tapi kamu sudah dewasa, 'kan? Bukannya sebaiknya kamu pikir-pikir dulu konsekuensinya sebelum bertindak? Apa yang akan terjadi pada keluargamu kalau semuanya jadi kacau? Apa yang akan terjadi padaku nanti? Nasibmu juga bagaimana?"
Hati Andreas terasa seperti dihantam palu raksasa. "Jadi, kamu khawatir aku kenapa-kenapa?"
Emma menatapnya dengan sinis, "Haha, nggak usah berpikir macam-macam. Kamu itu cuma sopir pengganti. Apa peduliku dengan hidupmu?"
Sambil berkata begitu, Emma mengeluarkan kartu bank dari dompetnya dan melemparkannya ke tangan Andreas. Tanpa penjelasan apa-apa, dia menulis serangkaian angka di tangan Andreas dengan pena.
Andreas tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar, "Apa maksudnya ini?"
Suasana hati Emma sudah kembali normal. Suaranya tegas dan dingin saat berkata, "Ini kode pin kartuku. Isinya ada dua miliar. Seorang Emma Golding nggak pernah berhutang pada siapa pun. Sekarang urusan kita sudah selesai. Sebaiknya kamu pergi dari Alverton dan jangan kembali lagi. Aku nggak mau melihatmu lagi!"
Dengan itu, Emma berbalik dan pergi, tidak memberi kesempatan kepada Andreas untuk berbicara.
Andreas tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Mau ke mana?"
Emma tidak menoleh. "Mau ikut campur lagi? Pergi sana!"
Padahal nadanya sangat dingin seakan menyuruh orang menjauh, tetapi di telinga Andreas malah terkesan manja dan lucu. Pria itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbalik dan kembali ke mobil. Setelah membuka pintu, dia duduk di kursi penumpang.
Emma terkejut bukan main. "Kamu ... kenapa kamu ke sini?"
Andreas mengembalikan kartu bank di tangannya. "Aku nggak butuh kartu ini dan aku nggak akan meninggalkan Alverton. Tentu saja, kamu juga nggak perlu khawatirkan aku. Seperti yang kubilang tadi, aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini dan aku akan bertanggung jawab sampai akhir!"
Emma sulit mempercayainya, tetapi saat itu juga, teleponnya tiba-tiba berbunyi. Dia memberi isyarat agar Andreas diam, lalu ragu-ragu menjawab panggilan itu.
Belum sempat Emma berbicara, suara marah Xander terdengar dari ujung telepon, "Dasar jalang sialan! Beraninya kamu menghasut bajingan itu untuk menyerangku? Aku sudah bilang, tamat sudah nasib saudaramu. Jangan harap aku mau menolong dia! Seluruh keluarga Golding, termasuk kamu, kupastikan kalian semua dikubur bersama dia!"
Ekspresi Emma berubah dan suaranya terdengar tegang, "Xander, tolong dengarkan penjelasanku ...."
Xander menyela dengan nada mengejek, "Penjelasan? Oke, aku beri waktu setengah jam untuk datang ke rumah keluarga Vanderbilt dan temui aku langsung! Ingat untuk bersih-bersih badan dulu sebelum ke sini. Kalau kamu bisa membuat aku puas, mungkin aku masih bisa menerima kamu sebagai istriku. Kalau nggak, siap-siap saja menanggung konsekuensinya!"
Kemarahan Emma yang selama ini terpendam akhirnya pecah saat mendengar kata-kata kasar itu, "Xander, jangan paksa aku! Meskipun keluarga Vanderbilt punya pengaruh, aku, Emma Golding, bukan orang bodoh! Kita tunangan, tapi apa nyatanya? Berapa banyak wanita yang sudah kamu goda dalam dua tahun ini? Bahkan aku dengar kamu berani begitu di Alverton!"
"Aku nggak tahan lagi kali ini. Jadi, apa salahnya kalau aku yang melakukan itu? Berhubung kamu sendiri menganggap pertunangan ini seperti permainan anak-anak, apa hakmu untuk memintaku tetap setia dan menjaga kesucianku cuma untukmu?"
"Xander, dengar baik-baik. Bukan berani nggak ada pria yang mengejar seorang Emma Golding. Banyak pria yang mengejarku di seluruh Alverton. Alasan aku setuju menikah denganmu bukan karena status atau karena aku silau dengan kekayaan keluarga Vanderbilt, tapi karena keluargaku nggak membiarkan aku memilih. Pernikahan itu disepakati secara diam-diam tanpa persetujuanku dan diumumkan tanpa sepengetahuanku!"
"Aku masih punya harga diri dan kehormatan. Kesepakatan itu sudah telanjur, jadi aku terima nasibku. Tapi kamu harus mengerti satu hal, aku, Emma, nggak punya kewajiban menikah denganmu. Jadi, kamu nggak berhak berbuat seenaknya padaku! Kalau kamu terus mendesak begini, aku juga bisa berbuat seenaknya!"
Saat itu, Andreas memarkir mobil di pinggir jalan dan melepas sabuk pengaman.
Emma dengan cepat menggenggam pergelangan tangannya dan berkata khawatir, "Tunggu! Kamu pergi begitu saja? Xander bagaimana?"
Andreas perlahan melepaskan tangannya. "Jangan khawatir, aku, Andreas Malcolm, selalu melakukan apa yang terbaik untuk diriku sendiri. Aku yang mengalahkan Xander, jadi aku nggak akan menyakitimu, Bu Emma."
Begitu kalimat itu keluar, Andreas membanting pintu dan keluar dari mobil.
Emma menyadari apa yang terjadi, tetapi dia tidak terlalu peduli. Dengan langkah cepat, dia turun dari mobil tanpa sepatu dan mengejar Andreas.
Andreas mengangkat alisnya dan bertanya, "Apa lagi sekarang?"
Dengan nada keras kepala, Emma bicara dengan mata berkaca-kaca, "Jangan pergi!"
Andreas akhirnya menoleh. "Kamu khawatir aku akan kabur dan membuat masalah ke depannya? Nggak masalah, telepon saja si Xander itu. Jangan khawatir, aku akan menunggunya dan nggak akan kabur."
Emma menggigit bibirnya dengan keras, air mata mulai mengalir deras di pipinya, "Dasar bajingan!"
Tak lama kemudian, Emma kehilangan kendali atas emosinya. Dia berjongkok di tanah, memeluk lututnya sendiri dan menangis tanpa henti. Sosoknya yang kurus dan lemah membuat siapapun yang melihatnya merasa kasihan.
Melihat perubahan drastis itu, Andreas panik. Dia tidak punya pengalaman dalam menghadapi keadaan seperti ini, jadi dia buru-buru berkata, "Kenapa menangis? Aku kan belum pergi. Jangan menangis, ya. Aku nggak pergi, oke?"
Saat Emma tetap diam, Andreas tanpa sadar melepaskan mantelnya dan dengan lembut mengenakannya di bahu Emma.
Mungkin kenyamanan itu sedikit mengurangi kesedihan Emma karena tangisannya mulai mereda meskipun wajahnya masih terkubur di antara lututnya. Terkadang, suara tangisannya terdengar pelan, "Terima kasih ... terima kasih ...."
Andreas tertegun. "Apa katamu barusan?"
Emma mengangkat kepalanya dan dengan suara yang lebih keras berteriak, "Kamu tuli? Aku bilang terima kasih!"
Andreas terdiam sejenak, bingung dengan perubahan sikap yang tiba-tiba itu.
Dia hanya pasrah dan mencoba membujuk, "Baguslah, tapi kenapa kamu berterima kasih? Kalau ada yang mau kamu katakan, nanti saja setelah kamu tenang."
Emma meraih lengan mantelnya dan menyeka sudut matanya. Setelah itu, dia berdiri, melemparkan pakaian itu ke Andreas dan berkata dengan dingin. "Apa lihat-lihat?"
Tanpa memedulikan tatapan terkejut Andreas, dia melanjutkan seolah bicara pada dirinya sendiri, "Terima kasih sudah membantuku barusan, tapi kamu nggak tahu siapa yang kamu pukul itu. Dia adalah cucu tertua dari keluarga Vanderbilt, pewaris utama dari aset triliunan. Dengan status dan latar belakangnya, kalau Xander mau menghancurkan orang sepertimu, dia nggak perlu repot-repot. Cukup dengan surat pengacara, dia bisa membuatmu bangkrut dan bahkan memenjarakanmu!"
"Aku benar-benar nggak mengerti. Kalau kamu mau membantu, sebenarnya ada banyak cara yang lebih baik untuk menyelesaikan masalah ini. Kenapa kamu tetap memilih tindakan begini? Sebegitunya kamu merasa hebat saat melindungi seorang wanita? Itu sangat kekanak-kanakan, tahu!"
"Andreas, asal kamu tahu, sudah ada banyak pria yang mencoba mendekati seorang Emma Golding dari dulu. Kamu bukan yang pertama dan jelas bukan yang terakhir. Apa yang kamu lakukan hari ini bukan cuma merugikan diri sendiri, tapi semua orang."
Andreas tidak gentar. "Karena aku berani bertindak, tentu aku juga nggak takut bertanggung jawab!"
Emma terkekeh sinis, "Kamu pikir, kamu bisa menakut-nakuti keluarga Vanderbilt cuma pakai otot? Andreas, kalau iya, aku cuma bisa bilang kalau kamu itu benar-benar bodoh!"
Melihat Andreas ingin berbicara, Emma segera mengibaskan tangannya dengan kesal. "Sudahlah, aku malas bertengkar denganmu dan aku nggak punya waktu mendengar penjelasanmu. Terserah kalau memang kamu nggak taku, tapi kamu sudah dewasa, 'kan? Bukannya sebaiknya kamu pikir-pikir dulu konsekuensinya sebelum bertindak? Apa yang akan terjadi pada keluargamu kalau semuanya jadi kacau? Apa yang akan terjadi padaku nanti? Nasibmu juga bagaimana?"
Hati Andreas terasa seperti dihantam palu raksasa. "Jadi, kamu khawatir aku kenapa-kenapa?"
Emma menatapnya dengan sinis, "Haha, nggak usah berpikir macam-macam. Kamu itu cuma sopir pengganti. Apa peduliku dengan hidupmu?"
Sambil berkata begitu, Emma mengeluarkan kartu bank dari dompetnya dan melemparkannya ke tangan Andreas. Tanpa penjelasan apa-apa, dia menulis serangkaian angka di tangan Andreas dengan pena.
Andreas tertegun sejenak sebelum akhirnya sadar, "Apa maksudnya ini?"
Suasana hati Emma sudah kembali normal. Suaranya tegas dan dingin saat berkata, "Ini kode pin kartuku. Isinya ada dua miliar. Seorang Emma Golding nggak pernah berhutang pada siapa pun. Sekarang urusan kita sudah selesai. Sebaiknya kamu pergi dari Alverton dan jangan kembali lagi. Aku nggak mau melihatmu lagi!"
Dengan itu, Emma berbalik dan pergi, tidak memberi kesempatan kepada Andreas untuk berbicara.
Andreas tak bisa menahan diri untuk bertanya, "Mau ke mana?"
Emma tidak menoleh. "Mau ikut campur lagi? Pergi sana!"
Padahal nadanya sangat dingin seakan menyuruh orang menjauh, tetapi di telinga Andreas malah terkesan manja dan lucu. Pria itu terdiam sejenak, sebelum akhirnya berbalik dan kembali ke mobil. Setelah membuka pintu, dia duduk di kursi penumpang.
Emma terkejut bukan main. "Kamu ... kenapa kamu ke sini?"
Andreas mengembalikan kartu bank di tangannya. "Aku nggak butuh kartu ini dan aku nggak akan meninggalkan Alverton. Tentu saja, kamu juga nggak perlu khawatirkan aku. Seperti yang kubilang tadi, aku akan membantumu menyelesaikan masalah ini dan aku akan bertanggung jawab sampai akhir!"
Emma sulit mempercayainya, tetapi saat itu juga, teleponnya tiba-tiba berbunyi. Dia memberi isyarat agar Andreas diam, lalu ragu-ragu menjawab panggilan itu.
Belum sempat Emma berbicara, suara marah Xander terdengar dari ujung telepon, "Dasar jalang sialan! Beraninya kamu menghasut bajingan itu untuk menyerangku? Aku sudah bilang, tamat sudah nasib saudaramu. Jangan harap aku mau menolong dia! Seluruh keluarga Golding, termasuk kamu, kupastikan kalian semua dikubur bersama dia!"
Ekspresi Emma berubah dan suaranya terdengar tegang, "Xander, tolong dengarkan penjelasanku ...."
Xander menyela dengan nada mengejek, "Penjelasan? Oke, aku beri waktu setengah jam untuk datang ke rumah keluarga Vanderbilt dan temui aku langsung! Ingat untuk bersih-bersih badan dulu sebelum ke sini. Kalau kamu bisa membuat aku puas, mungkin aku masih bisa menerima kamu sebagai istriku. Kalau nggak, siap-siap saja menanggung konsekuensinya!"
Kemarahan Emma yang selama ini terpendam akhirnya pecah saat mendengar kata-kata kasar itu, "Xander, jangan paksa aku! Meskipun keluarga Vanderbilt punya pengaruh, aku, Emma Golding, bukan orang bodoh! Kita tunangan, tapi apa nyatanya? Berapa banyak wanita yang sudah kamu goda dalam dua tahun ini? Bahkan aku dengar kamu berani begitu di Alverton!"
"Aku nggak tahan lagi kali ini. Jadi, apa salahnya kalau aku yang melakukan itu? Berhubung kamu sendiri menganggap pertunangan ini seperti permainan anak-anak, apa hakmu untuk memintaku tetap setia dan menjaga kesucianku cuma untukmu?"
"Xander, dengar baik-baik. Bukan berani nggak ada pria yang mengejar seorang Emma Golding. Banyak pria yang mengejarku di seluruh Alverton. Alasan aku setuju menikah denganmu bukan karena status atau karena aku silau dengan kekayaan keluarga Vanderbilt, tapi karena keluargaku nggak membiarkan aku memilih. Pernikahan itu disepakati secara diam-diam tanpa persetujuanku dan diumumkan tanpa sepengetahuanku!"
"Aku masih punya harga diri dan kehormatan. Kesepakatan itu sudah telanjur, jadi aku terima nasibku. Tapi kamu harus mengerti satu hal, aku, Emma, nggak punya kewajiban menikah denganmu. Jadi, kamu nggak berhak berbuat seenaknya padaku! Kalau kamu terus mendesak begini, aku juga bisa berbuat seenaknya!"
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved