Bab 3 Terbangun di kamar asing
by Hurem Petrova
11:11,Jan 01,2021
Kelopak mata Sasti bergerak-gerak. Indera pendengarannya samar-samar mendegar suara lagu jazz yang merdu. Ia merasakan tubuhnya bergerak dan melayang berdansa dengan seorang pria bertubuh tinggi dan tegap.
Aroma Woody, kayu-kayuan yang menyeruak dari tubuh pria itu membuat Sasti mersa tenang dan damai.
Perlahan kedua matanya terbuka. Sasti menatap lurus, lemari yang ada di depannya.
Sasti memejamkan kedua matanya lagi. Kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Kenapa ingatannya terputus di bagian saat ia memesan bir pada bartender untuk gelas yang kesekian kali. Dan saat ini tiba-tiba dirinya sudah terbaring di atas kasur di dalam kamar.
“Kamar?” desis Sasti.
Sejenak Sasti berfikir. Kemudian ia teringat akan lemari asing yang tadi ia lihat ketika baru membuka mata. “Ini di mana?!” serunya sambil beranjak dari tidurnya. Ia duduk di atas ranjang dengan kasur yang empuk. Kedua matanya melihat kesekeliling ruangan kamar yang nampak asing.
“Ini di mana....” tanyanya lirih.
Sasti melihat kakinya yang terselimuti. Ia mengibaskan selimut itu dan melihat bagian bawahnya tidak mengenakan celana. Nafas Sasti seakan terhenti.
Wajah Sasti pucat. Ia menundukkan wajah dan menatap tubuh bagian atasnya. Kedua mata Sasi membulat. Ia tidak mengenakan apa-apa. Hanya pakaian dalam. Celana dalam, bra dan juga kaos dalam.
“Aaaaaaa!!!!!” teriaknya kencang sambil menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangannya.
Derap langkah terdengar cepat menuju arah kamar yang sedang digunakan Sasti. “Brak!” pintu kamar terbuka kencang.
Sasti langsung melihat ke arah pintu. Dengan cepat Sasti menarik selimut yang ada di ujung kakinya. Selimut berwarna creame itu kini menutupi seluruh tubuhnya.
Seorang pelayan wanita dengan banyak keriput di wajahnya nampak terkejut mendengar teriakan Sasti. “Ada apa Nona?” tanyanya.
Sasti masih belum faham dengan apa yang terjadi padanya. Tangannya gemetaran. “Siapa kamu?” tanya Sasti lirih.
“Saya Sunmi, pelayan di sini Nona....” jawab wanita berusia sangat matang itu. Usianya sekitar lima puluh lima tahun lebih. Wajah dan kulit di tangannya sudah dipenuhi keriput.
“Pelayan di sini?” tanya Sasti dengan tatapan kebingungan.
“Semalam Tuan Pras pulang bersama anda....” jawab Sunmi.
“Apa? Siapa tadi yang Bibi bilang?” tanya Sasti lagi.
“Tuan muda Pras membawa anda ke mari....”
Sasti mengerutkan dahinya. Alisnya yang rapi dan bagus alami itu beradu. Bibirnya yang mungil dan berwarna orange kemerahan alami sedikit cemberut. Sasti menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal pria bernama Pras....”
***
“Apa? Perempuan?” seru Bayu Hutapea pada supir pribadi Pras.
Pria berusia enam puluh lima tahun itu nampak penasaran dengan berita yang dibawakan oleh Ari. Ajudan kepercayaannya yang memang sangaja ia suruh untuk mengamati apa saja yang dilakukan oleh Pras. Cucu Bayu satu-satunya. Pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Hutapea.
Supir bernama Ari itu menganggukkan kepalanya.
“Dari mana gadis yang dibawa Pras ke rumah? Baru kali ini ia membawa perempuan pulang,” kata Bayu sambil menyadarkan punggung pada kursinya. Kursi CEO itu nampak sangat empuk dan nyaman. Kursi dengan kaki beroda tiga itu sedikit berputar.
“Dari sebuah Bar di kota Tuan....”
“Apa Bar?!” seru Bayu terkejut. “Cucuku yang tidak pernah dekat dengan wanita, sekalinya ia tertarik dengan seorang gadis ia mendapatkannya dari Bar?” Bayu mengerutkan dahinya. “Harusnya Pras mengurusi perusahaan di sini. Bukan di Kota kecil itu. Kota kecil yang membawa petaka.”
Sejenak suasana hening. Bayu kembali teringat akan kejadian masa lalu yang membuatnya membenci kota itu. Tapi kenangan masa lalu kelam yang terus menghantuinya ia singkarkan dengan cepat. Bayu tidak ingin masa lalu itu akan membunuhnya perlahan karena rasa kesedihan mendalam yang tidak pernah bisa ia padamkan.
Bayu menatap Ari kembali yang berdiri tegap menghadapnya. “Kamu yang mengatarkan mereka pulang. Bagaimana wajah dan sikap gadis itu?” tanya Bayu lagi.
“Sebenarnya gadis itu cantik, kulitnya putih, hidungnya mancung dan rambutnya ikal menggantung indah. Hanya saat itu ia mabuk berat dan memuntahkan semua isi perutnya ke pakaian Pras.” Ari menceritakan semua yang ia tahu.
“Apa!!!” seru Bayu tidak percaya. “Pras membawa gadis mabuk ke rumah!!” Bayu menggelengkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah mengeras.
“Kenyataannya begitu Tuan....” kata Ari sambil menganggukkan kepalanya.
“Sore ini aku akan ke rumah lama!” seru Bayu dengan wajah penuh amarah.
***
Sasti melihat kesekeliling ruangan. Kamar yang besar dengan perabotan berbahan kayu cendana dengan model sederhana dan klasik. Sepertinya pemilik rumah memiliki sifat yang hangat dan sederhana.
Sasti merapatkan cardigan berwarna putih yang di pakainya. Ia memakai pakaian baru yang dibelikan oleh Pras. Bi Sunmi yang memberikannya pada Sasti. Ternyata tubuhnya yang hanya memakai pakaian dalam di balik selimut. Itu semua karena pakaian Sasti kotor akibat muntahannya sendiri.
Sasti menghela nafas malu. Sikapnya yang ceroboh dan mabuk dengan pria asing seperti bukan sifatnya. Karena rasa malunya yang amat besar, sepertinya Sasti tidak akan memiliki muka bertemu dengan pria bernama Pras itu. Ia berencana untuk pergi diam-diam dari rumah Pras.
Sasti membuka pintu kamar berwarna cokelat dengan perlahan. Kepalanya menyembul keluar. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Aman!
Sasti keluar kamar dengan mengendap-ngendap. Rumah ini memang sangat besar sehingga untuk menuju pintu depan saja bisa-bisa Sasti akan tersasar.
Aroma roti bakar yang sangat harum menghentikan langkah Sasti. Ia menghirup sejenak aroma itu. Perutnya langsung berbunyi. “Kruyuuuuk!” Sasti lapar.
Sasti memegangi perutnya dan merapatkan bibirnya. “Tidak! Ini Bukan waktu yang tepat untuk memikirkan makanan walau ia sudah sangat lapar.
Sasti membulatkan tekat untuk pergi dari rumah ini secepatnya. Ia tidak ingin bertatap muka dengan pria bernama Pras itu. Sasti merasa sangat malu. Dan mungkin saja semalam ia terlalu banyak bicara dan mengoceh hal-hal yang sepatutnya tidak ia katakan.
“Tidak! Tidak! Jangan sampai aku bertemu dengan pria bernama Pras itu!” katanya pada diri sendiri.
Sasti bergerak lagi dan mengendap-ngendap di koridor yang menuju ruang depan. Tapi saat ia keluar dari koridor itu, Sasti malah berada di taman belakang. Ia melihat hamparan luas halaman berumput hijau yang rapi dengan beberapa tanaman pohon hijau dan bunga warna warni yang indah.
“Ya ampun.... Aku kesasar....” guman Sasti lirih. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memikirkan jalan pulang.
Sasti menghela nafas panjang. “Rumah ini besar sekali.... Sampai aku kesasar....” ucapnya lirih sambil berbalik.
Ketika Sasti membalikkan badan, dada bidang seorang pria tepat berada di ujung hidungnya. Aroma khas kayu-kayuan yang menenangkan itu terhirup kembali di indra penciuman Sasti. Pria ini pasti pria semalam.
Sasti mendongakkan wajahnya ke atas. Ia menatap pria yang juga sedang menunduk menatapnya. Pandangan mereka beradu.
“Kamu mau ke mana?” tanya Pras lirih.
Wajah Sasti langsung memerah malu seketika. ‘Tidak! Aku tidak ingin bertemu dengan pria bernama Pras ini....’ katanya di dalam hati.
Bersambung next ke bab empat
Aroma Woody, kayu-kayuan yang menyeruak dari tubuh pria itu membuat Sasti mersa tenang dan damai.
Perlahan kedua matanya terbuka. Sasti menatap lurus, lemari yang ada di depannya.
Sasti memejamkan kedua matanya lagi. Kepalanya masih terasa berat. Ia mencoba mengingat apa yang terjadi semalam. Kenapa ingatannya terputus di bagian saat ia memesan bir pada bartender untuk gelas yang kesekian kali. Dan saat ini tiba-tiba dirinya sudah terbaring di atas kasur di dalam kamar.
“Kamar?” desis Sasti.
Sejenak Sasti berfikir. Kemudian ia teringat akan lemari asing yang tadi ia lihat ketika baru membuka mata. “Ini di mana?!” serunya sambil beranjak dari tidurnya. Ia duduk di atas ranjang dengan kasur yang empuk. Kedua matanya melihat kesekeliling ruangan kamar yang nampak asing.
“Ini di mana....” tanyanya lirih.
Sasti melihat kakinya yang terselimuti. Ia mengibaskan selimut itu dan melihat bagian bawahnya tidak mengenakan celana. Nafas Sasti seakan terhenti.
Wajah Sasti pucat. Ia menundukkan wajah dan menatap tubuh bagian atasnya. Kedua mata Sasi membulat. Ia tidak mengenakan apa-apa. Hanya pakaian dalam. Celana dalam, bra dan juga kaos dalam.
“Aaaaaaa!!!!!” teriaknya kencang sambil menutupi bagian atas tubuhnya dengan kedua tangannya.
Derap langkah terdengar cepat menuju arah kamar yang sedang digunakan Sasti. “Brak!” pintu kamar terbuka kencang.
Sasti langsung melihat ke arah pintu. Dengan cepat Sasti menarik selimut yang ada di ujung kakinya. Selimut berwarna creame itu kini menutupi seluruh tubuhnya.
Seorang pelayan wanita dengan banyak keriput di wajahnya nampak terkejut mendengar teriakan Sasti. “Ada apa Nona?” tanyanya.
Sasti masih belum faham dengan apa yang terjadi padanya. Tangannya gemetaran. “Siapa kamu?” tanya Sasti lirih.
“Saya Sunmi, pelayan di sini Nona....” jawab wanita berusia sangat matang itu. Usianya sekitar lima puluh lima tahun lebih. Wajah dan kulit di tangannya sudah dipenuhi keriput.
“Pelayan di sini?” tanya Sasti dengan tatapan kebingungan.
“Semalam Tuan Pras pulang bersama anda....” jawab Sunmi.
“Apa? Siapa tadi yang Bibi bilang?” tanya Sasti lagi.
“Tuan muda Pras membawa anda ke mari....”
Sasti mengerutkan dahinya. Alisnya yang rapi dan bagus alami itu beradu. Bibirnya yang mungil dan berwarna orange kemerahan alami sedikit cemberut. Sasti menggelengkan kepalanya. “Aku tidak mengenal pria bernama Pras....”
***
“Apa? Perempuan?” seru Bayu Hutapea pada supir pribadi Pras.
Pria berusia enam puluh lima tahun itu nampak penasaran dengan berita yang dibawakan oleh Ari. Ajudan kepercayaannya yang memang sangaja ia suruh untuk mengamati apa saja yang dilakukan oleh Pras. Cucu Bayu satu-satunya. Pewaris tunggal seluruh kekayaan keluarga Hutapea.
Supir bernama Ari itu menganggukkan kepalanya.
“Dari mana gadis yang dibawa Pras ke rumah? Baru kali ini ia membawa perempuan pulang,” kata Bayu sambil menyadarkan punggung pada kursinya. Kursi CEO itu nampak sangat empuk dan nyaman. Kursi dengan kaki beroda tiga itu sedikit berputar.
“Dari sebuah Bar di kota Tuan....”
“Apa Bar?!” seru Bayu terkejut. “Cucuku yang tidak pernah dekat dengan wanita, sekalinya ia tertarik dengan seorang gadis ia mendapatkannya dari Bar?” Bayu mengerutkan dahinya. “Harusnya Pras mengurusi perusahaan di sini. Bukan di Kota kecil itu. Kota kecil yang membawa petaka.”
Sejenak suasana hening. Bayu kembali teringat akan kejadian masa lalu yang membuatnya membenci kota itu. Tapi kenangan masa lalu kelam yang terus menghantuinya ia singkarkan dengan cepat. Bayu tidak ingin masa lalu itu akan membunuhnya perlahan karena rasa kesedihan mendalam yang tidak pernah bisa ia padamkan.
Bayu menatap Ari kembali yang berdiri tegap menghadapnya. “Kamu yang mengatarkan mereka pulang. Bagaimana wajah dan sikap gadis itu?” tanya Bayu lagi.
“Sebenarnya gadis itu cantik, kulitnya putih, hidungnya mancung dan rambutnya ikal menggantung indah. Hanya saat itu ia mabuk berat dan memuntahkan semua isi perutnya ke pakaian Pras.” Ari menceritakan semua yang ia tahu.
“Apa!!!” seru Bayu tidak percaya. “Pras membawa gadis mabuk ke rumah!!” Bayu menggelengkan kepalanya. Wajahnya langsung berubah mengeras.
“Kenyataannya begitu Tuan....” kata Ari sambil menganggukkan kepalanya.
“Sore ini aku akan ke rumah lama!” seru Bayu dengan wajah penuh amarah.
***
Sasti melihat kesekeliling ruangan. Kamar yang besar dengan perabotan berbahan kayu cendana dengan model sederhana dan klasik. Sepertinya pemilik rumah memiliki sifat yang hangat dan sederhana.
Sasti merapatkan cardigan berwarna putih yang di pakainya. Ia memakai pakaian baru yang dibelikan oleh Pras. Bi Sunmi yang memberikannya pada Sasti. Ternyata tubuhnya yang hanya memakai pakaian dalam di balik selimut. Itu semua karena pakaian Sasti kotor akibat muntahannya sendiri.
Sasti menghela nafas malu. Sikapnya yang ceroboh dan mabuk dengan pria asing seperti bukan sifatnya. Karena rasa malunya yang amat besar, sepertinya Sasti tidak akan memiliki muka bertemu dengan pria bernama Pras itu. Ia berencana untuk pergi diam-diam dari rumah Pras.
Sasti membuka pintu kamar berwarna cokelat dengan perlahan. Kepalanya menyembul keluar. Ia menoleh ke kiri dan ke kanan. Tidak ada siapa-siapa. Aman!
Sasti keluar kamar dengan mengendap-ngendap. Rumah ini memang sangat besar sehingga untuk menuju pintu depan saja bisa-bisa Sasti akan tersasar.
Aroma roti bakar yang sangat harum menghentikan langkah Sasti. Ia menghirup sejenak aroma itu. Perutnya langsung berbunyi. “Kruyuuuuk!” Sasti lapar.
Sasti memegangi perutnya dan merapatkan bibirnya. “Tidak! Ini Bukan waktu yang tepat untuk memikirkan makanan walau ia sudah sangat lapar.
Sasti membulatkan tekat untuk pergi dari rumah ini secepatnya. Ia tidak ingin bertatap muka dengan pria bernama Pras itu. Sasti merasa sangat malu. Dan mungkin saja semalam ia terlalu banyak bicara dan mengoceh hal-hal yang sepatutnya tidak ia katakan.
“Tidak! Tidak! Jangan sampai aku bertemu dengan pria bernama Pras itu!” katanya pada diri sendiri.
Sasti bergerak lagi dan mengendap-ngendap di koridor yang menuju ruang depan. Tapi saat ia keluar dari koridor itu, Sasti malah berada di taman belakang. Ia melihat hamparan luas halaman berumput hijau yang rapi dengan beberapa tanaman pohon hijau dan bunga warna warni yang indah.
“Ya ampun.... Aku kesasar....” guman Sasti lirih. Ia menggaruk kepalanya yang tidak gatal sambil memikirkan jalan pulang.
Sasti menghela nafas panjang. “Rumah ini besar sekali.... Sampai aku kesasar....” ucapnya lirih sambil berbalik.
Ketika Sasti membalikkan badan, dada bidang seorang pria tepat berada di ujung hidungnya. Aroma khas kayu-kayuan yang menenangkan itu terhirup kembali di indra penciuman Sasti. Pria ini pasti pria semalam.
Sasti mendongakkan wajahnya ke atas. Ia menatap pria yang juga sedang menunduk menatapnya. Pandangan mereka beradu.
“Kamu mau ke mana?” tanya Pras lirih.
Wajah Sasti langsung memerah malu seketika. ‘Tidak! Aku tidak ingin bertemu dengan pria bernama Pras ini....’ katanya di dalam hati.
Bersambung next ke bab empat
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved