Bab 7: Desakan Demi Desakan
by Michael Bosley
16:06,Dec 05,2024
Tamparan keras itu membuat Karina tersentak. Ketika dia mengangkat kepalanya lagi, wajahnya sudah merah dan bengkak, rambutnya acak-acakan, dan sudut bibirnya berdarah. Matanya menyala dengan kemarahan saat dia berteriak, "Dasar banci! Padahal cuma sopir rendahan, beraninya menamparku ...."
Namun, sebelum kata-katanya selesai, Andreas melayangkan tamparan lain dengan punggung tangannya, disusul tendangan tajam yang langsung menghantam perut Karina. Tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah dengan keras!
Pria itu menyerang wanita tanpa belas kasihan, layaknya memetik bunga dengan kasar.
Aksinya begitu cepat dan mendadak. Ketika semua orang akhirnya sadar, wanita yang sebelumnya meluapkan kemarahan kini sudah terbaring di tanah. Entah apakah dia masih sadar atau sudah tak sadarkan diri.
Adegan yang terjadi begitu tiba-tiba membuat semua orang di tempat itu tertegun. Bahkan Emma, yang biasanya tak mudah terkejut, tidak pernah menyangka bahwa Andreas, pria yang tampak biasa saja itu, berani memukul seseorang dan korbannya adalah Karina!
Walaupun keluarga Smith bukan bagian dari lingkaran atas, mereka tetap memiliki kekayaan besar. Sementara itu, Xander, cucu tertua dari keluarga kaya, bisa mengabaikan keluarga Smith tanpa konsekuensi besar. Namun, Andreas? Dia hanyalah seorang sopir biasa. Dengan posisi seperti itu, dari mana keberanian sebesar ini muncul?
Apa dia sudah tidak waras?
Emma tidak bisa memahami tindakan Andreas. Seandainya Andreas ingin membantu, dia hanya perlu bersikeras membantah tanpa mengakui apa pun. Lagipula, siapa yang bisa memaksanya mengaku? Bahkan Xander dengan pengaruhnya sekalipun tak mungkin memaksakan skandal ini menjadi kenyataan. Namun, Andreas malah memilih pendekatan metode langsung yang mendominasi dan tidak masuk akal untuk menyelesaikan masalah ini.
Hasilnya memang efektif. Suasana tegang langsung hening dan pertengkaran yang sempat memanas terhenti begitu saja.
Namun, hati Emma tidak bisa tenang. Ada sesuatu tentang keberanian Andreas yang terasa janggal, seperti seseorang yang dengan paksa melanggar batas yang selama ini dia lindungi.
Sementara itu, Andreas menjadi pusat perhatian, membuat Xander terlihat kesal. Kehadirannya yang seharusnya mendominasi kini seolah tersisih. Dengan seringai dingin, dia kembali merebut kendali situasi. "Bawa wanita itu kembali ke keluarga Smith. Sampaikan semua yang kukatakan. Beri tahu mereka bahwa kepala keluarga Smith harus datang ke rumah keluarga Vanderbilt sebelum matahari terbenam untuk meminta maaf secara langsung!"
Perintah itu segera dilaksanakan dan perlahan-lahan, kerumunan yang menyaksikan kejadian itu mulai membubarkan diri.
Melihat situasi mulai mereda, Xander perlahan menghampiri Emma. Pandangannya sempat tertuju pada Andreas sebelum lengannya dengan santai melingkari pinggang ramping Emma. Tindakan yang jelas dimaksudkan untuk menunjukkan kepemilikan.
Emma mengerutkan kening. Meski dikenal berkepribadian kuat, dia adalah wanita yang memegang teguh nilai-nilai konservatif. Sejak bertunangan dengan Xander, dia selalu menjaga jarak, bahkan menolak disentuh, apalagi sedekat ini. Sebaliknya, Xander justru mengabaikannya, meninggalkannya sendirian di Alverton selama dua tahun, dan terus menunda pernikahan mereka.
Saat merasakan pelanggaran dari Xander, naluri Emma mendorongnya untuk melawan. Namun, tatapannya sempat tertuju pada mata Andreas yang tampak menggelap seraya memaksa dirinya untuk tetap tenang. Seolah ingin mengingatkan Andreas tentang statusnya sebagai tunangan Xander, Emma justru merespons dengan membalas pelukan itu, menunjukkan ekspresi seolah penuh kasih sayang.
Andreas mengepalkan tinjunya, lalu kemudian menertawakan dirinya sendiri. Situasi sudah terkendali, pikirnya. Emma bukan lagi seorang wanita yang bisa jatuh ke dalam jurang kehidupan semudah itu. Dia kini adalah seorang CEO tangguh dari keluarga terpandang. Mengapa dia, seorang sopir, harus peduli padanya? Mengapa dia ingin melindunginya meskipun wanita itu tidak butuh perlindungannya? Lebih mungkin, Emma hanya ingin segera menjauhkan diri darinya, dengan jelas dan tanpa keraguan.
Merasa tidak ingin berlarut-larut dalam situasi ini, Andreas menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan berat, lalu berbalik pergi. Tanpa menoleh, dia berkata datar, "Bu Emma, saya pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, silakan hubungi saya lagi."
Saat Andreas melangkah pergi, Emma dengan tenang melepaskan diri dari pelukan Xander tanpa menarik perhatian. Dia menangkap pesan tersirat dari Andreas. Dia mencoba memperbaiki citra Emma dan meluruskan semua kekeliruan. Namun, rasa kehilangan yang aneh tiba-tiba menyergap hatinya, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting.
Xander, dengan mata dingin dan nada yang penuh wibawa, tiba-tiba berkata tajam, "Tunggu sebentar!"
Setelah itu, dia langsung memberi perintah, "Bawa mobil Bu Emma ke sini. Aku ikut."
Tanpa memberi Emma kesempatan untuk menolak, Xander memandangnya dengan senyum lembut yang terkesan dibuat-buat. "Emma, nggak apa-apa, 'kan?"
Emma refleks menggigit bibir. Tatapannya tertuju pada Andreas yang berjalan menjauh. Ketika dia melihat Andreas tampak tidak peduli, Emma akhirnya mengangguk pelan, menerima situasi itu dengan tenang.
Namun, detail kecil itu tidak luput dari perhatian Xander. Dia melihat cara Emma mencuri pandang ke Andreas sebelum akhirnya setuju. Ada kilatan mengerikan yang nyaris tidak terlihat dalam senyuman pria itu, sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.
Dalam perjalanan pulang, mobil Porsche Emma memimpin di depan, diikuti oleh beberapa Mercedes-Benz hitam milik keluarga Vanderbilt. Barisan kendaraan itu menciptakan pemandangan mencolok, membuat mobil-mobil lain di jalan memberi jalan dengan penuh hormat.
Suasana dalam mobil begitu sunyi hingga terasa mencekam. Andreas mengemudi dengan tenang, berusaha keras untuk tidak melirik kaca spion. "Bu Emma, kita mau ke mana?"
Sebelum Emma sempat menjawab, Xander menyeringai dan menjawab dengan nada rendah, "Vila Grand Mirage Nomor 6. Vila keluarga Vanderbilt."
Emma mengernyit tidak nyaman. "Xander, tadi aku keluar buru-buru hari. Rasanya nggak pantas kalau langsung datang tanpa persiapan. Bagaimana kalau ...."
Namun, Xander memotong ucapannya dengan senyum santai. "Tenang saja, hari ini nggak ada siapa-siapa di rumah. Lagi pula, malam ini ada jamuan makan. Nona Vivian memintaku secara khusus untuk menjemputmu. Kita datang sama-sama, jadi semuanya akan baik-baik saja."
Emma mencoba mempertahankan ekspresi tenang sambil memaksakan senyuman. "Kalau begitu, aku harus pulang dulu untuk siap-siap. Terlalu mendadak kalau begini."
Sayangnya, Xander tidak memberi Emma ruang untuk mundur. "Nggak perlu repot. Nanti aku bisa suruh orang buat mengambilkan semua barang yang kamu perlukan di rumah keluarga Golding. Lebih praktis."
Emma hendak membalas, tetapi sebelum kata-katanya keluar, Xander menoleh padanya. Tatapan matanya berubah dingin, dan nadanya menjadi tajam. "Emma, kamu adalah tunangan Xander Vanderbilt. Perlu aku ingatkan tentang itu?"
Emma menarik napas dalam-dalam. "Apa maksudnya, Xander?"
Xander menyalakan rokok, mengisapnya perlahan, lalu berkata dengan santai sambil menyilangkan kaki. "Jangan pura-pura nggak tahu. Dua tahun lalu, kamu nggak membiarkan aku menyentuhmu. Padahal sudah dua tahun, tapi kamu masih sama. Apa kamu sengaja pura-pura polos, atau sengaja mau membuatku kehilangan muka?"
Emma berbalik menatapnya dengan tegas. "Aku nggak paham maksudmu."
Xander tak memedulikan kehadiran Andreas dan langsung melanjutkan. "Nggak paham juga? Oke, biar aku jelaskan. Aku baru saja menempuh perjalanan lebih dari sepuluh jam di pesawat. Sekarang aku mau melampiaskan rasa lelahku pada seorang wanita. Kamu tunanganku, bukannya wajar aku minta padamu?"
Meski Emma adalah wanita tangguh, situasi ini membuatnya merasa inferior. Dengan tenang, dia menjawab, "Sepertinya kamu salah paham. Keluarga Golding mendidikku dengan sangat baik. Aku bukan tipe wanita seperti yang kamu bayangkan."
Xander mengangkat bahu dengan ekspresi seolah-olah tidak peduli. "Aku nggak peduli soal itu. Yang jelas, buatku lebih susah mencari siluman katak daripada wanita. Kalau kamu nggak mau menurut, aku tinggal menelepon wanita lain. Percaya atau nggak, ada banyak wanita yang akan dengan senang hati mempercantik diri dan menungguku di ranjang hotel."
Ekspresi jijik yang tidak tersembunyi terlihat di wajah Emma, tetapi Xander tampak tak terpengaruh. Dia mengembuskan asap rokok ke arahnya, nadanya berubah lebih mendesak. "Tapi, nasib saudaramu bagaimana? Kalau aku nggak bantu dia memperbaiki hubungan dengan keluarga Hart, kamu pikir keluarga Hart akan membiarkan dia begitu saja?"
Emma mengertakkan gigi, menggigit bibirnya erat-erat. Tekanan besar menyerangnya seperti badai yang tak terhindarkan di tengah lautan!
Namun, sebelum kata-katanya selesai, Andreas melayangkan tamparan lain dengan punggung tangannya, disusul tendangan tajam yang langsung menghantam perut Karina. Tubuhnya terlempar dan jatuh ke tanah dengan keras!
Pria itu menyerang wanita tanpa belas kasihan, layaknya memetik bunga dengan kasar.
Aksinya begitu cepat dan mendadak. Ketika semua orang akhirnya sadar, wanita yang sebelumnya meluapkan kemarahan kini sudah terbaring di tanah. Entah apakah dia masih sadar atau sudah tak sadarkan diri.
Adegan yang terjadi begitu tiba-tiba membuat semua orang di tempat itu tertegun. Bahkan Emma, yang biasanya tak mudah terkejut, tidak pernah menyangka bahwa Andreas, pria yang tampak biasa saja itu, berani memukul seseorang dan korbannya adalah Karina!
Walaupun keluarga Smith bukan bagian dari lingkaran atas, mereka tetap memiliki kekayaan besar. Sementara itu, Xander, cucu tertua dari keluarga kaya, bisa mengabaikan keluarga Smith tanpa konsekuensi besar. Namun, Andreas? Dia hanyalah seorang sopir biasa. Dengan posisi seperti itu, dari mana keberanian sebesar ini muncul?
Apa dia sudah tidak waras?
Emma tidak bisa memahami tindakan Andreas. Seandainya Andreas ingin membantu, dia hanya perlu bersikeras membantah tanpa mengakui apa pun. Lagipula, siapa yang bisa memaksanya mengaku? Bahkan Xander dengan pengaruhnya sekalipun tak mungkin memaksakan skandal ini menjadi kenyataan. Namun, Andreas malah memilih pendekatan metode langsung yang mendominasi dan tidak masuk akal untuk menyelesaikan masalah ini.
Hasilnya memang efektif. Suasana tegang langsung hening dan pertengkaran yang sempat memanas terhenti begitu saja.
Namun, hati Emma tidak bisa tenang. Ada sesuatu tentang keberanian Andreas yang terasa janggal, seperti seseorang yang dengan paksa melanggar batas yang selama ini dia lindungi.
Sementara itu, Andreas menjadi pusat perhatian, membuat Xander terlihat kesal. Kehadirannya yang seharusnya mendominasi kini seolah tersisih. Dengan seringai dingin, dia kembali merebut kendali situasi. "Bawa wanita itu kembali ke keluarga Smith. Sampaikan semua yang kukatakan. Beri tahu mereka bahwa kepala keluarga Smith harus datang ke rumah keluarga Vanderbilt sebelum matahari terbenam untuk meminta maaf secara langsung!"
Perintah itu segera dilaksanakan dan perlahan-lahan, kerumunan yang menyaksikan kejadian itu mulai membubarkan diri.
Melihat situasi mulai mereda, Xander perlahan menghampiri Emma. Pandangannya sempat tertuju pada Andreas sebelum lengannya dengan santai melingkari pinggang ramping Emma. Tindakan yang jelas dimaksudkan untuk menunjukkan kepemilikan.
Emma mengerutkan kening. Meski dikenal berkepribadian kuat, dia adalah wanita yang memegang teguh nilai-nilai konservatif. Sejak bertunangan dengan Xander, dia selalu menjaga jarak, bahkan menolak disentuh, apalagi sedekat ini. Sebaliknya, Xander justru mengabaikannya, meninggalkannya sendirian di Alverton selama dua tahun, dan terus menunda pernikahan mereka.
Saat merasakan pelanggaran dari Xander, naluri Emma mendorongnya untuk melawan. Namun, tatapannya sempat tertuju pada mata Andreas yang tampak menggelap seraya memaksa dirinya untuk tetap tenang. Seolah ingin mengingatkan Andreas tentang statusnya sebagai tunangan Xander, Emma justru merespons dengan membalas pelukan itu, menunjukkan ekspresi seolah penuh kasih sayang.
Andreas mengepalkan tinjunya, lalu kemudian menertawakan dirinya sendiri. Situasi sudah terkendali, pikirnya. Emma bukan lagi seorang wanita yang bisa jatuh ke dalam jurang kehidupan semudah itu. Dia kini adalah seorang CEO tangguh dari keluarga terpandang. Mengapa dia, seorang sopir, harus peduli padanya? Mengapa dia ingin melindunginya meskipun wanita itu tidak butuh perlindungannya? Lebih mungkin, Emma hanya ingin segera menjauhkan diri darinya, dengan jelas dan tanpa keraguan.
Merasa tidak ingin berlarut-larut dalam situasi ini, Andreas menarik napas dalam-dalam, menghembuskannya dengan berat, lalu berbalik pergi. Tanpa menoleh, dia berkata datar, "Bu Emma, saya pulang dulu. Kalau butuh apa-apa, silakan hubungi saya lagi."
Saat Andreas melangkah pergi, Emma dengan tenang melepaskan diri dari pelukan Xander tanpa menarik perhatian. Dia menangkap pesan tersirat dari Andreas. Dia mencoba memperbaiki citra Emma dan meluruskan semua kekeliruan. Namun, rasa kehilangan yang aneh tiba-tiba menyergap hatinya, rasanya seperti kehilangan sesuatu yang sangat penting.
Xander, dengan mata dingin dan nada yang penuh wibawa, tiba-tiba berkata tajam, "Tunggu sebentar!"
Setelah itu, dia langsung memberi perintah, "Bawa mobil Bu Emma ke sini. Aku ikut."
Tanpa memberi Emma kesempatan untuk menolak, Xander memandangnya dengan senyum lembut yang terkesan dibuat-buat. "Emma, nggak apa-apa, 'kan?"
Emma refleks menggigit bibir. Tatapannya tertuju pada Andreas yang berjalan menjauh. Ketika dia melihat Andreas tampak tidak peduli, Emma akhirnya mengangguk pelan, menerima situasi itu dengan tenang.
Namun, detail kecil itu tidak luput dari perhatian Xander. Dia melihat cara Emma mencuri pandang ke Andreas sebelum akhirnya setuju. Ada kilatan mengerikan yang nyaris tidak terlihat dalam senyuman pria itu, sesuatu yang tidak bisa dilihat orang lain.
Dalam perjalanan pulang, mobil Porsche Emma memimpin di depan, diikuti oleh beberapa Mercedes-Benz hitam milik keluarga Vanderbilt. Barisan kendaraan itu menciptakan pemandangan mencolok, membuat mobil-mobil lain di jalan memberi jalan dengan penuh hormat.
Suasana dalam mobil begitu sunyi hingga terasa mencekam. Andreas mengemudi dengan tenang, berusaha keras untuk tidak melirik kaca spion. "Bu Emma, kita mau ke mana?"
Sebelum Emma sempat menjawab, Xander menyeringai dan menjawab dengan nada rendah, "Vila Grand Mirage Nomor 6. Vila keluarga Vanderbilt."
Emma mengernyit tidak nyaman. "Xander, tadi aku keluar buru-buru hari. Rasanya nggak pantas kalau langsung datang tanpa persiapan. Bagaimana kalau ...."
Namun, Xander memotong ucapannya dengan senyum santai. "Tenang saja, hari ini nggak ada siapa-siapa di rumah. Lagi pula, malam ini ada jamuan makan. Nona Vivian memintaku secara khusus untuk menjemputmu. Kita datang sama-sama, jadi semuanya akan baik-baik saja."
Emma mencoba mempertahankan ekspresi tenang sambil memaksakan senyuman. "Kalau begitu, aku harus pulang dulu untuk siap-siap. Terlalu mendadak kalau begini."
Sayangnya, Xander tidak memberi Emma ruang untuk mundur. "Nggak perlu repot. Nanti aku bisa suruh orang buat mengambilkan semua barang yang kamu perlukan di rumah keluarga Golding. Lebih praktis."
Emma hendak membalas, tetapi sebelum kata-katanya keluar, Xander menoleh padanya. Tatapan matanya berubah dingin, dan nadanya menjadi tajam. "Emma, kamu adalah tunangan Xander Vanderbilt. Perlu aku ingatkan tentang itu?"
Emma menarik napas dalam-dalam. "Apa maksudnya, Xander?"
Xander menyalakan rokok, mengisapnya perlahan, lalu berkata dengan santai sambil menyilangkan kaki. "Jangan pura-pura nggak tahu. Dua tahun lalu, kamu nggak membiarkan aku menyentuhmu. Padahal sudah dua tahun, tapi kamu masih sama. Apa kamu sengaja pura-pura polos, atau sengaja mau membuatku kehilangan muka?"
Emma berbalik menatapnya dengan tegas. "Aku nggak paham maksudmu."
Xander tak memedulikan kehadiran Andreas dan langsung melanjutkan. "Nggak paham juga? Oke, biar aku jelaskan. Aku baru saja menempuh perjalanan lebih dari sepuluh jam di pesawat. Sekarang aku mau melampiaskan rasa lelahku pada seorang wanita. Kamu tunanganku, bukannya wajar aku minta padamu?"
Meski Emma adalah wanita tangguh, situasi ini membuatnya merasa inferior. Dengan tenang, dia menjawab, "Sepertinya kamu salah paham. Keluarga Golding mendidikku dengan sangat baik. Aku bukan tipe wanita seperti yang kamu bayangkan."
Xander mengangkat bahu dengan ekspresi seolah-olah tidak peduli. "Aku nggak peduli soal itu. Yang jelas, buatku lebih susah mencari siluman katak daripada wanita. Kalau kamu nggak mau menurut, aku tinggal menelepon wanita lain. Percaya atau nggak, ada banyak wanita yang akan dengan senang hati mempercantik diri dan menungguku di ranjang hotel."
Ekspresi jijik yang tidak tersembunyi terlihat di wajah Emma, tetapi Xander tampak tak terpengaruh. Dia mengembuskan asap rokok ke arahnya, nadanya berubah lebih mendesak. "Tapi, nasib saudaramu bagaimana? Kalau aku nggak bantu dia memperbaiki hubungan dengan keluarga Hart, kamu pikir keluarga Hart akan membiarkan dia begitu saja?"
Emma mengertakkan gigi, menggigit bibirnya erat-erat. Tekanan besar menyerangnya seperti badai yang tak terhindarkan di tengah lautan!
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved