Bab 8 Rasa sakit yang masih membekas

by Hurem Petrova 11:16,Jan 01,2021
Sasti mengusap pipinya yang masih terasa sakit. Padahal hari sudah berganti keesokannya. Tapi rasa sakit akibat tamparan Herman masih terasa di wajah Sasti. Sudut bibir Sasti pun sedikit robek dan mengeluarkan darah saat dua kali tangan Herman mendarat di wajahnya.
Sasti menatap pantulan bayangannya sendiri di cermin. Wajahnya muram dan sorot matanya sendu. Sasti menghela nafas panjang. Dadanya terasa sesak. Saat mengetahui ia akan menikah dengan Gilang betapa bahagianya dirinya.
Bukan karena Sasti sangat mencintai Gilang. Tapi menikah dengan Gilang adalah satu-satunya tiket keluar dari rumah besar yang mewah ini tapi terasa seperti di neraka.
Semua hal ada hikmahnya. Sebelum Sasti benar-benar menjadi istri Gilang. Akhirnya Sasti tahu bagaimana sifat Gilang sebenarnya. Gilang hanya pria tidak setia yang tak dapat dipercaya. Sasti bersyukur dirinya tidak jadi menikah dengannya. Tapi dengan batalnya pernikahan mereka, Sasti tidak dapat memiliki harapan untuk keluar dari rumah ini.
“Tok.... tok....” Suara pintu kamar diketuk.
“Sasti....” panggil Asma dari balik pintu.
“Ya Bi!” sahut Sasti dan kemudian membuka pintu kamarnya.
Saat pintu kamar terbuka terlilhat Asma berdiri di mulut pintu. Lalu Nadia dengan acuhnya berjalan di belakang Asma.
Asma mengetahui Nadia keluar dari kamarnya yang ada di samping kamar Sasti. Ia menoleh ke belakang untuk melihat putrinya yang terlihat sudah bersiap berangkat kerja.
“Nadia.... Kenapa kamu tidak sopan. Lewat begitu saja tanpa menyapa?” tanya Asma.
Nadia terpaksa menoleh. “Ibu memanggil aku?” tanyanya.
Asma menghela nafas panjang. “Memang ibu ngomong sama siapa?”
“Aku kira ibu sedang bicara dengan putri ibu yang satu lagi...” Nadia menggerakan dagunya ke arah Sasti yang berdiri di gawang pintu.
Sasti hanya diam. Ia malas bersuara. Karena bukan kali ini saja, Nadia berbicara hal yang tidak mengenakan padanya.
Terkadang Sasti merasa jika dirinya bukan dari keluarga ini. Kakek sangat menyayangi Nadia. Bahkan Nadia tidak pernah dipukul. Menyuarakan suara dengan nada tinggi pada Nadia pun Kakek Herman tidak pernah.
Berbeda dengan Nadia, justru sikap Kakek pada Sasti bertolak belakang. Apa pun yang dilakukan Sasti selalu saja salah. Tidak pernah benar. Hanya Asma, bibi Sasti yang baik hati dan lembut yang menyanyangi dan merawat Sasti sejak kecil.
“Baiklah terserah kamu....” kata Asma pada Nadia.
Nadia pun melangkahkan kakinya kembali. Ia mendengarkan apa yang dikatakan Asma sambil lalu.
Kedua mata Sasti dan Asma mengikuti langkah Nadia yang berjalan menjauhi mereka dan menuruni anak-anak tangga.
“Apa kamu sudah lebih baik?” tanya Asma sambil kedua tangannya memegangi pipi Sasti. Asma menatap Sasti dengan tatapan kesedihan. Setiap ia melihat Sasti hatinya selalu merasa sedih. Seakan ada perasaan rasa bersalah di dalam tatapan Asma pada Sasti.
“Ya....” jawab Sasti sambil mengerjapkan kedua matanya.
Asma menghela nafas dalam. “Maafin Bibi ya Sas....”
“Kenapa Bibi yang meminta maaf? Kakek saja yang suka memukulku ia tidak pernah meminta maaf....” ujar Sasti lirih.
“Bibi minta maaf karena selalu tidak bisa melindungi dengan baik....” jawab Asma dengan tatapan sendu.
“Tidak Bi.... Bagiku... Bibi adalah orang yang paling menyanyangiku. Bibi adalah orang pertama yang akan aku rindukan jika aku pergi dari rumah ini...” kata Sasti sambil memeluk bibinya.
Asma membalas pelukan Sasti. “Memang kamu mau pergi ke mana? Bukannya pernikahan kamu dan Gilang dibatalkan?”
“Seandainya aku bisa pergi, maksudku....” Sasti meralat kalimatnya.
Asma melepaskan pelukannya. “Coba ceritakan pada Bibi, apa yang sebenarnya terjadi antara kamu dan Gilang? Apa benar yang dikatakan oleh Gilang jika kamu berselingkuh di belakangnya? Dan pria tadi yang membelamu di depan Kakek dia...?”
Sasti langsung menggelengkan kepalanya cepat. “Tidak! Itu tidak benar! Justru Gilang lah yang berselingkuh dengan Ratih, mantan pacarnya itu! Pantas saja sikap Gilang terasa tidak jujur denganku,” kata Sasti meratap.
Asma menatap Sasti dan memegangi kedua pipinnya. Menatap lurus ke arah sepasang mata Sasi yang indah. “Ini takdir Sasti. Memang kamu ditakdirkan untuk tidak menikah dengan Gilang. Pasti ada takdir yang lebih baik dari ini. Tuhan pasti memiliki rencana yang lebih indah.”
Sasti menganggukkan kepalanya pelan. “Ya pasti.... Aku percaya dengan takdir.... Aku percaya Bi....”
***

“Akhirnya kamu menjadi pimpinan CEO di sini....” kata Tina sambil menyilangkan kakinya. Ia duduk sofa tamu ruangan Pras.
Pras menatap ke arah luar. Dari balik jedela besar di lantai delapan ini, ia dapat melihat jika langit di pagi ini nampak bersedih. Rintikan hujan membasahi kaca gedung nampak seperti air mata yang menetes.
“Ini takdri Pras. Tapat saat aku sudah kembali dari Malaysia dan ditempatkan bekerja di Kota ini, kamu malah memilih kota ini. Aneh saja dari sebegitu banyaknya cabang perusahaan Kakekmu yang menyebar di banyak provinsi dan kota kamu malah memilih daerah ini. Kota yang tidak terlalu ramai....” kata Tina sambil tersenyum.
Tina sudah percaya diri berlebihan. Ia pikir, Pras datang ke Kota ini untuk mendekatinya lagi.
“Takdir...?” tanya Pras lirih.
“Ya.... Mungkin ini takdir kita,” jawab Tina sambil tersenyum lebar.
“Bukan,” sahut Pras yang langsung mematahkan harapan Tina untuk merajut kembali kesalahan yang telah ia buat.
Tina mengerutkan dahinya masih sambil menatap punggung Pras yang sedang membelakanginya. Pras menatap pemandangan langit yang tidak cerah dari balik kaca gedung.
“Aku kemari karena Kakek sedang membangun binis baru. Sebuah penerbitan. Di mana Kakek yang selalu menggeluti bisnis eletronik, kini ia ingin mencicipi bisnis penerbitan.” Pras melanjutkan kata-katanya.
“Dan apa hubungannya dengan kamu memilih Kota ini dan ingin memimpin perusahaan redaksi di sini?” tanya Tina tidak mengerti.
“Karena ibuku menyukai buku.....” jawab Pras lirih.
Suaranya yang lirih tidak terdengar di telinga Tina. “Apa?” tanya Tina. Ia ingin Pras mengulang kembali jawabannya.
Tapi Pras tidak ingin mengulang jawabannya. Ia malah mengalihkan pembicaraan dengan tema lainnya. “Apa sekarang waktu yang tepat untuk memperkenalkan diri pada karyawan kita?” tanyanya pada Tina.
Tina menganggukkan kepalanya. “Oke... kita segera turun....”
***

Nana menyenggol lengan Sasti. “Untung aja, kamu datang engga telat! Denger-denger pemimpin CEO kita yang baru ini, orangnya menyebalkan. Dia membeli perusahan yang bangkrut ini karena murah,” kata Nana dengan suara pelan nyaris berbisik.
“Ah yang benar?” tanya Sasti. “Aduh.... gawat dong mana aku suka datang telat....”
“Makanya itu, sekarang kamu usahain janga n telat! Hari ini saja kamu hampir telat masuk kerja!” kata Nana memberitahu.
Sasti menghela nafas panjang. “Tiap pagi aku harus menyiapkan sarapan di meja.... Jika tidak, kakekku suka marah....”
Nana menggelengkan kepalanya. “Kakekmu memang aneh. Kamu tinggal di rumah besar, mewah dan memiliki pembantu. Tapi harus menyiapkan sarapan dahulu. Lalu kakekmu bukan orang susah, tapi kamu cuma tamatan SMA dan sepupumu Sarjana,” kata Nana sambil melihat Nadia yang baru saja keluar dari dalam lift dan berjalan menuju karyawan lainnya yang sedang berbaris.
“Kan sudah aku bilang, terkadang aku ragu jika aku adalah bagian dari keluarga....” ucap Sasi lirih.

Bersambung.....

Unduh App untuk lanjut membaca

Daftar Isi

68