Bab 5 Hutang?

by Hurem Petrova 11:13,Jan 01,2021
“Aku tidak ingin tahu,” jawab Sasti singkat dan acuh. Lalu tatapan matanya fokus pada piring yang berisikan makanan yang sudah Sunmi buatkan.
Pras menghela nafasnya panjang dan menggelengkan kepalanya pelan.
“Tidak ingin tahu tapi kamu bertanya,” guman Pras yang di dengar oleh Sasti.
“Ya aku hanya bertanya saja. Tidak ingin terlalu menunggu jawabanmu,” sahut Sasti.
Pras tidak menganggap sikap Sasti yang menyebalkan itu padanya. Wajahnya masih datar dan nampak dingin. Di dalam benaknya masih terfikirkan kalimat yang Sasti katakan tadi. ‘Apa aku masih memiliki keturunan ras asing?’ tanya Pras pada dirinya sendiri.
Wajah Pras memang sangat tampan. Banyak yang bilang jika Pras seperti memiliki keturunan gen luar. Tapi dirinya sendiri tidak mengetahui hal itu. Karena sejak berumur tujuh tahun ibunya sudah meninggalkannya. Selama itu Rosa, ibu Pras tidak pernah menceritakan siapa ayahnya.
Ayah Pras seperti misteri. Bahkan selembar fotonya pun tidak ia miliki. Saat kecil Pras tidak pernah memperdulikan ia memilliki ayah atau tidak. Karena ada Kakeknya yang sangat menyanyanginya. Hingga Pras tidak merasa jika ia tidak memiliki seorang ayah.
Tapi saat hari berganti bulan. Dan bulan berganti tahun. Pras semakin ingin tahu siapa ayah kandungnya. Setiap ia menanyakan hal itu pada Bayu, kakek Pras. Bayu selalu diam membisu. Tidak sepatahkata pun yang diucapkan Bayu.
Suara piring yang bertemu sendok dan pisau perak terdengar. Membuat lamunan Pras tentang masa lalu dan masa remajanya pergi seketika dan fokusnya kembali lagi ke masa kini.
“Aku sudah selesai sarapannya. Terima kasih Tuan Pras,” kata Sasti sambil menyilangkan garpu dan pisau di atas piringnya.
Pras melihat ke arah Sasti dan menatapnya. Memperhatikan isi piring Sasti yang sudah bersih tidak bersisa. “Katanya kamu engga laper. Tapi itu piring udah kaya yang boleh ngejilatin gitu.....” kata Pras masih dengan wajah datarnya.
Sasti langsung mengehela nafas kesal dan mendelik. “Ini bukan masalah aku lapar atau tidak. Masakan bi Sunmi memang sangat lezat. Hingga aku yang tadinya tidak lapar, menjadi lapar.” Sasti beralasan.
Pras tersenyum simpul dan memalingkan mukanya. Rasanya ingin ia tertawa.
“Terima kasih untuk semuanya. Aku harus pulang....” kata Sasti meminta ijin.
Pras langsung menoleh kembali ke arah Sasti. “Kamu ingin pulang sekarang?” tanya Pras.
Sasti menganggukkan kepalanya. “Tentu saja aku ingin pulang.... Masa iya aku akan tinggal di sini...” jawab Sasi sambil menatap kesekliling ruang makan yang bergaya rumah kayu di Eropa.
“Rumahmu memang bagus. Tapi sayangnya ini bukan rumahku...” Sasti melanjutkan kalimatnya.
“Jangan pulang dulu.... Supirku sedang tidak ada di rumah. Karena hari ini aku libur, Ari sedang mengunjugi Kakek untuk mengantarkan beberaap dokumen,” kata Pras sambil menyesap pelan susu di gelasnya.
“Aku bisa pulang sendiri kok. Maaf karena aku merepotkanmu.... Apa lagi semalam aku telah membuat pakaianmu kotor karena muntahanku....” ucap Sasti bergaya formal dan menganggukkan kepalanya. “ Dan terima kasih karena sudah memberiku pakaian baru yang bagus.”
Sejenak mereka diam di dalam kesunyian.
Dan beberapa menit kemudian suara Pras memecah keheningan di antara mereka. “Anggap saja itu hutang,” katanya lantang.
Sasti langsung mendongakan wajahnya. “Hutang?” seru Sasti. “Mak-maksdunya aku harus bayar gitu?”
Pras menganggukkan kepalanya. “Ya kamu harus membayarnya. Baju ganti yang kamu pakai itu dari Butik terkenal. Penjahitnya saja adalah seorang desainer terkenal. Lalu makanan yang kamu makan tadi dan juga rusaknya pakaianku karena muntahan kamu. Kamu kira kemeja dan blezer jas aku murah?”
Sasti terkejut hingga mulutnya ternganga. Wajahnya yang bersih dan sedikit pucat karena tanpa make up itu membuat Pras ingin tertawa. Sedikit menyenangkan mengerjai seseorang di pagi hari.
“Aku kira kamu orang baik....” tutur Sasti.
“Memang aku badan amal? Kamu tahu kan jaman sekarang mana ada yang gratis? Belum lagi total kerugian waktu dan tenaga yang aku habiskan karena ulahmu semalam. Mabuk dan merepotkan aku. Aku juga membawamu ke rumahku. Ya... Anggap saja ini hotel. Coba bayangkan bagaimana jika aku adalah orang jahat yang akan memanfaatkanmu? Kamu mabuk dan tidak sadarkan diri....” sahut Pras sambil memposisikan kedua tangannya terlipat rapi di atas meja makan.
Sasti menggelengkan kepalanya pelan dan memejamkan matanya sesaat. Menyadarkan dirinya sendiri agar segera pulih dari rasa terkejutnya.
“Baiklah.... Jika kamu menginginkan aku membayarmu.... Baju, makanan dan mungkin waktu ya....” Sasti mulai membuka tas selempang yang sejak tadi ia pakai dan membukanya. Ia mengambil beberapa lembar uang dari dompet yang berkisar sekitar tiga ratus ribu rupiah.
Sasti menaruh uang tiga ratus ribu rupiah itu di atas meja makan. “Ini... Urusan kita sudah selesai ya...” katanya.
Pras menatap tiga lembar uang berwarna merah itu. Sejenak ia diam.
“Cukup kan.... Jadi aku akan pergi.... Terima kasih Tuan muda.... yang pelit!” kata Sasti dengan penekanan nada di akhir kalimat.
Sasti memundurkan letak kursi makannya ke belakang. Lalu ia mulai beranjak dari duduknya. Ia hendak pergi.
“Tunggu...!” seru Pras sambil memegangi lengan Sasti.
Seketika Sasti lansung menghentikan niat langkahnya untuk pergi. Tatapan matanya tertuju pada tangan Pras yang memegangi lengannya.
Pras melepaskan tangannya pada lengan Sasti perlahan. “Tunggu.... Maksudku kamu bisa pulang jika aku mengantarmu....” kata Pras lirih.
Sasti mengerutkan dahinya dan menatap Pras tajam. “Nganterin aku pulang?” tanyanya ragu.
Pras menganggukkan kepalanya.
“Aduh.... Makasih deh.... Nanti kamu malah minta bayaran lagi. Ini lagi tanggung bulan. Aku harus ngirit. Aku naik angkutan umum aja pulangnya....” ujar Sasti sambil menggelengkan kepalanya.
“Kalo soal antar pulang anggap aja gratis,” sahut Pras.
Dahi Sasti semakin berkerut. “Loh ko mendadak baik? Aku engga mau ah. Nanti pengen macem-macem lagi.”
“Aku harus tahu di mana rumahmu....” kata Pras.
“Engga usah tahu. Cukup perkenalan kita sampai di sini!” seru Sasti kesal. “Jangan bilang kamu mau modusin aku ya....” hardik Sasti.
Pras tertawa kecil. Sorot mata penuh intrik tersirat di ujung matanya. Mambuat Sasti semakin takut.
“Kata siapa aku mau modusin kamu. Jangan kepedean....” kata Pras sambil mengambil uang tiga lembar seratus ribuan yang ada di atas meja dan mengembalikannya di genggaman Sasti.
“Ini.... Ambil lagi. Karena ini engga cukup. Makanya aku ingin tahu rumahmu di mana karena kamu belum melunasi hutangmu padaku,” kata Pras sambil menyelipkan uang itu di sela-sela telapak tangan Sasti yang mengepal.
Mulut Sasti kini kembali ternganga kembali. “A-apa? Tiga ratus ribu engga cukup? Memang berapa mahal baju ini dan pakaian kamu yang terkena muntahanku? Juga sarapan tadi. Mungkin plus biaya semalam aku tertidur di rumahmu?” tanya Sasti kebingungan.
“Kamu mau tau berapa harganya....?” Pras menatap Sasti dengan tajam. Ekspresi wajahnya melirik ke atas dan bibirnya berguman. Ia seperti menghitung berapa biayanya.
Sasti menunggu Pras melanjutkan kalimatnya.
“Total semuanya sepuluh juta dua ratus lima puluh dua ribu lima ratus rupiah.” Pras melanjutkan kalimatnya dengan lugas.
Kedua mata Sasti membulat. Mulutnya yang tadi ternganga kini semakin lebar. “A-a-apa? Sepuluh juta dua ratus lima puluh dua ribu rupiah?”
“Lima ratus rupiahnya ketinggalan,” sahut Pras santai.

Bersambung....

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

68