Bab 6 Rincian hutang yang tidak masuk akal
by Hurem Petrova
11:14,Jan 01,2021
“Yang benar saja? Masa aku harus membayar sebanyak itu?!” seru Sasti dengan suara kencang nyaris berteriak.
Pras menatap Sasti dan menganggukkan kepalanya. “Ya betul....” jawabnya santai.
“Ini pemerasan!” seru Sasti. “Aku engga mau bayar!”
Pras menggeser kursinya ke belakang dan kini ia berdiri menghadap ke arah Sasti. “Pemerasan?”
Sasti menganggukkan kepalanya mantap. “Iya! Ini pemerasan!” serunya dengan kedua mata membulat tajam.
“Kamu kira pakaian yang kamu pakai itu harganya murah?” tanya Pras sambil menunjuk dress berwarna pastel yang dipakai Sasti.
Sasti menatap pakiannya sendiri. Ia memperhatikan dress yang ia kenakan. Memang tidak dipungkiri jika dress yang ia kenakan itu bermodel bagus dan nyaman saat dikenakan. “Ah paling ini beli di pasar,” jawab Sasi sambil menggaruk-garuk leher dan tubuhnya yang tidak gatal. Sasti pura-pura tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan.
“Enak saja.... Aku engga pernah beli pakaian di pasar!” sahut Pras sombong.
“Orang kaya tapi pelit!” sungut Sasti dan berbalik. “Terima kasih, cukup sekian. Aku mau pulang. Titik!” Sasti melangkahkan kakinya menuju sebelah kanan yang Sasti yakini jika ruangan itu mengantarkannya pada pintu depan.
Pras mengejar Sasti dan menarik lengannya. “Tunggu!” serunya.
“Ada apa lagi sih?” gerutu Sasti.
“Jangan fikir kamu akan lolos begitu saja dengan tidak membayar semuanya,” kata Pras sambil menatap Sasti.
Sasti menghela nafas panjang. “Tapi aku engga punya uang sebanyak itu!”
“Kata siapa kamu akan membayarnya sekarang?”
Sasti terdiam dan menatap Pras datar. “Maksudmu.... Bukannya tadi kamu bilang, aku harus membayar hutangku ya?”
Pras menganggukkan kepalanya. “Iya betul. Tapi karena aku orang baik, aku memberikan kelonggaran waktu untukmu..... Kamu bisa membayarnya tapi tidak sekarang. Makanya aku harus tahu di mana rumahmu. Karena kalau aku engga tau rumahmu, kamu pasti kabur.”
Sasti mendengus kesal. “Jika benar kamu adalah orang baik. Harusnya kamu mengiklaskan semua apa yang kamu lakukan!”
“Bisasanya aku engga sebaik ini.” Pras menyahut.
Sasti menatap kesekliling ruangan rumah lagi. Rumah Pras memang sangat bagus dan terlihat bernilai mahal. Sepertinya Pras memiliki banyak uang. “Kamu bekerja sebagai renternir ya?”
Pras terkejut mendengar pertanyaan Sasti. Ia tidak menjawabnya. Malah diam dan menarik lengan Sasti menuju ruang depan. “Jika kamu ingin pulang, maka aku akan mengantarkanmu....”
Sasti mengerutkan dahinya dan bibirnya cemberut ke depan. “Dan hutang aku yang kamu maksud?” tanya Sasti lirih.
“Ya harus di bayar lah....” jawab Pras lirih.
Sasti menghela nafas dalam. Sial sekali hidupnya, sudah memergoki tunangannya selikuh. Lalu di hina oleh selingkuhan tunangannya. Kini ia harus membayar kerugian yang tidak masuk akal.
Sebuah pintu tinggi dan lebar dibuka oleh Pras. Sinar matahari yang menyorot tepat ke mulut pintu, membuat kedua mata Sasti silau. Pras berjalan lebih dahulu menuju mobil sedan hitam mercedes yang terparikir di halaman.
Sasti berjalan di belakang Pras. Kedua mata Sasti menatap punggung Pras yang bidang.
“Ayo masuk!” seru Pras pada Sasti untuk berjalan lebih cepat ke arah mobil.
***
“Di depan belok kiri....” kata Sasti memberitahu jalan menuju rumahnya.
Pras mengikuti instruksi Sasti ke mana mobil mereka harus melaju. Mobil Pras malaju dengan kecepatan pelan di jalanan perumahan yang tidak terlalu lebar.
“Di depan, sebelah kiri ada gerbang berwarna hitam. Di sana rumahku. Tapi jangan berhenti di depannya. Berhentilah sedikit jauh dari sana....” kata Sasti memberitahu.
Pras menganggukkan kepalanya pelan.
Seperti permintaan Sasti, Pras menghentikan mobilnya sedikit jauh dari rumah Sasti.
Mobil berhenti dan Pras mematikan mesin mobil.
Sasti terlihat tidak semangat untuk turun dari mobil dan kembali pulang ke rumahnya. Padahal sejak tadi dia yang bersikukuh ingin pulang secepatnya.
“Kenapa?” tanya Pras pada Sasti yang nampak muram.
Sasti menundukkan wajahnya dan memainkan jari-jarinya. Ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Bukannya dari tadi kamu ingin pulang? Kenapa ko sekarang diem aja? Ke mana suara lantangmu? ‘Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.’ Dari tadi kamu bicara gitu terus sampai telingaku sakit mendenganya,” ujar Pras.
Wajah Sasti masih tidak berubah. Air mukanya tetap muram dan tidak terlihat bahagia. Dan setelah beberapa menit kemudian, Sasti memegang pegangan pintu mobil dan akan membukanya.
Pintu mobil baru terbuka sedikit. Tiba-tiba tangan Pras menyentuh bahu Sasti. “Hei.... ada apa?” tanya Pras lagi. “Jawab dulu kenapa kamu malah enggan ingin pulang ke rumah?”
Sasti menghela nafas panjang. Kedua matanya menatap mata Pras yang memadanginya. “Aku hanya takut....” jawab Sasti lirih.
“Takut apa?” Pras bertanya sambil memandangi wajah ayu Sasti yang membuatnya terpesona sejak pada pandangan pertama.
“Bagaimana aku tidak takut semalaman aku tidak pulang. Kakekku yang galak itu pasti akan memarahiku....” jawab Sasti dengan wajah sendunya.
“Benar juga sih...” kata Pras memaklumi. “Tapi mereka pasti mendengarkan penjelasanmu. Kakeku juga begitu, beliau sangat tegas dan galak. Tapi saat aku melakukan kesalahan dia akan selalu mendengarkan aku apa alasannya. Jadi kakekkmu pasti begitu... Apa lagi ada orang tuamu yang akan selalu ada bersamamu...”
Sasti teresenyum tipis. “ Tapi kenyataannya tidak demikan. Kakekku itu galak dan menyebalkan.... Ia selalu memarahiku. Dan orang tua yang kamu bilang akan selalu ada bersamaku. Mereka tidak ada.”
Pras terkejut dengan cerita Sasti. “Maksudmu.... Orang tuamu....?”
Sasti menganggukkan kepalanya. “Ya, orang tuaku sudah meninggal.... Orang tuaku sudah meninggalkan aku saat aku berusia sepuluh tahun dan semenjak itu aku diurus oleh kakak, paman dan bibi.”
Pras mendengarkan cerita Sasti dengan seksama. Entah mengapa Pras merasa jika ia dan Sasti memiliki kisah masa kecil yang hampir mirip. Rasa kesepian dan sedirian.
“Ah sudahlah.... Untuk apa aku cerita pada orang yang baru aku kenal,” kata Sasti sambil membuka pintu mobil. “Sepertinya ini akhir dunia bagiku....” guman Sasti sambil keluar dari mobil.
Pras menatap Sasti yang turun dari mobil. Ia tidak langsung pergi dari sana. Hatinya meyuruhnya untuk tetap diam di sana sambil mengamati Sasti yang akan memasuki rumahnya. Entah mengapa hatinya merasa tidak aman tanpa melihat Sasti masuk ke dalam rumahnya.
Sasti menatap pintu gerbang tinggi berwarna hitam. Ia berdiri kaku di depan sana sedikit lama sebelum Sasti menekan tombol bel yang ada di balik tembok sisi sebelah kanan.
Setalah berdiri mematung beberapa menit akhirnya Sasti memasukan tangannya ke sela-sela pagar hitam. Menekan bel yang terpasang di tembok sebelah kanan.
Pras masih mengamati Sasti yang menunggu untuk dibukakan pintu. Pras juga menatap rumah Sasti yang besar dan bertingkat dua.
Setelah sedikit lama lama menunggu di depan pintu, akhirnya pintu gerbang berwarna hitam itu di buka. Beberapa orang keluar dari dalam rumah. Kakek, bibi dan paman Sasti keluar berbondong dengan wajah ditekuk. Wajah mereka terlihat tidak enak.
“Sasti!” teriak Herman, Kakek Sasti. Suaranya yang keras terdengar hingga ke dalam mobil Pras.
Pras terkejut dan semakin mengamati Sasti dari jauh.
“Kemana saja kamu semalaman?!” Kakek terlihat murka. “Memalukan anak gadis yang tidak pulang!!” Tangan kanan Herman melayang terbang dan mendarat tepat di pipi Sasti.
“Aw!” Sasti berteriak kesakitan sambil memegangi pipinya.
“Anak tidak tahu diuntung!” Herman memaki sambil memukul Sasti dan mendorongnya hingga terjerembab.
Kedua mata Pras nyaris keluar saat melihat Sasti tersungkur ke atas tanah berumput hijau. Ia sangat terkejut melihat apa yang terlihat di depan kedua matanya.
Bersambung....
Pras menatap Sasti dan menganggukkan kepalanya. “Ya betul....” jawabnya santai.
“Ini pemerasan!” seru Sasti. “Aku engga mau bayar!”
Pras menggeser kursinya ke belakang dan kini ia berdiri menghadap ke arah Sasti. “Pemerasan?”
Sasti menganggukkan kepalanya mantap. “Iya! Ini pemerasan!” serunya dengan kedua mata membulat tajam.
“Kamu kira pakaian yang kamu pakai itu harganya murah?” tanya Pras sambil menunjuk dress berwarna pastel yang dipakai Sasti.
Sasti menatap pakiannya sendiri. Ia memperhatikan dress yang ia kenakan. Memang tidak dipungkiri jika dress yang ia kenakan itu bermodel bagus dan nyaman saat dikenakan. “Ah paling ini beli di pasar,” jawab Sasi sambil menggaruk-garuk leher dan tubuhnya yang tidak gatal. Sasti pura-pura tidak nyaman dengan pakaian yang ia kenakan.
“Enak saja.... Aku engga pernah beli pakaian di pasar!” sahut Pras sombong.
“Orang kaya tapi pelit!” sungut Sasti dan berbalik. “Terima kasih, cukup sekian. Aku mau pulang. Titik!” Sasti melangkahkan kakinya menuju sebelah kanan yang Sasti yakini jika ruangan itu mengantarkannya pada pintu depan.
Pras mengejar Sasti dan menarik lengannya. “Tunggu!” serunya.
“Ada apa lagi sih?” gerutu Sasti.
“Jangan fikir kamu akan lolos begitu saja dengan tidak membayar semuanya,” kata Pras sambil menatap Sasti.
Sasti menghela nafas panjang. “Tapi aku engga punya uang sebanyak itu!”
“Kata siapa kamu akan membayarnya sekarang?”
Sasti terdiam dan menatap Pras datar. “Maksudmu.... Bukannya tadi kamu bilang, aku harus membayar hutangku ya?”
Pras menganggukkan kepalanya. “Iya betul. Tapi karena aku orang baik, aku memberikan kelonggaran waktu untukmu..... Kamu bisa membayarnya tapi tidak sekarang. Makanya aku harus tahu di mana rumahmu. Karena kalau aku engga tau rumahmu, kamu pasti kabur.”
Sasti mendengus kesal. “Jika benar kamu adalah orang baik. Harusnya kamu mengiklaskan semua apa yang kamu lakukan!”
“Bisasanya aku engga sebaik ini.” Pras menyahut.
Sasti menatap kesekliling ruangan rumah lagi. Rumah Pras memang sangat bagus dan terlihat bernilai mahal. Sepertinya Pras memiliki banyak uang. “Kamu bekerja sebagai renternir ya?”
Pras terkejut mendengar pertanyaan Sasti. Ia tidak menjawabnya. Malah diam dan menarik lengan Sasti menuju ruang depan. “Jika kamu ingin pulang, maka aku akan mengantarkanmu....”
Sasti mengerutkan dahinya dan bibirnya cemberut ke depan. “Dan hutang aku yang kamu maksud?” tanya Sasti lirih.
“Ya harus di bayar lah....” jawab Pras lirih.
Sasti menghela nafas dalam. Sial sekali hidupnya, sudah memergoki tunangannya selikuh. Lalu di hina oleh selingkuhan tunangannya. Kini ia harus membayar kerugian yang tidak masuk akal.
Sebuah pintu tinggi dan lebar dibuka oleh Pras. Sinar matahari yang menyorot tepat ke mulut pintu, membuat kedua mata Sasti silau. Pras berjalan lebih dahulu menuju mobil sedan hitam mercedes yang terparikir di halaman.
Sasti berjalan di belakang Pras. Kedua mata Sasti menatap punggung Pras yang bidang.
“Ayo masuk!” seru Pras pada Sasti untuk berjalan lebih cepat ke arah mobil.
***
“Di depan belok kiri....” kata Sasti memberitahu jalan menuju rumahnya.
Pras mengikuti instruksi Sasti ke mana mobil mereka harus melaju. Mobil Pras malaju dengan kecepatan pelan di jalanan perumahan yang tidak terlalu lebar.
“Di depan, sebelah kiri ada gerbang berwarna hitam. Di sana rumahku. Tapi jangan berhenti di depannya. Berhentilah sedikit jauh dari sana....” kata Sasti memberitahu.
Pras menganggukkan kepalanya pelan.
Seperti permintaan Sasti, Pras menghentikan mobilnya sedikit jauh dari rumah Sasti.
Mobil berhenti dan Pras mematikan mesin mobil.
Sasti terlihat tidak semangat untuk turun dari mobil dan kembali pulang ke rumahnya. Padahal sejak tadi dia yang bersikukuh ingin pulang secepatnya.
“Kenapa?” tanya Pras pada Sasti yang nampak muram.
Sasti menundukkan wajahnya dan memainkan jari-jarinya. Ia menghela nafas panjang dan menghembuskannya perlahan.
“Bukannya dari tadi kamu ingin pulang? Kenapa ko sekarang diem aja? Ke mana suara lantangmu? ‘Aku ingin pulang. Aku ingin pulang.’ Dari tadi kamu bicara gitu terus sampai telingaku sakit mendenganya,” ujar Pras.
Wajah Sasti masih tidak berubah. Air mukanya tetap muram dan tidak terlihat bahagia. Dan setelah beberapa menit kemudian, Sasti memegang pegangan pintu mobil dan akan membukanya.
Pintu mobil baru terbuka sedikit. Tiba-tiba tangan Pras menyentuh bahu Sasti. “Hei.... ada apa?” tanya Pras lagi. “Jawab dulu kenapa kamu malah enggan ingin pulang ke rumah?”
Sasti menghela nafas panjang. Kedua matanya menatap mata Pras yang memadanginya. “Aku hanya takut....” jawab Sasti lirih.
“Takut apa?” Pras bertanya sambil memandangi wajah ayu Sasti yang membuatnya terpesona sejak pada pandangan pertama.
“Bagaimana aku tidak takut semalaman aku tidak pulang. Kakekku yang galak itu pasti akan memarahiku....” jawab Sasti dengan wajah sendunya.
“Benar juga sih...” kata Pras memaklumi. “Tapi mereka pasti mendengarkan penjelasanmu. Kakeku juga begitu, beliau sangat tegas dan galak. Tapi saat aku melakukan kesalahan dia akan selalu mendengarkan aku apa alasannya. Jadi kakekkmu pasti begitu... Apa lagi ada orang tuamu yang akan selalu ada bersamamu...”
Sasti teresenyum tipis. “ Tapi kenyataannya tidak demikan. Kakekku itu galak dan menyebalkan.... Ia selalu memarahiku. Dan orang tua yang kamu bilang akan selalu ada bersamaku. Mereka tidak ada.”
Pras terkejut dengan cerita Sasti. “Maksudmu.... Orang tuamu....?”
Sasti menganggukkan kepalanya. “Ya, orang tuaku sudah meninggal.... Orang tuaku sudah meninggalkan aku saat aku berusia sepuluh tahun dan semenjak itu aku diurus oleh kakak, paman dan bibi.”
Pras mendengarkan cerita Sasti dengan seksama. Entah mengapa Pras merasa jika ia dan Sasti memiliki kisah masa kecil yang hampir mirip. Rasa kesepian dan sedirian.
“Ah sudahlah.... Untuk apa aku cerita pada orang yang baru aku kenal,” kata Sasti sambil membuka pintu mobil. “Sepertinya ini akhir dunia bagiku....” guman Sasti sambil keluar dari mobil.
Pras menatap Sasti yang turun dari mobil. Ia tidak langsung pergi dari sana. Hatinya meyuruhnya untuk tetap diam di sana sambil mengamati Sasti yang akan memasuki rumahnya. Entah mengapa hatinya merasa tidak aman tanpa melihat Sasti masuk ke dalam rumahnya.
Sasti menatap pintu gerbang tinggi berwarna hitam. Ia berdiri kaku di depan sana sedikit lama sebelum Sasti menekan tombol bel yang ada di balik tembok sisi sebelah kanan.
Setalah berdiri mematung beberapa menit akhirnya Sasti memasukan tangannya ke sela-sela pagar hitam. Menekan bel yang terpasang di tembok sebelah kanan.
Pras masih mengamati Sasti yang menunggu untuk dibukakan pintu. Pras juga menatap rumah Sasti yang besar dan bertingkat dua.
Setelah sedikit lama lama menunggu di depan pintu, akhirnya pintu gerbang berwarna hitam itu di buka. Beberapa orang keluar dari dalam rumah. Kakek, bibi dan paman Sasti keluar berbondong dengan wajah ditekuk. Wajah mereka terlihat tidak enak.
“Sasti!” teriak Herman, Kakek Sasti. Suaranya yang keras terdengar hingga ke dalam mobil Pras.
Pras terkejut dan semakin mengamati Sasti dari jauh.
“Kemana saja kamu semalaman?!” Kakek terlihat murka. “Memalukan anak gadis yang tidak pulang!!” Tangan kanan Herman melayang terbang dan mendarat tepat di pipi Sasti.
“Aw!” Sasti berteriak kesakitan sambil memegangi pipinya.
“Anak tidak tahu diuntung!” Herman memaki sambil memukul Sasti dan mendorongnya hingga terjerembab.
Kedua mata Pras nyaris keluar saat melihat Sasti tersungkur ke atas tanah berumput hijau. Ia sangat terkejut melihat apa yang terlihat di depan kedua matanya.
Bersambung....
HELLOTOOL SDN BHD © 2020 www.webreadapp.com All rights reserved