Bab 14 Ke rumah Gilang
by Hurem Petrova
08:53,Jan 03,2021
Sasti berdiri di pinggir jalan untuk menunggu angkutan umum. Mobil Kakek yang dipinjamkan untuk pergi bersama ke tempat pengurus jasa wedding organizer itu, masih di bawa Gilang. Padahal baru sekali-kalinya ini Kakek mau meminjamkan mobil pada Sasti.
Mungkin karena Gilang yang bilang, jika mobil miliknya sedang dalam perbaikan di bengkel karena mengalami body lecet berserempatan dengan mobil lainnya di jalan. Jadi Kakek mau meminjamkan mobilnya pada Sasti.
Jari-jari Sasti terasa pegal karena sejak tadi ia harus mendata semua dokumen yang diperintahkan oleh Pras. Sambil menekuk-nekukkan jari dan kedua matanya melihat ke arah jalanan. Tiba-tiba sebuah mobil yang seperti pernah dilihat Sasti menghampiri. Mobil itu berhenti di pinggirnya.
Sasti menatap mobil mewah berwarna hitam yang berhenti di sampingnya. Kaca mobil bagian belakang diturunkan perlahan. Hingga Memperlihatkan wajah Pras di dalamnya.
“Sasti... Kamu mau pulang?” tanya Pras.
‘Lagi-lagi dia.... kepo,’ kata Sasti di dalam hati.
“Iya, aku mau pulang. Tapi mau ngambil mobil aku di rumah Gilang,” jawab Sasti.
“Gilang?” tanya Pras yang seakan nama itu sekarang familiar di telinganya. Pras mencoba mengingat. ‘Ya, Sasti pernah memanggilnya dengan nama Gilang ketika mabuk. Dan nama Gilang di bahas saat Sasti pulang ke rumah dan dimarahi oleh keluarganya,’ kata Pras di dalam hatinya.
“Ayo aku antar....” kata Pras pada Sasti.
“Antar ke mana?” Justru Sasti yang merasa bingung.
“Katanya kamu mau ke rumahnya Gilang?” tanya Pras pada Sasti. “Aku akan mengantarkanmu dari pada kamu naik angkutan umum kan....”
Sasti menghela nafas panjang. Ia merasa kesal pada Pras. Lama-lama pria di depannya ini selalu ikut campur dengan apa yang ia kerjakan.
“Ayo, cepat masuk!” seru Pras setengah memaksa.
Sasti mengatupkan bibirnya dan kemudian menggelengkan kepala.
“Hei, Bos kamu sedang berbuat baik sama kamu. Bukannya disyukuri. Malah ditolak,” sungut Pras.
“Maaf ya Bos... Tapi ini sudah bukan waktunya jam kerja,” sahut Sasti kesal. “Ini sudah jam pulang kantor, jadi bukan waktu kerjaan saya lagi.....”
Pras menatap Sasti ketika mendengar apa yang diucapkannya itu. Tangan Pras melambai pada Sasti mengisyaratkan agar Sasti lebih mendekat ke arahnya.
Sasti berjalan lebih mendekat ke arah mobil Pras yang berhenti di bahu jalan raya.
Pras mengeluarkan wajahnya keluar jendela dan Sasti mencondongkan punggungnya ke depan untuk mendengarkan apa yang akan Pras ucapkan. Karena dilihat dari air muka Pras. Nampaknya Pras akan mengatakan sesuatu yang penting.
“Ada apa?” tanya Sasti lirih.
“Kamu harus menerima tawaran yang aku berikan. Apa susahnya sih nerima tawaran untuk ke rumah Gilang dan mengambil mobil kamu?” tanya Pras.
Sasti menghela nafas panjang. “Iya, kalo aku engga mau gimana?” tanya Sasti pada Pras. “Bos juga jangan maksa aku dong....”
“Kalo kamu engga mau aku antar, aku bisa pecat kamu!” seru Pras terlihat egois.
“Loh kok bisa?!” seru Sasti dengan kedua alis beradu.
Alis lebat Sasti yang berjajar rapi dan alami itu nampak menambah kecantikan yang membingkai wajahnya. Pras menyukai ekspresi Sasti ketika ia terkejut dan menggurutu. Sasti terlihat sangat menggemaskan ketika itu.
“Aneh....” gerutu Sasti lagi.
“Kamu ingat kan kalo aku yang punya perusahaannya dan aku juga pimpinannya,” kata Pras mengingatkan.
Sasti menghela nafas panjang dan menggepalkan tangan kerena gemas pada Pras. Ia membuka pintu mobil Pras dan masuk ke dalamnya.
Setelah Sasti masuk ke dalam mobil. Supir Pras yang bernama Ari melajukan mobilnya.
Pras menoleh ke arah Sasti yang berwajah di tekuk. Pras ingin tertawa dengan hal itu.
“Ternyata kamu tipe orang yang salah menggunakan jabatan ya....” kata Sasti mulai menggerutu.
Pras tidak menanggapi perasaan kesal Sasti. Ia malah ingin tertawa karenanya. Tapi dengan pengendalian diri, Pras berhasil menahan senyuman dan tawanya walau itu sulit.
“Tapi jangan berhenti tepat di depan rumah Gilang ya. Biar aku masuk sendiri,” kata Sasti memberitahu.
“Baiklah....” jawab Pras. “Katakan di mana alamatnya?”
Sasti memberitahukan di mana alamat rumah Gilang pada Ari yang sudah sangat hafal seluruh jalanan Kota. Dengan cara mengemudikan mobil yang nyaman Ari mengantarkan Pras dan Sasti menuju rumah Gilang.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka sudah sampai di sekitaran rumah Gilang. “Sudah di sini saja!” seru Sasti pada Ari.
Mobil langsung berhenti dengan apik.
“Terima kasih Pras. Walau kamu adalah orang paling kepo yang pernah aku temui, tapi makasih sekali karena sudah mengantarkan aku ke sini....” kata Sasti pada Pras.
Pras hanya menganggukkan kepalanya pelan dengan wajah datarnya yang tidak pernah ketinggalan.
Sasti melangkahkan kaki menuju rumah besar yang ada dua meter dari mobil. Sasti menoleh ke belakang tapi mobil Pras tidak kunjung pergi. Lalu Sasti melangkahkan kakinya berjalan kembali. Dan saat langkah kakinya sudah tujuh langkah Sasti menoleh kembali ke belakang. Mobil Pras masih di tempat yang sama.
Sasti menghentakkan kakinya dan berbalik. Ia berjalan menuju mobil Pras dan menatap Pras dari balik jendela mobil yang sudah terbuka. “Tuan muda Pras, kenapa anda tidak segera pulang?” tanya Sasti kesal.
“Aku menunggumu....” jawab Pras dengan wajah tanpa dosa.
“Apa? Menungguku? Untuk apa? Kamu sudah mengantarkan aku menuju ke sini. Dan aku sudah sampai, ya sudah. Makasih udah mengantarkan aku,” ucap Sasti mulai geram dengan sikap Pras yang amat ingin tahu tentang kehidupannya.
“Aku akan pulang saat aku tahu kamu tidak apa-apa. Tidak terluka dan lain sebagainya....” jelas Pras.
Sasti tau Pras bersifat keras kepala. Maka dari itu ia malas menanggapi Pras. Sasti membalikkan badan dengan perasaan kesal. Lalu ia berjalan kembali menuju rumah Gilang.
Sesampainya tepat di depan pagar rumah Gilang, Sasti menekan bel rumah yang ada di depannya.
Membutuhkan waktu beberapa kali menekan bel rumah untuk pagar hitam ini terbuka.
Akhirnya setelah kesekian kalinya Sasti menekan bel rumah. Seorang asisten rumah tangga berjalan keluar rumah dan mendekati pagar yang tinggi.
Asisten rumah tangga bernama Ijah itu sudah mengenal Sasti. “Non Sasti....” sapanya.
“Hai Bi....” jawab Sasti dengan bibir yang terhias senyuman.
“Mau cari Den Gilang?” tanya Ijah, wanita paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu.
Sasti menganggukkan kepalanya. “Ada hal yang sangat penting....”
“Untung saja tadi pagi Den Gilang engga mau ikut ke Bali bersama Tuan, Nyonya dan Gea,” kata Ijah sambil membukakan kunci pagar.
“Jadi rumah sepi Bi...?” tanya Sasti.
Bi Ijah menganggukkan kepalanya. “Iya Non... rumah sepi, cuma ada saya dan Den Gilang. Tapi ini saya juga mau pulang ke rumah,” kata Bi Ijah yang memang bekerja datang dan pulang tidak menginap di rumah keluarga Gilang.
“Kok pulang sih bi?” tanya Sasti merasa tidak nyaman jika hanya dia dan Gilang yang ada di dalam rumah.
“Pekerjaan saya udah selesai....” jawab Ijah dan kemudian berjalan keluar pagar. Ijah pulang ke rumahnya yang berada di RT kampung belakang perumahan elit ini.
Sasti menghela nafas panjang saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah yang hanya ada Gilang di dalamnya. Dan nanti ia dan Gilang hanya berdua di dalam rumah.
Sepertinya kaki Sasti enggan melangkah menuju ke dalam rumah. Persaannya tidak enak. Tapi Sasti harus mengambil mobil kakek dan berbicara dengan Gilang mengenai mengapa ia malah memfitnahnya dengan mengatakan jika pertunangan dan pernikahan mereka batal karena Sasti yang berselingkuh? Apa maksud Gilang mengatakan hal itu?
‘Gilang harus menjelaskannya padaku!’
Bersambung....
Mungkin karena Gilang yang bilang, jika mobil miliknya sedang dalam perbaikan di bengkel karena mengalami body lecet berserempatan dengan mobil lainnya di jalan. Jadi Kakek mau meminjamkan mobilnya pada Sasti.
Jari-jari Sasti terasa pegal karena sejak tadi ia harus mendata semua dokumen yang diperintahkan oleh Pras. Sambil menekuk-nekukkan jari dan kedua matanya melihat ke arah jalanan. Tiba-tiba sebuah mobil yang seperti pernah dilihat Sasti menghampiri. Mobil itu berhenti di pinggirnya.
Sasti menatap mobil mewah berwarna hitam yang berhenti di sampingnya. Kaca mobil bagian belakang diturunkan perlahan. Hingga Memperlihatkan wajah Pras di dalamnya.
“Sasti... Kamu mau pulang?” tanya Pras.
‘Lagi-lagi dia.... kepo,’ kata Sasti di dalam hati.
“Iya, aku mau pulang. Tapi mau ngambil mobil aku di rumah Gilang,” jawab Sasti.
“Gilang?” tanya Pras yang seakan nama itu sekarang familiar di telinganya. Pras mencoba mengingat. ‘Ya, Sasti pernah memanggilnya dengan nama Gilang ketika mabuk. Dan nama Gilang di bahas saat Sasti pulang ke rumah dan dimarahi oleh keluarganya,’ kata Pras di dalam hatinya.
“Ayo aku antar....” kata Pras pada Sasti.
“Antar ke mana?” Justru Sasti yang merasa bingung.
“Katanya kamu mau ke rumahnya Gilang?” tanya Pras pada Sasti. “Aku akan mengantarkanmu dari pada kamu naik angkutan umum kan....”
Sasti menghela nafas panjang. Ia merasa kesal pada Pras. Lama-lama pria di depannya ini selalu ikut campur dengan apa yang ia kerjakan.
“Ayo, cepat masuk!” seru Pras setengah memaksa.
Sasti mengatupkan bibirnya dan kemudian menggelengkan kepala.
“Hei, Bos kamu sedang berbuat baik sama kamu. Bukannya disyukuri. Malah ditolak,” sungut Pras.
“Maaf ya Bos... Tapi ini sudah bukan waktunya jam kerja,” sahut Sasti kesal. “Ini sudah jam pulang kantor, jadi bukan waktu kerjaan saya lagi.....”
Pras menatap Sasti ketika mendengar apa yang diucapkannya itu. Tangan Pras melambai pada Sasti mengisyaratkan agar Sasti lebih mendekat ke arahnya.
Sasti berjalan lebih mendekat ke arah mobil Pras yang berhenti di bahu jalan raya.
Pras mengeluarkan wajahnya keluar jendela dan Sasti mencondongkan punggungnya ke depan untuk mendengarkan apa yang akan Pras ucapkan. Karena dilihat dari air muka Pras. Nampaknya Pras akan mengatakan sesuatu yang penting.
“Ada apa?” tanya Sasti lirih.
“Kamu harus menerima tawaran yang aku berikan. Apa susahnya sih nerima tawaran untuk ke rumah Gilang dan mengambil mobil kamu?” tanya Pras.
Sasti menghela nafas panjang. “Iya, kalo aku engga mau gimana?” tanya Sasti pada Pras. “Bos juga jangan maksa aku dong....”
“Kalo kamu engga mau aku antar, aku bisa pecat kamu!” seru Pras terlihat egois.
“Loh kok bisa?!” seru Sasti dengan kedua alis beradu.
Alis lebat Sasti yang berjajar rapi dan alami itu nampak menambah kecantikan yang membingkai wajahnya. Pras menyukai ekspresi Sasti ketika ia terkejut dan menggurutu. Sasti terlihat sangat menggemaskan ketika itu.
“Aneh....” gerutu Sasti lagi.
“Kamu ingat kan kalo aku yang punya perusahaannya dan aku juga pimpinannya,” kata Pras mengingatkan.
Sasti menghela nafas panjang dan menggepalkan tangan kerena gemas pada Pras. Ia membuka pintu mobil Pras dan masuk ke dalamnya.
Setelah Sasti masuk ke dalam mobil. Supir Pras yang bernama Ari melajukan mobilnya.
Pras menoleh ke arah Sasti yang berwajah di tekuk. Pras ingin tertawa dengan hal itu.
“Ternyata kamu tipe orang yang salah menggunakan jabatan ya....” kata Sasti mulai menggerutu.
Pras tidak menanggapi perasaan kesal Sasti. Ia malah ingin tertawa karenanya. Tapi dengan pengendalian diri, Pras berhasil menahan senyuman dan tawanya walau itu sulit.
“Tapi jangan berhenti tepat di depan rumah Gilang ya. Biar aku masuk sendiri,” kata Sasti memberitahu.
“Baiklah....” jawab Pras. “Katakan di mana alamatnya?”
Sasti memberitahukan di mana alamat rumah Gilang pada Ari yang sudah sangat hafal seluruh jalanan Kota. Dengan cara mengemudikan mobil yang nyaman Ari mengantarkan Pras dan Sasti menuju rumah Gilang.
Tidak membutuhkan waktu lama, akhirnya mereka sudah sampai di sekitaran rumah Gilang. “Sudah di sini saja!” seru Sasti pada Ari.
Mobil langsung berhenti dengan apik.
“Terima kasih Pras. Walau kamu adalah orang paling kepo yang pernah aku temui, tapi makasih sekali karena sudah mengantarkan aku ke sini....” kata Sasti pada Pras.
Pras hanya menganggukkan kepalanya pelan dengan wajah datarnya yang tidak pernah ketinggalan.
Sasti melangkahkan kaki menuju rumah besar yang ada dua meter dari mobil. Sasti menoleh ke belakang tapi mobil Pras tidak kunjung pergi. Lalu Sasti melangkahkan kakinya berjalan kembali. Dan saat langkah kakinya sudah tujuh langkah Sasti menoleh kembali ke belakang. Mobil Pras masih di tempat yang sama.
Sasti menghentakkan kakinya dan berbalik. Ia berjalan menuju mobil Pras dan menatap Pras dari balik jendela mobil yang sudah terbuka. “Tuan muda Pras, kenapa anda tidak segera pulang?” tanya Sasti kesal.
“Aku menunggumu....” jawab Pras dengan wajah tanpa dosa.
“Apa? Menungguku? Untuk apa? Kamu sudah mengantarkan aku menuju ke sini. Dan aku sudah sampai, ya sudah. Makasih udah mengantarkan aku,” ucap Sasti mulai geram dengan sikap Pras yang amat ingin tahu tentang kehidupannya.
“Aku akan pulang saat aku tahu kamu tidak apa-apa. Tidak terluka dan lain sebagainya....” jelas Pras.
Sasti tau Pras bersifat keras kepala. Maka dari itu ia malas menanggapi Pras. Sasti membalikkan badan dengan perasaan kesal. Lalu ia berjalan kembali menuju rumah Gilang.
Sesampainya tepat di depan pagar rumah Gilang, Sasti menekan bel rumah yang ada di depannya.
Membutuhkan waktu beberapa kali menekan bel rumah untuk pagar hitam ini terbuka.
Akhirnya setelah kesekian kalinya Sasti menekan bel rumah. Seorang asisten rumah tangga berjalan keluar rumah dan mendekati pagar yang tinggi.
Asisten rumah tangga bernama Ijah itu sudah mengenal Sasti. “Non Sasti....” sapanya.
“Hai Bi....” jawab Sasti dengan bibir yang terhias senyuman.
“Mau cari Den Gilang?” tanya Ijah, wanita paruh baya berusia sekitar empat puluh lima tahunan itu.
Sasti menganggukkan kepalanya. “Ada hal yang sangat penting....”
“Untung saja tadi pagi Den Gilang engga mau ikut ke Bali bersama Tuan, Nyonya dan Gea,” kata Ijah sambil membukakan kunci pagar.
“Jadi rumah sepi Bi...?” tanya Sasti.
Bi Ijah menganggukkan kepalanya. “Iya Non... rumah sepi, cuma ada saya dan Den Gilang. Tapi ini saya juga mau pulang ke rumah,” kata Bi Ijah yang memang bekerja datang dan pulang tidak menginap di rumah keluarga Gilang.
“Kok pulang sih bi?” tanya Sasti merasa tidak nyaman jika hanya dia dan Gilang yang ada di dalam rumah.
“Pekerjaan saya udah selesai....” jawab Ijah dan kemudian berjalan keluar pagar. Ijah pulang ke rumahnya yang berada di RT kampung belakang perumahan elit ini.
Sasti menghela nafas panjang saat melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah yang hanya ada Gilang di dalamnya. Dan nanti ia dan Gilang hanya berdua di dalam rumah.
Sepertinya kaki Sasti enggan melangkah menuju ke dalam rumah. Persaannya tidak enak. Tapi Sasti harus mengambil mobil kakek dan berbicara dengan Gilang mengenai mengapa ia malah memfitnahnya dengan mengatakan jika pertunangan dan pernikahan mereka batal karena Sasti yang berselingkuh? Apa maksud Gilang mengatakan hal itu?
‘Gilang harus menjelaskannya padaku!’
Bersambung....
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved