Bab 13 Terkejut
by Hurem Petrova
08:41,Jan 03,2021
“Oh.... Jadi kalian masih bersaudara...?” tanya Pras sambil menatap Nadia dan Sasti yang nampak terlihat dekat.
Sasti tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan, walau kenyataannya tidak seperti itu.
“Ya sudah, selamat makan siang ya.... Kita mau ke meja dulu...” kata Doni sambil menunjuk meja yang tidak jauh dari tempat Pras dan Sasti.
Pras menganggukkan kepalanya. “Oke... Silahkan....”
Doni berjalan ke arah meja mereka sambil memberikan senyum ramah pada Sasti.
Dari kejauhan Nadia tetap memperhatikan Pras dan Sasti. Walau dalam kejauhan sesekali ia mencuri pandang ke arah mereka.
“Jadi kamu punya saudara sepupu di perusahaan kita?” tanya Pras pada Sasti.
Sasti menganggukkan kepalanya pelan.
“Dia juga tinggal di dalam satu atap yang sama dengan rumah kekekmu itu?” tanya Pras ingin tahu.
“Iya....” jawab Sasti lirih.
“Apa dia juga sama sering diperlakukan kasar?” Pras sangat ingin tahu bagaimana kehidupan yang di jalani Sasti. Segala hal tentang Sasti, entah mengapa membuatnya penasaran.
Sasti terdiam. Ia tidak menjawab.
Pras terlihat menunggu jawaban yang akan Sasti berikan. Tapi Sasti tidak menjawabnya. Ia malah mengalihkan pembicaraan ke hal yang lainnya. “Semoga saja kerjaan yang kamu pinta harus selesai sore ini, akan bisa aku selesaikan. Karena aku engga mau lembur. Setelah pulang kerja aku ada urusan....” kata Sasti sambil melirik menatap Pras.
“Memang kamu ada urusan apa?” kaya orang sibuk aja deh,” tutur Pras mengejak.
Sasti menatap Pras dengan tajam. “Kamu yang telah membuatku sibuk....” katanya lirih.
“Aku?” Pras berbalik bertanya. “Apanya? Harusnya kamu bersyukur aku ngasih kamu naik jabatan. Jabatan yang banyak diinginkan oleh orang-orang lainnya.”
“Justru di situ aku malah merasa janggal,” jawab Sasti sambil kembali menatap Pras. “Kenapa kamu memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazah dan kemampuanku?”
Sejenak Pras terdiam ketika di tatap Sasti. Kemudian ia tertawa. “Kata siapa pekerjaan yang aku berikan tidak sesuai? Aku memberikanmu pekerjaan sebagai sekertaris pribadi aku, karena aku yakin kamu pasti bisa. Aku pengusaha berpengalaman, jadi aku punya mata batin dengan apa yang aku lihat.”
Sasti kembali menatap Pras. “Jadi ini bukan karena kamu ingin mengerjaiku?” tanya Sasti lirih.
“Apa? Kamu berfikir jika aku sedang ingin mengerjaimu?” tanya Pras dengan wajah datar.
Wajah Sasti langsung tidak enak. Ia menelan ludahnya yang ada ditenggorokannya karena sepertinya ia salah bicara.
“Aku tidak menyangka jika kamu berfikir seperti itu. Kamu tahu engga, kalo su udzon itu dosa?” kata Pras masih menatap Sasti.
“Iya... iya... maaf. Abis tadinya aku kira begitu. Kamu mengumumkan aku sebagai sekertaris kamu mendadak. Dan pekerjaanku itu tidak sesuai dengan ijazah yang aku miliki,” sahut Sasti memberikan penjalasan.
Untung saja pelayan segera datang membawakan makanan yang mereka pesan. Sehingga mereka tidak jadi berdebat.
Pelayan mendoroang kereta dorong yang berisikan makanan yang dipesan dengan tatanan yang rapi dan menggunggah selera. Pelayan itu menaruhnya di atas meja. Dan Pras memberikannya pada Sasti terlebih dahulu.
Nadia yang melihat dari mejanya nampak merasa ada yang aneh dengan sikap Pras pada Sasti. Walau hatinya yakin jika sepertinya Pras menyukai Sasti. Tapi Nadia tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Karena dalam khayalan saja, Sasti tidak pantas mendapatkan cinta dari seorang CEO. Apa lagi di dunia nyata. Yang pantas menemani dan dicintai CEO seperti Pras itu harusnya wanita yang seperti dirinya, pikir Nadia.
Sesekali Pras memperhatikan Sasti yang menikmati makanannya. Namun beberapa kali juga Sasti meringis seperti menahan perih yang terasa di sudut bibirnya.
Pras menatap Sasti, memperhatikan begitu lekat.
Sasti merasa tidak nyaman ia di tatap sangat dekat oleh Pras.
Pras menyentuh ujung bibir Sasti. Dan mengusap luka kecil itu dengan lembut. “Aku baru sadar jika bibirmu terluka....” kata Pras lirih.
Jantung di dada Sasti seakan berhenti berdetak sesaat. Jarak wajah di antara mereka sangat dekat.
“Apa ini luka bekas pukulan kakekmu?” tanya Pras lirih. Tatapan mata Pras masih menatap sudut bibir Sasi yang terluka itu. Ia merasa iba dengan Sasti.
Wajah Sasti terasa hangat. Aliran darahnya terpompa lebih kencang dari biasanya. Mungkin saat ini wajahnya telah memerah seperti kepeting rebus. Wajah Pras yang sangat dekat dengan Sasti dan jari Pras yang mengusap ujung bibir Sasti yang terluka itu membuat Sasti bingung harus melakukan apa. Sesaat tubuhnya menjadi kaku dan tidak bisa ia gerakkan sampai Pras menjauhkan wajahnya kembali.
Sasti menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan ketika wajah Pras sudah menjauh dari wajahnya. Sasti kembali mengiris daging steak yang telah terbalurkan bumbu itu. Memasukkannya kembali ke dalam mulutnya.
Nadia yang sesekali selalu memperhatikan Sasti dan Pras yang duduk tidak jauh dari mereka. Tiba-tiba langsung tersedak soup yang sedang ia nikmati. “Uhuk!” Rasanya daging sapi dan wortel menyangkut di tenggorokannya.
“Ada apa?” tanya Doni sambil memberikan segelas air mineral pada Nadia. Agar Nadia merasa lebih baik.
Nadia langsung mengambil segelas air mineral yang diberikan Doni padanya. “Hati-hati kalo makan.... Pelan-pelan....” ucap Doni yang khawatir.
“Maaf. Aku tersedak....” kata Nadia. Tatapan Nadia masih mencuri tatap memandang ke arah Pras dan Sasti.
Doni mengikuti gerakan mata Nadia memandang. “Oh... Kamu tersedak karena melihat mereka?” tanya Doni sambil tertawa.
Nadia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkalnya.
Akhirnya Doni ikut memperhatikan ke arah Pras yang wajahnya sangat dekat dengan Sasti. Sebuah senyuman kecil tersungging di ujung bibirnya. “Aku tahu pasti Pras menyukai gadis bernama Sasti itu....” ucapnya yang hampir saja membuat Nadia tersedak lagi.
Nadia pura-pura bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Pras dan Sasti. Tapi tetap saja hatinya mendorong bibirnya untuk bertanya pada Doni. “Memang kenapa kamu bisa seyakin itu jika Pras menyukai Sasti?” tanya Nadia sambil kembali menikmati makanannya dengan tenang.
“Karena Pras tidak semudah itu dekat dengan seorang perempuan. Dia itu laksana gunung es. Ia akan membangun pagar pembatas yang mengelilinginya dan pagar itu terbuat dari bongkahan es yang sangat dingin,” jelas Doni yang kini sudah selesai menghabiskan makanannya.
Nadia menatap Doni, pria yang sudah dikenalnya selama tiga bulan terakhir. Pria yang sepertinya menyukai Nadia. Tapi Nadia tidak terlalu peka dengan sinyal ketertarikan yang diberikan Doni padanya.
“Tapi kenapa kamu sebegitu yakinnya dengan Pras yang akan menyukai Sasti? Memang kamu sangat dekat berteman dengan Pras?” tanya Nadia ingin tahu.
Doni tersenyum tipis. “Aku dan Pras.... Kami sangat dekat. Bahkan saat kecil kami sering tidur di ranjang yang sama. Dan kamu tahu Nad... Kami sudah seperti adik dan kakak. Tinggal di atap yang sama dan ibuku lah yang mengasuh Pras sejak ia kecil.”
“Jadi kamu dan Pras?” seru Nadia. “Bersaudara?!”
“Bukan saudara. Tapi bisa di bilang begitu....”
Bersambung.....
Sasti tersenyum dan menganggukkan kepalanya pelan, walau kenyataannya tidak seperti itu.
“Ya sudah, selamat makan siang ya.... Kita mau ke meja dulu...” kata Doni sambil menunjuk meja yang tidak jauh dari tempat Pras dan Sasti.
Pras menganggukkan kepalanya. “Oke... Silahkan....”
Doni berjalan ke arah meja mereka sambil memberikan senyum ramah pada Sasti.
Dari kejauhan Nadia tetap memperhatikan Pras dan Sasti. Walau dalam kejauhan sesekali ia mencuri pandang ke arah mereka.
“Jadi kamu punya saudara sepupu di perusahaan kita?” tanya Pras pada Sasti.
Sasti menganggukkan kepalanya pelan.
“Dia juga tinggal di dalam satu atap yang sama dengan rumah kekekmu itu?” tanya Pras ingin tahu.
“Iya....” jawab Sasti lirih.
“Apa dia juga sama sering diperlakukan kasar?” Pras sangat ingin tahu bagaimana kehidupan yang di jalani Sasti. Segala hal tentang Sasti, entah mengapa membuatnya penasaran.
Sasti terdiam. Ia tidak menjawab.
Pras terlihat menunggu jawaban yang akan Sasti berikan. Tapi Sasti tidak menjawabnya. Ia malah mengalihkan pembicaraan ke hal yang lainnya. “Semoga saja kerjaan yang kamu pinta harus selesai sore ini, akan bisa aku selesaikan. Karena aku engga mau lembur. Setelah pulang kerja aku ada urusan....” kata Sasti sambil melirik menatap Pras.
“Memang kamu ada urusan apa?” kaya orang sibuk aja deh,” tutur Pras mengejak.
Sasti menatap Pras dengan tajam. “Kamu yang telah membuatku sibuk....” katanya lirih.
“Aku?” Pras berbalik bertanya. “Apanya? Harusnya kamu bersyukur aku ngasih kamu naik jabatan. Jabatan yang banyak diinginkan oleh orang-orang lainnya.”
“Justru di situ aku malah merasa janggal,” jawab Sasti sambil kembali menatap Pras. “Kenapa kamu memberikan pekerjaan yang tidak sesuai dengan ijazah dan kemampuanku?”
Sejenak Pras terdiam ketika di tatap Sasti. Kemudian ia tertawa. “Kata siapa pekerjaan yang aku berikan tidak sesuai? Aku memberikanmu pekerjaan sebagai sekertaris pribadi aku, karena aku yakin kamu pasti bisa. Aku pengusaha berpengalaman, jadi aku punya mata batin dengan apa yang aku lihat.”
Sasti kembali menatap Pras. “Jadi ini bukan karena kamu ingin mengerjaiku?” tanya Sasti lirih.
“Apa? Kamu berfikir jika aku sedang ingin mengerjaimu?” tanya Pras dengan wajah datar.
Wajah Sasti langsung tidak enak. Ia menelan ludahnya yang ada ditenggorokannya karena sepertinya ia salah bicara.
“Aku tidak menyangka jika kamu berfikir seperti itu. Kamu tahu engga, kalo su udzon itu dosa?” kata Pras masih menatap Sasti.
“Iya... iya... maaf. Abis tadinya aku kira begitu. Kamu mengumumkan aku sebagai sekertaris kamu mendadak. Dan pekerjaanku itu tidak sesuai dengan ijazah yang aku miliki,” sahut Sasti memberikan penjalasan.
Untung saja pelayan segera datang membawakan makanan yang mereka pesan. Sehingga mereka tidak jadi berdebat.
Pelayan mendoroang kereta dorong yang berisikan makanan yang dipesan dengan tatanan yang rapi dan menggunggah selera. Pelayan itu menaruhnya di atas meja. Dan Pras memberikannya pada Sasti terlebih dahulu.
Nadia yang melihat dari mejanya nampak merasa ada yang aneh dengan sikap Pras pada Sasti. Walau hatinya yakin jika sepertinya Pras menyukai Sasti. Tapi Nadia tidak ingin memikirkan kemungkinan itu. Karena dalam khayalan saja, Sasti tidak pantas mendapatkan cinta dari seorang CEO. Apa lagi di dunia nyata. Yang pantas menemani dan dicintai CEO seperti Pras itu harusnya wanita yang seperti dirinya, pikir Nadia.
Sesekali Pras memperhatikan Sasti yang menikmati makanannya. Namun beberapa kali juga Sasti meringis seperti menahan perih yang terasa di sudut bibirnya.
Pras menatap Sasti, memperhatikan begitu lekat.
Sasti merasa tidak nyaman ia di tatap sangat dekat oleh Pras.
Pras menyentuh ujung bibir Sasti. Dan mengusap luka kecil itu dengan lembut. “Aku baru sadar jika bibirmu terluka....” kata Pras lirih.
Jantung di dada Sasti seakan berhenti berdetak sesaat. Jarak wajah di antara mereka sangat dekat.
“Apa ini luka bekas pukulan kakekmu?” tanya Pras lirih. Tatapan mata Pras masih menatap sudut bibir Sasi yang terluka itu. Ia merasa iba dengan Sasti.
Wajah Sasti terasa hangat. Aliran darahnya terpompa lebih kencang dari biasanya. Mungkin saat ini wajahnya telah memerah seperti kepeting rebus. Wajah Pras yang sangat dekat dengan Sasti dan jari Pras yang mengusap ujung bibir Sasti yang terluka itu membuat Sasti bingung harus melakukan apa. Sesaat tubuhnya menjadi kaku dan tidak bisa ia gerakkan sampai Pras menjauhkan wajahnya kembali.
Sasti menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan ketika wajah Pras sudah menjauh dari wajahnya. Sasti kembali mengiris daging steak yang telah terbalurkan bumbu itu. Memasukkannya kembali ke dalam mulutnya.
Nadia yang sesekali selalu memperhatikan Sasti dan Pras yang duduk tidak jauh dari mereka. Tiba-tiba langsung tersedak soup yang sedang ia nikmati. “Uhuk!” Rasanya daging sapi dan wortel menyangkut di tenggorokannya.
“Ada apa?” tanya Doni sambil memberikan segelas air mineral pada Nadia. Agar Nadia merasa lebih baik.
Nadia langsung mengambil segelas air mineral yang diberikan Doni padanya. “Hati-hati kalo makan.... Pelan-pelan....” ucap Doni yang khawatir.
“Maaf. Aku tersedak....” kata Nadia. Tatapan Nadia masih mencuri tatap memandang ke arah Pras dan Sasti.
Doni mengikuti gerakan mata Nadia memandang. “Oh... Kamu tersedak karena melihat mereka?” tanya Doni sambil tertawa.
Nadia menggelengkan kepalanya. Berusaha menyangkalnya.
Akhirnya Doni ikut memperhatikan ke arah Pras yang wajahnya sangat dekat dengan Sasti. Sebuah senyuman kecil tersungging di ujung bibirnya. “Aku tahu pasti Pras menyukai gadis bernama Sasti itu....” ucapnya yang hampir saja membuat Nadia tersedak lagi.
Nadia pura-pura bersikap tidak peduli dengan apa yang terjadi pada Pras dan Sasti. Tapi tetap saja hatinya mendorong bibirnya untuk bertanya pada Doni. “Memang kenapa kamu bisa seyakin itu jika Pras menyukai Sasti?” tanya Nadia sambil kembali menikmati makanannya dengan tenang.
“Karena Pras tidak semudah itu dekat dengan seorang perempuan. Dia itu laksana gunung es. Ia akan membangun pagar pembatas yang mengelilinginya dan pagar itu terbuat dari bongkahan es yang sangat dingin,” jelas Doni yang kini sudah selesai menghabiskan makanannya.
Nadia menatap Doni, pria yang sudah dikenalnya selama tiga bulan terakhir. Pria yang sepertinya menyukai Nadia. Tapi Nadia tidak terlalu peka dengan sinyal ketertarikan yang diberikan Doni padanya.
“Tapi kenapa kamu sebegitu yakinnya dengan Pras yang akan menyukai Sasti? Memang kamu sangat dekat berteman dengan Pras?” tanya Nadia ingin tahu.
Doni tersenyum tipis. “Aku dan Pras.... Kami sangat dekat. Bahkan saat kecil kami sering tidur di ranjang yang sama. Dan kamu tahu Nad... Kami sudah seperti adik dan kakak. Tinggal di atap yang sama dan ibuku lah yang mengasuh Pras sejak ia kecil.”
“Jadi kamu dan Pras?” seru Nadia. “Bersaudara?!”
“Bukan saudara. Tapi bisa di bilang begitu....”
Bersambung.....
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved